03 - #DoppoLelah

"Mohon bantuannya, Doppo-san."

"A-aku juga, (Name)-san."

(Name) melihat Doppo yang tampak gugup, sebelum akhirnya memutar tubuhnya dengan tiba-tiba, mendapati ketiga adiknya sedang menatap rekan kerjanya dengan tatapan tajam.

Tiga Yamada bersaudara tentu kaget saat sang kakak memutar tubuh dengan tiba-tiba.

"Untuk informasi, aku bisa mengusir kalian jika kalian membuat masalah," ancam (Name), "lalu Jiro, Saburo—kenapa kalian menyalakan hypnosis mic kalian!?"

"Tapi Nee-san!" mereka bertiga langsung panik.

"Kenapa Kannonzaka-san memanggil Nee-san dengan nama depan Nee-san?" tanya Ichiro, "bukannya yang boleh memanggil—aduh!"

"Doppo-san sudah memanggil nama depanku sejak dulu, dan yang berhak menentukan siapa yang berhak memanggil nama depanku itu aku, Ichiro," jelas (Name) setelah memukul pelan pundak Ichiro, "jangan lebay—aku hanya memukulmu dengan pelan."

Ichiro memasang wajah sedih, lalu tangannya menyentuh bagian jantungnya berada.

"Tapi yang di sini sakit, Nee-san."

"Aku tidak memukulmu di sana," sahut (Name) datar lalu kembali menoleh ke arah Doppo, "mari kita langsung saja, Doppo-san."

Sementara Doppo, ingin segera pulang walaupun dia belum berangkat.

[][][]

(Name) memandang ketiga adiknya.

"Tidak."

"Bagaimana kalau Nee-san bertemu dengan Samatoki!?" tanya Ichiro memegang kedua pundak (Name).

"Jika aku bertemu dengannya, aku yakin tidak akan terjadi apa-apa."

"Tapi—"

"Lagi pula aku pergi bersama Doppo-san dan kami akan workshop, berhenti khawatir berlebihan!" potong (Name), "tunggu saja di kamarmu atau pergi jalan-jalan bersama Jiro dan Saburo. Sayang jika liburan sekolah kalian hanya seharian di kamar hotel, kan?"

"Kalau begitu, izinkan kami ikut Nee-san!" pinta Jiro.

"Apa kau tidak dengar ucapanku tadi, Jiro?" tanya (Name) menggelengkan kepalanya.

(Name) berpikir sejenak, sebelum akhirnya terlintas sebuah ide.

"Bagaimana kalau malam ini kita jalan-jalan bersama? Workshop-nya selesai sore hari, jadi kita ada waktu tiap malam. Bagaimana?"

Ekspresi mereka bertiga mencerah.

"Boleh!"

"Bagus!" sahut (Name) menepuk kepala mereka bertiga secara bergantian, "kalau begitu aku pergi dulu~"

Setelah itu (Name) berjalan menuju lift, meninggalkan mereka bertiga yang berada di lorong hotel, di depan kamar mereka. Perlu beberapa saat bagi mereka bertiga untuk mengerti situasi sepenuhnya, dan saat mereka menyadarinya, lift sudah tertutup sempurna.

"Kita diperdaya Nee-san!" pekik mereka berlutut di lantai.

Sementara (Name) yang sudah keluar dari lift mengirim pesan pada Doppo bahwa dia sudah berada di lobby, yang kemudian mendapat balasan bahwa Doppo akan segera ke sana.

'Tapi bertemu dengan Samatoki, ya?' pikir (Name) berjalan menuju salah satu sofa yang ada di lobby lalu duduk di sana, 'Yokohama itu besar, jadi kecil kemungkinan aku bertemu dengan Samatoki.'

"Dari awal aku juga tidak bilang padanya kalau aku sedang ada di Yokohama," gumam (Name) terkekeh, "workshop-ku juga berada di dalam gedung-jadi kemungkinan kami bertemu hanya sekarang, ya—tapi mana mungkin dia duduk di seberangku, kan?"

(Name) bersandar di sofa, lalu saat irisnya menatap ke depan, dia langsung melihat laki-laki berambut putih duduk di seberangnya, sedang merokok.

Dari wajah sangar sang laki-laki, (Name) kenal betul siapa sosok itu.

"Yo, kuso onna."

"... Samatoki?"

Iris (Name) melebar, dan spontan menutup mulutnya agar suara teriakan kaget tidak keluar dari mulutnya.

"Tunggu, kenapa kau ada di sini?" tanya (Name) setengah berbisik, setengah berteriak.

"Mencari informasi sekarang itu mudah, selama kau punya uang," sahut Samatoki menghembus asap rokok yang dia hirup.

Menyadari ucapan sebelumnya yang (Name) ucapkan dengan cukup keras, perempuan itu mulai merasa canggung, dan takut.

'Terlebih lagi aku baru saja membicarakannya—'

Iris (Name) melebar, lalu menunjuk Samatoki.

"Apa kau setan!?"

"Enak saja!"

Samatoki menghela napas panjang, kemudian menatap (Name).

"Kenapa tiba-tiba aku mendapat paket darimu?" tanya Samatoki, "terlebih lagi isinya adalah pakaian yang kuberikan."

(Name) langsung menghindari kontak mata dengan Samatoki.

"Em, bukannya aku sudah menjelaskannya di dalam surat yang ada bersama paket itu?" tanya (Name) mengangkat sebelah tangannya dengan takut-takut—seperti seorang murid yang diciduk guru.

"Hah, surat apa? Aku membakar surat itu," sahut Samatoki.

"Eh, dibakar!?"

"Aku mau dengar penjelasanmu langsung."

(Name) memandang heran Samatoki, lalu mengerutkan alisnya.

"Kenapa?"

Samatoki memandang (Name), lalu mengangkat sebelah alisnya.

"Kau ingin aku menjawab pertanyaan itu?"

"Tentu—" (Name) menghentikan ucapannya, mengingat beberapa kejadian yang lalu.

"Apa salahnya aku berbicara pada wanitaku, hm?"

"Sejak kapan aku jadi wanitamu?" "Sejak dulu."

Pipi (Name) memerah, dan dia hanya membuang pandangannya, tidak menyadari Samatoki yang menyeringai melihat reaksinya.

"—setelah kupikir-pikir, sepertinya aku tahu alasanmu," gumam (Name).

"Bagus, kalau begitu," sahut Samatoki, "jadi, apa alasanmu?"

"Em," saat iris (Name) menangkap sosok Doppo yang baru keluar dari lift—sang perempuan langsung berdiri, "a-akan kuberitahu lain kali. Aku sekarang sedang sibuk, sampai ketemu lagi, Samatoki."

Setelah itu (Name) berjalan cepat menuju Doppo, menarik tangan sang laki-laki dan mereka berdua pun keluar dari hotel. Sementara Samatoki hanya menghembus napasnya, menghabiskan rokok yang dia nyalakan, setelah itu membuangnya ke asbak yang disediakan di atas meja.

"Lain kali, katamu?"

Tangannya kemudian meraih saku celananya, mengeluarkan secarik kertas dengan tulis tangan yang khas, tulis tangan (Name).

Maaf aku harus mengembalikan pakaian ini karena adik-adikku tidak ingin aku menyimpan barang pemberianmu. Kau bisa menyumbangkannya, atau apa pun.

Tertanda, (Name).

Samatoki mendengus geli, mencium singkat kertas tersebut sebelum akhirnya menyimpannya ke dalam saku celananya. Setelah itu dia berdiri lalu berjalan keluar dari hotel.

"Persetan dengan adik-adimu, aku bebas memberi wanitaku hadiah, apa pun itu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top