8. Ketukan Pintu

Kalau dipikir-pikir, aku tidak pernah panik sedikit pun. Rasanya biasa saja saat suara orang-orang tidak masuk. Seolah aku memang terbiasa dengan menjadi tuli. Ini hanya sedikit kurang nyaman.

"Ma. Mama ...."

Aku mendekati tubuhnya yang terkapar. Wajah Mama tampak pucat. Dalam kondisi tak sadarkan diri, ia masih sempat mengerutkan kening. Mungkin karena lantainya dingin. Atau mungkin karena mencemaskanku di satu hal. Dan jika hal itu berhubungan dengan kacamata yang kulepas, pasti ada alasan kuat kenapa aku harus tetap memakainya.

Aku seperti hampir mengingat sesuatu yang sangat penting. Sedikit lagi, tapi rasa pusing di kepala memaksaku berhenti.

Sudahlah, Mama lebih penting sekarang. Aku lekas mencari ponsel dan memanggil nomor darurat yang ternyata adalah nomor papaku. Omong-omong, tanganku masih sakit saat menekan layar sentuh. Aku lupa belum meminum obat yang Kak Oscar berikan.

"Papa, Mama pingsan," kataku tatkala panggilan terjawab.

Usai mengatakannya, aku langsung menutup telepon tanpa mendengar balasan yang Papa coba sampaikan. Lagipula aku tidak akan dengar.

Papa pulang tak lama kemudian. Hanya berselang sepuluh menit dari sejak sambungan telepon terputus. Dasi Papa tidak simetris, rambutnya berantakan. Aku bisa menebak seberapa cepat dia mengebut di jalan raya. Mungkin sekitar 140 km/jam atau lebih.

Selama itu juga aku memakai kacamata buatan Papa lagi. Anehnya, fungsi indera pendengarku berangsur-angsur kembali.

"Kenapa mama kamu bisa pingsan? Apa yang terjadi?" Ia bertanya sambil mengecek suhu badan sang istri. Pelipisnya berkeringat.

"Saya tidak tahu. Sepulang sekolah, Mama sudah tergeletak di sini. Sepertinya Mama kelelahan," ucapku bohong.

Tanpa sadar kedua sudut bibirku terangkat. Mama punya kebiasaan lupa ingatan. Setelah sadarkan diri, Mama cenderung melupakan kejadian sebelum dirinya pingsan. Kata dokter, ini adalah dampak kecelakaan 'hari itu' yang membuat ingatan jangka pendeknya terganggu apabila terserang. Ia tidak akan mengingat soal aku yang melepas kacamata.

"Tubuhnya dingin, tolong panggil Dokter Rudi ke sini," ucap Papa sembari membopong Mama ke kamar tidur.

"Baik."

Dokter Rudi merupakan dokter keluarga yang telah mendedikasikan separuh waktunya di keluarga ini. Entah kontribusi besarnya itu dimulai sejak kapan, tapi pasti sangat lama mengingat dia telah merawatku  dari sebelum belajar membaca. Aku cukup dekat dengannya.

"Kasha?"

"Iya. Ini Kasha."

"Apa ini? Tumben sekali kamu menelepon pamanmu!"

Suaranya cukup nyaring. Aku spontan menjauhkan ponsel dari telinga. Dokter Rudi adalah pamanku alias adik dari Papa. Tentu saja karena aku sering sakit, jadi yang sering menelepon Paman adalah orangtuaku.

"Bisakah Paman datang ke rumah?" tanyaku.

"Ada apa, Sayang? Kamu kangen denganku? Aku pikir aku tidak punya keponakan perempuan karena papamu yang daughtercomplex."

"Paman, situasinya benar-benar darurat," kataku datar.

"Ada apa?" Kini dia mulai serius mendengarkan.

"Mama pingsan lagi. Saat aku pulang sekolah, dia sudah tak sadarkan diri. Aku menemukan Mama terbaring di lantai. Sepertinya Mama pingsan karena kelelahan."

"Ya Tuhan. Pingsan karena kelelahan, ya .. baiklah, apa kamu lihat ada benturan di kepala?"

Benturan?

Posisi Mama sebelum pingsan yaitu terduduk, baru setelahnya benar-benar ambruk ke lantai.

"Kurasa tidak."

"Syukurlah kalau begitu. Aku selalu mencemaskan kepalanya yang rapuh yang terbentur sedikit langsung lupa. Semoga kali ini mama kamu tidak lupa ingatan, ya?"

"Iya." Seketika perasaanku tidak enak. "Apa Paman bisa ke sini?"

"Bisa, bisa."

"Syukurlah kalau begitu." Tanpa sadar, aku malah meniru perkataan Paman.

"Tapi mungkin sampai ke sana akan memakan waktu lama karena alamat baru kalian cukup pelosok."

"Tidak apa-apa, Paman. Hati-hati."

"Iya, Sayang."

Aku pun menutup panggilan dengan perasaan campur aduk. Karena tidak ada benturan, aku senang mendengar kemungkinan memori Mama yang akan baik-baik saja. Itu pasti kemajuan. Namun kacamata ini ....

Adalah kebohonganku.

Baru kali ini aku sangat menyesal usai berbohong. Aku menatap sebuah cermin persegi yang menggantung di ruang tamu. Penampilanku tercetak di dalamnya. Seperti gadis remaja pada umumnya yang mengenakan kacamata.

Aku telah memakai benda ini sejak kecil. Mama dan Papa menyuruhku agar sebisa mungkin tidak melepasnya. Saat tidur, mandi, bahkan berenang. Aku tidak pernah melepasnya meski ingin. Saat itu aku tidak bisa. Desain penguncian memang dibuat agar tidak bisa dilepas. Namun seiring bertambahnya usia, aku jadi tahu cara membuka kuncinya.

Aku senang sebab bisa melihat warna-warna lain yang tidak aku ketahui namanya. Selama ini yang kutahu hanya hitam dan putih. Membosankan.

Suara ketukan pintu membuatku menoleh. "Siapa?" tanyaku monolog.

Ketukannya menjadi lebih keras dan berulang. Aku pun menghampiri pintu seraya menerka-nerka siapa yang datang. Paman Rudi tidak mungkin menyetir dalam waktu sekejap, sedangkan tetangga sekitar belum ada yang mengenal kami.

"Kalian ... siapa?" Aku menatap mereka berdua bergantian.

Dahiku mengernyit. Begitu membuka pintu, aku melihat remaja perempuan berambut keriting dengan seragam dan sarung tangan hitam yang khas.

"Kasha, kan?" Perempuan itu bertanya.

Aku mengangguk mengiyakan.

"Namaku Anna, wakil ketua kelasmu. Lalu ini adikku ...."

Di belakangnya berdiri remaja laki-laki yang juga berambut keriting. Wajah mereka mirip. Namun, seragam laki-laki itu sangat jauh berbeda dari Anna. Terlihat lebih santai. Atensiku langsung tertuju pada kacamata yang menggantung di kerah kusutnya.

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top