20. Bastian Mencari Jawaban
Bastian memutar cincin di jari manisnya, memastikan benda itu terpasang rapat.
Mood-nya sedang tidak baik. Bagaimana tidak, sudah hampir dua minggu sejak huru-hara itu dan dia masih belum menemukan jawabannya. Tadi pagi Bastian dipanggil untuk bertemu dengan Kepala BIN, atasannya. Beliau menanyakan perkembangan penyelidikannya. Dengan berat hati Bastian hanya bisa memberikan jawaban alakadarnya.
Bastian geram pada dirinya sendiri karena tak sanggup memberikan jawaban yang memuaskan.
Padahal dia sudah mengirim anak buahnya untuk menyelidiki. Yang terakhir malah gagal total. Hari ini Bastian itu bertekad untuk mencari jawaban. Kali ini, saatnya dia turun langsung. Tak boleh lagi mengandalkan orang lain. Tak boleh lagi mengulangi kesalahan.
"Pak," sopirnya memanggil. "Kita sudah sampai di Universitas X."
Bastian mengangguk. "Rendra, Gavin, bawa kopernya!"
"Siap, pak!" sahut Rendra dan Gavin.
Mereka turun dari mobil dan masuk ke halaman depan yang penuh orang. Dia mengisyaratkan para anak buahnya untuk belok ke samping ke arah parkiran, menuju gedung sebelah. Kampus sedang ramai. Kita tak boleh menarik perhatian...
Melewati lapangan parkir, mereka menuju gedung lain berwarna biru yang terletak di samping gedung utama. Sesuai instruksi Bastian, para anak buahnya yang memakai pakaian sipil langsung "berbaur". Mereka kelihatan persis seperti mahasiswa yang mondar-mandir di lingkungan kampus.
Mereka masuk ke dalam gedung, naik ke lantai tujuh dan menuju ruangan besar di sisi kiri. Papan nama kuningan di pintunya berbunyi: Prof. Piktor Pirmansyah, Phd.
Bastian mengetuk pintu.
"Masuk."
Di dalam ruangan, Profesor Piktor sedang duduk di meja kerjanya. Seperti profesor lainnya di universitas, pria itu kelihatan cerdas sekaligus rapuh, seakan-akan tiupan angin saja dapat mematahkan punggungnya. Rambutnya beruban dan dahinya berkerut-kerut, seperti sering dipakai untuk berpikir.
"Pak Bastian," sapa Piktor. "Kita ketemu lagi."
"Terima kasih karena Anda sudah bersedia menemui saya."
Piktor tersenyum getir. "Kebetulan saya tidak ada kelas hari ini."
"Baik sekali," kata Bastian. Dia menjentikkan jari. Gavin dan Rendra langsung mengunci pintu ruangan itu.
Sebutir keringat mengalir turun di tengkuk Piktor. "Err, sebenarnya pintunya tak usah dikunci."
"Saya memilih untuk tidak diganggu."
"Tidak akan. Para dosen yang lain sedang mengajar."
"Saya tidak mau mengambil resiko," kata Bastian dengan nada menyudahi. Dia meraih koper berwarna metalik yang diangsurkan Gavin dan membukanya di depan sang profesor. "Saya ingin tahu apa pendapat Anda soal ini..."
Bau amis yang menyengat memenuhi ruangan itu. Piktor terbatuk kecil dan mengangkat tangannya ke hidung. Dia meneliti onggokan berlendir di dalam koper. "Ini... apa?"
"Sisa-sisa tubuh Koda," kata Bastian. Dia tidak menutup hidung, bau amis ini tak mengganggunya. "Bagian ini diambil dari dalam kepalanya. Saya ingin Anda menelitinya."
"Saya profesor astrofisika, Pak Bastian. Ini di luar bidang saya." Piktor mengangkat telepon. "Saya bisa minta tolong Profesor Sukma dari Fakultas Biologi. Ini keahlian beliau."
Bastian menarik telepon itu dan menutupnya. "Tidak perlu."
"Tapi..."
"Saya bilang tidak perlu," ulang Bastian tegas. "Saya ke sini untuk minta bantuan Anda."
Piktor melirik dua anak buah Bastian yang berotot dan bertampang garang. Seketika itu sang profesor tahu bahwa dia tidak punya pilihan. "Saya tidak paham soal struktur organisme..."
"Coba saja," paksa Bastian tajam. "Apa pendapat Anda?"
Piktor menelan ludah. Dia mengambil sebatang pulpen dan memakainya untuk meneliti potongan daging berbau amis itu. "Hmm... dari penampakannya, sepertinya daging dan otot ini masih segar, tidak busuk. Bentuk dagingnya berserat dan liat. Darahnya berwarna..." Piktor melongok untuk melihat lebih jelas genangan di dasar koper. "Keemasan..."
Bastian membiarkan si profesor meneliti. "Lalu?"
"Setahu saya, tidak ada makhluk Bumi yang memilki darah berwarna emas," kata Piktor. Bahkan tanpa menanyai Profesor Sukma, dia yakin soal ini. "Selain itu, saya juga tidak mencium aroma formalin atau zat pengawet lainnya. Fakta bahwa dagingnya belum membusuk setelah dua minggu tanpa direndam pengawet membuat saya semakin yakin kalau ini bukan berasal dari organisme Bumi."
"Tapi Koda muncul dari dalam tanah," kata Bastian.
Piktor mengangguk-angguk. Naluri penelitinya terpicu. "Apa LIPI menemukan kadar radioaktif di dalam tubuh Koda?"
"Radioaktif?"
"Paparan radioaktif dalam level tinggi misalnya akibat nuklir dapat menyebabkan mutasi," Piktor membolak-balik daging itu dengan pulpen. "Bisa jadi Koda adalah spesies asli Bumi, misalnya kadal atau biawak, yang terkena radiasi nuklir selama bertahun-tahun dan berubah menjadi monster. Darah yang berwarna keemasan itu bisa jadi buktinya."
"Radiasi nuklir, ya..." Bastian memutar-mutar cincinnya sambil berpikir keras. "Di Indonesia ada tiga reaktor nuklir; di Jogja, Bandung, dan Tangerang."
"Tapi butuh paparan terus-menerus dan mutasi puluhan tahun agar seekor hewan bisa menjelma menjadi monster sebesar dan sekuat Koda," kata Piktor. "Ketiga reaktor di Indonesia tergolong baru dan kandungan nuklirnya tidak cukup kuat untuk memacu mutasi seperti ini. Begitu juga dengan reaktor-reaktor lain yang pernah ada. Bahkan perubahan fisik yang disebabkan oleh ledakan sekelas Chernobyl sekalipun tak ada apa-apanya dibandingkan Koda."
Cincin di jari Bastian hampir terlepas karena dia memutarnya terlalu cepat. Pria itu cepat-cepat merapatkannya lagi. Dia menyuruh Rendra untuk menutup koper itu. "Apa menurut Anda radiasi itu bisa berasal dari komet?"
"Komet? Maksud Anda, meteor?" Mendengar ini, Piktor langsung bersemangat. "Dua meteor yang jatuh di dekat Mall Pondok Cabe-cabean dan Kepulauan Seribu itu?"
Bastian mengangguk. Dia memang belum memberitahu apa-apa pada sang profesor soal pesawat luar angkasa. "Benar."
"Meteor pada umumnya tidak mengandung radiasi seperti yang kebanyakan orang-orang pikir," kata Piktor. "Meteor hanyalah seperti batuan Bumi biasa. Kalaupun ada zat asing yang terkandung di dalamnya, biasanya hanya dalam konsentrasi rendah."
Bastian menatap sang profesor dalam-dalam. Apa orang ini bisa dipercaya? Sama seperti Bastian Abdinegara, Piktor Pirmansyah juga telah membangun reputasi positif sebagai satu dari sedikit pakar astrofisika yang ada di Indonesia lewat karya dan penelitiannya. Orang-orang tolol di LIPI yang mengaku ilmuwan itu toh tak bisa apa-apa. Dan waktuku tak banyak.
Aku tak punya pilihan.
"Tapi meteor yang jatuh itu bukanlah batuan biasa," kata Bastian. Dia menunggu reaksi Piktor – jika sang profesor hanya melongo seperti orang-orang LIPI itu, Bastian akan segera angkat kaki. "Itu adalah pesawat luar angkasa."
Darah Piktor berdesir. "Pesawat luar angkasa?"
"Ya. Sebuah kapsul."
"Anda tidak bercanda, kan?"
"Di BIN, kami tidak pernah bercanda," sahut Bastian. Seperti dugaannya, sang profesor tidak terkejut. "Kapsul itu hancur akibat tabrakan. Tak banyak yang bisa kami ekstrak dari bangkainya. Tapi kami berhasil mendapat sumber energinya; sejenis baterai yang dipakai untuk mengaktifkan pesawat itu. Dayanya luar biasa; menurut dugaan sementara, pesawat itu bisa bergerak berkali-kali lipat lebih cepat dari cahaya."
Berkali-kali lipat kecepatan cahaya? Piktor melempar pulpen di tangannya dan berlari ke bagian belakang ruang kerjanya. Setengah mati dia menahan diri untuk tidak melompat-lompat kegirangan. Aku tahu! Ya, aku sudah tahu! Hasil penelitianku ternyata terbukti benar! Ha!
Bastian mengikuti sang profesor. "Anda baik-baik saja?"
Piktor menyalakan komputer dan menunjukan sesuatu. "Selama bertahun-tahun saya mencoba meneliti radiasi energi asing yang tidak berasal dari Bumi. Saya pikir saya keliru, tapi apa yang Pak Bastian baru saja sebutkan membuktikan yang sebaliknya. Selama berabad-abad, manusia percaya bahwa di alam semesta ini ada sebuah kekuatan mahadaya yang melampaui segalanya. Agama menyebutnya Tuhan, tapi ilmu pengetahuan menamakannya Alpha. Nuklir tak ada apa-apanya dibandingkan Energi Alpha ini. Konon ini adalah energi terbesar di alam semesta, energi yang menggerakan kehidupan..."
Energi terbesar di alam semesta?
"Kami para ilmuwan berusaha mengekstrak energi itu dalam suatu wujud, tapi belum berhasil. Itu bukan pekerjaan yang mudah, malah nyaris mustahil. Tapi kami percaya bahwa seseorang di suatu tempat di semesta yang luas ini berhasil menaklukan energi itu dan menggunakannya."
Menggunakan energi terbesar di alam semesta... Bastian bergidik mendengar penjelasan ini. Energi Tuhan. Itu sama saja menjadi Tuhan!
Piktor melanjutkan. "Saat ini, benda tecepat di alam semesta adalah cahaya..."
"Ya, saya tahu itu," potong Bastian tak sabar. "Lalu?"
"Maka jika ada benda lain, seperti pesawat luar angkasa, yang mampu bergerak lebih cepat dari cahaya, maka bisa dipastikan benda itu memakai Energi Alpha. Kedengarannya tak masuk akal, tapi kapsul terbang yang Anda ceritakan tadi baru saja membuktikan bahwa Energi Alpha itu ada."
Bastian berusaha untuk tetap tegar di depan Profesor Piktor. Ini bukan main-main. Si pemilik Energi Alpha ini sedang berkeliaran di Bumi!
"Apa Anda menonton adegan penyerangan Koda waktu itu?"
"Ada Superman yang meringkus sang monster."
Sang profesor juga memakai isitilah itu. Superman. "Apa ini artinya..."
"Superman ini, siapapun dia, memakai Energi Alpha," kata Piktor hati-hati. Dia membuka sebuah berangkas di samping komputer, jari-jarinya bergetar karena antusias. "Ini adalah hasil penelitian saya selama sepuluh tahun belakangan ini. Namanya Gogon..."
Piktor menyerahkan sebuah bola berwarna putih terang mirip mutiara raksasa pada Bastian. "Ini... Gogon?"
"Masih nama sementara, saya tak punya waktu memikirkan nama yang keren," kata Piktor menyudahi. "Saya merancang Gogon untuk mendeteksi Energi Alpha. Saya tidak yakin Gogon berfungsi, tapi dua minggu lalu saat si Superman muncul, untuk pertama kalinya Gogon menyala..."
Bastian menatap Gogon si mutiara seperti peramal melihat ke dalam bola kristal. "Apa itu artinya Gogon mendeteksi keberadaan Energi Alpha?"
"Dari Superman, atau Koda, atau dua-duanya," kata Piktor menyimpulkan.
"Kalau begitu, saya pinjam alat ini," kata Bastian. Dia meminta sebuah koper kosong pada anak buahnya. "Saya memerlukannya untuk meringkus si Superman."
"Anda mau menangkapnya?" Piktor terperangah. "Tapi dia menolong kita dari Koda!"
"Pasukan gabungan TNI dan Polri sebetulnya sanggup mengatasi monster itu," kata Bastian. "Lagipula, seperti yang Anda jelaskan tadi, kita belum tahu apakah Superman ini berniat baik atau jahat. Kekuatannya yang besar jelas merupakan ancaman bagi keamanan nasional."
"Ancaman bagi keamanan nasional?" Piktor terperanjat. "Sejauh ini si manusia super tak berniat jahat, Pak Bastian! Jika Anda ingin menangkap seseorang – atau sesuatu, saya sarankan Anda mencari tahu lebih jauh asal-muasal kemunculan Koda. Siapa tahu monster sejenis muncul lagi!"
Bastian mengacuhkan pria itu. "Terima kasih, profesor."
"Tunggu! Anda tidak bisa begitu saja mengambil hasil penelitian saya!"
"Kami memerlukannya untuk kepentingan nasional."
"Tapi Pak Bastian-"
"DENGAR PROFESOR!" Bastian menarik kerah pria ringkih itu dan mengguncangkannya. "Saya tidak punya waktu! Apa Anda berniat menghalang-halangi proses investigasi BIN?"
"Bukan begitu..." Profesor Piktor terbata-bata. "Mak-maksud saya..."
"Terima kasih. Saya sudah selesai di sini!" Bastian bersiul, memerintahkan anak buahnya untuk membuka pintu ruangan. "Jika saya memerlukan bantuan Anda, saya akan mampir lagi ke sini..."
Piktor Pirmansyah mengamati para petugas BIN itu meninggalkan ruang kerjanya sambil seenaknya membawa Gogon, alat hasil ciptaannya. Dia menggapai sebuah botol obat dari rak, mengambil sebutir kapsul, dan cepat-cepat menegaknya. Darah tingginya baru saja kumat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top