30. Rencana


Di luar hujan. Deras, karena memang sedang musimnya. Rumah selalu terasa lebih hening di musim hujan. Teana menghembuskan napas pelan-pelan lewat mulut dan membuka keran bak cuci piring. Air mengalir, membasahi tangannya, meluruhkan cairan kekuningan yang membalut tangan gadis itu.

Teana memejamkan mata. Dia merasa pedih.

Air yang terkumpul di sekitar lobang bak cuci piring telah turut berubah warna, menjadi keemasan. Teana membiarkan air membasuh tangannya. Gadis itu belum pernah melihat darah berwarna lain selain merah. Tapi darah Milk berwarna emas. Ya, darahnya berwarna emas.

Teana memikirkan cowok yang sedang terbaring lemah di lantai atas. Bobo sedang menjaganya. Teana tahu dia seharusnya bergegas kembali ke atas. Luka tembak Milk harus dirawat, entah bagaimana caranya. Tapi gadis itu hanya membeku di dekat bak cuci piring, air masih mengaliri tangannya, sementara dadanya bergejolak.

Milk menyelamatkanku. Lagi.

Kalau bukan karena cowok itu, Teana sudah mati. Bukan hanya sekali, tapi dua kali. Dalam dua kesempatan, Milk menjadikan dirinya tameng demi melindungi Teana. Dan semuanya membuat gadis itu merasa sangat bersalah.

Aku sangat ceroboh.

Teana sulit menahan dirinya. Aku hanya mengikuti dorongan hatiku. Oke, tidak semuanya. Yang saat bertemu Kai itu memang di luar kendali. Tapi yang barusan itu... Aku hanya ingin menyelamatkan Milk.

Teana tertunduk. Mendadak punggungnya terasa berat.

Malah Milk yang menyelamatkanku.

Milk sudah bercerita bahwa makanan tak dapat menggantikan Daya Jigu. Milk menggunakan daya ini untuk bertempur dan terbang. Satu-satunya cara untuk mengisi ulang Daya Jigu adalah menggunakan T2, dot aneh milik Milk yang sedang rusak.

Dan sampai sekarang T2 masih tak mau menyala.

Apa yang akan terjadi jika Donna menyerang lagi?

Teana dan Bobo yakin Donna akan menyerang lagi; wanita itu ingin menangkap Milk untuk alasan yang sampai saat ini belum mereka ketahui. Selain itu Milk tak bisa terus-terusan menghindar seperti ini. Jika Donna menemukan mereka lagi, Teana tahu akan ada pertempuran. Lama-kelamaan Daya Jigu Milk akan terkuras habis. Cowok itu tak bisa menghadapi pertempuran lain, kecuali T2 sudah berfungsi lagi.

Melalui kaca jendela dapur, Teana mengamati titik-titik air hujan yang jatuh dengan lebat di atas kolam ikan. Derunya mengingatkan gadis itu pada desingan peluru.

Bastian, si wakil kepala BIN itu...

Selain bisa bertempur, Bastian juga punya pasukan dan senjata. Teana curiga pria itu memang mencari-cari Milk. Kemunculannya di lapangan parkir kampus tadi siang masih misteri, tapi Teana menebak-nebak, entah bagaimana caranya Bastian berhasil membuntuti Donna.

Apa aku harus minta tolong pada Bastian?

Ini artinya Teana akan mengungkap identitas Milk. Apa yang akan Bastian lakukan pada Milk? Jangan-jangan mereka akan menahannya. Teana membayangkan adegan penyanderaan seperti di film-film dan tambah kalut. Aku hanya ingin T2 Milk diperbaiki supaya cowok itu bisa pulang. Dia pasti sangat kangen dengan rumahnya. Tapi semua ini begitu rumit.

Teana menarik napas dalam-dalam.

Bagaimanapun caranya, T2 harus segera diperbaiki.

Lalu tiba-tiba saja, bel di depan rumah berbunyi nyaring.

...

'Jangan dia! Aku saja!'

Dunia berputar cepat, terbolak-balik dan berguncang-guncang, seperti sebuah kelereng yang menggelinding di tanah.

'Enyah kau, gadis bodoh!'

'Bekukan saja dia! Aku mohon!'

'Kalau kau masih terus menghalangi, aku akan menghabisimu juga!'

Teriakan-teriakan minta ampun. Kilatan-kilatan cahaya. Tawa keji yang lantang.

'Jangan M1LK!'

Kelebat cahaya kuning yang menyilaukan. Detak jantung yang terhenti. Debam tubuh tanpa jiwa yang jatuh membentur tanah.

'M111111LLLLLLK!'

Dunia berubah lagi menjadi campuran warna coklat yang hangat, seperti warna kayu. Ada bunyi air yang mengalir deras dari luar. Lalu tampaklah sebuah wajah yang sangat dikenal Milk. Seolah dia sudah mengenal wajah itu sedari dulu. Matanya yang bulat dan berwarna cokelat terang, hidungnya yang lurus dan pipinya yang kemerah-merahan...

Teana.

"Milk?" Gadis itu menyentuh bahunya dengan hati-hati. "Milk? Kamu kenapa?"

Milk mengamati ruangan itu. Hal terakhir yang diingatnya adalah tabrakan keras, aroma khas rumput yang basah, dan pelukan erat Teana.

"Aku... di mana?"

"Kita udah di rumah," kata Teana. Gadis itu kelihatan cemas sekali. "Kamu nggak apa-apa, Milk? Kamu terluka."

Tangan Milk otomatis meraba dadanya. Rasa sakit itu...

"Lukanya..." Teana mengamati dada Milk. Tidak ada bekas apa-apa di sana. "Hilang?"

"Daya Jigu yang memulihkannya," kata Milk ragu-ragu.

"Apa lukanya masih sakit?" Teana menekan-nekan dada Milk. Sebelumnya ada luka tembak sebesar koin yang menganga di situ. "Aku nggak bisa merasakan pelurunya."

"Pelurunya sudah hilang," kata Milk. Lalu dia teringat pada mimpinya. "Teana, soal mimpiku waktu itu... Aku memimpikannya lagi."

"Mimpi... tentang orang yang ingin membunuh kamu itu?"

"Mimpi matahotra. Mimpi buruk. Aku sudah memimpikan hal yang sama tiga kali. Namun aku yakin sekarang. Gadis muda yang memohon-mohon agar aku dibekukan itu adalah ibuku..."

"Terus, apa lagi yang kamu ingat?"

Kelebat cahaya kuning. Tawa keji yang membekukan. "Donna membunuh ibuku. Kilatan cahaya kuning yang kulihat dalam mimpiku itu adalah... rambut Donna."

Sebuah perasaan membuncah dalam dada Milk. Dia merasa... sedih. Juga marah. Kemarahan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Seolah ada yang membuka sumbat keran ingatannya, memori-memori itu tumpah dalam benak Milk, membanjiri emosinya. Tangan hangat yang memeluknya dengan erat itu adalah tangan ibunya. Pria yang tewas di awal ingatan itu adalah ayahnya. Ibu membawaku kabur dari rumah karena ibu berusaha menyelamatkanku. Pandangannya mulai kabur oleh butiran-butiran air mata, napasnya naik-turun. 

Namun Donna membantai mereka semua.

Teana juga ikut berkata-kaca. Dia meletakkan tangannya di atas tangan Milk. "Aku turut berduka, Milk. Ternyata itu bukan mimpi, tapi ingatan masa lalu kamu."

Milk mengusap air matanya. "Donna mengincar T2 milikku karena mengira alat itu punya Daya Jigu terbesar. Waktu itu aku masih kecil sekali. Donna ingin jadi prajurit terkuat. Dia... dia..." Teriakan-teriakan ngeri itu. Jeritan-jeritan minta ampun. "Dia membantai semua orang di desaku. Dia mengira dengan mendapatkan T2 milikku dia bisa menjadi yang terkuat di antara kami..."

"Lalu bagaimana dengan Costola?" desak Teana. "Ibu kamu menyebut soal Costola juga, kan?"

"Costola itu adalah nama sandi untuk senjata rahasia." Entah bagaimana caranya, Milk tiba-tiba tahu tentang ini, seakan semuanya sudah terekam di dalam otaknya. "T2 milikku tidak akan menghasilkan Daya Jigu terbesar tanpa Costola. Itulah alasan mengapa Donna membekukanku dalam penjara. Dia berharap bisa menemukan Costola lebih dulu sebelum aku. Tanpa Costola itu, T2 milikku akan sama saja dengan T2 milik Donna."

Mata Teana melebar, seiring bertambahnya pemahaman gadis itu pada masalah ini. "Jadi, kalau kamu dibekukan sejak kecil, ini artinya kamu bukan prajurit?"

"Pastilah Donna yang menanamkan memori itu di kepalaku," kata Milk. "Supaya aku tidak ingat tentang orangtuaku. Seperti yang kujelaskan, Teana. Para prajurit K3NT4LM4N13S tidak punya orangtua."

Teana diam sebentar. Rupanya penjelasan ini tak hanya menghebohkan Milk saja. "Tunggu sebentar, Milk. Kalau Donna memang membekukan kamu dalam penjara, kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Aku tidak tahu," kata Milk lambat-lambat. "Pasti ada semacam kekeliruan. Tak seharusnya aku dibebaskan dari penjara. Makanya Donna menyusulku kemari. Pasti dia menangkap pancaran Daya Jigu milikku dan mengira aku sedang mencari Costola juga."

Ada yang membuka pintu kamar. Bobo masuk sambil menggandeng Boni, adiknya. Kedua kakak-adik Antahberantah yang bertubuh subur itu kejepit di pintu.

"Aduh, kak! Masuknya satu-satu!"

"Yeee, itu mah elonya aja yang berasa slim. Udah tahu pintunya sempit, lo hajar aja."

"Eh, kamu juga ya, kak. Mentang-mentang belakangan minum susu L-Men..."

"Teaaaa... tolongin, say!"

Milk tertawa melihat kedua orang gemuk itu terjebak di pintu. Samar-samar Milk ingat Bobo yang mengantarnya dan Teana pulang. Bobo juga yang menjaga Milk selagi Teana membersihkan diri dan mengambil kompres air.

Teana bangkit dari tempat tidur dan menarik tangan Bobo kuat-kuat sampai sahabatnya itu terlepas.

"Gimana, Boni?" tanya Teana. "Gergajinya dapat?"

"Dapat, kak!" Boni merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah gergaji besi elektrik berukuran mini. "Kak Milk, T2-nya boleh dibelah, ya? Nanti aku tempelin lagi."

Milk mengangguk. Lagipula T2 memang sudah tak mau menyala sejak dia mendarat di Bumi.

"Tea, kasih tahu tuh si Boni," kata Bobo tiba-tiba sambil menunjuk adiknya. "Biar lain kali kalo mampir kemari nggak usah mencet bel segala. Sok penting, lo. Gue trauma kalo ada bunyi bel, selalu keinget sama si Donna."

"Ya terus aku harus gimana dong, kak?" protes Boni "Jarak pagar ke pintu depan rumah Kak Teana kan jauh. Nggak mungkin kan aku loncat pagar!"

"Ya lo teriak aja, Bambang! Kan makan lo banyak. Masak nggak ada tenaganya?"

Teana senyum-senyum sendiri menyaksikan tingkah kedua makhluk lucu ini.

"Teana..." Tenggorokan Milk terasa kering. "Bisa tolong ambilkan aku segelas air?"

"Oh oke, Milk. Aku bikinin teh hangat, ya? Tunggu sebentar."

"Terima kasih, Teana."

Gadis itu tersenyum manis. "Sama-sama, Milk."

Boni mencolokan gergaji listriknya di colokan dekat meja. Gadis itu kelihatan ragu-ragu. Bobo mengamati adiknya dengan tegang. Boni mengangkat T2 dan untuk kesekian kalinya mempelajari permukaan dot semi-transparan itu yang mulus tanpa celah, lobang atau rekatan apapun.

"Harusnya sih di sekitar sini..." Boni meraba bagian bawah T2. "Ada semacam input untuk daya."

"Yang bener lo," kata Bobo galak. "Nanti malah rusak lagi."

"Yeee, ini juga emang udah rusak! Kagak nyala, tuh!"

"Maksud gue ntar lo belah malah tambah rusak lagi. Dot kayak gitu belinya bukan di toko sebelah, tapi di galaksi tetangga. Lo pikir ini ngebelah duren?"

"Iya, iya, berisik aja kak! Ini aku hati-hati, kok!"

Boni mengeluarkan sebuah plat logam tebal dengan penyangga dua sisi. Lalu dia meletakkan T2 dengan hati-hati di atas penyangga, mengetatkan kuncinya sehingga dot itu tidak bergeser, lalu menyalakan gergaji besinya.

Alat pemotong itu berdesing penuh semangat.

"Oke, siap..." Boni mendekatkan ujung mata gergajinya ke arah T2. "Tiga... dua... sa..."

ZAP!

"KENTUT KEBO!" Bobo memekik kaget dan terjengkang dari pinggir tempat tidur. "SEPEDA ONTEL! WEDHUS GEMBEL!"

Boni cepat-cepat mematikan gergaji listriknya. Milk bangkit berdiri. Kamar yang temaram itu mendadak berubah terang akibat pancaran cahaya putih dari T2.

"N-N..." Tangan Boni gemetar menunjuk dot itu. "NYALA!"

Milk mengambil T2 itu. T2 menyala! Sinarnya terang sekali, seperti matahari mini. Rasanya sudah lama sekali sejak Milk melihat alat itu menyala.

"Pakai, Milk!" Bobo bersorak menyemangati. "Sedot T2-nya! AYO, KENYOT SEKARANG!"

Bobo benar. Milk mengangkat dot itu ke arah mulutnya dan menyelipkannya di antara bibirnya.

"Ribut-ribut kenapa sih?" Pintu kamar terbuka. Teana masuk membawa tiga cangkir teh di atas nampan. "Bo, latah lo kedengeran sampai bawah tahu!"

"YAAAAAH!" Boni meringis. "MATI!"

Teana celingak-celinguk bingung. "Apanya yang mati?"

Milk melepas kembali T2. Alat itu sudah tak lagi menyala. "Tadi T2 menyala."

"Pas Kak Teana masuk, T2-nya langsung mati!" kata Boni. "Padahal tadi udah nyala. Terang banget, lagi."

"Oh, ya?" Teana keheranan. "Kok bisa tiba-tiba nyala?"

"Nah. Kita juga nggak tahu. Makanya, lo coba keluar dulu deh, say. Siapa tahu dia nyala lagi," kata Bobo sambil mengibas-ngibaskan tangan. "Buruan, shaaay!"

"Iya, iya, oke. Gue keluar..."

Meski tersinggung, Teana menurut. Gadis itu beranjak keluar dan menutup pintu di belakangnya. Ini bukan soal aku, Teana mengingatkan dirinya sendiri. Ini soal Milk. Dan kalau T2 menyala, artinya Milk bisa pulang

Di dalam kamar, Bobo dan Boni merengek bersamaan. "Yaaah, tetap nggak bisa."

"Yakin?" kata Teana dari balik pintu. "Gue ke bawah, ya. Coba deh..."

Pintu kamar terbuka. Milk keluar dan menarik tangan Teana. Cowok itu tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Teana. Kamu tidak perlu turun ke bawah. Sepertinya T2 memang rusak. Aku rasa yang tadi itu adalah sisa-sisa Daya Jigunya."

"Tapi Daya Jigu kamu masih ada sisa kan, Milk? Belum habis semuanya, kan?"

"Iya..." Cowok itu menekan lembut tangan Teana. "Aku baik-baik saja."

Di dalam kamar, Boni sudah menyalakan gergaji mesinnya, siap membelah T2.

"Tunggu dulu, Boni!" Tiba-tiba Teana teringat sesuatu. "Kalian yakin tadi T2 betul-betul menyala?"

Bobo dan Boni mengangguk dalam-dalam.

Hipotesis ini mulai terbentuk di benak Teana dan gadis itu memohon semoga apa yang dia pikirkan salah. "Dan kalau T2 menyala, berarti alat itu memancarkan Daya Jigu, kan?"

"Betul," kata Milk.

"Milk..." Semoga aku salah! "Tadi kamu bilang, Donna bisa melacak pancaran Daya Jigu. Itulah yang menyebabkan dia menyusul kamu ke Bumi, kan?"

Dalam sekejap, kamar itu berubah hening.

Bobo dan Boni saling tatap, keduanya langsung heboh. Milk memandangi Teana dalam-dalam, seperti mencoba membaca alur pikiran gadis itu.

"Teana benar," kata Milk lemah. "Donna bisa melacakku."

"KALO BEGITU NGAPAIN KITA MASIH PLANGA-PLONGO DI SINI!" Bobo berteriak histeris. "Kita nggak boleh ada di rumah ini! Kita harus pindah!"

"Si Donna bisa jadi dalam perjalanan ke sini!" timpal Boni serius. "Kita harus kabur!"

Teana galau dan mulai panik. "Tapi kita kabur ke mana?"

Bobo meraup baju-baju dari lemari pakaian dan memasukkannya ke dalam ransel. "Gue tahu tempat yang aman di mana kita bisa sembunyi!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top