4. Ketika M1LK bertemu Teana


"Tuyul kere! Setan bleduk! Pocong beranak!"

"Kalem, Bo. Kalem!"

"Cicak terbang! Ayam geprek! Kebo gundul!"

"Udah, udah, say! Udaaaah!"

"Tahu bulat! Silikon pecah! Upil goreng!"

"Tarik napas, say! Tarik napaaaaas!" Teana mengelus-elus pundak gempal Bobo. Wajah bulat sahabatnya yang ngondek itu sudah seperti tomat mengkal. "Kita udah aman kok di sini!"

"Demi konde emak-emak Korea!" pekik Bobo, napasnya pendek-pendek. "Lo lihat yang tadi itu kan, say? Monster, say! Monster!" Cowok itu bergidik sedikit. "Mimpi apa gue tadi malam ketemu Godzilla pas lagi nemenin lo nyari beha?"

"Gue juga kaget," Teana mengaku. Dia menatap sekelilingnya yang hancur lebur dan panas terik. Sebelumnya cahaya matahari perlu usaha ekstra keras untuk mencapai tanah saking rapatnya gedung-gedung bertingkat di daerah itu. "Mall-nya sampai hancur, lho. Gila! Benar-benar gila!"

"Tapi yang tadi itu monster asli kan, Tea? Bukan cuma gila-gilaan acara televisi yang nggak jelas itu, kan?"

"Asli kok, Bo. Lo nggak lihat ini gedung-gedung udah rata semua?"

"Demi wig banci-banci Afrika!" pekik Bobo sambil memaksakan kakinya yang sudah lemas untuk terus berjalan. "Gue tadi nyaris ngompol gara-gara kaget! Belum lagi pas mau keluar lift, gue sampai nggak bisa napas karena desak-desakkan di tangga darurat! Malah ada yang grepe-grepe gue lagi! Memangnya gue cewek apaan!"

"Eh, lo masih cowok tauk, Bo."

"Sorry," kata Bobo tiba-tiba. Sepertinya kalimat terakhirnya itu berasal dari alam bawah sadarnya. "Maksud gue, memangnya gue cowok apaan?"

"Itu gue, Bo! Gue berusaha narik lo biar nggak hilang," kata Teana geli. "Lagipula siapa juga yang mau grepe-grepe lo? Ntar harus cuci tangan pake air keras lagi."

Bobo menggeleng-geleng, mengacuhkan gurauan Teana. Keringat bercucuran di wajahnya yang tembam, membuat alas BB Cream-nya luntur sedikit. "Gue masih nggak habis pikir, Tea. Lo bayangin, itu monster segede beban hidup itu muncul dari mana coba? Terus setelah ngobrak-ngabrik mall, dese cuz gitu? Helloooooo? Lucu kali."

"Gue sama nggak tahunya sama elo," sahut Teana. Mereka sudah berlari cukup jauh dari tempat si monster muncul. "Dan si monster itu nggak cuz, Bo. Dia dibunuh!"

"Dibunuh?" Mata Bobo membesar seperti wajahnya. "Dibunuh sama siapa, say? Mantannya yang belum move-on? Ibu tirinya yang kejam?"

"Gue nggak melihat dengan jelas tadi," kata Teana. "Kita kan sibuk menyelamatkan diri. Tapi sekilas gue lihat ada tank sama pesawat-pesawat tempur TNI. Pasti merekalah yang meringkus si monster."

"Baguslah kalau begitu."

"Ya udah, sekarang cepat cari mobilnya! Panas banget, nih!"

Kedua sahabat itu melanjutkan perjalanan mereka, mencari-cari mobil yang tadi mereka tumpangi menuju mall. Mereka tiba di tempat lapangan parkir terbuka. Separuh atap tempat parkir itu sudah ambrol, menimpa mobil-mobil yang lain.

"Duh..." Teana mengelap keringat di lehernya. "Mudah-mudahan mobil lo selamat, Bo."

"Iya, nih. Gue bisa disiram bensin sama nyokap kalo mobil itu hancur!"

Rasa was-was menghantui kedua sahabat karib itu selagi mereka menyusuri lapangan parkir yang berantakan. Dua lusin mobil ringsek akibat tertimpa atap gedung, beberapa nyaris pipih ditiban beton. Tapi bagian ujung lapangan parkir seperti dilindungi oleh perisai kasat mata. Tiga mobil yang diparkir di sana utuh dan tak tersentuh.

"Demi silikon Lucinta Luna!" Bobo jatuh bersimpuh dan tersedu-sedu di depan mobil Avanza tua milik ibunya yang masih utuh. "Mobil bisa selamat! Padahal gue udah cemas setengah mati, Tea!"

"Berarti kita beruntung tadi nggak dapat tempat parkir yang dekat gerbang masuk," kata Teana.

Keduanya berangkulan. BB Cream di wajah Bobo luntur semakin parah akibat tangisnya.

"Bo..." Tatapan Teana tiba-tiba jatuh pada sebuah benda kecil di dekat roda mobil. "Apa tuh?"

Bobo menyipitkan mata. "Dari bentuknya seperti lampu deh, say."

"Lampu? Tapi aliran listrik kan udah diputus pas kekacauan tadi!" Teana membungkuk dan mendekati benda itu. Meski sekarang siang terik, benda itu memancarkan cahaya kuning kebiruan yang terang sekali, seperti matahari mini.

Bobo kelihatan gugup. "Hati-hati, say. Jangan-jangan bom, lagi."

"Bom apaan orang gedung-gedungnya udah pada hancur lebur gini," kata Teana masa bodo. Perasaannya mengatakan itu sesuatu yang lain, bukan bom. Benda kecil itu bentuknya aneh, seperti setengah lingkaran, tapi Teana merasa dia sering melihat benda itu.

"Udah ah!" Bobo mulai merengek. "Tinggalin aja! Kuy, cabut! Sebelum ada aneh-aneh lagi!"

Benda itu seolah menarik Teana untuk datang kepadanya. Tangan gadis itu sudah terjulur, hendak meraih benda itu...

"Jangan dipegang, Tea! Nanti mleduk!"

"Gue nggak merasakan apa-apa, kok. Panas juga enggak. Malah agak dingin..."

Bobo membuka kantong belanjaan yang ditentengnya. "Pake ini. jangan lo sentuh sembarangan"

Teana melongo menatap bra warna peach itu. "Eh, jangan lah, say. Itu beha baru."

"Aduh nggak usah banyak protes! Buruan!"

Dengan setengah hati, Teana menggunakan bra baru miliknya dan menjatuhkannya di atas benda berkilau itu. Dia memungutnya, lalu tiba-tiba saja... ZAP! Gadis itu merasakan sensasi aneh, seperti tersetrum listrik tapi tak mengejutkan. Bukannya menjatuhkannya, Teana malah merasa benda itu seolah menempel di telapak tangannya, nyaris seperti melebur ke dalam dirinya. Kemudian... POP! Cahaya yang terpancar dari benda itu menghilang.

"Itu..." Alis Bobo yang disulam mengernyit. "Dot."

Teana mengerjap-ngerjap. "Dot?"

"Iya." Bobo mencondongkan wajah lebih dekat. "Dot bayi. Empeng."

Teana menggeser branya untuk mengamati benda di telapak tangannya itu dengan saksama. Bobo benar, ternyata itu sebuah dot yang sering diisap para bayi. Permukaannya terasa halus dan kokoh. Pegangannya terbuat dari bahan sejenis kaca yang semi-transparan.

"Siapa yang ngejatuhin dot di sini?" tanya Teana heran. "Pasti tadi ada ibu-ibu di dekat sini."

"Say, tadi dotnya nyala, lho!" Bobo memberanikan diri menyentuh dot itu. "Sekarang mati."

"Mungkin dot zaman now kali," sahut Teana. "Yang ada GPS-nya. Kedip-kedip kalo jatuh."

"Ngaco lo, say."

"TETE!"

Teana memekik kaget. Bobo juga kaget dan mulai nyerocos, latahnya kambuh.

"TETE!"

Teana refleks menarik Bobo untuk mundur. "Hah?"

"TETE!"

Seolah jatuh dari langit, di hadapan Teana dan Bobo berdiri seorang cowok. Rambutnya berwarna putih sekali, seperti susu. Dia memakai penutup wajah aneh, seperti topeng yang dipakai para tukang las, tapi transparan. Dia juga separuh telanjang, hanya mengenakan celana renang warna biru tua dan sepatu kaki katak untuk menyelam. Otot-otot perutnya yang tergurat jelas berderet-deret rapi seperti mobil di lapangan parkir.

Cowok itu melotot dan menunjuk Teana.

Bobo segera menguasai diri. "Apa kata lo barusan?"

"TE... TE..."

"Tete?" Bobo dan Teana saling pandang. "Maksud lo?"

Cowok itu berkedip-kedip, matanya yang beriris abu-abu terang menatap Teana yang masih memegang dot aneh itu. Wajahnya mengernyit. "Mau... Te... Te..."

"AAAAARRGGGGGGHHHHH!"

Teana langsung menarik Bobo dan ngibrit ke arah mobil. "Cepat, Bo! Penjahat kelamin tuh!"

Bobo menemukan kunci mobil dari saku celananya dan membuka pintu mobil. Mereka berdua bergegas masuk. Bobo menyalakan mesin dan siap menginjak pedal gas, tapi cowok itu malah mendekat ke arah mobil. Dia masih menunjuk-nunjuk Teana.

"Mau... Te... Te..."

"WOI!" Bobo berteriak garang, mendadak kelaki-lakiannya keluar. "Minggir lo, mesum!"

Tapi cowok itu tak bergeming. Dia mencoba memanjat kap depan mobil.

"Tabrak aja, Bo! Tabrak!"

"Jangan, itu anak orang say! Six-pack lagi."

"Bencong sialan, lo kok malah belain dia? Lo nggak dengar dia bilang apa?"

Bobo mengetuk jendela depan keras-keras. "Turun dari mobil! Kalo nggak, gue tabrak lo!"

Cowok itu seperti tak memahami ancaman Bobo. Dia masih menggapai-gapai di depan kap mobil, seperti zombie.

Teana tak tahan lagi. "Tabrak aja, Bo! Tabrak!"

"Iya! Oke! Duh, Gusti!" Bobo menginjak pedal gas dalam-dalam. "AWAAAAAS!"

Mobil meloncat ke depan seperti kuda yang dilecut keras. Cowok itu mencoba berpengangan pada sesuatu tapi kekuatan mobil menerjangnya hingga jatuh ke trotoar. Bobo memacu mobil semakin kencang, berlari meninggalkan lapangan parkir yang porak-poranda.


...


Komputer, segera tuntaskan pemrosesan bahasa!

'Bahasa sedang diproses. Harap menunggu. Daya terbatas.'

M1LK gemas sekali. Dia akhirnya menemukan T2 di genggaman seorang Homo sapiens perempuan, tapi manusia itu menolak memberikannya. Padahal M1LK sudah mencoba mengungkapkan maksudnya sejelas yang dia bisa menggunakan segelintir kosakata yang selesai diproses. Dia mau T2.

Dan sekarang para manusia itu malah kabur!

M1LK tak tahu kenapa mereka menghindarinya. Mereka mengatakan sesuatu, tapi keterbatasan kosakata M1LK membuatnya belum bisa memahami ucapan-ucapan itu. Padahal M1LK merasa sudah cukup berbaur. Dia sudah memakai busana yang dipakai manusia seperti yang dilihatnya di mall tadi.

Andai saja pemrosesan bahasa bisa lebih cepat!

M1LK tak bisa menyalahkan komputer. Rupanya Bahasa Manusia ini lebih banyak dan sulit dari bahasa M1LK sendiri, yaitu Gulug-gulug. Komputer memberitahu M1LK kalau bahasa ini punya berbagai varian, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Gahol, Bahasa Alay, Bahasa Bebeb Pacaran, Bahasa Banci, Bahasa K-Pop, sampai Bahasa Kalbu.

'Pemrosesan bahasa selesai,' kata komputer. 'Silakan pilih varian.'

Ini dia saatnya. M1LK menatap varian bahasa yang sudah selesai diproses. Hmm, sebaiknya aku pilih yang mana? Coba yang ini.

"Beb, stop, beb. Plizzzzzz. Dengerin akoh duyyyuuu..."

"AAAAAARRRRRGGGGGHHHHHH!"

Kedua manusia itu menjerit ketakutan. Kendaraan yang mereka kendarai berhenti mendadak. Si gadis nyaris terlempar ke depan sementara si pemuda menabrak stir. M1LK juga hampir terjatuh dari kursi, tapi dia cepat-cepat berpegangan.

"KAMU!" Gadis itu berbalik dan menunjuk M1LK. "Kok bisa ada di sini?"

M1LK girang bukan main. Manusia ini akhirnya bisa memahamiku! "Aku tuh nggak mau diginin. Aku tuh cakiiiiit diginiin, beb. Plizzz. Aku nggak kuat. Aku atit, beb. Atiiiiiit..."

Gadis itu bertatapan dengan pemuda di kursi pengemudi. "Dia ngomong apa sih? Kok bahasanya kayak bocah baru diputusin pacarnya gitu?"

Hmm... baiklah, pikir M1LK. Sepertinya Bahasa Bebeb Pacaran ini bukan pilihan yang tepat.

"Oppaaa.... Ajumaaa... nae geos-eul ilh-eoss gi ttaemun-e songsanghae. Hajiman chay-ass-enuni dollyeojuseou... jinjaaa? Jinjaa? Aaahh anyi yoo...."

Pemuda gemuk itu mengibaskan tangan di depan wajah M1LK. "Lo ngomong apa, sih?"

"Sekarang malah Bahasa Korea, Bo," kata gadis itu. Dia berjengit menjauh dari M1LK, T2 masih berada di genggamannya.

M1LK kesal sekali. Rupanya Bahasa K-Pop bukan pilihan yang tepat. M1LK mencoba lagi. Kali ini dia memilih Bahasa Indonesia.

"Aku mau T2!"

"Nah, sekarang baru benar," kata si pemuda gemuk bernama Bo itu.

M1LK membuka penutup wajahnya dan mengulurkan tangan ke arah gadis itu. "Tolong kembalikan T2. Aku memerlukannya. Dayaku hampir habis."

Mulut gadis itu melorot turun.

"Tolong dengarkan aku dulu. Aku mohon."

Bo mencolek pundak gadis itu. "Tea? Lo kenapa, say?"

"Kamu..." Gadis bernama Tea itu akhirnya menemukan suaranya. "Kamu tadi minta apa?"

"T2," kata M1LK sabar. "Itu, yang ada di genggaman kamu. Itu punya aku."

"Dot ini?" Tea mengangat T2 di tangannya dengan takut-takut. "Namanya T2? Tadi kamu nggak bilang begitu. Kamu tadi bilang kamu mau tete!"

"Maksud aku T... T...," kata M1LK hati-hati. "T2. Maaf, tadi pemrosesan bahasaku belum tuntas. Bahasa kalian banyak sekali."

Tea dan Bo saling tatap lagi. Kali ini mulut Bo ikut melorot turun.

"Lo siapa sih, say?" todong Bo galak. "Kok bisa masuk ke mobil? Padahal tadi gue nabrak elo!"

Seharusnya aku mengenalkan diri terlebih dulu. "Namaku M1LK, bukan say."

"M1LK?" tanya Tea. "Mm... Milk?"

"M1LK."

"Iya, itu dibacanya Milk."

"M1LK."

"Say, kalo lo alay, bacanya Em-Satu-El-Ka, tapi kita nggak alay, oke?" kata Bo.

M1LK mengangguk, dia tak mau membuat para manusia ini marah. Bisa-bisa mereka kabur lagi. "Baik. Kalian bisa panggil aku Milk."

"Itu ada singkatan apa gitu? Milka? Milky?"

"Milk saja."

"Gue Bobo," kata Bo sambil menunjuk dirinya. "Be-O, Be-O, Bobo. Yang ini Teana."

Milk mengulangi, meniru persis ucapan kedua manusia itu. "Bobo dan Teana."

Bobo mengangguk-angguk puas tapi Teana masih mengernyit. "Lo... kenapa pakai baju renang?"

"Ini adalah pakaian kalian," kata Milk. Dia memandangi dirinya sendiri. "Aku melihatnya di Mall Pondok Cabe-cabean. Aku mencoba membaur, karena petugas keamanan kalian mengejar-ngejarku."

"Itu baju renang," kata Teana. "Kita cuma pakai itu kalau mau berenang, oke?"

Berenang. Milk berpikir sebentar. Dia teringat poster para manusia di dekat toko yang hancur itu. "Maksud kamu menenggelamkan diri di larutan H2O?"

Teana dan Bobo beradu pandang lagi untuk ketiga kalinya. Tiba-tiba tawa mereka pecah. Milk juga ikut tertawa. Dia tahu salah satu cara agar bisa akrab dengan satu spesies asing adalah dengan mencoba meniru tingkah lakunya.

"Lucu banget ini cowok, sumpah," kata Bobo. Wajahnya memerah. "Lo dari mana sih, Milk?"

"Aku berasal dari Galaksi Nomnom yang berjarak dua ratus lima puluh juta tahun cahaya dari Bumi. Nama planetku K3NT4LM4N13S."

"Planet..." Teana berhenti dari tawanya. "Kental manis?"

Kedua manusia itu terbahak-bahak lagi, kali ini lebih geli dari sebelumnya.

"Jadi, maksud lo..." Bobo mengibas-ngibaskan tangan seperti kepanasan. "Lo ini alien?"

"Struktur anatomi Homo sapiens seperti kalian mirip denganku. Tapi teknologi planet kami jauh lebih canggih. Aku terdampar di sini. Tadi kapsulku jatuh di dekat mall."

"Tunggu, tunggu." Teana mengangkat tangan. "Kapsul? Monster?"

Milk mengangguk. "Komputer merekam saat-saat itu. Aku bisa menunjukkannya pada kalian."

Milk menyodorkan pelindung wajahnya tapi Teana dan Bobo berjengit.

"Kalian hanya perlu pakai ini. Tidak berbahaya. Ada rekamannya."

"Enggak, makasih," kata Teana ragu-ragu. Dia mendorong pelindung wajah itu menjauh. "Tadi kamu bilang kamu mau dot ini?"

"T2," koreksi Milk. Dia tak tahu apa itu dot. "T2 adalah sumber daya Jigu, energi yang kuperlukan untuk mengisi ulang komputer dan menyalakan kapsul. Aku harus pulang ke planetku."

"Iya, apalah namanya," kata Teana. Dia menjatuhkan dot itu ke tangan Milk. "Nih, ambil aja. Sekarang kamu tolong keluar dari mobil, ya."

"Eh, jangan diusir, say," cegah Bobo. Tatapan matanya terpaku pada bagian tengah tubuh Milk. "Lumayan, buat cuci mata di siang hari terik ini."

Teana memelototi Bobo dan mengertakan gigi. Sahabatnya itu langsung tutup mulut.

"Ini..." Milk mengambil T2 itu. Sepertinya ada yang tidak beres dengan T2. "Tidak menyala. Rusak."

"Iya, tadi dotnya menyala." Teana berdeham tak nyaman. "Terus tiba-tiba lampunya mati."

"Mati? Maksud kamu, kehilangan daya?"

"Kehilangan daya? Bisa dibilang begitu."

"Apa yang terjadi?" Milk mulai panik. Kejadian ini betul-betul di luar dugaan. "Mengapa bisa rusak?"

"Kita nggak tahu," kata Bobo gusar. "Tadi dot lo itu memang bersinar, tapi pas dipegang Teana, cahayanya padam dan nggak nyala lagi."

Oh, ini bencana! Gadis itu... "Kamu!" Milk menunjuk Teana. "Kamu merusak T2 milikku!"

"Enggak!" Teana terbelakak kaget. "Aku nggak ngapa-ngapain! Aku cuma memungut dot itu!"

Dan dia pikir dia bisa menghindar begitu saja? "Kamu harus memperbaikinya!" tuntut Milk sambil menyodorkan T2 pada Teana. "Kamu telah merusaknya! Tanpa daya Jigu dari T2 aku tak bisa kembali ke planetku!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top