26. Kelas Astronomi


Dengan adanya Milk di rumah, Teana jadi punya seseorang yang bisa disuruh-suruh. Meski level daya Jigu-nya rendah, Milk jarang sekali kelelahan. Kemarin pagi Milk membantu Teana menjemur kasur-kasur di rumah. Menarik satu kasur ke halaman depan saja sudah bikin Teana ngos-ngosan, tapi Milk bahkan tak berkeringat setitikpun. Stamina Milk masih tak berkurang meski sudah mengangkat empat kasur (satu milik Teana, satu milik Mama dan Papa, satu dari kamar Tito dan satunya lagi kasur tamu). Milk menawarkan diri untuk menjemur sofa juga. Karena pekerjaan rumah sudah selesai, Teana mengajak Milk menguras kolam ikan di belakang, membersihkan langit-langit, mencuci gorden, membereskan garasi, memangkas bonsai, dan menggosok lantai dapur (sembilan puluh persen dikerjakan Milk, tentu). Kata Milk, dia harus terus aktif bergerak karena kalau tidak energi Jigu-nya akan menyusut lebih cepat, jadi Teana pikir apa salahnya "mempekerjakan" Milk, toh cowok itu juga tidak keberatan.

Pagi ini Teana mengajak Milk untuk ikut lagi ke kampus. Sejak kejadian belanja baju di MartTrans dan insiden ikan koi yang nyaris tertombak, Teana tahu dia tidak bisa meninggalkan Milk seorang diri. Lagipula Teana masih cemas memikirkan Donna, wanita alien yang mengejar-ngejar Milk. Walaupun Teana nggak bisa memastikan kalau Milk aman jika bersamanya (lebih tepatnya sih sebaliknya, Teana yang aman kalau bareng Milk), gadis itu merasa lebih lega jika Milk dekat dengannya.

"Tssaaay," desis Bobo dari samping. "Pinjem hotspot dong."

"Buat apaan?"

"Live IG. Kuota gue habis. Dipake Boni main Mobailejen."

"Live terooooos."

"Dari pada eik buka situs-situs yang nggak bener, mending Live ya kaaan..."

"Alah, followers cuma tiga puluh aja gaya."

"Julid, say? Makan Mentos gih, biar nggak asem mulutnya."

Sambil menggerutu, Teana menyalakan hotspot di ponselnya. Bobo memang lucu dan sudah membuat tiga video-video konyol. Video-video itu dapat respon yang lumayan, makanya Bobo tambah keranjingan bikin konten. Akibatnya, belakangan ini sahabat Teana itu terobsesi menjadi Selebgram demi dapat banyak job buat endorse, biar nggak usah capek-capek kerja jadi astronom.

"Kok lemot sih, say? Jangan-jangan kuota lo juga yang sisa gratisan."

"'Set dah... calon Selebgram banyak komplen! Mau tenar modal kuota dooong."

"Namanya juga bakal tenar, say, belom tenar beneran. Makanya masih kere," protes Bobo, bibirnya manyun. "Kita kan selalu berbagi dalam suka dan duka sejak muda belia, Teana."

Milk menoleh pada Bobo. "Memangnya Bobo sudah tua?"

"Bukan begitu maksud akikah, Milka sayang," kata Bobo manja. "Maksudnya tuh, gue sama Teana kan udah berteman dari zaman ayam bisa kencing, waktu kita masih keciiiil banget. Sekitaran setahunan ya, Tea? (Teana mengangguk setuju). Nah, sejak itu kita selalu bersama dan berbagi, mengarungi hidup yang fana dan kejamnya dunia sebagai dua orang sahabat sejati."

"Sahabat..." kata Milk pelan-pelan. "Selalu berbagi?"

"Iya, sayang," jawab Bobo, kedengaran mulai bosan. "Please deh, kamu ngertiin aku dong. Ngejelasin yang beginian kan susah, kamu jangan lemot terus ya. Katanya teknologi dari planet kamu-"

Pintu ruang kelas terbuka. Pak Piktor sang dosen masuk, raut wajahnya kusut, rambutnya yang biasa disisir klimis agak awut-awutan. Dosen mereka itu seperti bertambah tua seratus tahun sejak terakhir kali dia masuk kelas.

"Hari ini kita kuis," katanya datar.

Seisi kelas langsung memprotes. Tangan gemuk Bobo yang dari jauh bisa dikira gedebong pisang terangkat. "Nggak bisa gitu dong, pak! Minggu lalu bapak nggak masuk dan kita nggak tahu apa-apa soal kuis."

"Kita tuh nggak bisa diginiin, pak," dukung Sissy Similikiti dramatis. "Saya kan belum belajar."

"Oke, oke." Pak Piktor mengangkat tangan, menyerah. "Seharusnya kan memang sudah tugas kalian untuk belajar. Bagaimana kalau kuisnya lisan saja? Pertanyaan-pertanyaannya sederhana kok, tentang materi astronomi semester satu. Setuju ya?"

Para mahasiswa bergumam-gumam tak setuju.

"Bapak baik-baik aja, pak?" tanya Kai dari baris depan. Rupanya bukan hanya Teana yang menyadari penampilan lesu dan lusuh sang profesor hari ini.

"Ada masalah dengan alat yang jadi bahan penelitian saya. Alat itu dipinjam orang," kata Pak Piktor sedih. "Saya sedang tidak bisa berkonsentrasi untuk mengajar."

Teana meneliti Pak Piktor. Biasanya dosen mereka itu selalu ceria dan bersemangat di kelas, tapi kali ini beliau kelihatan berbeda. Pasti alat itu berarti sekali buat Pak Piktor...

"Yang dapat nilai seratus boleh pulang," kata Pak Piktor. "Kalian tulis jawabannya di selembar kertas dan akan dikumpul. Jawaban-jawaban kalian akan saya cek nanti beserta hitung-hitungannya, jadi jangan curang, ya."

Kelas langsung gaduh. Sudah pasti nggak ada yang mempersiapkan diri untuk kuis dadakan ini. Kalut, Teana buru-buru merobek selembar kertas dari catatannya. Dia juga memberikan selembar kertas pada Milk. Bobo mulai menggigiti tutup pulpen dengan gugup.

Pak Piktor membuka catatannya dan memakai kacamatanya. "Soal pertama. Jika satu Astronomical Unit nilainya seratus lima puluh juta kilometer, gunakan cara tercepat untuk menentukan jarak antara Saturnus dan Matahari!"

Otak Teana langsung bekerja. Ini artinya menggunakan deret Titus-Bode. Bumi bernilai enam. Mars dua belas. Saturnus dua puluh empat. Aduh, apa rumusnya?

"Empat ratus dua puluh juta kilometer."

Seisi kelas langsung tertegun. Tangan Milk terangkat. Kertas di atas mejanya masih kosong.

"Benar." Pak Piktor menatap Milk dari balik kacamatanya. "Bagaimana cara menghitungnya, Milka? Coba kasih tahu teman-teman!"

"Teman seangkatan saya berasal dari Saturnus."

"Apa?"

"Titus!" potong Teana segera. "Maksud Milka, pakai deret Titus-Bode, pak!"

Beberapa mahasiswa menggerutu kecewa sekaligus putus asa. Mereka belum selesai menghitung. Di baris depan, Kai mengeluarkan kalkulator lalu menghitung. Cowok itu memicing tak percaya pada Milk.

"Soal kedua." Pak Piktor kembali menekuni catatannya. "Tentang periode revolusi. Diketahui ada dua planet, X dan Y, yang mengorbit Matahari. Jika perbandingan jarak masing-masing planet ke Matahari adalah tiga banding satu, maka tentukan perbandingan periode revolusi kedua planet!"

Para mahasiswa mengerang kesal. Soal-soal kuis ini ternyata lebih sulit dari dugaan mereka. Bobo meremas kertas pertamanya dengan geram dan merobek kertas kedua. Teana menarik napas, mencoba mencari jawaban. Perbandingan periode revolusi. Apa ini artinya aku harus memakai Hukum Kepler?

"Tiga akar tiga."

Teana mencelos. Di sampingnya, tangan Milk sudah naik lagi. Pulpen di mejanya masih tertutup, dan kertasnya masih bersih.

"Benar," kata Pak Piktor. Alisnya mengernyit, dia mencondongkan tubuh ke depan untuk melihat Milk. "Sepuluh poin lagi untuk kamu. Bagaimana cara kamu menghitungnya, Milka?"

"Komputer memberitahu saya..."

"KEPLER!" teriak Teana. "Maksud Milka, pakai perbandingan dan Hukum Kepler, pak."

Pak Piktor kelihatan curiga. Sekarang dia menatap Teana dan Milk berganti-gantian. Teana nyengir lebar dan menyikut Milk keras-keras, cowok itu hanya menoleh kebingungan (sama sekali nggak sakit). Sissy dan anak-anak lain mulai melirik Milk, mereka kelihatan tidak senang didahului menjawab seperti itu. Yang Milk lakukan malah bisa dibilang bukan sekedar mendahului, tapi langsung menjawab tepat setelah Pak Piktor selesai menyebutkan soalnya.

"Kai, kamu juga dapat tiga akar tiga? Bagus." Pak Piktor memandangi seisi kelas. Dua tangan lain teracung. "Siapa lagi? Ines? Bagus."

"Milk, kamu jangan jawab lagi!" bisik Teana. "Gawat kalau Pak Piktor sampai tahu!"

"Tapi Pak Piktor bertanya," kata Milk polos. "Dan aku tahu jawabannya."

"Pokoknya jangan jawab lagi!"

"Soal ketiga," lanjut Pak Piktor. "Ini soal analisis. Seorang astronom mengamati bahwa Galaksi Andromeda memiliki pergeseran biru, bukan merah. Apakah artinya ini?"

Para mahasiswa mengeluh keras-keras. Soal yang susah lagi. Bobo melempar pulpennya dengan gaya menyerah. Teana tertunduk dan memikirkan jawaban itu. Pergeseran biru dan merah? Ini pertanyaan sederhana. Seharusnya aku bisa menjawabnya. Aduuuuh!

Beberapa anak mengetuk-ngetuk pulpen dengan tak sabar. Kai memijit-mijit keningnya, seperti pening.

"Nah?" tantang Pak Piktor. "Ada yang tahu jawabannya?"

Tak ada yang menjawab. Sepertinya para mahasiswa sudah lupa tentang materi seperti ini.

Pak Piktor melirik Milk. "Milka?"

"Itu artinya Galaksi Andromeda sedang berjarak terlalu dekat dengan Bima Sakti," jawab Milk lancar. "Akibatnya, efek pengembangan galaksinya jadi kurang terlihat jelas. Sebaliknya, yang tampak jelas malahan geraknya dalam ruang. Biru berarti benda angkasa tersebut bergerak mendekati Bumi."

Teana mencelos. "Milk!"

Pak Piktor mengangguk setuju. "Dan kamu mendapat hasil analisis ini dari...?"

"Sewaktu pelatihan tempur, kami pernah berlatih dengan pasukan dari Andromeda. Salah satu kadet sering bolak-balik ke Bumi dan-"

BRAAAK!

Teana sengaja mendorong tas dan buku-bukunya hingga jatuh di depan Milk. Kenapa Milk masih terus menjawab? Teana meraup kembali barang-barangnya yang jatuh, mencolek kaki Bobo minta bantuan, dan sumringah minta maaf pada Pak Piktor.

"Hukum Hubble dan Efek Doppler, pak!" kata Bobo cepat-cepat. Dia menukar kertas kosong Milk dengan catatannya sendiri dan melambaikannya pada Pak Piktor. "Ini, Milka nulis begitu."

"Soal keempat," kata Pak Piktor. Kali ini sang dosen tak mengecek catatannya. Beliau malah lurus-lurus menatap Milk, seperti menantang cowok itu. "Sebuah bintang raksasa memiliki tingkat luminositas yang sama dengan bintang di deret utama. Bintang tersebut ukurannya lebih besar. Maka, manakah elemen yang lebih kecil nilainya dibandingkan dengan bintang utama?"

Teana dan Bobo menahan tangan Milk agar tidak terangkat, tapi cowok itu nyeletuk dengan santai. "Temperaturnya."

"Tepat sekali." Pak Piktor melepas kacamatanya. "Dan dari mana kamu tahu tentang itu?"

"Sembilan puluh persen bintang di tata surya termasuk dalam bintang deret utama karena melakukan fusi hidrogen pada intinya. Tapi bintang utama galaksi kami, Nyamnyam-"

"Hukum..." Otak Teana susah payah mengingat. "Hukum Radiasi Stefan Boltzmann!"

Milk diam dan tersenyum riang pada Pak Piktor.

Pak Piktor menutup buku catatannya dan maju ke depan meja. Teana dan Bobo otomatis menahan Milk agar cowok itu bersandar di kursinya. Apa Pak Piktor tahu? Sebutir keringat dingin jatuh dari pelipis Teana. 

Pak Piktor mendekati baris mereka dan mengecek. "Kamu nggak nyontek kan, Milka?"

Milk menggeleng. "Tidak, pak."

Pak Piktor meneliti kertas-kertas coretan Teana, Milk dan Bobo. "Baik. Soal berikutnya. Kali ini saya minta hanya Milka saja yang menjawab."

"Tapi, pak..."

"Diam, Teana." Alis Pak Piktor mengerut. "Asumsikan Jupiter sebagai benda hitam yang memancarkan energi sebesar yang diterima Matahari. Berapa temperatur permukaan Jupiter?"

Milk berkedip-kedip sebentar. "Seratus dua puluh tiga koma nol enam tiga Kelvin atau minus seratus lima puluh derajat Celcius."

Seisi kelas ber-oooh takjub.

Pak Piktor membuat suara tak puas dengan mulutnya. "Benar. Berapa temperatur asli Jupiter?"

"Seratus empat puluh lima derajat Celcius."

"Ooooooh!"

"Berapa rasio temperatur permukaan Jupiter sebagai benda hitam dan temperatur aslinya?"

"Nol koma dua sembilan."

"Ooooooooooh!"

"Benar. Sebuah bintang memiliki massa dan radius serupa dengan Matahari mengubah seluruh energi potensial gravitasinya menjadi energi radiasi dengan luminositas sebesar L hingga kematiannya. Berapakah umur bintang tersebut?"

"Tiga koma nol empat kali sepuluh pangkat tujuh tahun atau tiga puluh juta empat ratus ribu tahun."

"OOOOOOOOOOH!"

Seisi kelas bertepuk tangan tangan. Mereka menyoraki Milk yang jawabannya benar semua. Teana memejamkan mata dengan pasrah. Di sebelah Milk, Bobo sudah melorot rendah sekali di kursinya, kepalanya yang bulat nyaris setara tinggi meja.

Pak Piktor tidak bertepuk tangan. Dia mendekati Milk dan mempelajari cowok itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ekspresinya sulit ditebak. Lalu profesor astrofisika itu berkata pelan, "Milka, selesai kelas tolong ke kantor saya sebentar. Ada yang ingin saya tanyakan ke kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top