#3
Tidak biasanya, tiba-tiba mama datang dan ikut makan malam di rumah, mereka makan tanpa bersuara. Saat selesai makan mama mengajak Zee duduk di sofa ruang tengah.
"Gimana sekolahmu sayang," tanya mama.
"Baik, ma," jawab Zee pelan.
"Gini sayang, mulai besok kalo nggak penting banget nggak usah ke mana-mana, ke sekolah ato ada kegiatan apapun, akan diantar oleh pak Tomo supir kepercayaan mama, ya sayang ya," ujar mama sambil mengusap rambut anaknya. Zee hanya menatap tak mengerti, tumben, pikirnya.
***
Pak Tomo orang yang ramah, selalu saja punya cerita setiap harinya yang bisa membuat Zee tersenyum. Zee bersyukur lagi dipertemukan dengan orang-orang yang baik, selain bi Munah dan ka Refan.
Pagi itu pak Tomo sudah duduk di teras dan menikmati kopi panasnya.
"Pagi kayak gini, minum kopi tanpa gula nggak masalah bagi saya non, asal liat non," rayu pak Tomo pagi-pagi saat Zee akan berangkat sekolah.
"Kok bisa pak?" tanya Zee penasaran.
"Karena senyum manis non, sudah semanis gula," ujar pak Tomo dengan mata terpejam. Dan Zee pun tertawa riang.
"Ah bapak ada-ada aja, bikin pagi ini Zee bersemangat ke sekolah," ujar Zee riang.
Sepanjang perjalanan ke sekolah pak Tomo bercerita apa saja yang bisa membuat Zee tertawa, biasanya Zee selalu merasa bosan perjalanan ke sekolah tapi sejak ada pak Tomo ia merasa perjalanan selalu terasa cepat. "Makasih bapak, sampai jumpa nanti yaa," ujar Zee riang.
"Eh non, jangan panggil bapak sama saya, nanti orang-orang pada heran, kok anaknya cuantik, tapi bapaknya kayak sodaraaan sama mbah mo yang ada di bonbin," ujar pak Tomo menggeleng keras. Zee melongo.
"Mbah mo siapa pak?" tanya Zee bingung. Pak Tomo menghela napas.
"Mbah monyet nooon," kata pak Tomo keras. Dan Zee tertawa terbahak-bahak. Lalu melambaikan tangan masuk ke sekolah.
Tanpa Zee sadari dari seberang jalan, tampak seorang laki-laki tegap, berkulit putih, berkacamata hitam, menatap sendu pada Zee yang masuk ke halaman sekolah.
Saat sudah duduk di dalam kelas tiba-tiba Mevi menarik bajunya.
"Heh nyet tumben, satu, sekarang kok pake sopir segala, tumben dua kok sekarang bisa senyum dirimu, tumben tiga rambutmu terlihat rapi, jawab nyet," tanya Mevi dengan wajah serius. Saat Zee akan menjawab tiba-tiba pak Kadarisman guru matematika masuk, ya udah ditunda sampai istirahat tiba.
Setelah waktu istirahat tiba, Mevi menarik Zee ke pojokan kantin dan menunggu jawaban Zee.
"Gini mak lampir," jawab Zee akan menjelaskan tapi dipotong oleh Mevi.
"Mak lampir, emang tampangku jelek apa?" tanya Mevi. Zee tertawa.
"Cerewetmu dan suaramu seperti mak lampir, ok aku jawab, pertama karena mama yang nyuru, kedua karena pak Tomo, ketiga karena aku pengen aja," jawab Zee sekenanya.
"Dasar monyet, jawaban ngaco gitu, gak jelas, apa alasan mama kamu sampek pake sopir segala kayak anak konglomerat, trus pak Tomo itu siapa, dan tumbenaaan kamu pengen rapih biasanyaaaa lebih bener bi munah rambutnya,"cecar Mevi. Zee tidak peduli ia malah memesan bakso dan es jeruk ke ibu kantin dan memakannya dengan lahap. Dari meja lain Farrel mengamati wajah Zee yang menikmati bakso dengan nikmat, dan Mevi melihat perih pemandangan itu. Zee tau ke mana arah mata Mevi makanya ia tidak pedulikan tatapan memelas dari Farrel. Biarlah dia belajar melupakan Zee, begitu pikir Zee. Ia tidak akan melukai sahabatnya yang lebih mirip sodara baginya. Cinta tidak penting dalam hidup Zee, ia lebih memikirkan menyembuhkan hatinya dari luka dalam.
Zee memandang jalan dengan resah, tumben pak Tomo terlambat menjemputnya, karena haus Zee membeli es krim murah meriah pinggir jalan, saat Zee akan menjilatnya tiba-tiba ada yang menubruknya dan es krimnya tumpah ke trotoar.
"Maaf, biar saya ganti," terdengar sebuah suara berat namun lembut. Zee menengadah karena laki-laki itu sangat tinggi.
"Nggak papa om, nggak papa, murah juga kok harganya," ujar Zee membungkuk hormat. Tapi si om tetap menuju abang penjual es krim dan membelinya dua, satu diberikannya pada Zee satu lagi dia nikmati sendiri.
"Terima kasih om," ujar Zee pelan. Zee duduk di bangku dekat abang penjual es krim dan om itu ikut duduk.
"Om nungguin anak om ya?" tanya Zee. Om itu gelagapan dan mengangguk.
"Kelas berapa om, kali saya kenal, saya kelas XI," ujar Zee. Si om seperti orang bingung.
"Emmm anak om kelas X,"ujar si om.
"Oh gak kenal klo sama adik kelas om," ujar Zee. Tiba-tiba muncul mobil yang menjemput Zee.
"Mari ooom, saya pulang dulu," pamit Zee dengan sopan. Si om mengangguk sambil tersenyum dan menatap Zee dengan tatapan sedih.
Sesampainya di dalam mobil.
"Kok lama sih pak Tomo tumben," tanya Zee.
"Iya non, tiba-tiba ibu minta anter muter-muter," jawab pak Tomo. Zee cuma menghela napas.
"Siapa tadi non, kok ngomong sama bapak-bapak?" tanya pak Tomo.
"Orang tua murid yang nunggu anaknya, nabrak Zee pas makan es krim, tumpah deh pak punya Zee, tapi diganti sama om itu," jawab Zee.
"Jangan ngomong sama orang yang nggak non kenal, bahaya, ini kota besar," ujar pak Tomo. Zee hanya mengangguk pelan.
Sesampainya di rumah, Zee melihat mobil Refan di luar, saat melangkahkan kaki menuju kamar, ia melihat Refan yang tidur di sofa. Dibiarkannya Refan tidur pasti dia kecapean setelah KKN selesai. Akhirnya Zee masuk ke kamarnya dan ganti baju. Saat akan ke ruang makan, ia masih melihat Refan yang tidur dengan napas teratur. Zee melangkah menuju Refan dan membangunkan.
"Kaa kaa Refan makan dulu yok," Zee mengguncang pelan bahu Refan. Akhirnya Refan bangun, duduk sejenak dan melihat Zee yang masih berdiri. Ia bangun dan mengikuti Zee ke ruang makan. Mereka makan tanpa bersuara. Setelah makan mereka duduk di ruang tengah, televisi hidup namun keduanya asyik dengan hp masing-masing. Tiba-tiba mama datang.
"Heiii Refan di sini juga yaaa, makasih sudah menemin Zee, kalo Refan gak ada kerjaan, ato lagi nyante gak sibuk urusan kampus, temenin Zee ya Refan," ujar mama Zee dengan suara manja. Zee hanya melirik sekilas pada mamanya dan kembali asyik dengan hpnya.
"Iya, tante, pasti," jawab Refan dengan cepat. Mama tersenyum lega.
"Mama pamit dulu yaaa, baik-baik kalian berdua," mama pamit dengan suara yang manja.
"Tumben kamu diantar jemput sopir Zee?" tanya Refan. Zee mengernyikan dahinya, pasti bi Munah yang ngasi tau.
"Mama yang nyuru, aku iyakan saja," sahut Zee pelan, matanya tetap pada layar ponselnya.
"Jalan yok Zee ke mall," ajak Refan.
"Ngapain ka?" tanya Zee enggan.
"Ya jalan aja Zee, nggak akan rame kok Zee kan udah selese liburannya, nggak akan desak-desakan lagi," ujar Refan. Zee mengangguk dan menuji ke kamar untuk ganti baju. Zee ke luar dengan baju santai, atasan kaos putih kedodoran, celana jins putih dan sneakers merah, tas merah kecil ia selempangkan di bahunya. Rambutnya yang berombak panjang ia biarkan tergerai. Sejenak Refan memandang Zee, cepat-cepat ia menunduk, membuang napas dan mengambil kunci mobil.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sesekali Refan melirik Zee yang melamun. Ingin sekali Refan mengelus kepalanya dan menanyakan apa yang adiknya pikirkan. Cepat-cepat ia buang pikiran aneh itu.
Benar kata Refan, suasana mall tidak begitu ramai, mereka bisa leluasa berjalan, hanya karena Refan yang tinggi menjulang selalu saja berjalan lebih cepat dan Zee selalu ketinggalan di belakang. Refan kadang harus menunggu Zee, padahal Zee sudah mempercepat langkah. Akhirnya Refan memegang tangan Zee agar bisa beriringan berjalan, awalnya Zee kaget, tapi akhirnya menurut saat Refan menggenggam tangannya lebih erat.
Sampailah mereka di tempat yang sangat mereka cari, gerai buku, Zee menarik tangannya dari genggaman Refan dan mulai memilih-milih novel remaja, sedang Refan mencari buku-buku yang berhubungan dengan penelitiannya, karena Refan sudah mulai menyusun proposal untuk skripsinya.
Saat asyik sedang memilih buku tiba-tiba Zee dikagetkan dengan sapaa seseorang.
"Azalea yaaa," suara berat nan lembut mengagetkan Zee.
"Eh om es krim kan," sapa Zee sopan.
"Om Hartono,"sahutnya sopan.
"Eh iya, maaf om Hartono," sapa Zee dengan malu.
"Dengan siapa Azalea ke sini?" terlihat wajah kawatir om Hartono, sambil menoleh kanan kiri.
"Sama ka Refan, om," jawab Zee yang bersamaan dengan Refan sudah berdiri di belakangnya.
"Oh iya, ini kenalkan om, kakak Zee, Refan," uajr Zee memperkenalkan Refan pada om Hartono. Om Hartono memandang Refan seperti sedang berpikir.
"Permisi, kami akan ke kasir," kata Refan sopan pada Om Hartono. Setelah om Hartono pergi Refan bertanya.
"Siapa dia Zee, maksudku kamu kenal di mana, kok bisa kenal sama om om," tanya Refan penuh selidik.
"Itu orang tua murid yang jemput anaknya di sekolah, nah saat nungguin anaknya itu dia nubruk Zee yang lagi makan es krim, tumpah deh dan dia gantiin es krim Zee, dan kenalan deh," Zee menjelaskan. Refan menatap Zee dengan tatapan aneh.
"Jangan kenalan sembarang ya Zee, dengan siapapun, aku melihat tatapan aneh orang itu padaku," ujar Refan. Setelah memilih buku mereka menuju kasir dan segera ke luar dari gerai buku.
Setelah membeli berbagai kudapan, ayam goreng dan kentang, mereka menuju tempat parkir.
"Kita makan di rumah saja ya Zee," ujar Refan, Zee hanya mengangguk. Mungkin karena capek, Zee tertidur selama perjalanan, sampai di rumah Zee pun, ia masih lelap. Refan memandangi wajah Zee yang tidur dengan napas teratur. Refan bingung dengan perasaannya, ia tidak ingin sampai ada perasaan lain pada Zee, namun akhir-akhir ini, ia selalu mengkhawatirkan Zee, ingin selalu melihat Zee meski sebentar. Zee menggeliat dan Refan tersadar dari lamunannya.
"Eh sudah sampe ya ka, maaf ketiduran, masuk yuk ka," ajak Zee pada Refan dan mereka berjakan beriringan masuk, membawa makanan dan buku-buku yang Zee beli.
Zee makan dengan lahap. Refan memandangnya sambil tersenyum.
"Lapar Zee?" goda Refan. Zee tersenyum dengan mulut penuh makanan. Akhirnya Refan merasa lapar melihat Zee makan seperi orang kalap.
"Kakak boleh nginep di sini Zee?" tanya Refan hati-hati. Zee terbelalak dan memeluk Refan seketika, Refan menahan napas saat Zee memeluknya dengan erat, tangannya mengepal dan ditahannya untuk tidak membalas pelukan Zee.
"Iyak ka, bener ya, temani Zee, tidur di kamar tamu saja," kata Zee riang dan melepaskan pelukannya.
"Aku tidur di sofa ini saja Zee," kata Refan menghembuskan napasnya dengan berat. Dengan riang Zee berlari ke kamarnya dan berganti baju. Ia siapkan bantal dan selimut untuk Refan. Lalu Zee duduk dekat Refan, dan berkata sambil tengadah memandang wajah Refan
"Terima kasih ka, sudah menganggap Zee benar-benar seperti adik kandung." Refan memandang wajah Zee sekilas dan mengangguk, wajah Zee begitu dekat, Refan menahan napas dan pura-pura memejamkan matanya.
"Eh kaka ngantuk ya, yawdah tidur ka, aku ke atas dulu ya ka, mau tidur juga,"ujar Zee riang. Refan membaringkan badannya, mencoba mengusir semua perasaan aneh, dan membuang kegugupannya. Dan akhirnya Refan tertidur.
Zee menghempaskan badannya ke kasur dengan perasaan ringan, ia bersyukur akhirnya ada yang menemaninya dan bisa di ajak berbicara di rumah yang besar ini, bi Munah memang pengasuh yang baik, hanya ia sangat jarang berbicara dengan Zee, entah mengapa, padahal jika dengan mamanya bi Munah bisa berbicara apa saja dan lama. Sebenarnya Zee merasa malu tadi, ia tidak sadar, karena sangat gembira sampai ia memeluk ka Refan, untung ka Refan baik ia hanya diam saja saat Zee memeluknya, ah bahagianya Zee akhirnya Tuhan mengabulkan salah satu permintaanya, agar ia tidak kesepian.
Zee membiarkan pintu kamarnya terbuka, biarlah, toh ada ka Refan yang menjaganya, pikir Zee.
Dini hari sekitar jam 02.00, Refan bangun, ia merasa haus. Ke dapur dan membasaha kerongkonganna dengan segelas air. Tiba-tiba, samar terdengar suara Zee dari lantai dua...papaaa....papaaa...aaahhh...aahhh...secepatnya Refan berlari ke ke atas. Di dalam kamar Zee, Refan menemukan Zee dengan mata terpejam, namun wajahnya gelisah sambil mulutnya memanggil-manggil papa berulang-ulang, Refan mendekati kasur Zee, ia melihat peluh membasahi kening Zee, napasnya tersengal, air mata meleleh di pipinya dan Refan segera menepuk lembut pipi Zee dan sedikit mengguncang bahunya.
"Zee...bangun Zee," suara Refan terdengan pelan. Zee membuka matanya dan memeluk Refan dengan erat.
"Papaaaa jangan tinggalkan Zee, papaaa," suara tangisan Zee terdengar menyayat hati. Refan agak ragu untuk memeluk Zee namun kondisi Zee saat ini perlu ditenangkan, diusapnya kepala Zee dengan lembut. Tiba-tiba bi Munah muncul di kamar Zee.
"Ah untunglah ada den Refan, kasian non Zee den, dia sering bermimpi kayak gitu den, makanya kasiaaan banget non Zee kalo sering sendiri sejak kecil ampe sekarang, sering-seringlah nginep di sini den, temani non Zee," ujar bi Munah dengan wajah memelas. Refan masih memeluk Zee, tanpa sadar ia cium kepala Zee, bi Munah segera ke luar dari kamar Zee.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top