7. Kacamata

Aku pernah melihat hewan kecil yang cantik. Dia seukuran dua kepal tanganku. Bulu putihnya sangat lembut. Enak dielus. Matanya merah berkilau seperti biji delima yang sudah matang. Saat berlari dan melompat, aku selalu membayangkan ekor pendeknya ketika bergerak.

Namun si hitam di sampingku ini ... dia benar-benar jelek sampai perutku terasa geli.

Sratch!

Aku pun melihat keempat cakarnya yang mencuat. Meski tidak punya alis, entah kenapa sorot mata kucing itu seakan menajam. Dia seolah marah dan tidak terima soal aku mengatainya jelek. Aku merasakan cairan hangat mengalir dari tulang pipi.

"Meow!"

Setelah mengeong dengan nada 'rasakan itu!', dia lalu kembali menjilati kakinya. Aku hanya termenung sambil meneliti kalung di leher kucing tersebut. Kalung itu terdapat lonceng kecil yang akan berbunyi saat dia bergerak. Sepertinya dia bukan kucing liar.

"Kucing, di mana pemilikmu?" tanyaku penasaran.

Dia mengehentikan aktivitas menjilat, lantas memandangku sejenak. Mulutku otomatis terbuka saat dia memalingkan wajah. Entah kenapa aku merasa dia tadi memandangku dengan tatapan aneh. Seolah dari matanya, dia berkata 'apa kamu nggak tahu malu?'. Kalau dia benar-benar mengerti bahasa manusia, aku ingin sekali minta maaf.

"Kakak!" panggil seseorang dari arah lapangan.

Aku pun menoleh ke sumber suara dan melihat anak laki-laki yang tadi. Dia sedang berlari ke sini sambil melambaikan tangannya.

Aku menunduk, memandang bola sepak yang menggelinding perlahan ke arahku. Mungkin dia ingin mengejar bola ini. Sepertinya salah satu pemain, lagi-lagi menendang bolanya keluar garis lapangan. Aku turun dari bangku untuk memungut bola tersebut.

"Bolamu," ucapku setelah menyerahkannya pada anak itu.

"Terima kasih, Kak."

Ia menerima bola dengan napas ngos-ngosan dan juga senyum riang. Detik berikutnya, dia tampak syok melihatku. Aku mengeryit.

"Apa yang terjadi sama wajah Kakak?!" Dia setengah berteriak, membuat telingaku berdenging.

"Ugh, ini ... dicakar kucing."

Ia menatap kesal pada sosok makhluk bercakar di belakangku. Sementara itu, si kucing masih asyik menjilati tubuh.

"Ck, dia memang kucing galak meski kelihatannya kalem."

"Kamu kenal kucing hitam ini?"

Ia mengangguk. "Iya. Kucingnya sering duduk di situ. Kadang dia tiduran. Kalau ada orang datang meski cuma kasih makan, dia langsung bangun dan mencakar orangnya. Kakak harus hati-hati!"

"Ah, iya ...." Tapi aku dicakar karena mengatainya jelek. Apa mungkin orang-orang yang dicakar telah melakukan hal buruk tanpa disadari?

Hah, entahlah, tiba-tiba kepalaku pusing. Padahal aku tidak perlu memikirkan kesialan yang menimpa orang lain. Hidupku saja, kan, sudah sial.

Mataku terpejam sebentar untuk menenangkan pikiran. Daritadi anak itu menggerakkan mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar. Begitu mataku terbuka, dia membekap mulutnya dengan tatapan khawatir.

"Kakak nggak kenapa-kenapa," ucapku sambil mengorek salah satu lubang telinga.

Sebenarnya telingaku cukup sensitif untuk mendengar suara yang keras. Misalnya, teriakan seseorang. Hal itu hanya akan berakibat pada pendengaranku menjadi sedikit sakit atau kurang nyaman. Tidak pernah sampai kehilangan kemampuan untuk menangkap suara seperti sekarang.

"Jangan khawatir, sana kamu main lagi!" Aku mengibaskan tangan agar dia mundur.

Anak laki-laki itu menggerakkan mulutnya lagi. Untung saja, aku bisa mengerti apa yang dia katakan. "Tapi Kakak gimana?"

"Nggak gimana-gimana, kok. Ini Kakak mau pulang." Aku tersenyum tipis. Tentu saja, aku tidak bisa mendengar suaraku sendiri.

Aku mengangguk saat dia menyuruhku berhati-hati. Tatapannya itu masih tersirat kehawatiran, namun kuabaikan. Karena kondisiku yang seperti ini, terpaksa aku pulang lebih awal. Aku pikir bisa menemukan hewan untuk dijinakkan. Padahal rencananya mau keliling desa dan mencari pet sampai sore.

"Hah ...." Aku membuang napas lelah begitu berhasil meraih knop pintu.

Butuh waktu lima belas menit perjalanan dari tempat lapangan ke rumah. Namun sepanjang jalan hingga detik ini, aku masih belum bisa menangkap getaran suara sedikit pun. Rasanya seperti ada sesuatu yang menyumbat dan menekan telingaku. Apa aku tuli?

"Saya pulang," ujarku sambil menutup pintu.

Saat berbalik, bahuku berjengkit kaget. Seorang wanita berdiri tak jauh dari posisiku. Dia menyembunyikan tangan ke belakang punggung. Kedua alisnya menyatu dan mulutnya mengatup rapat.

"Maaf, saya terlambat. Tadi ada PR dari kakak kelas," tundukku menyesal, memandang tali sepatu hitam yang mengurai.

Dia pasti marah, seharusnya aku mengabarinya dulu sebelum pergi melebihi jadwal sekolah. "Saya minta maaf."

Aku pun mengangkat kepala guna melihat pergerakan mulutnya. Namun, dia mengubah ekspresi dari yang tadinya marah menjadi takut dan khawatir. Aku mengernyitkan alis. Ekspresinya sama persis dengan yang anak itu tunjukkan.

"Ada apa, Ma?" tanyaku cemas.

Mama tampak tertegun. "... ta ...."

"Ya?" Aku berusaha menajamkan penglihatan di ruang yang temaram.

"... mata. Kacamata ...." Bibirnya pucat.

Oh, ternyata Mama sedang menanyakan kacamata itu. Aku kira apa. "Saya hanya melepasnya karena suatu kejadian-"

Lalu aku melihat mamaku pingsan.

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top