6. Pagi Yang Semakin Aneh
Setelah selesai membaktikan dirinya sebagai anak yang rajin dengan memberi makan ikan di kolam, Teana naik ojek online ke kampus. Tak seperti perkiraan papanya, perjalanan ke kampus lancar jaya. Sepertinya para pendemo di depan gedung DPR itu juga ogah demo pagi-pagi karena mungkin belum sarapan seperti ikan-ikan koi Teana.
Teana berkuliah di Universitas X. Kompleks kampusnya terletak di bilangan Jakarta Barat, lokasinya berdekatan dengan tempat anak-anak heitz metropolitan gahol biasa nongkrong. Meski lokasinya strategis, Teana jarang bergaul di kafe-kafe seputaran kampus karena dia tipikal cewek yang nggak suka keramaian. Biasanya dia dan Bobo memilih jalan-jalan ke Mall Pondok Cabe-cabean yang sayangnya kini sudah tiada padahal usianya masih muda: baru setahun saja. Teana berjanji akan berkabung secara resmi untuk wafatnya mall favoritnya itu.
Ketika sampai, Teana langsung menuju lobi kampus.
"SHAAAAAYYYYYYY!"
Sosok Bobo yang bertubuh lebar berlari-lari menghampirinya. Setiap entakkan kakinya yang sebesar gedebong pisang menimbulkan gempa bumi kecil. Dari kejauhan, sahabat Teana itu tampak seperti versi mini Candi Borobudur.
"Haiiii mungil," sapa Teana. "Selamat pagi."
"Kangen deh gue sama elo, say!" Bobo membuka tangannya dan cipika-cipiki dengan Teana, seperti yang biasa dilakukan ibu-ibu arisan kalau baru berjumpa. Padahal mereka berdua bertemu hampir setiap hari.
"Eh, lo gemukan, ya?" goda Teana.
"Bukan gemukan, say," protes Bobo sambil mengernyit sedikit. Cowok itu mengenakan kaos putih dilapis kemeja motif bunga-bunga yang membuatnya terlihat semakin aduhai. "Tapi semok. Baidewei, ini kelas kita ada tiga lho, bok. ABCDEFG deh."
"ABCDEFG? Yeiii, akhirnya lo hafal alfabet!"
"Bukan! Aduh Bok Cape Deh Eike Fusing Gelo."
Teana terbahak-bahak. Bobo memang punya kosakata yang ajaib. "Iya nih. Sampai malam lagi. Membayangkannya aja gue udah mager. Andaikan gue bisa mempercepat waktu..."
"Menghayal terus lo, say."
"Siapa tahu bisa? Buktinya kemarin nongol monster di mall. Siapa yang menyangka, coba?"
Kedua sahabat itu masuk ke Gedung B tempat kelas pertama mereka hari ini akan dilaksanakan.
"Eh, omong-omong..." kata Bobo mendadak. "Teman lo yang porno itu gimana?"
Teana tertawa. "Maksud lo, si Milk?"
"Lo tega deh meninggalkan dia di pinggir jalan, say." Bobo menuding-nuding Teana dengan lagak menggurui. "Apalagi dia cuma pakai celana renang begitu. Kalau digrapa-grepe banci khilaf gimana?"
"Jadi maksud lo mendingan lo bawa pulang ke rumah lo terus lo aja yang grapa-grepe, gitu?"
Bobo terbelalak. "Astagadragon, cantik-cantik julid."
"Astagadragon?"
"Astaganaga," kata Bobo cepat-cepat. "Bukannya gue mau ngapa-ngapain si Milk, bosque. Gue curiga itu cowok agak rada-rada. Kan kasian kalo kena razia Satpol PP."
"Kayak pengalaman lo, ya? Waktu di Taman Lawang?"
Bobo mencebik cemberut. "Ah, elo mah, say! Serius, gue nggak tega aja."
Teana hanya diam saja. Meski terkesan seenaknya saja, Teana tahu kalau Bobo punya hati yang lembut. Mereka sudah bersahabat sejak bayi. Dulu mereka bertetangga tapi tahun lalu setelah lulus SMA, Bobo dan keluarganya pindah. Makanya Teana paham betul sifat dan perilaku sahabatnya itu.
"Eh, say! Lihat, deh." Tiba-tiba Bobo menutul-nutul pundak Teana. "Itu. Arah jam sepuluh!"
Seorang cowok jangkung melintas di depan mereka. Tatapan matanya tajam, kulitnya halus, dan hidungnya tinggi. Rambutnya yang hitam disisir ala cowok-cowok K-Pop. Dia lebih mirip artis ketimbang mahasiswa. Seolah ada yang menyemprotkan pengharum ruangan di belakang cowok itu, Teana bisa mengendus aroma bunga di sekeliling si cowok.
Dua orang cewek adik tingkat menyapa cowok itu. "Pagi, Kak Kai..."
"Pagi," balas cowok bernama Kai itu. Dia tersenyum dan kedua cewek itu langsung mengap-mengap kehabisan napas. Seluasin cewek mendadak berhamburan di koridor itu. Mereka juga turut menyapa si cowok. Ketika sapaan mereka dibalas, mereka langsung pucat pasi dan berteriak-teriak histeris, seperti kerasukan. Bahkan ada yang sampai kelojotan kejang-kejang.
Teana termasuk salah satu yang kesulitan bernapas. Di sebelahnya, Bobo grasak-grusuk mencari tisu karena dia mendadak mimisan.
"P-pagi, K-Kai..." sapa Teana terbata-bata. Sulit berbicara kalau makhluk Tuhan paling sekseh sedang lewat di depanmu.
Kai berpaling pada Teana. "Selamat pagi, juga."
"M-mau k-ke k-kelas, ya?"
"Iya." Kai berhenti. Empat orang cewek tabrakan beruntun di belakangnya. "Kamu nggak kelas?"
"K-kita s-sekelas..." kata Teana. Lidahnya seolah lupa bagaimana caranya merangkai kata yang benar. "S-sejak sem-semester s-s-s-satu."
"Oh." Kai hanya tersenyum. Memang, kalau kamu dianugrahi kombo tampang yang kelewatan gantengnya dan bodi ultra-emejing yang bikin kamu digandrungi cewek-cewek seantero jagad, kamu nggak perlu repot-repot mengingat nama penggemarmu. Kai itu bening, menurut istilah kaum rebahan. "Kalau begitu see you di kelas!"
Teana melambai pada Kai yang berlalu pergi menuju kelas, diikuti rombongan cewek-cewek penggemarnya. Bobo, yang terkena serangan karisma ganteng Kai, masih belum pulih. Darah mengalir deras dari hidungnya, seperti limbah pabrik ke sungai.
"Hei!"
Ada yang mencolek punggung Teana. Gadis itu melompat kaget dan memekik. "SETAAAAN!"
Ternyata itu bukan setan. Seharusnya sudah jelas, karena seperti yang sering digambarkan di film-film horor, nggak ada sejarahnya setan nongol di pagi yang terang benderang macam ini.
Di belakang Teana berdiri seorang cowok berambut seputih susu. Dia memakai seragam satpam dan menghisap sebuah dot yang terbuat dari bahan semi transparan. Dia mencabut dotnya dan memberikannya pada Teana.
"Kamu harus tanggung jawab!"
"Ya ampun, Milk!" Teana refleks melompat mundur. "Kamu kok bisa ada di sini?"
Milk berkedip-kedip. "Aku mengikuti kamu."
"Wah, psycho ni cowok," kata Teana. Dia menyikut Bobo yang masih terkena efek Kai. "Bo? Lo dengar nggak, say? Halo?"
Bobo gelagapan lalu menatap Milk. "Eh... lo kan..."
"Milk," jawab cowok itu. "Teana merusak T2 milikku. Dia harus memperbaikinya."
"Lo mengikuti kita kemari?"
Milk mengangguk.
"Sejak kapan?"
"Sejak kalian meninggalkan aku di pinggir jalan."
"Tuh, kan!" Bobo menunjuk Teana dengan lagak menuduh. "Udah gue bilang, Tea! Kasihan anak orang, say! Tahu gitu mendingan kita antar ke kantor polisi aja kemarin."
Teana menolak dot itu. "Kenapa kamu nggak pulang aja, Milk? Terus kenapa kamu pakai baju satpam?"
"Aku tidak bisa pulang," kata Milk ngotot. Dia maju ke arah Teana. "Kamu harus bertanggung jawab karena merusak T2! Aku meminjam baju ini dari bapak di dekat gerbang. Aku harus berbaur."
"Udah psycho, klepto pula," kata Bobo muram. "Milk, jangan mencuri, say!"
"Aku meminjamnya," ulang Milk. Cowok itu kelihatan kesal, tapi seperti kebingungan harus mengekspresikannya. "Bukannya aku sengaja menguntit kalian. Tanpa pasokan daya Jigu dari T2, aku tak bisa pulang!"
Teana dan Bobo saling pandang. Mereka kebingungan bagaimana harus merespon, karena baik Bobo dan Teana sama-sama tak tahu apa-apa soal T2, secara mereka penduduk asli Bumi, bukan seperti Milk yang berasal dari Planet K3NT4LM4N13S.
"Dengar, Milk..." Teana mendekati Milk dan menatap matanya yang berwarna abu-abu terang. "Aku nggak merusak dot-"
"Bukan dot," potong Milk. "T2."
"Iya, T2. Maaf," sahut Teana tak sabar. "Aku nggak merusak T2 itu, oke? Benda itu langsung mati begitu aku mengambilnya. Mungkin rusak karena tertimpa puing-puing bangunan atau kena ledakan."
"T2 tidak mungkin dirusak oleh tenaga apapun di planet ini," kata Milk. "T2 berasal dari-"
"Hei, kalian!"
Seorang pria berkepala botak seperti kacang atom dan berkumis lebat melongok dari dalam ruang kelas. "Kalian mau ikut kelas saya atau mau mengobrol saja di luar?"
...
Milk bergerak-gerak risau. Apa yang kulakukan di sini?
"Milk!" desis Bobo galak. "Jangan goyang-goyang! Udah, santai aja!"
Milk menatap pakaian barunya. "Aku tidak yakin pakaian ini membuatku berbaur..." Itu adalah kemeja bunga-bunga yang dipakai Bobo, menggantikan seragam milik Bang Mamat si satpam kampus yang tadi dipinjam Milk. Kemeja bunga-bunga itu menggelosor kelonggaran di tubuh Milk yang hanya seperempat ukuran tubuh Bobo. "Aku merasa baju ini malah membuatku berbeda sendiri."
"Cuma perasaan kamu aja," bujuk Teana. "Diam aja, oke?"
Lalu gadis itu mengedip pada Bobo, yang juga dibalas dengan kedipan.
Sebetulnya Milk tak mau bergabung dengan Teana dan Bobo di tempat ini. Dia harus pulang. Tapi kedua manusia itu memaksanya. Menurut mereka, Milk terlalu mencolok jika berkeliaran sendirian.
Milk mendesak Teana lagi. "Kapan kalian akan memperbaiki T2?"
"Selesai ini," kata Teana.
"Janji?"
Teana menggaruk-garuk pelipisnya yang tak gatal. "Iya."
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Milk mempelajari ruangan itu. Ada dua lusin kursi aneh dengan meja yang menempel di sisinya, semuanya penuh terisi oleh Homo sapiens muda seumuran Bobo dan Teana. Di depan ruangan, ada sebuah papan putih dan beberapa komputer. Si pria berkepala botak sedang menulis sesuatu di papan.
"Ini namanya kelas," bisik Bobo. "Kita lagi belajar."
Oh, rupanya mereka sedang belajar! Milk mengangguk-angguk. "Sudah seharusnya begitu. Pertahanan planet kalian lemah sekali. Serangan asteroid bisa menghancurkan kalian dalam sekejap."
Pria berkepala botak itu berbalik dan menunjuk Bobo, Teana, dan Milk. "Kalian bertiga. Ngobrol terus! Ngobrolin apa sih dari tadi?"
"Um..." Teana menelan ludah. "Bukan apa-apa kok, Pak Piktor."
Dosen Teana dan Bobo itu memicing tak percaya. Pak Piktor tak suka kalau ada mahasiswanya yang berbisik-bisik di kelas. Dia curiga mereka sering menggosipkan namanya – Piktor pake Pe, bukan Fe. Sebetulnya nama asli Pak Piktor adalah Fiktor pakai Fe, tapi karena dosen botak ini urang Bandung asli Ciwedey, maka lidahnya yang sudah ter-setting itu otomatis mengubah Fe menjadi Pe. Bukan hanya dia saja, Pak Piktor juga punya istri yang bernama Parida (aslinya Farida) dan tiga orang anak, Panah (Fanah), Parah (Farah), dan Patah (Fatah).
"Kalian udah isi daftar absen, belum?" tanya Pak Piktor galak. Padahal kegalakannya semata-mata hanyalah tameng untuk menutupi ketidakmampuannya mengucapkan Fe.
"Udah, paaak..." jawab seisi kelas berbarengan.
"Ini kelas Astrofisika, kelas serius," kata Pak Piktor, mencoba kelihatan serius. "Kalian-kalian ini kan mahasiswa jurusan Astronomi, jurusan elit, jadi jangan main-main! Paham?"
"Iya, paaak!"
"Santuy, pak!"
"Apa kata kamu, Bobo?"
"Bercanda, pak."
Pak Piktor menggeram tak puas dan mengetuk-ngetuk spidol ke papan tulis. "Bercanda terus kamu, Bobo! Coba jawab soal ini! Jika bintang X diketahui memilki jarang sembilan koma tujuh delapan tahun cahaya, maka berapa besar paralaks bintangnya?"
Bobo langsung pucat pasi. Dia menatap Teana dan dibalas dengan gelengan tak tahu.
"Nol koma tiga tiga tiga."
Seisi kelas hening.
Milk merasa semua orang sedang memandanginya. Teana meringis tanpa sebab. Mengapa mereka kelihatan takjub? Ini kan hanya soal mudah!
"Jawabannya benar!" Pak Piktor mencondongkan tubuh. "Kamu siapa? Saya kok baru melihat kamu di kelas ini?"
"Milk."
"Milk?"
"MAHASISWA BARU PAK!" Teana tiba-tiba berteriak, keras sekali sampai kumis lebat Pak Piktor rontok sedikit. "MAHASISWA PINDAHAN!"
"Mahasiswa pindahan?" Pak Piktor membolak-balik daftar absen. "Kok Kemahasiswaan nggak kasih tahu saya kalau ada mahasiswa pindahan?"
"Pindahannya dadakan, pak," sahut Bobo. "Nanti juga namanya nongol di absen."
"Begitu, ya?" Pak Piktor menatap curiga Bobo. "Kamu... tadi siapa namanya?"
Milk membuka mulut hendak menjawab tapi lagi-lagi Teana memotongnya. "M-Milka, pak."
"Milka saja?"
Bobo bergerak-gerak risau seperti duduk di atas setrika menyala. "Milka... Sukasuka."
Pak Piktor melongo, mulutnya membentuk huruf O besar yang cukup dimasuki satu kloter lalat. "Milka Sukasuka?"
Milk mau menjawab (Bobo salah mengucapkan namaku!), tapi Bobo sudah menyerobotnya lagi. "Iya, pak. Sukasuka marga asli dari Batak, pak. Memang itu marga yang jarang didengar. Opung saya aja marganya Sukamanja."
"Sukamanja? Bobo, bukannya kamu asli Tegal?"
Bobo bergerak-gerak semakin cepat, kali ini dia bergoyang ke kiri dan kanan seperti lonceng raksasa. Teana menunduk. "Iya, pak. Opung saya lahir di Medan, tapi tumbuh besar di Tegal. Ngomongnya aja campur sari; inyong kepriben, kepri-BAAAAH!"
Seluruh kelas meledak tertawa. Pak Piktor menarik celananya yang melorot sampai ke atas perut dan menghampiri Bobo. Tapi langkah-langkahnya terhenti oleh sebuah ketukan yang keras dan memaksa dari pintu. Pak Piktor menyilakan tamu itu masuk.
Pintu dibuka dan seorang pria tegap bersetelan serba hitam masuk ke ruangan. Dia didampingi dua pria lain yang sama tegapnya. Mereka bertiga mengingatkan Milk pada petugas keamanan Bumi yang mencoba menangkapnya waktu itu. Milk yakin orang-orang ini bersenjata.
"Selamat pagi," kata pria yang masuk paling pertama itu. "Apa Anda Fiktor Firmansyah, dosen Astrofisika jurusan Astronomi Universitas X?"
"Betul," jawab Pak Piktor ragu-ragu. "Saya Piktor Pirmansyah."
"Saya Bastian Abdinegara, dari Badan Intelejen Nasional," kata pria itu sambil mengulurkan tangannya. "Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan pada Anda..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top