Part 12

Ana mengusap kedua tangannya senang saat makanan yang dia pesan telah datang. Andre hanya pasrah begitu melihat banyaknya makanan yang dipesan oleh temannya itu. Jika bukan karena kalah taruhan, dia tidak akan mau melakukan ini. Untung saja ayahnya memberi uang saku yang cukup seolah paham jika dia akan bertemu dengan manusia berspesies aneh seperti Ally dan Ana.

"Habis ini nambah ya?" ucap Ally membuat wajah Andre berubah kusut.

"Udah dong, kalian makan udah habis 250 ribu ini."

"Kan belum 300 ribu," balas Ana yang diangguki semangat oleh Ally.

"Anggap aja ini sebagai ucapan terima kasih kamu sama kita karena udah mau nampung kamu. Dapet nilai bagus juga buat kamu kan?" Sambung Ally.

"Terserah deh, terserah! Makan aja sepuasnya."

"Siap!" Ana dan Ally menjawab dengan kompak.

Setelah beberapa hari dekat dengan Andre, prasangka buruk Ana terhadap pria itu mulai berubah. Andre memang terkenal malas dan selalu rusuh di kelas, tapi ternyata di balik sifat itu dia juga penurut. Pria itu tidak pernah protes sedikitpun saat dirinya dan Ally memintanya untuk melakukan sesuatu.

Seperti siang ini, karena kalah taruhan akhirnya Andre rela jika dompetnya dikuras habis oleh Ana dan Ally, tapi itu tidak masalah untuknya. Hitung-hitung dia ingin mengucapkan terima kasih karena hanya mereka berdua yang mau menampungnya di saat tidak ada mahasiswa lain yang mengajaknya untuk berkelompok.

Seperti ucapannya tadi, Ally kembali memesan es krim sebagai pencuci mulut. Ana memesan rasa vanilla dan Ally rasa coklat, sedangkan Andre memilih rasa durian. Mereka menunggu pesanan sambil berbincang-bincang, lebih tepatnya memojokkan Andre. Jangan katakan Ana jahat, karena wajah memelas Andre itu membuatnya ingin selalu menjahilinya.

Pesanan sudah datang dan entah kenapa bau durian yang masuk ke indra penciuman Ana membuatnya menginginkan es krim itu sekarang. Ana menatap es krim miliknya dan milik Andre secara bergantian. Dia jadi bimbang karena dia lebih menginginkan es krim Andre sekarang.

"Ndre, tuker dong?" Ana meminta dengan wajah memelasnya.

Andre menatap Ana bingung, tapi setelah Ana menunjuk es krimnya Andre langsung paham.

"Nggak mau!" Tolak Andre sambil menarik es krimnya menjauh.

"Aku pingin yang durian, Ndre. Tuker ya?"

"Kenapa tadi pesen vanilla kalo pingin durian?"

"Salah sendiri kamu pesen durian, aku kan jadi pengen!" ucap Ana tidak terima.

"Nggih ndoro, saya yang salah. Nih makan! Sama sendoknya sekalian biar mampus!" Kesal Andre sambil mendorong es krimnya.

Ana menikmati es krimnya dengan senang. Sesekali dia juga tertawa melihat tingkah Ally dan Andre yang selalu berdebat. Entah kenapa Ana merasa lucu dengan tingkah laku kedua temannya itu, mereka selalu bertengkar tapi tak jarang Andre juga menggoda Ally sampai pipi sahabatnya itu memerah.

Ana kembali tertawa saat tidak sengaja Andre jatuh dari kursinya. Namun tawa itu tidak berlangsung lama saat dia melihat tubuh Andre yang mulai kejang-kejang. Bahkan mulut pria itu mengeluarkan busa yang membuat Ally berteriak histeris.

Dengan cepat Ana menghampiri Andre yang sudah tergeletak di atas lantai. Ditepuknya pipi pria itu berulang kali. Perasaan Ana mulai resah sekarang. Apa yang terjadi pada Andre? Kenapa pria itu tiba-tiba menjadi seperti ini?

Ana jatuh terduduk di samping Andre. Tangannya bergetar dengan hebat. Dia menelan ludahnya sulit saat melihat bibir Andre mulai berubah menjadi biru. Teriakan Ally membuat semua orang mulai menghampiri mereka dan menolong Andre. Ana masih terdiam sampai Ally menariknya untuk menyusul Andre.

***

Ana menatap Andre dari luar kamar dengan pandangan sedih. Sudah 2 hari ini pria itu dirawat di rumah sakit dan belum sadar karena koma. Dokter mengatakan jika Andre mengalami keracunan. Entah zat apa yang ada di dalam es krim itu sehingga membuat Andre koma, Ana tidak tahu.

Dia menjadi merasa bersalah sekarang. Seharusnya Ana yang berada di posisi pria itu jika dia tidak menukar es krimnya. Orang tua Andre tentu tidak tinggal diam. Mereka mengusut kasus anaknya sampai tuntas, namun masih belum terpecahkan. Entah itu percobaan pembunuhan atau murni ketidak sengajaan. Ana dan Ally juga sempat menjalani pemeriksaan namun tidak terbukti bersalah. Polisi juga sudah menggeledah kafe dan tidak menemukan apapun, semuanya bersih.

Mata Ana memanas melihat tubuh Andre yang sedang terbaring lemah dengan alat-alat bantu di sekitarnya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa selain berdoa kepada Tuhan agar Andre cepat sadar. Biar bagaimanapun Ana merasa kasihan melihat orang tua Andre yang terlihat sangat sedih.

Ana masih terdiam sampai dia merasakan tepukan pelan pada bahunya. Dia menoleh dan menemukan Davin di sana. Ana memang meminta pria itu untuk menjemputnya di rumah sakit. Sudah 2 hari ini dia dan Ally rutin menjenguk Andre meskipun tidak secara bersamaan. Dia juga bergantian membawakan makanan untuk Ibu Andre yang selalu menunggu anaknya untuk segera bangun dari komanya.

"Kenapa?" tanya Davin sambil mengelus mata Ana yang memerah.

Ana hanya menggeleng dan menghirup ingus yang ada di hidungnya. Dia berusaha untuk menahan tangisnya agar tidak keluar sedari tadi. Anggap saja dia cengeng, karena itu memang benar adanya.

"Kenapa Ana?" tanya Davin sekali lagi.

"Andre masih belum bangun, Mas."

"Kata dokter gimana?"

Ana kembali menggeleng, "Masih belum ada perkembangan. Aku takut, Mas. Ini semua salahku, aku yang-"

"Ana dengerin aku." Davin meraih bahu Ana dan menatap matanya dalam, "Ini semua sudah takdir, berhenti nyalahin diri sendiri dan terus berdoa supaya Andre cepat sadar. Kamu masih punya utang terima kasih sama dia karena secara nggak langsung dia udah nolongin kamu."

Ana mengangguk dan tersenyum lemah. Dia bersyukur ada Davin di sini sehingga dia tidak merasa sendiri. Jika biasanya Ana akan malas saat mendengar ceramah Davin, tapi kali ini berbeda. Dia membutuhkan kalimat itu sekarang untuk menyemangati dirinya.

Ana kembali menatap Andre dan tersenyum tipis. Meskipun temannya itu terkenal sebagai biang masalah dan jarang berkomunikasi dengan teman lainnya tapi Ana tahu jika Andre adalah teman yang baik. Jika tidak, mungkin dia sudah pergi jauh saat mengetahui sifat Ana dan Ally yang menyebalkan.

"Ayo pulang." Davin berbalik dan meninggalkannya begitu saja. Melihat itu Ana mendengus kesal. Kenapa cepat sekali pria itu merubah suasana hatinya?

Ada maunya aja manis-manis, pas gini aja langsung sadis!

***

Ana dan Ally keluar dari restoran seberang rumah sakit setelah membeli makanan untuk orang tua Andre. Kali ini mereka menjenguk Andre bersama setelah pulang kuliah. Ana dan Ally mulai menyebrang jalan dengan hati-hati. Saat akan sampai di seberang jalan, tiba-tiba Ally berteriak dan mendorong Ana kencang hingga dia terjatuh di trotoar. Ana meringis dan menyentuh kepalanya yang menghantam trotoar dengan keras.

Saat penglihatannya mulai stabil, Ana berusaha mencari keberadaan Ally. Tubuhnya mendadak lemas saat dia mendapati tubuh Ally yang tergeletak dengan banyak darah di sekitarnya. Ana tidak menyangka jika Ally yang tertabrak mobil hanya karena menolong dirinya.

Tangis Ana langsung pecah. Dia berteriak tanpa memperdulikan kepalanya yang juga mengeluarkan darah. Perlahan dia menghampiri Ally dan menyentuh bahunya pelan. Orang-orang mulai berdatangan dan langsung membawa Ally ke rumah sakit. Ana masih menangis sampai dia merasakan pandangannya mulai menggelap dan dia terjatuh pingsan.

***

Ana membuka matanya ketika rasa nyeri menyerang kepalanya. Dia melihat ke sekitar dan menemukan Diva dan Ibu Davin di sana. Ana mencoba mengingat apa yang telah terjadi dan dia langsung bangun ketika mengingat semuanya. Kepalanya kembali nyeri dan Ana tidak memperdulikan perban yang membelit kepalanya itu, dia harus bertemu dengan Ally sekarang. Dia ingin melihat keadaan sahabatnya.

"Sayang, kamu udah bangun?" Ana menganguk dan menerima air putih yang diberikan Diva.

"Ally dimana?" tanya Ana sambil beranjak turun dari ranjang rumah sakit.

"Ally, temanmu baik-baik aja," balas Diva berusaha mencegah Ana untuk turun.

"Aku mau ketemu Ally."

"Ana, kamu harus istirahat, Sayang."

"Aku mau ketemu Ally, Bun." Ana menunduk dan mulai menangis. Belum selesai masalah Andre, dia kembali merasa bersalah dengan nasib Ally.

"Ada apa ini?" Davin masuk ke dalam ruangan dan mendapati Ana yang menangis.

"Aku mau ketemu Ally, Mas."

"Kamu harus istirahat, Ana."

"Aku nggak papa, Mas. Kepalaku yang sakit bukan kakiku," sahut Ana dengan wajah yang memerah.

Davin menghela nafas kasar dan mengangguk menatap ibunya, "Aku antar."

Ana meraih tangan Davin untuk menuntunnya keluar kamar. Dia sedikit gemas saat Davin berjalan dengan sangat pelan, padahal dia tidak apa-apa. Mungkin kepalanya memang sedikit nyeri tapi ini tidak ada apa-apanya dibandingkan Ally yang berlumuran darah seperti tadi.

"Mas Davin nggak telepon orang tuaku kan?" Davin hanya menggeleng sebagai jawaban.

Dia membuka pintu ruangan Ally dan Ana langsunh menangis saat melihat keadaan sahabatnya itu. Ally memang sudah sadar tapi kaki kanannya patah dan kepalanya juga diperban sama sepertinya. Ana melepas tangan Davin dan mengampiri sahabatnya itu.

"Ally," panggil Ana pelan.

Ally mengela nafas kasar saat melihat sahabatnya itu menangis, "Aku nggak papa, Na. Ngga usah nangis. Dasar cengeng!"

"Kenapa kamu bantuin aku sih?" tanya Ana sambil menghapus air matanya.

"Terus ngebiarin kamu mati ketabrak, gitu?!"

"Ya tapi kan-"

"Haduh, udah deh jangan banyak ngomong, kepalaku sakit!"

Ana bergumam maaf dan membiarkan Ally memejamkan matanya. Dia beralih menatap orang tua Ally dan meminta maaf dengan apa yang terjadi. Biar bagaimanapun dia yang menyebabkan ini semua terjadi. Untung saja orang tua Ally tidak menyalahkannya dan memintanya kembali ke kamar untuk beristirahat.

***

Ana menyuapkan bubur pada Ally yang keadaannya sudah mulai membaik. Sudah 4 hari ini Ally menginap di rumah sakit dan kabar baiknya adalah Andre sudah sadar dari komanya 2 hari yang lalu. Jadi setiap hari Ana harus bolak-balik untuk bergantian menjenguk Ally dan Andre. Dia sungguh berutang nyawa kepada mereka. Jika tidak ada mereka, Ana tidak akan tahu nasibnya akan seperti apa sekarang.

"Gimana? Yang nabrak udah ketemu?" tanya Andre yang masih duduk di kursi roda.

"Belum."

Ana menunduk dan menatap bubur di pangkuannya dengan sedih, "Maaf ya gara-gara aku kalian jadi gini."

"Haduh minta maaf lagi dia," gumam Andre yang mulai bosan mendengar rasa bersalah dari Ana.

"Ya gimana dong? Kalo nggak bantuin aku kalian nggak akan mungkin nginep di sini."

"Takdir, Na. Ini itu namanya takdir. Ngerti?" Ana mendengus dan kembali menyuapkan bubur pada Ally agar sahabatnya itu berhenti mengomel.

"Tapi kok bisa gitu ya?" Andre bersandar sambil mengerutkan dahinya bingung.

"Apanya?" tanya Ally.

"Ya kok bisa aja gitu, dalam seminggu Ana hampir mati dua kali kalo nggak ada kita."

"Iya juga sih," gumam Ally, "Lain kali kamu nggak usah nyebrang jalan ya, Na. Kamu goblok banget kalo mau nyebrang." Lanjut Ally.

Ana hanya mendengus mendengarnya. Dia tidak menyalahkan sahabatnya, karena itu memang benar adanya. Sudah 3 kali dia menyeberang jalan dan semuanya akan berakhir mengenaskan jika tidak ada yang menolongnya. Sepertinya dia harus mengikuti saran Ally untuk menjauh dari jalan raya agar dia tidak mati sia-sia.

***

TBC

Follow ig : viallynn.story

Jangan lupa vote dan comment nya ya 😘

Viallynn

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top