Part 13

Langkah Ana terhenti saat melihat sebuah mobil yang berhenti tepat di depannya. Dia mengenali mobil itu. Perlahan Ana masuk dan terkejut saat mendapati Edo yang ada di sana dan bukan Davin seperti perkiraannya.

"Loh, Pak. Saya kira tadi Mas Davin."

"Pak Vinno minta saya buat jemput, Dek. Makanya saya di sini. Pak Vinno lagi meeting soalnya."

"Kok Mas Davin tau kalo saya ada di rumah sakit?" tanya Ana bingung karena memang dia tidak memberi tahu Davin jika akan menemui Ally dan Andre.

"Pak Vinno mah tau semuanya, nggak usah kaget." Ana terkekeh dan mengangguk. Benar apa yang dikatakan Edo, pria itu memang mengetahui segalanya.

Mobil berhenti tepat di depan kantor Davin. Setelah mengucapkan terima kasih, Ana langsung keluar dan menyapa satpam yang pernah berseteru dengannya dulu. Ana masih ingat saat Davin memecat satpam itu begitu saja tanpa alasan yang jelas. Tentu saja dia tidak terima. Ana berusaha mati-matian agar Davin menarik ucapannya dan berhasil, meskipun tidak dengan resepsionis karena Davin berpikir bahwa wanita itu memang kurang profesional dalam bekerja. Jika dikaitkan dengan profesionalisme tentu Ana akan diam karena memang wanita itu yang salah pada saat itu.

"Siang, Mbak."

Ana tersenyum ramah, "Siang, Pak. Udah makan siang?" tanya Ana basa-basi ketika satpam menyapanya.

"Udah kok, Mbak. Barusan tadi makan."

"Oh, ya udah kalo gitu, saya masuk dulu ya, Pak." Ana tersenyum dan kembali masuk ke dalam kantor.

Ana memainkan kakinya sambil menunggu lift yang dia naiki sampai pada lantai tujuan. Dia juga sedikit merapikan rambutnya yang berantakan sebelum bertemu dengan kekasihnya. Lift terbuka dan Ana kembali tersenyum saat melihat Lia yang sepertinya juga menunggu lift.

"Siang, Mbak Lia. Mau makan siang ya?"

"Iya, Na. Kamu mau ketemu Pak Vinno?"

"Iya, Mbak. Udah selesai kan rapatnya?"

"Udah kok, Pak Vinno udah di dalem." Tunjuk Lia pada ruangan Davin.

"Ya udah, aku masuk dulu ya, Mbak." Ana berlalu dan mengetuk pintu pelan. Terdengar sahutan Davin dari dalam yang memintanya untuk masuk.

Ana tersenyum lebar saat melihat kekasihnya sedang duduk di kursi kerjanya dengan mata yang fokus pada laptopnya. Diletakannya tas yang dia bawa ke sofa dan mulai berjalan menghampiri Davin. Lihatlah, dia datang pun Davin lebih memilih menatap layar laptopnya. Jam sudah menunjukkan waktu istirahat dan seharusnya Davin sedikit bersantai.

"Istirahat, Mas. Jangan kerja terus," ucap Ana sambil memeluk leher Davin dari belakang.

"Sebentar lagi."

Ana hanya diam dan menyandarkan kepalanya di bahu Davin. Dia ikut melihat laptop pria itu dan seketika ia langsung dibuat bingung. Ana tidak tahu apa yang sedang Davin kerjakan dan dia tidak mau tahu. Ana kembali menegakkan tubuhnya saat Davin bersandar pada kursinya. Perlahan dia menarik kepala Davin ke atas dan mengelus dahi pria itu pelan. "Capek ya?"

"Nggak." Davin menggeleng dan memejamkan matanya, mencoba menikmati sentuhan tangan Ana di dahinya.

Mata Davin kembali terbuka dan dia memutar tubuhnya untuk bisa menatap kekasihnya dengan jelas. Dalam sekali gerakan, Davin sudah berhasil membawa Ana jatuh ke pangkuannya. Tangannya terangkat dan mengelus dahi kekasihnya yang terdapat luka karena menghantam trotoar.

"Udah dilepas?"

Ana mengangguk, "Iya, sekalian tadi cek di rumah sakit."

"Masih sakit?" tanya Davin sambil mengelus dahi Ana.

"Nyeri dikit sih, tapi nggak papa."

"Gimana temen kamu?"

"Udah baikan, kok." Ana menghela nafas kasar dan menyandarkan kepalanya di dada Davin, "Tapi aneh banget Mas. Masa pelakunya belum ketemu."

"Nggak ada informasi sama sekali?" tanya Davin mengeratkan pelukannya pada pinggang Ana.

"Nggak ada. Panggil FBI beres kali ya, Mas?" gumam Ana.

"Ngawur!"

Ana terkekeh dan menghirup dalam aroma Davin. Mencoba menikmati kedekatan yang ada karena pria itu m sangat jauh dari kata manis. Setelah insiden tidur di pelukan Davin saat di apartemen, Ana mulai ketagihan. Dia merasa nyaman berada di pelukan prianya dan ia senang karena bisa merasakannya lagi.

"Udah makan siang?" Ana bertanya dan kembali menegakkan tubuhnya.

"Udah sekalian meeting tadi, kamu?"

"Udah kok, makan sopnya Ally tadi." Ana terkekeh sambil memainkan dasi Davin.

Davin terdiam dan menatap wajah Ana dengan dalam. Entah sudah berapa kali dia mengucap syukur kepada Tuhan karena sudah membuat Ana berada di sisinya seperti ini dan sedekat ini. Setidaknya penantian 9 tahunnya tidak sia-sia.

Davin melirik tangan kecil Ana yang memainkan dasinya. Sempat dia berpikir, Apa Ana adalah gadis kecilnya dulu? Karena bagi Davin, Ana sekarang sangat jauh dari kata polos. Meskipun di mata semua orang gadis itu tetap bodoh dan ceroboh, tapi baginya setiap gerakan yang dilakukan Ana selalu mampu membuat Davin kehilangan akal sehat. Entah Ana melakukannya dengan sengaja atau tidak yang pasti semuanya berefek dasyat untuk tubuhnya.

"Apa? Kenapa liatin aku kaya gitu?" Ana mulai risih karena Davin yang terus menatapnya.

"Aku senang kamu di sini." Ana terdiam menahan bibirnya untuk tidak tersenyum.

Davin mengelus lengan Ana dan naik untuk meraih lehernya. Perlahan wajah mereka mendekat dan Davin berhasil mencuri satu ciuman dari bibir Ana. Ini sudah kedua kalinya dia mencium Ana, dan selama ini dia tidak mendapatkan protes. Pikiran buruk langsung menghampiri Davin.

Perlahan dia melepaskan ciumannya dna menatap Ana tajam, "Selain aku, siapa yang udah cium kamu?"

Ana mengerjapkan matanya bingung. Dia masih terkejut dengan ciuman Davin yang tiba-tiba dan sekarang pria itu menanyakan hal yang cukup konyol bagi Ana.

"Maksudnya apa? Nggak ada yang berani cium aku selain Mas Davin." Ana cemberut merasa tersinggung dengan ucapan kekasihnya itu.

"Kenapa kamu nggak marah?"

Ana menggeleng tidak percaya dan menjauhkan tubuhnya. "Ya udah mulai besok nggak boleh cium-cium, nggak boleh peluk-peluk!"

Davin mendengus dan kembali meraih Ana yang memberontak dalam pelukannya. Dia hanya bertanya tadi kenapa Ana menjadi sensitif seperti ini? Dan apa tadi? Tidak boleh menciumnya? Jangan harap Davin mau melakukannya.

"Siapa yang udah cium kamu selain aku." Davin berdecak mendengar gerutuan Ana yang menirukan ucapannya. Melihat bibir maju itu, dengan gemas Davin kembali menciumnya hingga membuat Ana berhenti memberontak.

***

Suara pecahan kaca yang nyaring membuat Ana membuka matanya cepat. Kepalanya kembali nyeri karena dia bangun secara tiba-tiba. Ringisan itu tidak berlangsung lama saat Ana mulai menyadari sesuatu. Dia menemukan sebuah batu besar yang berada tepat di kaki tempat tidurnya.

Ana meraih batu itu dan bergantian menatap jendela kamarnya yang pecah. Ana melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 1 malam. Dengan takut dia berjalan ke arah jendela untuk melihat siapa yang melakukan ini. Saat berjalan mendekat, Ana terkejut saat sebuah batu kembali terlempar masuk ke dalam kamarnya. Kali ini lebih kecil dan Ana bersyukur itu tidak mengenai dirinya.

Bukannya menjauh, Ana segera berlari untuk mendekat ke arah jendela. Dia ingin tahu siapa yang melakukan ini padanya, tapi dia tidak menemukan siapapun di sana. Keadaan sangat gelap dan Ana langsung merinding seketika. Saat masih melihat keadaan luar yang gelap, tiba-tiba Ana mendengar suara teriakan dari luar kamarnya.

"Kebakaran!"

"Semua bangun! kebakaran!"

"Semua keluar sekarang juga!"

Dengan segera Ana berlari ke arah pintu saat mendengar teriakan itu. Dia membuka pintu kamarnya namun tidak bisa dibuka. Ana meraih kunci di meja dan membukanya namun pintu itu tetap tidak bisa dibuka.

Hawa panas mulai terasa di kamarnya. Teriakan-teriakan teman kosnya juga masih terdengar. Ana terbatuk saat asap mulai masuk ke dalam kamarnya. Dia berteriak dan meminta tolong pada siapapun. Ana tidak bisa keluar dan entah kenapa pintunya tidak bisa dibuka.

"Siapapun tolong aku!" Ana terbatuk dan berjalan ke arah jendela untuk meminta pertolongan. Di saat seperti ini dia menyesal memilih kamar di lantai dua.

"Tolong!" Ana berteriak saat semua teman kosnya sudah berada di luar. Dia terbatuk, dadanya mulai sesak, dan Ana langsung terduduk saat dia mulai sulit untuk bernafas.

Saat mulai lemas, Ana dapat mendengar suara pintu kamar yang dibuka secara paksa. Dia mendesah lega saat melihat para pemadam kebaran datang menyelamatkannya. Ana yang sudah tidak kuat lagi langsung tidak sadarkan diri.

***

Ana duduk merenung di ranjang rumah sakit. Ingatannya kembali berputar pada kejadian semalam. Entah kenapa dia merasakan sesuatu yang ganjal di sini. Jika tidak mengingat sebuah batu yang menghantam kamarnya tentu dia tidak akan berpikir seperti itu. Sepertinya memang ada orang yang ingin membuatnya terluka.

Lamunan Ana buyar saat pintu kamar inapnya terbuka dan muncul kedua temannya yang diantar oleh perawat. "Apa yang terjadi?" tanya Ally dan Andre kompak.

Ana hanya menggelengkan kepalanya lemah, "Aku nggak tau."

"Semua orang selamat?" Ana kembali mengangguk. Teman-teman kosnya memang selamat, hanya dirinya saja yang terkunci di dalam kamar.

"Kamu tenang ya, Na. Semua pasti baik-baik aja." Ally mengelus punggung Ana pelan berusaha untuk menenangkan sahabatnya.

"Kayaknya ada yang aneh di sini."

Ana menoleh ke arah Andre dan mengangguk setuju. "Sama, Ndre. Aku juga mikir gitu."

"Maksudnya memang ada orang yang sengaja mekakukan ini, gitu?" tanya Ally yang dijawab anggukan oleh Andre.

"Kita tunggu keterangan dari polisi aja." Ana mengangguk dan memejamkan matanya. Entah kenapa kepalanya sangat pusing sedari tadi.

Ana kembali membuka matanya saat teringat dengan Davin. Dia tidak memberitahu pria itu tentang kejadian ini, lagi pula dia juga tidak mengalami luka serius. Hanya saja memang kakinya terluka karena terkena pecahan jendela saat mencoba untuk menyelamatkan diri.

Ana juga sudah menghubungi keluarganya. Orang tuanya langsung mengambil penerbangan pertama dari Surabaya. Selain memang rindu, dia juga membutuhkan semangat dari keluarganya. Ana tidak bisa sendiri saat ini. Kejadian yang terus bertubi-tubi menghampirinya membuatnya sedikit takut.

"Ya udah, Na. Kamu istirahat aja dulu. Kita mau balik ke kamar." Ana hanya mengangguk dan mulai merebahkan tubuhnya.

***

Ana terbangun mendengar pintu yang dibuka dengan kencang. Kepalanya kembali berdenyut saat bangun dengan tiba-tiba seperti ini. Dia ingin marah tapi saat melihat Davin, Ana mengurungkan niatnya. Pria itu tidak datang sendiri. Ada Bram dan Diva di belakangnya.

Siapa yang memberitahu mereka?

"Apa yang terjadi?" tanya Bram.

"Kosku kebakaran."

"Kamu nggak papa kan, Na?" tanya Diva khawatir.

Ana hanya mengangguk dan tersenyum mencoba meyakinkan jika dia memang baik-baik saja. Ana menoleh ke arah Davin yang terlihat seperti melamun tapi tangannya tidak berhenti untuk mengelus kepalanya. Perlahan Ana meraih tangan Davin yang membuat lamunan pria itu buyar.

"Kenapa?" tanya Ana bingung melihat tingkah Davin.

Davin hanya menggeleng, "Ada yang luka." Tatapannya beralih pada kaki Ana yang tertutup perban.

"Iya, kena pecahan kaca," ucap Ana sambil menggoyangkan jempol kakinya.

"Pecahan jendela?" tanya Bram menebak.

"Iya. Kayanya ada orang yang ngelempar batu deh pas kebakaran. Dua kali."

Dengan cepat Davin menatap Bram dan begitupun sebaliknya. Mereka berpandangan dengan diam seolah sedang berkomunikasi. Belum sempat Ana bertanya, dia melihat Bram mengangguk dan memutuskan kontak mata mereka.

"Nggak usah mikir apa-apa. Istirahat aja." Davin kembali mengelus kepala Ana.

Saat akan memejamkan mata, pintu kembali terbuka membuat Ana mendengus dan ingin marah. Dia hanya ingin tidur, kepalanya pusing sekali sedari tadi.

"Ana sayang?" Ana terkejut saat mendengar suara yang dia rindukan.

"Mama!"

"Kok bisa sih, Na?" Ibu Ana menghampiri anaknya yang sudah terduduk di ranjang rumah sakit.

"Nggak tau, Ma." Ana merasa matanya memanas dan mulai menangis. Dia sangat merindukan ibunya.

"Gini nih kalo nggak nurut sama Mama. Dibilang nggak usah sekolah jauh-jauh juga."

"Ma, anakmu ini sakit malah diomelin," ucap Yoga menghampiri adiknya.

"Kamu Davinno kan?" tanya Ayah Ana yang memperhatikan Davin sedari tadi.

Davin hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Dia tidak menyangka jika akan bertemu kembali dengan keluarga Ana di saat seperti ini. Jujur saja dia tidak tahu harus bertindak bagaimana di depan keluarga Ana.

"Kamu sudah dewasa sekarang." Ayah Ana menepuk bahu Davin pelan.

"Kok bisa? Kamu di Indonesia sekarang?" tanya Yoga.

"Iya, Mas. Udah di sini 7 tahun."

Yoga hanya mengangguk, tapi dia kembali menatap Davin dengan mata yang menyipit saat menyadari sesuatu, "Kok kamu ada disini sama adikku?"

"Maaf kalau belum meminta ijin sebelumnya, tapi saya dan Ana sudah berpacaran. Saya harap kalian merestui hubungan kami," jawab Davin dengan mantap.

"Apa?!" teriak keluarga Ana kompak.

"Kok bisa? Kamu nggak cerita sama Kakak, hah?" Ana hanya meringis.

"Baru beberapa bulan kok, Kak. Emang kalo ngomong bakal di ijinin pacaran?"

"Kalo sama Davin sih Mama nggak masalah," celetuk Ibu Ana yang membuat wajah Davin memerah.

"Kakak juga nggak masalah, dia udah terbukti bisa jagain kamu."

"Kalau gini kan papa bisa lega lepasin kamu hidup sendiri di Jakarta. Ada Davin yang jagain kamu."

"Terima kasih. Saya janji akan menjaga Ana dengan baik," ucap Davin saat mendengar respon baik dari keluarga Ana.

"Panggil Mama aja, Vin. Kan calon mantu."

Tawa Ana meledak saat melihat wajah Davin kembali memerah. Bukan hanya Ana, namun Diva dan Bram juga ikut tertawa. Kapan lagi mereka bisa melihat Davin yang berubah menjadi kucing manis seperti ini? Ana mengulum bibirnya menahan tawa saat Davin menatapanya tajam.

"Oh iya, Ma. Ini adik saya Diva dan suaminya, Bram." Davin memperkenalkan Diva dan Bram. Mereka kembali berbincang-bincang dengan sesekali bercanda. Seolah melupakan keadaan Ana yang menjadi tujuan mereka. Namun Ana tidak masalah, dia bersyukur jika di saat masalah datang di situ juga ada kebahagian yang mendekat.

***

TBC

Follow ig : viallynn.story

Jangan lupa vote dan comment nya ya 😘

Viallynn

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top