1. Monster di Tengah Kota
"Tea!"
Gadis itu diam saja.
"Teana! Oi!"
Masih tak ada jawaban.
"WOI, YANG SOK CANTIK!"
"Apa-apaan sih, Bobo!" Gadis itu menoleh, tampangnya cemberut. "Manggil gue nggak usah pakai urat gitu, kali!"
"Bakso kali, pakai urat," kata Bobo sabar. Dia mengelus dadanya dan menatap nanar ke langit. "Ya Tuhan... Berikan hamba ketabahan menghadapi teman hamba ini."
"Lebay, lo!" hardik gadis bernama Teana itu. Cemberut di wajahnya sudah berubah menjadi cengiran geli. "Doanya kurang komplit. Menghadapi teman hamba yang cantik jelita ini, gitu."
"Iiih, ge-er deh, say. Yang cantik jelita tapi conge'an."
Teana terbahak-bahak. "Santuy, say. Lo mo bilang apa?"
"Ini, gue mau menunjukkan ini..." Bobo menunjuk sebuah pakaian dalam wanita yang digantung. "Kayaknya ini cocok buat elo deh, say. Warnanya yang peachy-peachy gitu, nggak emak-emak banget, tapi nggak bocah banget. Terus renda-rendanya juga syanthiiieek.... Pokoknya cuchok meong di elo, say."
Teana mengamati pilihan Bobo itu, alisnya berkerut tak yakin. "Masa sih?"
Bobo mengibas-ngibaskan tangannya dengan gemas. Jari-jarinya yang dipoles kuteks warna transparan berkilauan. "Hei, say... Terus dese ngapain ngajak adinda kalo semua pilihan dari gue lo tolak?"
"Jangan ngambek dong. Gue justru menghargai pendapat lo, say. Lo satu-satunya teman cowok yang gue ajak buat belanja pakaian dalam."
Bobo mencibir. "Lebih tepatnya satu-satunya teman yang lo punya."
"Dasar lo! Bencoooong!"
Kedua sahabat karib itu tertawa-tawa.
BOOOOOOOM!
Bumi bergoyang. Dalam hitungan detik, sesuatu yang besar sekali menabrak gedung itu sampai bergoncang hebat. Orang-orang yang sedang berbelanja di toko pakaian dalam itu berteriak-teriak ketakutan. Bobo juga ikut menjerit-jerit.
"Bo!" Teana menarik tangan temannya, mencoba menenangkannya. "Apa itu?"
...
"Ke sana! Ke sana! Cepat!"
"Iya, iya! Pelan-pelan, ini aku pakai high heels, mas!"
Kedua orang itu; seorang pria bertubuh gemuk yang menenteng kamera video dan seorang wanita, berlari-lari mendekati gedung pusat perbelanjaan yang sepertinya tak lama lagi akan rata dengan tanah.
"Di sini bisa kali, ya?" tanya wanita itu sambil celingukan. Dari name-tag yang tergantung di lehernya, tertulis bahwa namanya adalah Ashanti.
Si pria yang menenteng kamera mengusap-usap dagunya yang berlapis-lapis. "Kalau aku sih yes."
Ashanti bergeser sedikit ke kiri. "Kalau begini?"
Pria itu manggut-manggut. "Hmm, gimana ya..."
Ashanti bergeser lagi, kali ini menjauhi kamera. "Kalau sekarang?"
"Buat aku sih yes..."
"MAS ANANG!" hardik Ashanti kesal. "YAS, YES, YAS, YES TERUS! Aku jadi bingung! Harusnya aku berdiri di mana, nih?"
Pria bernama Anang itu menyipitkan mata menatap Ashanti. "Kalau menurut saya sih posisi kamu sekarang udah oke. Tapi nggak tahu pemirsa di rumah gimana."
"Tapi kan Mas Anang juru kameranya!"
Ashanti menghentak aspal dengan kesal. Dia menggulung lengan blazernya dan siap adu mulut dengan Anang si juru kamera yang sedang menemaninya liputan. Tapi tiba-tiba Ashanti terhenti. Muncul bunyi gemuruh dari belakangnya, tepat di balik gedung pusat perbelanjaan itu. Lalu tanah mulai bergetar, dentuman tapak kaki terdengar bertalu-talu. Orang-orang yang tadinya berdiri diam dan kebingungan ikut berlarian ketakutan.
"Sekarang, mas! Cepat!"
Anang mengarahkan kameranya pada Ashanti. Sebuah lampu merah menyala. "Yes!" katanya.
"Selamat siang, pemirsa! Saya Ashanti melaporkan langsung dari lokasi Mall Pondok Cabe-cabean di daerah Jakarta Pusat, di mana baru saja terjadi serangan monster ganas!"
Sorotan kamera berubah dari Ashanti si wartawati ke puncak gedung pusat perbelanjaan. Sebuah bayangan hitam besar menjulang lebih tinggi dari tiang penangkal petir di atas gedung dan bergerak mendekat.
"Monster yang berbentuk seperti kadal raksasa ini..." Ashanti otomatis berlari menjauh, sambil terus melaporkan. "Muncul dari bawah parkiran mall dan langsung merangsek maju ke arah air mancur Monumen Selamat Datang!"
Bayangan hitam itu mulai mewujud menjadi sesuatu yang lebih padat. Orang-orang mengangkat tangan untuk menghalangi sinar matahari yang menyilaukan saat mereka mendongak untuk melihat sosok monster raksasa itu.
Seperti yang dilaporkan Ashanti, monster itu terlihat seperti keluar dari film Godzilla. Tubuhnya kekar dan sebesar gedung bertingkat. Kulitnya yang bersisik berwarna kelabu kotor seperti aspal, dengan bercak-bercak merah darah. Dia membuka mulutnya yang selebar ruas jalan tol, memamerkan sederet gigi-gigi runcing setajam gergaji.
"Polisi datang!" teriak Ashanti. Orang-orang yang berkerumun itu berseru sambil menunjuk-nunjuk ke langit. "Sama TNI juga!"
Anang mengarahkan kameranya ke arah setengah lusin helikopter berlambang TNI yang bergerak ke arah si monster. Truk-truk panser dan tank-tank perang telah tiba bersama dua kompi tentara. Mereka berbondong-bondong mendekati si monster. Senapan-senapan teracung, membidik kadal raksasa itu. Anggota polisi dan TNI yang lain beteriak-teriak memakai megafon, meminta orang-orang untuk menjauh.
"Polisi dan TNI sudah tiba di lokasi kejadian," kata Ashanti, suaranya bergetar karena ketakutan. "Monster ini semakin mendekat. Dia kelihatan bingung, pemirsa. Mungkin karena belum ngopi..."
Si monster memang mengerikan tapi orang-orang malah mengamatinya. Ponsel-ponsel terangkat. Seorang pemuda yang berdiri di dekat Ashanti sedang live di Instagram, rupanya menganggap serangan monster adalah trik jitu untuk menaikkan jumlah followers. "Hai, guys. Lihat nih, di belakang aku. Ada monster!" kata pemuda itu. "Monsternya kita kasih bingkisan sampah aja gimana? Yuk kita lihat reaksinya!"
Hanya di Indonesia di mana ada kejadian monster menyerang kota, tapi bukannya menjauh, orang-orang malah berdiri di tempat dan menonton. Yah, bagaimanapun juga, siapa sih yang pernah benar-benar bertemu monster di dunia nyata? Apalagi si monster itu hanya berdiri sambil meraung-raung marah.
"BIDIK!" Seorang perwira TNI yang berdiri di atas tank mengangkat tangannya. Meriam-meriam bazooka mengarah pada si monster. "TEMBAK!"
WHUSSSSSH!
Sesuatu yang lain lagi muncul, membelah langit Jakarta dengan bunyi menderu mirip pesawat jet. Kerumunan yang resah dan ingin tahu itu otomatis menunduk, mereka mengira helikopter-helikopter tempur itu telah menembakkan meriam. Tapi itu bukanlah meriam.
"Sesuatu yang tampaknya seperti meteor baru saja melintas langit," kata Ashanti. Kamera Anang menangkap obyek yang bergerak cepat di langit itu. "Sepertinya meteor ini akan jatuh di dekat sang monster!"
Semua orang menunggu dengan panik. Lalu tiba-tiba... DHUARRRR! Meteor itu mendarat tak jauh dekat si monster dengan bunyi ledakan keras.
...
Pria itu mengamati monitor dengan tajam. Jari-jari tangan kirinya tanpa sadar memutar-mutar cincin emas yang melingkari jari telunjuk di tangan kanannya.
"Pak Bastian!" Seorang pria berseragam menghampiri si pria bercincin itu. "LIPI masih belum bisa mengonfirmasi, pak! Mereka mengaku ini pertama kalinya mereka bertemu makhluk seperti ini!"
Monitor menampilkan pemandangan yang betul-betul tak terduga; seekor monster setinggi tiga puluh meter yang menyerupai komodo raksasa sedang mengamuk di tengah kota.
Orang sinting sekalipun tak pernah bermimpi bahwa akan ada monster ganas menyerang Jakarta di siang hari bolong seperti ini. Terasa sangat absurd, seperti kisah fantasi.
Bastian menoleh pada perwira yang tadi melapor. "Bagaimana dengan badan riset yang lain? Apa kata mereka tentang Koda?"
Perwira itu membuka-buka catatan yang dijepit clipboard nyaris dengan kecepatan cahaya. "Pakar biologi dari Institut Eijkman dan UGM sudah dihubungi. Sama seperti LIPI, mereka kebingungan. Koda muncul tanpa tanda-tanda, detektor gempa tidak mencatat pergerakan seismik apapun di sekitar Mall Pondok Cabe-cabean..." Koda adalah julukan yang diberikan Bastian untuk monster itu, yang berasal dari singkatan 'komodo raksasa'. "Koda muncul begitu saja..."
Muncul begitu saja... Bastian memutar cincinnya semakin cepat. Menarik.
"Bagaimana dengan meteor yang baru jatuh barusan?"
Perwira itu membolak-balik catatannya lagi. "Ahli astronomi dari ITB dan LAPAN sudah dihubungi. Satelit memang menangkap adanya pergerakan komet yang belum teridentifikasi di sekitar atmosfer kita."
"Bagaimana dengan koordinat jatuhnya meteor itu?"
"Menampilkan citra satelit di monitor dua," kata seorang perwira wanita yang duduk di dek dekat monitor. Sebuah pemandangan lain muncul, memperlihatkan kawah besar di aspal. "Koordinat jatuhnya meteor berada dua ratus meter dari titik lokasi Koda."
Dua ratus meter... Otak cerdas Bastian mengkalkulasi. Jarak itu cukup dekat.
Telepon di ruangan itu berdering. Seorang perwira lain yang duduk di dek dekat monitor mengangkatnya dan mendengarkan sejenak. "Pak, telepon dari Menteri Pertahanan."
Bastian mengibaskan tangannya, menyuruh si perwira yang membawa clipboard untuk menjawab telepon itu. Dia sedang tak ingin diganggu. Meteor itu jatuh selang satu menit setelah kemunculan Koda. Jeda waktu yang terlalu singkat untuk sebuah kebetulan. Bastian mengamati kawah bekas tumbukan meteor itu. Gedung-gedung bertingkat di sekitarnya runtuh seolah terbuat dari kardus akibat terjangan kekuatan meteor yang besar. Apakah itu betul-betul meteor? Ataukah sesuatu yang lain?
"Menteri Pertahanan sudah berkoordinasi untuk menggerakkan petugas TNI dan Polri ke titik jatuhnya meteor," kata si perwira ber-clipboard yang telah selesai mengangkat telepon. "Tapi mereka belum berhasil menemukan apa-apa."
Bastian mengangguk. Menteri Pertahanan bukanlah satu-satunya yang cemas soal kejadian ini. Bastian sendiri ingin tahu jawabannya. Sebagai wakil kepala Badan Intelejen Nasional – BIN, Bastian wajib tahu apa penyebab kekacauan yang tak disangka-sangka ini.
Telepon itu berdering lagi, kali ini seperti lebih keras dan mendesak. Perwira yang sama yang tadi menerima telepon mengangkatnya. Kali ini dia langsung menyorongkan gagang telepon pada Bastian. "Dari istana, pak. Presiden minta penjelasan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top