Part 14

Davin mengepulkan asap rokoknya saat otaknya tidak berhenti untuk berpikir. Dia masih mencari jalan keluar dengan permasalahan yang dialami oleh kekasihnya. Davin yakin jika ada sesuatu atau seseorang yang memang sengaja melakukan ini semua untuk menyakiti Ana. Davin masih bisa diam jika kejadian itu menimpa sahabat Ana, tapi kali ini gadisnya yang menjadi korban. Sudah waktunya dia bangun dari tidurnya dan turun tangan untuk mengatasi masalah teror ini.

"Jadi?" tanya Bram meminum gelas anggur di tangannya.

Davin mematikan rokoknya dan menatap Bram dengan sebelah alis yang terangkat. Dia sengaja mengundang kedua sahabatnya untuk datang guna membicarakan masalah ini. Davin sadar jika dia sedang berususan dengan orang yang berbahaya sekarang.

"Aku udah bilang. Lucy pelakunya," ucap Kevin sambil menuangkan anggurnya kedalam gelas.

"Lucy ada di Singapura." Bantah Bram.

"Yakin?" Kevin bertanya dengan nada yang mengejek.

Bram berdecak, "Dia ada pemotretan di sana."

"Terus pemotretan waktunya sampe 2 minggu, gitu? Itu pemotretan apa umroh?" tanya Kevin konyol.

Bram terdiam mendengar ucapan Kevin yang ada benarnya. Davin sendiri juga sadar jika Lucy sudah terlalu lama di Singapura. Bukan tidak mungkin jika wanita itu yang melakukan semua ini. Jiwa psikopat Lucy tidak perlu diragukan lagi. Otaknya yang batu membuat dia bisa melakukan apa saja yang dia inginkan tanpa memikirkan perasaan orang lain.

"Vin, denger ya. Cuma Lucy yang selalu berbuat nekat. Kamu masih inget kan pernah pacaran berapa kali waktu SMA?"

"Ya nggak pernah!" jawab Kevin sambil tertawa saat mendengar pertanyaan konyol dari Bram.

Davin mendengus dan kembali mengambil putung rokok. Dia mencerna dengan baik ucapan sahabatnya. Davin memang tidak pernah dekat dengan wanita selama masa sekolahnya karena perbuatan Lucy. Wanita itu seolah menjadi tembok penghalang agar para wanita tidak berani untuk mendekatinya. Lucy akan melakukan segala hal untuk membuat Davin tetap berada di sisinya.

"Lucy nggak bisa dibiarin gitu aja. Kita harus tetep awasi dia."

"Aku bakal suruh Edo buat cek keberadaan Lucy." Davin kemudian berdiri, "Kamu nginep di sini aja, Vin. Udah jam 1 malem." Lanjut Davin pada Kevin.

"Nggak, aku mau ke apartemen Laila aja." Kevin berdiri dan meraih kunci mobil. Setelah itu dia keluar dan meninggalkan kedua sahabatnya.

"Aku ke kamar dulu." Pamit Bram dan berlalu pergi.

Keadaan rumah sudah sangat sepi. Lampu telah dimatikan mengingat jika ini sudah tengah malam. Davin berhenti melangkah saat melewati kamar tamu, di mana Ana sedang tidur sekarang. Ana memang tinggal di rumahnya setelah keluar dari rumah sakit sampai keadaannya mulai membaik dan siap untuk pindah ke kos yang baru. Sebenarnya semua ini adalah permintaaanya karena ingin lebih dekat dengan Ana. Sedangkan Ana sendiri merasa tidak masalah jika harus langsung pindah ke kos, tapi lagi-lagi karenakeegoisan Davin akhirnya dia memilih untuk  tinggal.

Davin menyentuh gagang pintu itu dan membukanya. Dia mendengus saat pintu itu tidak terkunci. "Dasar bodoh!"

Dapat Davin lihat jika Ana tertidur dengan pulas. Tiba-tiba terbesit rasa iri ketika melihat kekasihnya memeluk guling dengan erat. Dihampirinya Ana dan duduk di sampingnya. Tangan Davin tergerak untuk menyentuh dahi Ana yang terdapat luka yang sudah mengering. Dielusnya bekas luka itu dengan pelan.

"Jangan khawatir, aku akan menjagamu." Davin menunduk untuk mencium kening Ana, tapi gerakannya terhenti saat matanya malah menatap bibir Ana yang sedikit terbuka saat tidur.

Bisikan setan langsung memenuhi otak Davin. Ditatapnya lagi wajah Ana dengan teliti dan sedetik kemudian dia tersenyum tipis. Davin kembali menegakkan tubuhnya dan mengelengkan kepalanya pelan. Dia berjalan ke arah jendela untuk menenangkan tubuhnya yang mendadak panas. Matanya menatap keadaan luar rumah dengan tatapan tajam. Tangannya terkepal dan berbalik untuk kembali menatap Ana.

Davin benar-benar seperti psikopat gila sekarang. Bertindak seperti penguntit yang sedang mengawasi mangsanya dalam kegelapan, tapi memang itulah yang terjadi. Ana sudah menjadi buronannya selama 9 tahun dan dia sudah berhasil mendapatkannya. Tugasnya kali ini adalah menjaga mangsanya agar tetap aman dan tidak lari menjauh dari kehidupanya.

***

"Aku bebas!" teriak Ana saat keluar dari kelas.

"Biasa aja deh, dasar kampungan!" ledek Andre yang berjalan di belakangnya.

Setelah banyak peristiwa yang mengharuskan Ana, Ally, dan Andre untuk absen dari ujian, akhirnya mereka sudah menyelesaikan ujian susulan sekarang. Semua sudah kembali sehat meski Ally masih menggunakan bantuan tongkat dan Andre yang masih diharuskan untuk kontrol seminggu sekali. Itu tidak masalah, setidaknya mereka tidak perlu menginap lagi di rumah sakit.

"Ana!" panggil seseorang yang membuat Ana berhenti melangkah.

"Na, kita duluan ya." Ally menarik Andre saat melihat Alex yang mendekat.

"Kamu mau kemana?" tanya Alex ketika sudah berada di hadapan Ana.

"Mau pulang, Bang. Kenapa?"

"Kamu ada waktu? Aku mau ngomong sesuatu?"

"Mau ngomong apa?" tanya Ana sambil berjalan.

"Nggak di sini." Ana mengerutkan keningnya bingung, "Gimana kalo sambil makan siang? Ayo!" ucap Alex menarik tangan Ana.

"Tapi Bang-"

"Aku yang traktir."

"Ya udah ayo!" ucap Ana tanpa ragu.

Rejeki anak kos..

"Jadi mau ngomong apa?" tanya Ana setelah selesai makan.

Alex terdiam dan meletakkan sendoknya pelan. Dia tersenyum dan menatap Ana dalam, "Aku suka sama kamu."

Ana terbatuk mendengar itu. Dia meraih air putih dan meminumnya hingga habis. Ana tidak menyangka jika Alex akan menyatakan perasaannya sekarang. Dia sadar akan rasa yang dimiliki Alex, tapi dia selalu menjaga jarak dan berusaha untuk bersikap normal. Ana juga tidak pernah memberi atau membalas perhatian dari Alex. Oleh karena itu dia tidak menyangka jika Alex mengambil langkah nekat seperti ini.

Alex meraih tangan Ana dan menggenggamnya erat, "Aku suka sama kamu, Na. Apa kamu mau jadi pacarku?"

Ana menarik tangannya cepat, "Bang Alex suka bercanda deh, nggak lucu loh, Bang." Ana mengibaskan tangannya dan tertawa garing.

"Siapa yang bercanda? Aku serius. Kamu mau kan jadi pacar aku?"

"Bang Alex serius?" Alex mengangguk mantap.

Ana tergagap, "Maaf Bang, aku nggak bisa."

"Kenapa?" Alex terlihat kecewa dengan jawanan Ana.

"Aku belum mau pacaran, Bang." Ana mengutuk dirinya yang mengeluarkan alasan konyol seperti itu.

Alasan basi!

Ana dapat melihat Alex menunduk, tapi sedetik kemudian dia kembali mengangkat kepalanya dan tersenyum lembut pada Ana. "Nggak mau ya," ucapnya sambil tersenyum kecut.

"Maaf." Hanya itu yang bisa Ana ucapkan.

"Nggak papa, tapi kita masih temenan kan?" Ana mengangguk tanpa ragu. Tentu saja mereka akan tetap berteman.

Alex kembali fokus pada makanannya dengan hati yang sakit. Ternyata begini rasanya ditolak. Baru kali ini ada wanita yang menolaknya dan Ana yang melakukan itu. Setidaknya Alex bersyukur jika gadis yang ia sukai tidak menjauhinya setelah ini.

***

Ana tidak tahu apa yang merasuki Davin saat mengajaknya untuk makan malam bersama. Ana pikir mereka hanya akan makan malam biasa. Namun dia dibuat terkejut saat Davin menjemputnya dengan pakaian rapinya. Ana sangat tahu sifat Davin, dia tidak akan mau menggunakan waktunya untuk hal sepele seperti ini. Davin akan lebih memilih untuk mengisi waktunya dengan membaca buku di ruang kerjanya.

Ana masuk ke dalam toilet untuk buang air kecil dan saat keluar dari bilik toilet, dia mendapati tulisan bertinta merah di cermin. Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah dan tidak menemukan siapapun. Dia hanya sendiri di sini, bahkan petugas kebersihan yang dilihatnya ketika masuk tadi sudah tidak ada. Ana berjalan mendekat agar bisa membaca tulisan itu dengan jelas.

"Jauhi Vinno atau kamu akan mati!"

Ana tidak menyangka jika selama ini memang ada orang yang ingin mencelakainya. Dengan cepat dia berbalik untuk pergi, tapi langkahnya terhenti saat melihat Lucy sudah berada di hadapannya. Wanita itu menyeringai menatap Ana yang ketakutan. Ternyata benar, semua kejadian beruntun itu pasti ada sebab dan sekarang Ana tahu jika Lucy yang berada di balik semua ini.

"Miss me, bitch?" ucap Lucy sambil mengeluarkan pisau dari balik punggungnya. Ana berteriak dan mencoba untuk berlari ke luar toilet.

Belum sempat menggapai pintu, Lucy menarik rambut Ana dan mendorongnya ke ujung ruangan. Ana terjatuh dan memegangi kepalanya yang terasa berdenyut karena menghantam tembok dengan keras. Saat akan berteriak, tiba-tiba Lucy mencengkram lehernya dan menariknya untuk kembali berdiri. Ana memukul tangan Lucy berusaha untuk melepaskan lehernya karena dia mulai kesulitan untuk bernafas.

Dasar wanita iblis!

"Bisa-bisanya Vinno suka sama cewek lemah kayak kamu?" Lucy menempelkan pisau di pipi Ana, "Apa yang dia lihat dari kamu! Kamu nggak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan aku!" teriak Lucy di depan wajah Ana.

Ana memejamkan matanya saat Lucy masih berteriak di depannya. Dia masih berusaha untuk melepaskan tangan Lucy yang mencekik lehernya erat.

"Lihat kan, bahkan kamu nggak bisa apa-apa sekarang. Dasar lemah!" teriak Lucy lagi.

Ana membuka matanya dan menatap Lucy dengan tajam, "Aku cuma main pake otak! Nggak trik murahan kayak gini!"

Ana mengerang saat tamparan keras menghantam pipinya. Telinganya berdengung dengan rasa panas  mulai menjalar di wajahnya. Ana yakin jika bibirnya berdarah sekarang karena dia merasakan rasa anyir pada bibirnya.

"Trik murahan? Trik murahan itu bisa buat kamu mati kalo temen-temen bodohmu itu nggak ikut campur!" ucap Lucy sambil meninju tembok di belakang Ana, "Katakan! Katakan apa yang kamu kasih sama Vinno sampe dia tergila-gila sama kamu!"

"Nggak ada, dia cinta sama aku apa adanya!"

"Bullshit!" umpat Lucy, "Aku yakin tubuhmu bahkan nggak bisa muasin Vinno!" Ana menggeram saat Lucy mengatakan itu.

"Mas Davin cinta sama aku apa adanya! Dia nggak mungkin suka sama cewek gila kayak kamu!" ucapan Ana membuat emosi Lucy semakin tersulut. Wanita itu menariknya dan mendorongnya kembali menghantam tembok.

"Beraninya kamu! Aku akan bunuh kamu kali ini, nggak akan aku biarin lolos!"

Ana memejamkan mata saat Lucy bergerak untuk menancapkan pisau itu di dadanya. Dalam keadaan seperti ini, Ana berdoa dalam hati agar Tuhan mengirimkan seseorang untuk menyelamatkannya.

"Pertunjukan yang bagus, Lucy." Suara berat dan tepukan tangan menghentikan kegiatan Lucy. Ana membuka kedua matanya saat mendengar suara yang dia kenal. Benar saja, sudah ada Davin di pintu masuk toilet, diikuti dengan 2 polisi di belakangnya.

Lucy terlihat terkejut dan menjatuhkan pisaunya, "Vinno, ini nggak seperti yang kamu pikirin, aku bisa jelasin semuanya."

"Nggak ada yang perlu dijelasin, aku udah cukup sabar dengan kelakuanmu dan sekarang adalah titik puncak kesabaranku." Davin beralih pada Ana yang masih terduduk dengan lemas, "Bahkan kamu melukai gadisku beberapa kali." Lanjutnya dengan pelan.

"Vin, aku mohon dengerin aku dulu!" Lucy memohon sambil menarik tangan Davin.

"Jangan sentuh aku!" Davin menyentak tangan Lucy keras hingga wanita itu terjatuh, "Bawa dia sekarang!"

"Nggak! Lepasin aku!" Lucy mencoba untuk melepaskan diri dari polisi.

Ketika Lucy sudah berlalu pergi, Ana melihat Davin berjalan ke arahnya dengan wajah datarnya. Merasa geram, Ana melepas sepatu yang dia pakai dan melemparnya ke arah Davin. "Dasar nyebelin! Mas sengaja ngajak aku makan malam buat jebak Lucy gitu?" teriak Ana pada Davin yang sedikit meringis melihat kemarahan kekasihnya itu.

"Nggak ada cara lain yang bisa buat dia berani keluar. Maaf kalo aku sedikit terlambat tadi."

Davin kembali menghampiri Ana yang masih duduk dan ditariknya pelan untuk berdiri. Dapat dia lihat dengan jelas pipi Ana yang lebam, bahkan ada darah di sana.

"Maaf." Davin berucap lemah saat melihat keadaan Ana. Dia mengutuk dirinya sendiri yang terlambat sadar jika Ana sudah terlalu lama berada di dalam toilet.

"Nggak usah pegang-pegang!" Ana menyentak tangan Davin yang akan menyentuh pipinya.

"Maafkan aku."

Ana diam dengan bibir yang mulai gemetar. Tetes air mata itu mulai keluar dan Davin kembali mengutuk dirinya sendiri. Lagi-lagi dia membuat Ana menangis. Ingin sekali rasanya dia melukai dirinya sendiri agar dapat merasakan sakit yang sama dengan apa yang Ana rasakan. Davin menarik gadisnya untuk masuk ke dalam pelukannya. Dia tidak bisa melihat Ana terluka seperti ini. Dia sangat menyesal karena terlambat datang karena jika tidak, Ana tidak mungkin akan terluka sampai seperti ini.

"Aku takut," bisik Ana lirih dalam pelukan Davin. Air mata itu masih keluar dengan derasnya.

Bagaimana tidak takut jika dia hampir mati tadi?

"Iya, aku di sini. Semua sudah selesai." Davin mengelus punggung Ana pelan menciba untuk meredakan tangisan kekasihnya.

Lain kali ingatkan Ana untuk tidak menerima ajakan makan malam dari Davin. Dia takut jika kejadian ini akan terulang kembali. Ana tidak menyangka jika Lucy berani melakukan hal seperti ini. Bahkan nyawanya bukan hal yang berharga lagi di mata wanita itu. Tidak heran jika Davin sempat merasa kelimpungan untuk mengatur tingkah Lucy. Setidaknya Ana bersyukur sekarang. Semuanya sudah selesai.

***

TBC

Follow ig : viallynn.story

Jangan lupa vote dan comment nya ya 😘

Viallynn

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top