Part 10

Ana mengelap meja nomor 8 dengan cepat. Dia harus segera membersihkan meja yang lain agar bisa digunakan kembali. Pelanggan kafe hari ini cukup ramai, bahkan Ana tidak sempat minum untuk sekedar meredakan rasa hausnya.

Entah apa yang merasuki Ana hingga membuat keputusan untuk bekerja. Bahkan orang tuanya pun tidak tahu apa yang dia lakukan saat ini. Ally yang jengah dengan Ana yang selalu murung akhirnya menawarkan pekerjaan yang langsung disetujui olehnya.

Sebenarnya Ana menganggap jika ini hanya pengalihan saja, agar otaknya tidak terus tertuju pada Davin, pria yang tega membuatnya sakit hati untuk yang pertama kali karena cinta. Selain karena Davin, Ana juga ingin memanfaatkan waktu luangnya yang masih semester awal ini untuk menambah pengalaman, dan uang tentu saja.

"Ana tolong ambilkan piring kotor di meja 10!" Ana mengangguk dan memasukkan kain lapnya kedalam kantong kain yang terikat di pinggangnya.

Dengan cepat dia bergegas mengambil piring sisa makan itu dan membawanya ke dapur, kemudian dia kembali ke meja yang sama untuk mengelap meja kotor itu. Ana mendengus saat melihat ada noda yang sulit untuk dibersihkan. Dia harus menggosok meja itu berkali-kali sampai benar-benar bersih dan siap digunakan.

Saat Ana telah menyelesaikan pekerjaannya, dia bersandar di meja kasir sambil meminum air putihnya. Berharap jika air itu mampu menggantikan tenaga yang baru saja dia keluarkan. Saat ini, Ana hanya perlu menunggu meja kembali kosong dan siap untuk dibersihkan.

"Capek, Mbak?" Ana mendengus tanpa menoleh pada Ally yang berada di belakangnya.

Ana tersenyum saat pelanggan datang. Dia memang merasa lelah hari ini, tapi dia cukup senang dengan pekerjaannya. Pegawai yang rata-rata juga mahasiswa sepertinya membuat Ana merasa nyaman. Sudah 2 hari Ana bekerja di sini, ingatkan dia untuk menteraktir Ally karena sudah membantunya.

Kafe sunrise merupakan kafe yang cocok dengan selera anak muda jaman sekarang. Kafe berlantai dua itu memang ditujukan untuk anak muda sepertinya. Selain karena berada di lingkungan kampus, kafe ini juga di buat dengan sentuhan kayu yang membuat para pelanggan betah dan nyaman berada di sana selama berjam-jam.

"Itu meja 4 udah kosong, sini aku aja yang bersihin," ucap Ally menunjuk meja yang dimaksud.

"Serius?"

"Iya, kamu jaga kasir aja." Ana mengangguk dan memberikan kain lapnya pada Ally.

Ana mengelap tangannya dan berdiri di belakang kasir. Dia tersenyum ramah kepada setiap pelanggan yang membayar pesanan mereka. Ana melakukan pekerjaan itu dengan baik sampai akhirnya lonceng pintu kafe berbunyi menandakan jika ada pelanggan yang datang.

"Selamat datang sunshine!" Ana mengucapkan tagline dari kafenya sambil menunduk, sibuk dengan mesin kasirnya.

"Oh, jadi kamu kerja di sini?" Ana mengangkat kepalanya saat mendengar suara yang tidak asing.

Ana terdiam saat melihat Lucy berdiri di hadapannya dengan senyum sinisnya. Matanya kemudian beralih pada seorang pria yang berada di samping Lucy. Ana menunduk dan tersenyum pahit saat melihat Davin di sana. Dia tidak menyangka jika Davin akan menyakitinya seperti ini.

Ana yakin jika Davin melihatnya sekarang tapi pria itu tidak menyapanya, bahkan seolah tidak mengenalnya sama sekali. Seharusnya Ana tahu jika Davin hanya main-main setelah dia tidak menghubunginya selama hampir seminggu. Ana juga sudah mencoba melupakannya tapi dia kembali dibuat sesak dengan kedatangan Davin bersama Lucy saat ini.

"Mau pesan apa, Kak?" Ana tersenyum berusaha untuk menutupi rasa sakitnya.

"Aku mau es americano satu. Kamu mau apa, Vin?" Lucy bertanya sambil melingkarkan tangannya di lengan Davin.

Ana menatap Davin menunggu pria itu untuk mengatakan pesanannya. Sedikit lama menunggu ternyata pria itu hanya menggelengkan kepalanya. Ana menghela nafas kasar dan menulis pesanan Lucy.

"Oke, satu es americano ya, Kak. Atas nama siapa?"

"Davinno," ucap Lucy cepat.

Ana mengangguk dan menuliskan nama Davinno di gelas plastik. Setelah itu dia memberikannya pada barista, "Total 26 ribu, Kak. Mohon ditunggu 5 menit."

Ana mencoba bersabar saat Lucy tidak pergi dari hadapannya. Sepertinya wanita itu memang sengaja untuk menunggu di depan Ana agar bisa menunjukkan kedekatannya dengan Davin.

"Jadi sudah berapa lama kerja di sini?" tanya Lucy memecah keheningan.

"Baru 2 hari." Ana tersenyum palsu. Entah kenapa matanya melirik ke arah Davin dan benar saja pria itu masih menatapnya sedari tadi. Ana kembali menunduk untuk menghindari tatapan tajam itu.

Ana menerima kopi dari barista dan memberikannya pada Lucy, "Terima kasih dan sampai jumpa." Ana lagi-lagi kembali tersenyum sampai bayangan Lucy menghilang dari pintu. Senyum Ana langsung luntur dan dia memijat keningnya yang terasa berdenyut.

Ally yang melihat semuanya dari kejauhan langsung menghampiri sahabatnya. Dia khawatir jika Ana akan kembali sedih. Sudah cukup Ally melihat Ana menangisi pria pengecut seperti Davin dan dia tidak ingin melihatnya lagi.

"Ana jangan nangis lagi ya," ucap Ally khawatir begitu telah sampai di depan Ana.

"Parah! Parah banget mereka!" Ana bergumam sambil menggelengkan kepalanya tidak percaya, "Dia diem aja tadi kayak batu, dasar malin kundang!"

"Tapi kamu nggak papa kan?" Ally masih khawatir tanpa memperdulikan celotehan Ana.

"Aku nggak papa kok. Lagian aku juga udah capek nangis."

"Beneran?"

Ana mencebik tidak suka, "Iya, udah sana kerja lagi!"

Ana kembali terdiam begitu Ally berlalu pergi. Bohong jika dia tidak sedih, tapi dia memang sudah lelah untuk menangis. Ana tidak menyangka jika Davin bisa berbuat seperti ini padanya.

Seingat Ana, dia tidak pernah melakukan kesalahan tapi kenapa Davin memperlakukannya seperti ini. Memperlakukannya seperti orang asing. Ana tahu jika hubungannya dengan Davin cukup aneh dan terlalu cepat tapi apa tidak boleh jika dia berharap lebih?

***

Ana mengunci pintu kafe begitu jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. Sebenarnya ini bukan tugasnya karena ini adalah tugas Arman yang memilih untuk absen. Tidak ada wanita yang mendapatkan tugas untuk mengunci pintu karena memang kafe akan tutup di tengah malam.

Ana sedikit mendorong pintu untuk memastikan jika pintu sudah benar-benar terkunci. Setelah semua tugasnya selesai dia berbalik untuk pulang. Langkah kaki Ana terhenti saat melihat pria yang menghantui pikiranya akhir-akhir ini sudah berada di depannya.

Ana menghela nafas kasar dan berbelok untuk menghindari Davin. Baru beberapa langkah berjalan, sebuah tarikan membuat Ana kembali berbalik. Entah apa yang terjadi tapi saat ini dia sudah berada di pelukan Davin.

"Aku merindukanmu," ucap Davin lirih di telinga Ana.

Mata Ana kembali memanas mendengar itu. Air matanya keluar tanpa bisa dicegah. Dia sudah menahannya sejak tadi siang dan sepertinya pertahannya runtuh sekarang.

"Mas Davin jahat banget sih!" Ana terisak sambil memukul dada Davin.

Pria itu masih memeluk pinggang Ana dengan erat seolah tidak ingin melepaskannya sama sekali. "Maaf, aku minta maaf."

Ana masih terisak di pelukan Davin. Dia sangat merindukan pria itu. Ana tahu seharusnya dia mendorong Davin sekarang, tapi perasaanya tidak bisa lagi dicegah, dia benar-benar merindukan pria itu.

Davin merenggakan pelukannya dan meraih wajah Ana. Dihapusnya air mata itu dengan pelan. "Maaf, maaf, maaf." Davin berucap lemah.

Davin masih mengelus pipi Ana dan mencium kedua mata gadis itu lembut. Ana yang diperlakukan seperti itu kembali menangis. Dia sangat merindukan Davin tapi di sisi lain dia juga kecewa terhadap pria itu.

"Kenapa?" tanya Ana pelan seolah meminta penjelasan.

"Aku jelasin semuanya tapi nggak di sini." Setelah itu Davin menarik Ana untuk mengikutinya.

Ana sempat merasa ragu tapi dia tetap menurut saat Davin membawanya masuk ke dalam mobil. Ana merasa kecewa dengan pertahannya sendiri. Kenapa dia menjadi penurut seperti ini? Seharusnya dia memberontak bukan?

***

Ana terdiam di sofa saat Davin datang dengan cokelat panas di tangannya. Lagi-lagi apartemen pria itu menjadi tujuan. Davin tidak tahu lagi kemana harus membawa Ana di tengah malam seperti ini jika bukan di apartemennya.

"Minum." Ana menerima cangkir pemberian Davin dan meminumnya sedikit. Musim hujan seperti ini membuat udara malam menjadi semakin dingin.

Davin mengambil duduk di samping Ana dan menatapnya dalam, "Aku minta maaf."

Ana menghela nafas kasar dan menggeser duduknya untuk menjauh dari Davin. Dia sudah memantapkan hatinya untuk membuat usaha Davin tidak akan mudah kali ini. Dia sudah tahu akan kemana arah pembicaraan pria itu dan dia tidak ingin luluh lagi.

"Kenapa aku dibawa ke sini?" tanya Ana meletakkan cangkirnya di atas meja.

"Aku punya alasan, Ana."

"Penjelasan lagi?" Ana menatap Davin remeh.

Davin kembali mendekat dan menatap Ana tajam, mencoba menikmati wajah kekasihnya yang tampak sayu akhir-akhir ini. "Maaf." Hanya itu yang bisa Davin katakan.

Ana tersenyum kecut, "Sudah 3 kali minta maaf tapi aku belum paham. Mas Davin minta maaf buat apa?"

"Semuanya."

"Sebutkan?" Ana duduk bersandar dan melipat kedua tangannya di dada.

"Membuatmu marah, membuatmu menangis dan nggak hubungin kamu selama seminggu."

Ana memejamkan matanya mendengar ucapan Davin. Pria itu tahu akan kesalahannya tapi masih tetap saja dilakukan.

Dasar pria egois!

"Lucy." Ucapan Davin membuat Ana kembali membuka matanya, "Lucy melakukan percobaan bunuh diri 5 hari yang lalu."

"Apa?" Ana membulatkan matanya mendengar itu.

"Dia hampir bunuh diri saat tau aku akan menemuimu."

"Jadi?"

"Aku nggak bisa nolak saat papa minta aku buat jaga Lucy. Biar bagaimanapun juga dia adalah tanggung jawab papa."

"Tapi Mas Davin masih bisa bilang sama aku biar nggak salah paham?"

Davin menghela nafas panjang dan mengambil sesuatu dari kantong celananya. Dia melemparkan ponsel pada Ana yang diterima dengan sigap. "Masukkan nomormu di sana."

"Loh, kok ganti?" tanya Ana sambil mengamati ponsel Davin.

"Baru beli tadi, HP-ku rusak dibanting Lucy."

"Makanya Mas Davin nggak ngabarin aku selama seminggu?" Davin hanya mengangguk membenarkan ucapan Ana.

"Tapi kan masih bisa ketemu aku?" Ana masih tidak terima dengan penjelasan Davin. Tidak semudah itu dia mengambil hatinya kembali.

"Kalau bisa, udah dari dulu aku nemuin kamu." Davin meraih tangan Ana dan memainkan jari-jarinya. "Lucy ngikutin aku terus. Kalau masih nekat ketemu kamu dia bakal bunuh diri lagi."

Seketika Ana merinding mendengar begitu nekatnya Lucy. Wanita itu sudah gila, dia sudah dibutakan oleh cinta. Entah apa benar yang dirasakan Lucy pada Davin itu adalah cinta dan bukan obsesi semata?

"Ngeri." Ana bergedik ngeri dan mulai menyimpan nomornya di ponsel Davin.

"Jadi, apa kita baik-baik aja sekarang?"

"Terpaksa."

Davin mendengus mendengar itu. Dia meraih lengan Ana dan menariknya hingga jatuh ke pangkuannya. Tangan besarnya mengelus punggung Ana dan mencium pundaknya berulang kali. Ana sempat terkejut namun dia kembali tenang dan menyandarkan tubuhnya untuk semakin masuk ke pelukan Davin.

Mereka duduk dengan diam mencoba menikmati waktu yang ada. Jarang sekali Ana bisa merasakan kehangatan Davin seperti ini. Biasanya pria itu tidak pernah bersikap lembut dan selalu ingin menang sendiri.

Mata Davin menatap tajam pada ilustrasi perapian yang ditampilkan layar TV untuk menambah suasana ruangan menjadi hangat. Seolah terhipnotis, dia tidak berkedip sama sekali. Tangannya terkepal begitu teringat dengan tingkah Lucy yang membuatnya muak. Bahkan dia terpaksa harus meninggalkan Ana selama seminggu.

Sudah banyak cara yang Davin lakukan untuk membuat Lucy menjauh tapi itu tidak berhasil. Namun kali ini karena sudah lelah, akhirnya Davin menggunakan kekuasaannya. Dia berhasil membuat Lucy dipanggil untuk pemotretan di Singapura.

Tangan Davin masih mengelus punggung Ana sampai membuat mata gadis itu hampir terpejam karena rasa nyaman. Kehangatan itu tidak berlangsung lama saat tiba-tiba ponsel Davin berdering dan ternyata Lucy yang menghubunginya.

Saat Ana akan bergerak menjauh, Davin mencegahnya, "Tetap seperti ini."

"Tapi Lucy-"

"Biarkan." Bagaikan sebuah perintah, Ana menurut dan kembali memeluk pinggang Davin erat.

Ana tersenyum saat keresahan yang dia rasakan akhir-akhir ini telah menghilang. Sekarang dia tahu kenapa Davin melakukan ini semua. Seharusnya Ana tidak mengambil kesimpulan secara sepihak dan menyiksa dirinya sendiri.

"Jadi kita nggak jadi putus nih?" tanya Ana jahil.

Davin mengerutkan keningnya dan mendorong kepala Ana menjauh. Dia menatap gadis yang berada di pangkuannya itu dengan tajam. "Kita nggak akan pernah putus! Kalaupun putus, aku langsung lamar kamu nanti!"

Bukannya takut, Ana malah tertawa mendengar ucapan Davin. Perlahan dia mendekat dan mencium pipi Davin berulang kali. Ana melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Lucy pada Davin. Mulai sekarang hanya dirinya yang boleh menyentuh pria itu, tidak wanita lain.

Melihat tingkah Ana, mau tidak mau bibir Davin sedikit bergedut menahan senyum. Dia meraih kepala Ana dan mengecup bibirnya gemas. Setelah itu dia kembali menarik Ana ke pelukannya dan senyuman itu lepas dari bibirnya. Davin tersenyum melihat tingkah Ana yang membuatnya gila setengah mati.

"Jangan pernah ragukan aku Ana, sembilan tahun mencarimu bukanlah waktu yang singkat."

"Aku tau." Ana mulai memejamkan matanya. Dia mengantuk dan ingin tidur di pelukan Davin saat ini.

Entah sejak kapan, tapi Davin benar-benar jatuh hati pada gadis di pelukannya saat ini.

***

TBC

Follow ig : viallynn.story

Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘

Viallynn

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top