23. Makan Malam
"YA AMPUN TEA! KOK BASAH-BASAHAN BEGINI?"
Mama Teana geleng-geleng keheranan melihat anak gadisnya yang sedang berjinjit-jinjit masuk ke ruang tengah, air menetes-netes dari tubuhnya basah kuyup.
"Di luar hujan deras banget, Ma."
"Iya, Mama tahu. Mama kan nggak budeg..." Mama Teana menoleh ke pintu depan dan dia melihat Milk. "Astaga, kamu juga, Milka? Kalian nggak bawa payung?"
"Saya membuat pa-"
"Payung aku ketinggalan di mobil Bobo," potong Teana cepat-cepat. Saya membuat payung, begitu yang sebenarnya ingin Milk katakan. Tapi Milk menahan diri. Teana melanjutkan memberitahu ibunya. "Bobo cuma nge-drop sampai pos satpam. Aku ganti baju dulu ya, Ma!"
"Ganti baju terus keringin rambut ya, Tea!" kata Mama Teana. "Habis itu turun ke bawah buat makan, sebentar lagi Papa pulang. Kamu juga ya, Milka. Kalau nggak ada baju lagi, pakai aja baju Tito."
Milk menunduk pada wanita itu. "Terima kasih, Mama Teana."
Milk menyusul Teana naik ke atas, ke kamar mereka masing-masing. Di puncak tangga mereka berpisah, Teana berbelok ke kamarnya sementara Milk masuk ke kamar Tito Carnivora kakak Teana yang letaknya di seberang kamar gadis itu.
Di dalam kamar, Milk bersandar di balik pintu yang tertutup. Dia merasa... hakunushi. Lagi-lagi dia tidak tahu apa terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Perasaan ini... aneh. Selama ini aku hanya mendengar dan menyaksikan orang-orang merasa hakunushi – mereka kelihatan sangat damai dan tenang. Aku tak pernah menyangka aku akan merasakannya juga sekarang.
Milk menatap kaca jendela kamar yang berembun karena hujan. Di luar, hujan sudah mereda sedikit. Mengapa aku merasa hakunushi?
Cowok itu memejamkan mata dan mengabaikan perasaannya. Nanti juga hilang sendiri. Dia mengeluarkan T2 dan komputernya dari saku lalu berganti pakaian. Baju-baju yang dibelinya bersama Teana belum kering dijemur, jadi Milk harus meminjam dari lemari Tito dulu. Baju-baju Tito agak kependekan di Milk (cowok itu sekepala lebih tinggi dari kakak Teana), tapi dia tidak keberatan.
Ada ketukan samar di pintu. "Milk? Kamu mau pinjam hairdryer?"
Rupanya Teana. "Hairdryer?"
"Alat pengering rambut. Nanti kamu pilek, lho."
Teana membuka pintu dan tertawa geli begitu melihat Milk. "Ya ampun, kaosnya kependekan ya? Pusar kamu sampai kelihatan begitu."
"Iya..." Hakunushi. "Aku pinjam hairdryer ini ya, Teana."
Milk masuk kembali di kamar. Perasaan itu lagi. Dia menukar kaos kependekan itu dengan sebuah hoodie dan mengeringkan rambutnya. Teana masih menunggu. Di balik pintu ini. Milk bisa merasakannya.
Milk menatap bayangannya sendiri di depan cermin. Tidak ada yang berubah. Aku masih M1LK yang sama... Seseorang pernah memberitahunya – dia lupa siapa – bahwa kalau kita menghabiskan waktu cukup lama dengan satu kelompok tertentu, tingkah dan pola pikir kita akan mengikuti kelompok itu.
Apa aku sudah berubah menjadi seperti manusia?
Milk meraba sejumput rambutnya yang berwarna putih. Rambutku masih sama. Wajahku juga.
"Milk?" Ketukan lagi di pintu. "Turun yuk! Papa udah datang. Kita makan malam."
Hakunushi.
Milk membuka pintu dan mengikuti Teana turun ke bawah. Sekarang namaku Milka, katanya pada dirinya sendiri. Ya, aku tak bisa memberitahu Mama dan Papa Teana. Eh, sebetulnya bukan tidak bisa. Teana yang tidak membolehkan.
"Milk, kalau Papa tanya kita ngapain aja hari ini..." Di dasar tangga, Teana menarik Milk untuk menepi. "Aku aja yang jawab, ya. Kamu nggak usah cerita soal kejadian aku hampir kecelakaan itu."
Mata Teana membesar. Gadis ini sepertinya memohon. "Baik, Teana."
Mereka lalu pergi ke ruang makan. Mama Teana sibuk menyiapkan piring, sementara Papa Teana sedang memberi makan Fugu si ikan buntal.
"Tea, Milka..."
"Hai, Pa!"
"Kata Mama kalian tadi hujan-hujanan, ya?"
"Iya. Payung Tea ketinggalan di mobil Bobo."
"Ooooohhhh..."
"Om tumben pulang cepat," kata Milk. Biasanya Papa Teana sampai di rumah setelah gelap.
"Oh, ini..." Papa Teana mengangkat bungkus makanan ikan. "Om lupa belum beli makanan ikan. Dari kemarin ikan-ikannya belum dikasih makan. Jadinya om buru-buru pulang."
Makanannya enak, kata Fugu. Tentu saja Teana dan Papanya tidak bisa mendengar ini karena mereka tidak mengerti Bahasa Ikan.
"Pa," kata Teana sambil menunjuk ke dalam akuarium. "Itu mainannya si Fugu ada yang rusak, tau. Kemarin pas Tea bersihin akuarium, nggak sengaja keinjek."
"Oh, ya?" Tiba-tiba Papa Teana kelihatan panik. "Yang mana?"
Milk juga ikut-ikutan mengamati akuarium. Mainan yang rusak?
"Itu, Tea taruh di atas kulkas," kata Teana. "Yang rumah-rumahan."
"Ooh..." Papa Teana mengambil jaring dan menggunakannya untuk mengangkat sebuah mainan di dalam akuarium. "Papa pikir yang ini."
Pajangan akuarium itu berbentuk pesawat luar angkasa.
'JANGAN DIA! AKU SAJA!'
Suara seorang gadis muda. Jeritan yang nyaring.
'JANGAN BUNUH M1LK!'
Kelebat cahaya kuning terang. Tubuh yang terbujur kaku. Tawa dingin yang kejam.
Mati.
Matahotra.
"M1LK!"
Suara itu terdengar jauh. Samar-samar dan bergema. Milk gemetar dan berusaha menarik napas dalam-dalam. Dia mengerjapkan mata, mencoba menjernihkan pikiran.
Apa itu tadi?
"MILKA!" Suara gadis muda itu berubah menjadi suara Teana. Wajahnya yang mengernyit kesakitan ketika kematian menjemput berganti rupa menjadi wajah oval Teana dan matanya yang cokelat gelap.
"Milka?" Ada wajah lain yang muncul. Papa Teana. "Kamu kenapa?"
"Pasti gara-gara kehujanan!" Mama Teana muncul dan membimbing Milk ke meja makan. Ada perkedel jagung, ikan goreng sambal, tumis kangkung terasi, dan sekaleng kerupuk. "Jadinya masuk angin begini. Ayo, cepetan makan!"
Teana dan kedua orangtuanya duduk di meja makan dan mengucap doa. Tapi Milk masih diam membeku. Aku mendengar suara gadis muda itu lagi! Gadis muda yang ada di mimpiku!
Keluarga Teana mulai makan. Milk menggelengkan kepala, mencoba mengusir bayangan itu. Itu cuma mimpi. Itu bukan apa-apa.
"Milka mau nasinya banyak apa sedikit?" kata Mama Teana sambil memegang sebuah piring di dekat rice cooker. "Tante ambilin ya. Kamu kayaknya mau sakit."
"Umm itu..." Matahotra. "Secukupnya saja, Tante."
Papa Teana mengangkat topik pembicaraan. Seperti dugaan Teana, beliau bertanya soal hari anaknya dan Milk sendiri. Sambil makan, Teana menceritakan harinya, minus insiden di Indomaret itu. Mama Teana menggoda anaknya, menyebut Teana seperti anak kecil karena masih suka main hujan. Papa Teana menyambung godaan istrinya dengan menceritakan kisah memalukan Teana yang tercebur di got waktu SMP kelas tiga. "Kayak tikus got," kata Papa Teana. "Si Tito sampe ngira dia ketemu genderuwo!"
Tawa meledak di meja makan.
Teana tertawa malu-malu dan mulai meninju Papanya. Milk juga ikut tertawa. Perlahan-lahan dia merasa lebih baik, kelebat ingatan mengerikan itu mengabur. Dadanya terasa hangat, tak lagi dingin.
"Milka, kamu belum pernah cerita soal tempat asal kamu," kata Papa Teana, di ujung bibirnya ada secuil sambal. "Gimana sih Alaska itu?"
"Antartika, Pa," koreksi Mama Teana lembut. "Milka dari Antartika, ya kan?"
"Lho, memangnya Antartika itu ada penghuninya ya, Ma?"
"Ya kalo ada memangnya kenapa atuh, Pa... Papa mau nyaleg di sana?"
Milk menyenggol Teana. Aku kan tidak mungkin bilang aku dari K3NT4LM4N13S.
"Umm... anu..." Teana cepat-cepat mengunyah makanannya. "Sebenarnya Milka dari Amerika."
"Amerika itu yang dekat Paris, bukan?"
"Paris itu di Prancis, Ma," sahut Teana. "Beda benua."
"Oh, ya? Wah, maaf ya, Milka," Mama Teana terkikik malu. "Nilai ulangan Geografi Tante waktu sekolah dulu selalu nol semua."
Mereka tertawa lagi. Kali ini giliran Papa Teana yang menceritakan kejadian lucu tentang dirinya. Beliau bercerita bahwa kalau dulu sewaktu sekolah, nilai Matematikanya juga selalu nol. Tapi lucunya sekarang beliau malah jadi bankir.
Milk ikut senyam-senyum mendengar cerita itu. Dia tak bisa cerita banyak tentang masa lalunya. Pelatihan prajuritku sangat membosankan. Lagipula Teana tidak mungkin membiarkan aku bercerita. Jadi dia hanya mendengarkan saja. Keluarga Teana tampak seperti keluarga yang lucu, ceria dan saling menyayangi. Satu-satunya anggota keluarga ini yang belum ditemui Milk adalah Tito Carnivora, kakak laki-laki Teana yang kamarnya sedang Milk tinggali sementara.
Selesai makan, mereka menonton televisi. Sinetron favorit Mama Teana sedang ditayangkan. Tapi Milk bangkit dan pamit.
"Milka," cegah Mama Teana. "Udah mau tidur? Nggak suka sinetron, ya?"
"Di Amerika kan nggak ada sinetron, Ma," kata Papa Teana sok tahu. "Apalagi yang episodenya sampai ribuan kayak di sini."
"Saya hanya perlu istirahat," kata Milk. Dia tersenyum. Mama dan Papa Teana ber-oooh panjang dan menyilakan cowok itu pergi. Tapi Teana mengejarnya.
"Kamu kenapa, Milk?" Teana mencoba melihat wajah Milk, tapi cowok itu berpaling. "Kamu beneran mau pilek, ya? Kepala pusing? Hidung mampet?"
"Bukan. Bukan itu, Teana..." Seandainya aku punya keluarga... "Aku cuma... lelah."
Alis Teana mengernyit. Dia tidak percaya. Gadis itu masih mengamati Milk selama beberapa waktu dan Milk berusaha kelihatan jujur. Aku memang agak lelah. Gara-gara level Jigu yang rendah...
"Oke deh kalau gitu, Milk." Teana meremas lembut bahu cowok itu. "Kamu istirahat aja, gih."
"Terima kasih, Teana."
"Sama-sama, Milk. Jangan langsung tiduran, ya. Nanti megah, lho. Baca komik-komiknya Tito aja."
"Baik, Teana."
Milk melewati akuarium dan sengaja tidak melihat Fugu dan mainannya yang berbentuk pesawat luar angkasa itu. Cowok itu lalu naik ke kamar Tito di lantai dua dan menutup pintu. Dia tersenyum, sebuah perasaan yang menyenangkan memenuhi dirinya, seperti meminum teh hangat di tengah hujan.
Hakunushi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top