Part 1

Sepuluh tahun kemudian..

Terik matahari yang menyengat tidak menghalangi Ana untuk datang ke kampus. Hari ini adalah hari Jumat yang berarti seharusnya ia tidak ada kelas. Namun, saat Ana sedang membersihkan kamarnya, dia mendapat telepon dari sahabatnya untuk segera datang ke kampus. Ana terlalu fokus dengan kegiatannya sehingga tidak melihat notifikasi grup jika ada kuis dadakan siang ini.

Jakarta adalah kota yang dipilih Ana untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Terlalu beresiko mengingat begitu cerobohnya dia. Namun dengan tekad dan kemauan, akhirnya orang tua Ana rela melepaskan anaknya untuk hidup mandiri, jauh dari kota asalnya. Kadang kemandirian akan menumbuhkan rasa kedewasaan. Prinsip itulah yang dipegang Ana sehingga dia memilih untuk hidup mandiri.

Sekarang Ana dapat merasakan sendiri bagaimana sulitnya hidup dengan uang jatah bulanannya. Kadang jika tidak bisa menahan diri, maka di akhir bulan dia akan berpuasa. Namun Ana tidak menyesal, dia malah menikmatinya. Menikmati hidup dengan menambah banyak pengalaman.

"Permisi, Pak. Maaf saya telat." Ana tersenyum konyol menatap dosennya yang tengah membagikan selembaran pada teman-temannya.

"Jam berapa ini? Saya sudah kasih waktu setengah jam buat anak yang sering telat-telat kayak kamu gini, tapi masih telat juga," celetuk dosennya yang membuat Ana menunduk pasrah.

"Maaf, Pak." Hanya itu yang bisa Ana ucapkan untuk saat ini.

"Ya sudah, masuk sana. Lain kali jangan seperti itu, coba hargai waktu."

Ana tersenyum dan mengangguk semangat. "Siap, Pak! Terima kasih."

"Nanti malam jangan lupa kamu kirimkan artikel berita tentang perang timur tengah." Langkah Ana terhenti dan menatap dosennya bingung.

"Maksudnya Pak?"

"Kamu saya kasih tugas, buat artikel berita tentang timur tengah. Satu saja tapi pakai bahasa inggris."

Ana mendadak lemas mendengar itu. Dia pikir dosennya sedang berbaik hati dengan mengizinkannya masuk kelas tanpa hukuman. Namun tetap saja hukuman akan dia dapatkan. Seharusnya dia berhati-hati dengan dosen satu ini, mengingat begitu banyak kejutan yang membuat mahasiswa mendadak pusing seperti ini.

"Kenapa?" Ana menggeleng lemah sebagai jawaban. Membantah pun percuma rasanya.

"Nanti malam saya kirim lewat email, Pak." Setelah itu Ana duduk dan menatap kesal pada sahabatnya yang tertawa dalam diam. Sangat tidak membantu.

***

Kantin tidak terlalu sesak kali ini mengingat jika bukan lagi jam makan siang. Hari yang menjelang sore hanya menyisakan beberapa manusia yang tengah menikmati waktu luang bersama teman.

"Mbak Ida, pecel satu ya, Mbak. Lauknya telur aja, sayurnya dikit, nasi sama togenya banyakin biar subur, jangan lupa kerupuknya. Minumnya es teh ya, esnya banyakin. Nggak pake lama dan terima kasih." Ana memesan makanannya dalam satu tarikan nafas.

"Makan modal 15 ribu aja banyak mau," protes Ally pada Ana.

"Namanya juga tanggal tua."

"Ya udah, Mbak. Aku samain aja makanannya," ucap Ally mengikuti Ana.

Ana yang memang perasaannya sudah tidak baik semenjak kuis tadi hanya melirik sahabatnya kesal. Memang sedikit mengebalkan mempunyai sahabat seperti Ally, tapi mau bagaimana lagi, sepertinya hanya dia yang mau berteman dengan orang konyol seperti Ana. Mereka cocok, itulah alasannya.

Satu suapan pertama Ana sudah mulai tersenyum lebar. Memang makanan adalah kelemahannya. Ana begitu menyukainya sampai anehnya bisa melupakan harga dirinya sendiri.

Ana begitu menikmati makananya. Makanan sederhana seperti inilah yang membuatnya teringat akan ibunya. Memasak adalah kegiatan yang disukai ibunya, okeh karena itu hanya dengan makanan, Ana merasa dekat dengan ibunya bahkan keluarganya.

Jika dulu Ana merasa biasa jika tidak menghabiskan makanan, tapi untuk sekarang dia mencoba untuk merubah itu. Entah kenapa melihat sesendok nasi yang tersisa saja membuatnya sedih dan tidak rela. Itulah yang membuat berat badannya naik 3 kilo dalam beberapa bulan terakhir ini.

Setidaknya jauh dari rumah dan keluarga membuat Ana sangat menghargai sesuatu yang datang di hidupnya. Ana menganggapnya sebuah pelajaran berharga yang tidak akan dia dapatkan di temoat lain.

"Ana!" Ana mengangkat kepalanya dan menatap Sarah yang memanggilnya.

"Ada apa, Kak?" tanya Ana sambil memakan suapan terakhir makanannya.

Sarah tersenyum dan duduk di sebelah Ally, "Kamu hari senin ada kelas, nggak?"

"Ada tapi pagi. Kenapa emangnya?"

"Kamu gantiin Mas Adit besok Senin ya, buat liputan acara seminar di Fakultas Bisnis." Ana terdiam dengan bingung, sebenarnya dia sedikit malas karena minggu kemarin dia sudah menjadi tim kreatif di acara musik.

"Kan minggu kemarin aku udah ngisi program, Kak. Yang lain deh ya," ucap Ana memohon. Selain karena malas, tugas yang menumpuk memang harus segera diselesaikan.

"Nggak ada yang bisa, Na. Kakak-kakak semester 3 juga pada PKL besok. Udah kamu aja ya, lumayan loh bisa masuk seminar gratis, nambah ilmu juga. Mau ya?" Ana terdiam sambil menggaruk keningnya yang tidak gatal. Dia juga tidak enak jika menolak Sarah yang merupakan seniornya di Lab TV.

"Aku jadi apa? Terus pembicaranya siapa?" tanya Ana pada akhirnya.

"Kamu jadi campers, nggak susah, kan? Pembicaranya pembisnis sukses, masih muda, ganteng lagi. Seneng deh kamu liat yang bening-bening."

Ana mengangguk mengerti. "Ya udah aku mau, Kak. Kabarin aja besok waktunya. Oke."

"Oh siap, makasih ya, Na." Ana hanya mengangguk dan menatap Ally yang menatapnya bingung.

"Tugasmu apa kabar nanti?"

Ana mengangkat bahunya pasrah, "Gampang lah, aku kan pinternya kalau kepepet doang. Bisa kali nanti selesai cepet."

"Yakin banget kamu, tugas lagi banyak-banyaknya nih."

"Biarin, enak besok nggak masuk kelas." Ana menjulurkan lidahnya yang membuat Ally terdiam.

"Eh iya juga ya. Ikutan dong, Na. Jadi asisten kamu juga nggak papa. Males banget kelas Pak Broto."

"Bodo! Ikut kelas aja kamu biar pinter," ejek Ana sambil berjalan keluar kantin.

"Nyebelin kamu, Na! Untung aku sayang!" teriak Ally yang mengundang banyak mata untuk menatap mereka.

Ana hanya tertawa dan meninggalkan Ally ke tempat parkir. Dia harus pulang sekarang. Mengerjakan semua tugasnya sebelum tugas lainnya mulai berdatangan. Saat sedang memasang helm, Ally datang dengan banyak nyamilan di kantong plastik yang dia bawa.

"Aku ikut ke kosmu ya? Males pulang aku." Tanpa menunggu jawaban, Allly langsung duduk di atas sepeda membuat Ana menggelengkan kepalanya pasrah.

Ally adalah satu-satunya teman yang dekat dengan Ana sejak pertama kali masuk kampus. Sebenarnya dia mempunyai banyak teman, tapi mungkin hanya Ally yang bisa menerima kegilaan Ana. Entahlah, mungkin mereka berdua sama-sama konyol. Itulah yang membuat mereka dekat. Lagipula hanya Ally yang selalu menemaninya jika dia memerlukan bantuan.

Percayalah, setelah Ana hidup sendiri, dia menyangkal habis-habisan tentang kehidupan anak kuliahan di FTV. Dia tidak merasakan kebahagian yang sama dengan apa yang mereka rasakan. Mungkin Ana belum merasakan padatnya jadwal karena masih semester pertama tapi dia yakin suatu saat nanti perpustakaan akan menjadi destinasi favoritnya.

***

Ana membuka pintu aula Fakultas Bisnis dengan cepat. Dia melirik ke arah jam tangan sebentar dan kembali berjalan. Dia terlambat, lebih tepatnya kesiangan. Terlihat sudah banyak kru TV kampus yang sedang menyiapkan alat untuk liputan nanti. Tadi Sarah juga sudah menghubunginya berkali-kali untuk melakukan briefing terlebih dahulu sebelum liputan jam 9 nanti.

"Pagi, Kak Sarah," sapa Ana memperlihatkan senyum polosnyq.

Sarah hanya melirik Ana sebentar dan mendengus jengkel. "Udah sana ke Bang Alex," ketusnya.

"Maaf deh, belum mulai juga, kan? Semalem aku habis begadang nonton film. Film itu tuh yang lagi rame, bagus banget kak sumpah! Masa ya si-"

"Udah! Nggak usah spoiler kamu ya!" Ana hanya terkekeh mendengarnya. Dia dan Sarah memang termasuk movie addict, mereka selalu sharing tentang film-film terbaru.

"Katanya mau briefing dulu? Ayo, aku udah siap nih."

Tarikan pelan pada rambut Ana membuatnya menoleh ke belakang, "Briefing-nya udah selesai dari tadi. Nggak liat jam kamu? Udah jam setengah 9 juga baru dateng." Ana meringis begitu melihat Alex sudah berada di belakangnya.

Alex merupakan senior dan ketua lab TV di kampusnya, jadi Ana sedikit sungkan pada pria itu. Alex itu tampan tapi banyak yang bilang jika dia adalah pemain wanita. Jadi sebisa mungkin Ana tidak terlalu dekat dengannya. Bukannya percaya diri, tapi banyak yang bilang jika Ana adalah target Alex selanjutnya.

"Hai, Bang. Udah sarapan belum?" tanya Ana mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

"Kenapa baru dateng?" Alex menatap Ana lembut.

"Begadang, Bang. Nonton Film katanya. Padahal semalem aku juga begadang belajar rundown tapi nggak telat juga," sahut Sarah dengan sedikit ketus, masih kesal ternyata.

"Jangan marah-marah dong, Kak. Nanti mas Gio aku pepet, nih." Sarah semakin melotot saat Ana menyebut nama Gio, kekasihnya.

"Udah-udah, jangan ribut terus. Ana kamu pegang Cam 1 ya, sana cek kameramu dulu."

"Siap, Bos!"

***

Ana memfokuskan kamera pada MC yang sedang berbicara di panggung. Acara sudah dimulai dan aula terlihat seperti pelangi dengan warna almamater dari setiap universitas yang berbeda-beda, tapi tetap yang paling mendominasi adalah almamater kampus Ana.

"Mari kita sambut Bapak Davinno Rahardian, kami persilahkan!"

Suara tepuk tangan langsung memenuhi aula, terdengar juga suara teriakan wanita dan siulan. Ana sempat bingung dengan kehebohan yang terjadi tapi setelah melihat pria berjas naik ke atas panggung, dia mulai mengerti kenapa para mahasiswi terlihat sangat bersemangat.

Ana menatap pria di atas panggung itu dengan mata yang tak berkedip. Jika ketampanan Alex termasuk kategori di atas rata-rata maka pria yang berdiri dengan gagah di sana sudah berada di level tertinggi, setinggi langit.

"Sungguh dasyat ciptaanmu, Tuhan!" ucap Ana cukup keras, sedetik kemudian dia merasakan gulungan kertas yang mendarat di kepalanya. Siapa lagi kalau bukan Sarah, dia melotot mengingatkan Ana untuk diam, bisa saja suaranya akan bocor ke dalam rekaman video nanti.

Benar apa yang dikatakan Sarah, pembicara kali ini benar-benar sangat istimewa. Tidak heran jika tiket terjual habis dengan sangat cepat. Ana terdiam memerhatikan pria yang sedang berbicara itu. Setelah dipikir-pikir, Ana akan sedikit menurunkan tingkat ketampanannya karena pria itu terlihat sangat serius dan tidak menunjukkan senyumnya sedikitpun.

***

Seminar sudah selesai sejak 15 menit yang lalu. Kru TV kampus juga sudah mengangkut alat-alat untuk dikembalikan ke studio. Ana dan kru lainnya sedang makan sekarang. Mereka mendapatkan jatah nasi kotak dari pihak penyelenggara.

"Eh, Pak Davinno tadi pidatonya keren banget ya."

"Pidatonya yang keren apa orangnya?"

"Ya orangnya, dong."

"Emang Pak Davinno ganteng banget tadi, wibawanya dapet. Jadi pingin bawa ke kamar."

Ana terbatuk saat mendengar ucapan sekelompok wanita di belakangnya. Memang benar, kesan pertama yang dia lihat dari Davinno Rahardian adalah tampan, bahkan sangat tampan tapi ketampanan itu sedikit berkurang karena sifat dinginnya.

"Aku udah selesai, pulang dulu ya, Kak. Mau bobok cantik."

"Aku antar ya, Na." Tiba-tiba Alex menawarkan diri.

Ana menggeleng cepat, "Nggak usah, Bang. Habisin aja makannya."

"Aku udah selesai, dianter aja ya?"

"Kosku deket, Bang. Depan kampus lagi. Aku juga bawa motor. Udah ya .... "

Ana berjalan ke arah tempat parkir sambil memainkan ponselnya. Ketika akan menyeberang jalan, tanpa Ana sadari sebuah mobil muncul dari tikungan dan akan menabraknya, tapi itu tidak terjadi karena mobil berhenti secara mendadak membuatnya terkejut.

Jantung Ana berdetak dengan kencang. Dilihat kakinya yang gemetar. Bagaimana tidak? Jika bagian depan mobil bahkan sudah menyentuh kakinya. Ana merasa bersyukur saat mobil itu tidak menabraknya tadi.

Aku belum mati kan?

"Dek? Adek nggak papa?" Ana masih diam. Dia terlalu terkejut dengan peristiwa yang baru saja terjadi.

"Dek?" panggilnya pria itu lagi.

"Aku masih hidup kan, Pak?"

"Iya Dek, masih hidup. Lain kali kalau nyeberang hati-hati ya, jangan main HP terus. Bahaya, jadi rusak kan HP-nya." Ana hanya mengangguk dengan pelan.

"Edo! Berikan kartu namaku. Kita harus ke kantor sekarang!" ucap seseorang dari dalam mobil.

"Iya, Pak. Ini kartu nama bos saya, nanti HP-nya diganti. Lain kali hati-hati ya. "

"Iya, Pak." Ana melangkah mundur, bermaksud memberi jalan pada mobil itu untuk lewat. Sebelum itu dia mengambil ponselnya terlebih dahulu yang sudah tergeletak mengenaskan di atas aspal.

Saat mobil berjalan di depannya, Ana melihat pria yang menjadi pembicara tadi sedang duduk di belakang dengan gaya dinginnya. Pria itu menatap Ana dengan lekat dan begitupun sebaliknya. Ana tidak tahu kenapa waktu seolah telah berhenti. Mereka saling bertatapan sampai mobil itu mulai menjauh.

Ana menyentuh dadanya yang berdetak dengan cepat. Dia tidak tahu kenapa tiba-tiba dadanya terasa sesak. Debarannya berbeda dengan peristiwa yang baru saja dia alami. Saat menatap mata tajam itu, Ana merasa bahwa hatinya yang kosong telah terisi kembali, tapi yang dia tidak tahu adalah sejak kapan hatinya terasa kosong?

***

TBC

Follow ig : viallynn.story

Jangan lupa vote dan commentnya yaa 😘

Viallynn

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top