32. Di antara Bintang-Bintang
'Menurut waktu lokal, pukul berapakah bintang Arcturus akan tampak di langit Tokyo pada tanggal 24 Januari 2557?'
Bobo meremas coretannya menjadi bola kertas dan melemparkannya ke seberang ruangan. "Mana kita tahu! Lagian tahun 2557 nanti juga gue udah mati!"
"Namanya juga PR," bujuk Teana. "Lo kayak nggak tahu si Pak Piktor aja, Bo. Sejak kapan dia ngasih kita soal PR yang gampang?"
Bobo menutup laptopnya dengan frustasi dan selonjoran di sofa. Teana mengambil laptop Bobo dan mengecek soal-soal PR itu lagi. Tak berapa lama setelah mereka sampai di rumah ini, Pak Piktor mengirim email ke anak-anak berisi sepuluh soal PR yang harus dikumpulkan hari Senin depan.
Bagaimana ya cara menjawab soal ini?
Segala kehebohan belakangan ini bikin Teana nyaris lupa soal kuliahnya. Maksud Teana, dia nggak menduga bakal ada alien yang muncul di kotanya dan berteman dengannya. Sebelum bertemu Milk, dia dan Bobo cuma mahasiswa jurusan astronomi yang biasa aja. Bukannya Teana menyesal mengenal Milk. Cowok itu sudah menyelamatkannya dua kali.
Milk sedang duduk di lantai dan bermain-main bersama Bula, kucing gendut berbulu belang-belang yang tinggal di situ. Kucing itu melompat-lompat lincah di sekitar kaki Milk dan menggosok-gosokkan tubuhnya ke siku cowok itu. Milk juga kelihatan senang mengisengi Bula.
"Milk..." Bobo mengambil bantal sofa dan mengganjal kepalanya yang besar. "Nanya, dong. Menurut waktu lokal, pukul berapakah bintang Arcturus akan tampak di langit Tokyo pada tanggal 24 Januari 2557?"
Milk menatap Bobo. "Di mana Tokyo?"
Bobo mengetuk-ngetukan pulpen ke pipinya yang tembam. "Mungkin sekitar dua puluhan lintang utara. Untuk garis bujurnya, yang pasti bujur timur."
"Tiga puluh lima Lintang Utara," koreksi Teana. Gadis itu sedang membuka Google Map, mencoba menjawab soal itu. "Seratus tiga puluh enam Bujur Timur. Tokyo berada di belahan Utara Bumi."
Milk berkedip-kedip. "Sekitar pukul delapan lewat sepuluh malam."
"Catet, Tea, catet!" Bobo menuding-nuding pulpen itu pada Teana.
"Tapi, Bo... Hitung-hitungannya gimana? Pak Piktor kan minta penjelasannya juga."
Bobo menggeram kesal. "Milk, jawaban yang tadi dapat dari mana?"
Milk menggaruk telinga Bula dan kucing itu mengeong senang. "Kakak perempuan temanku menikah dengan seseorang yang juga berasal dari Bima Sakti, galaksi kalian. Planet asalnya berdekatan dengan bintang Arcturus. Dari rumahnya di bagian utara planet kami, temanku itu sering mengamati Arcturus di waktu malam. Ukuran Planet K3NT4LM4N13S dan atmosfernya nyaris serupa dengan Bumi, jadi kurasa Tokyo letaknya mirip dengan alamat temanku itu."
Bobo mencebik. Teana terkikik mendengar jawaban itu. "Yah, kalo kayak gitu penjelasannya, mana mungkin kita tulis di PR kita..."
Dari koridor di belakang Boni, muncul seorang nenek-nenek yang membawa segelas teh. Wanita tua itu berhenti di ruangan itu dan mendelik ke arah mereka berempat.
"Looooh, kalian siapa?"
"Omaaaa!" Boni cepat-cepat menenangkan neneknya sebelum cangkir tehnya jatuh. "Ini Boni, cucu Oma. Itu, ada Kak Bobo juga. Ini yang rambutnya putih namanya Kak Milk, terus cewek itu yang paling langsing di antara kita namanya Kak Teana. Mereka teman-teman Kak Bobo."
"Oh, iya. Boni dan Bobo cucu oma, ya?" Nenek itu mengelus pipi bulat Boni dan tersenyum. "Kapan kalian datang? Kok nggak bilang-bilang mau mampir?"
"Yeee, kita udah ngomong kali, Oma," kata Bobo. "Udah makan brownies segala."
"Brownies?" Oma memekik histeris dan menunjuk Bobo. "Kok kamu tahu ada brownies? Kamu ngacak-ngacak kulkas Oma lagi ya, Bo?"
"Lah, kan kemarin sore Oma yang ngajak aku sama Boni bikin brownies! Oma lupa ya? Kita udah semalaman nginap di sini!"
Bobo duduk dan menghampiri neneknya.
"Eh, jangan pegang-pegang kamu. Genit, ya! Saya udah punya suami. Kamu siapaaaa?"
"Ini Bobo, Oma. Cucu Omaaaaaa!"
Boni mengambil cangkir teh itu. "Oma udah makan? Ke dapur, yuk. Boni tadi masak kacang ijo."
"Loh, kamu juga siapa? Kok kamu tahu di dapur saya ada kacang ijo?"
"Ini Boni, Oma. Cucu Oma jugaaaaaa!"
Bobo dan Boni menuntun nenek mereka ke dapur. Sejak kemarin sore, mereka memang menginap di rumah Oma Phi Khun (sang oma blasteran Thailand). Rumah Oma Phi Khun letaknya di daerah Bogor dan menurut Bobo mereka bisa bersembunyi di situ dengan tenang sampai Boni menemukan cara memperbaiki T2. Setelah sadar bahwa dot unik milik Milk itu ternyata masih bisa menyala, Boni jadi tambah semangat untuk mengutak-atiknya. Sejauh ini adik Bobo itu sudah mencoba membelah T2 tapi gagal, karena gergajinya malah patah.
Bula mengais T2 yang ditinggalkan Boni di lantai dengan penasaran. Milk mengambil dot itu.
"Masih rusak ya, Milk?" tanya Teana.
"Iya." Milk memindahkan Bula dari pangkuannya. "Tapi aku rasa sedikit lagi Boni berhasil."
Aku harap juga begitu, kata Teana dalam hati. Milk mengamati Teana menutup laptop Bobo dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya.
"Mengapa Teana suka astronomi?"
Teana kaget Milk menanyakan hal seperti itu. "Kenapa, ya? Aku suka sama bintang."
"Suka sama bintang?"
"Iya. Bintang dan benda-benda langit lainnya," kata Teana sambil duduk bersedekap. "Kata Mama dan Papaku, dari kecil aku suka banget mengamati langit malam. Aku juga nggak tahu kenapa alasannya, Milk. Bagiku langit malam penuh bintang itu menarik."
"Malam ini bintang Sirius tampak di langit," Milk bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya. "Teana mau melihatnya?"
"Mau, tapi gimana caranya? Kita nggak punya punya teleskop dan aku nggak hafal posisinya."
"Akan kutunjukkan," kata Milk.
Teana mengangguk dan mengikuti cowok itu pergi ke teras belakang. Langit di kota Bogor lebih bersih ketimbang langit Jakarta, jadi bintang-bintang bisa terlihat jelas.
Milk meminta Teana naik ke punggungnya. Gadis itu menurut dan Milk membawa mereka terbang ke atap rumah. Ada tempat yang agak rata di dekat plafon dapur, jadi mereka duduk di situ. Di bawah, mereka bisa mendengar Bobo dan Boni membujuk Oma Phi Khun yang ngotot kalau Milk adalah suaminya yang telah meninggal.
"Ouch!"
Teana terpeleset tapi Milk langsung menangkap pinggangnya.
"Terima kasih, Milk."
"Sama-sama, Teana."
Mereka berdua duduk berdekatan. Milk menunjuk-nunjuk langit, mencari-cari bintang. Teana juga ikut mencari, mencoba menemukan pola yang terbentuk dari delapan bintang dalam konstelasi Canis Major, rasi di mana Sirius berada. Sebagai calon astronomer, dia sudah belajar menemukan rasi bintang dengan mata telanjang. Langit malam itu tampak indah sekali.
"Itu dia," kata Teana dan Milk berbarengan. Telunjuk mereka bertemu di titik yang sama, tepat terarah ke sebuah bintang yang bersinar terang.
"Ketemu," kata Milk. Cowok itu tertawa. "Itu Sirius."
"Bintang paling cemerlang yang bisa teramati di langit malam," kata Teana setuju. "Disebut juga Alpha Canis Major. Magnitudo sekitar satu koma empat lima. Diperkirakan dua puluh lima kali lebih terang dari Matahari."
"Nyamnyam, bintang galaksi kami, sama terangnya dengan Sirius," kata Milk.
Teana tersenyum pada cowok itu. Mereka berdua masih mendongak ke langit, menikmati keindahan Sirius. Teana teringat pada malam-malam yang dihabiskannya dengan memandangi langit. Sejak kecil, aku sudah jatuh cinta pada langit. Sampai Mama memaksaku untuk tidur.
Tiba-tiba Teana terpikir sesuatu. "Apa Nyamnyam bisa teramati dari Bumi?"
"Hanya dari Kutub Selatan. Galaksi Nomnom terlalu jauh dari Bumi," jawab Milk.
"Seberapa jauh?"
"Menurut waktu Bumi, sekitar dua ratus lima puluh juta tahun cahaya."
Teana mendesah. Itu sih sama saja dengan keabadian. Dua ratus lima puluh juta tahun cahaya berarti jarak yang dapat ditempuh cahaya selama dua ratus lima puluh juta tahun. Cahaya dapat menempuh tiga ratus ribu meter dalam satu detik. Bisa dibayangkan betapa jauhnya jarak yang bisa ditempuhnya dalam dua ratus lima puluh juta tahun...
"Jauh sekali ya, Milk..."
"Tidak terlalu jauh untuk ukuran jagad raya ini."
"Berapa lama kamu berada di dalam kapsul itu, Milk?"
Milk terdiam. Dia mengernyit. "Lama sekali."
"Jangan-jangan rambut kamu bukan berwarna putih, tapi karena uban!" Teana menyenggol bahu Milk, menggodanya. "Bisa jadi kamu umurnya sudah ratusan tahun, terjebak dalam kapsul untuk perjalanan sejauh itu..."
Milk nyengir dan balas menyenggol Teana. "Untuk perjalanan-perjalanan jauh seperti itu kami melewati wormhole – lubang cacing. Tidak makan waktu selama itu."
Teana jadi sedikit iri pada kemampuan jelajah bangsa Milk. Wormhole adalah semacam alat teleportasi yang bisa menyingkat dimensi tempat. Sementara manusia masih belum bisa melewati tata surya mereka sendiri, bangsa Milk telah menjelajah galaksi lain. Gadis itu kembali mengamati bintang. Dia penasaran bagaimana rasanya naik pesawat luar angkasa.
"Milk, apa kamu kangen rumah?"
Wajah Milk berubah muram sedikit. "Entahlah, Teana. Sebagian besar memori yang kutahu ditanamkan oleh Donna saat aku dibekukan. Jadi itu bukan ingatanku yang sebenarnya."
"Tapi kamu ingat tentang orangtua kamu dan penyerangan Donna," kata Teana. "Meski nggak menyenangkan, tapi setidaknya kamu ingat sesuatu tentang rumah dan keluarga kamu, Milk."
Milk mengangguk pelan. Bibirnya bergerak-gerak seperti mau menangis, tapi kemudian cowok itu tersenyum lebar. Dia menatap Teana, matanya yang bulat penuh bersinar seperti salah satu bintang-bintang di langit itu.
Teana balas menatap Milk, dia sadar dia belum pernah berada sedekat ini dengan Milk sebelumnya. Entah mengapa, wajah Milk terasa familiar. Alisnya yang tebal, hidungnya yang ramping, tulang pelipisnya yang tinggi... seakan Teana pernah bertemu dengan cowok itu di suatu tempat, pada suatu waktu, entah kapan...
"Apa Teana kangen rumah?" tanya Milk tiba-tiba.
Teana memeriksa perasaannya. Dia merasa agak bersalah. "Mungkin ini kedengaran aneh, Milk, tapi aku nggak begitu kangen dengan rumah."
"Mengapa?"
"Setiap kali melihat langit, aku merasa rumahku berada di sana, di langit..." Teana mengamati ekspresi Milk, berjaga-jaga seandainya cowok itu mengernyit atau melongo. Namun Milk masih mendengarkan dengan tenang. "Aku merasa seharusnya aku tinggal di salah satu planet di luar sana. Pasti kedengarannya aneh sekali ya?"
"Tidak, kok," kata Milk. "Ada milyaran planet di alam semesta ini. Bumi bukanlah satu-satunya planet yang bisa menunjang kehidupan. Teana mau ke planetku?"
Teana tertawa. "Bagaimana caranya?"
"Kita bisa naik kapsul milikku," kata Milk. Mendadak dia berubah ceria, seperti anak kecil yang diajak ke pantai. "Dari luar kapsul itu kelihatan kecil, tapi sebenarnya ada kompartemen tambahan untuk tiga orang lagi. Satu kapsul bisa memuat empat orang. Kita bisa ajak Bobo dan Boni juga!"
"Tapi kapsul kamu kan udah hancur, Milk..." kata Teana. "Lagipula bukannya kamu perlu Daya Jigu dari T2 untuk menyalakan kapsul itu?"
Milk membuka mulut dan menutupnya lagi. Sepertinya dia lupa tentang dot miliknya yang sedang rusak itu. "Teana benar," katanya sedih.
"Aku minta maaf ya, Milk. Soal T2 kamu itu..."
"Tidak apa-apa. Kalian sudah berusaha."
Awalnya T2 menyala, tapi mati gara-gara kusentuh. Dan dot itu menyala lagi sewaktu di rumah tapi kembali mati ketika aku masuk ke kamar. Teana menelan ludah, tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Selama ini gadis itu mencoba tidak terlalu memusingkan T2, tapi setelah beberpaa kejadian berulang, dia jadi bimbang.
"Teana..." Milk mengambil tangan Teana dan meremas jari-jari gadis itu dengan lembut. "Tidak ada yang menyalahkan kamu. Pasti T2 mati gara-gara daya Jigunya sudah lemah. Jangan terlalu dipikirkan. Aku baik-baik saja, kok..."
Teana membuka telapak tangannya, membiarkan tangan Milk menggenggamnya. Telapak tangan cowok itu hangat dan... menyenangkan.
"Setelah kupikir-pikir..." Jempol Milk mengusap telunjuk Teana sedikit. "Rasanya Bobo tidak akan muat di kapsulku. Apalagi berdua dengan Boni."
Kedua remaja itu tertawa. Tak bisa dibayangkan bagaimana mereka berempat bisa berjejalan di dalamnya, dan bepergian selama dua ratus lima puluh juta tahun. Pasti kayak sarden...
Teana terkikik-kikik geli sampai bergeser ke bagian ujung atap. Saat tubuhnya mulai merosot ke bawah, barulah dia sadar kalau dia sedang tergelincir jatuh.
"Eeeh..."
HAP!
Secepat kedipan mata, Milk terbang melesat dari atap dan menangkap pinggang Teana. Cowok itu membopongnya.
"Te-terima kasih, Milk."
Wajah Teana terasa panas seketika. Selama beberapa saat mereka melayang di udara, persis seperti bintang yang menggantung di langit.
Milk mengangguk dan tersenyum lebar. "Teana ceroboh," katanya. Pelukannya terasa lebih erat. "Teana harus lebih hati-hati."
"I-iya, Milk..." Rasa panas itu menjalar ke tengkuk Teana. Dia merasa seperti sedang demam.
"Teana, kalau daya Jiguku habis..." Milk mendekatkan wajahnya. "Apa aku boleh tinggal di sini?"
"Iya..."
Degup jantung Teana meningkat pesat. Dia ingin mengatakan lebih dari 'Iya', tapi lidahnya seakan terkunci. Wajah Milk sudah sangat dekat, mungkin hanya setengah jengkal jaraknya. Teana tidak merasa takut. Apalagi gugup, meski dadanya seperti mau meledak. Sebaliknya dia merasa tenang. Aku mengenalmu jauh sebelum ini... Teana mendengar kata-katanya sendiri dalam kepalanya. Lagi-lagi dia merasa pernah bertemu Milk dan dekat dengan cowok itu padahal mereka baru saling kenal selama dua minggu.
Milk sepertinya juga merasakan hal yang sama. Lengan Teana yang bersandar di dada cowok itu menangkap denyut jantung Milk yang ternyata seirama dengan detak jantungnya.
Kau merasakan hal yang sama...
Wajah Milk semakin dekat. Napasnya hangat dan lembut, seperti uap dari secangkir teh panas di tengah hujan badai... Kini Teana bisa menghitung guratan-guratan iris mata Milk, berkilau terkena sinar purnama malam ini, seperti gugus-gugus galaksi yang tak terhitung jumlahnya...
Jantung kita berdenyut seirama...
Mereka sampai di tanah. Tapi tiba-tiba, tanah bergoyang dengan keras.
Milk menarik wajahnya menjauh. "Apa itu?"
"ADA GEMPAAAAA!" Bobo berlari-lari dari dapur menuju teras belakang, tangannya yang gemuk menggelepar liar. Tak berapa lama Boni menyusul keluar sambil menuntun Oma Phi Khun. "ADA GEMPAAAAAAAA!"
Suara raungan yang membahana memecah kesunyian malam itu. Teana, Bobo dan Milk saling tatap. Dari kejauan terdengar dengan bunyi berderak keras, seolah tanah retak terbelah dua. Kemudian sebuah siluet besar menyeruak dari dalam tanah, tinggi menjulang sebesar gedung.
RAAAAAWWWRRRR!
Siluet raksasa itu meraung dan bergerak ke arah mereka.
"Itu..." Sekujur tubuh Bobo gemetar ketakutan. "Koda!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top