5. Ketakutan Undo
Kini kebingunganku terjawab sudah. Alasan mengapa sentuhan Kak Oscar tidak membuatku melihat masa lalunya yang memilukan. Dia memiliki kemampuan untuk mencegah efek sentuhan. Ini juga berlaku pada saat Kak Awal mengobati lukaku. Katanya, semua petugas balai kesehatan memiliki kemampuan seperti ini.
Aku tidak perlu khawatir apabila bersentuhan dengan mereka. Meski aku belum sepenuhnya yakin tentang kelainan yang kurasakan saat menyentuh sesuatu, sepertinya aku juga sama seperti mereka.
"Kalian masih di sini?" tanya Kak Awal heran di sela-sela kesibukannya. Gadis itu menghampiri kami dengan membawa sepotong kaki manusia.
Tiba-tiba, bulu kudukku berdiri. Itu mengerikan! Aku ingin segera keluar dari tempat ini sebab tidak tahan melihat segala keanehan yang terjadi.
"Awal, kamu membuatnya takut."
Dia pun mengernyit. "Siapa?"
Kak Oscar melirikku. "Asal kamu tahu, anak ini sangat penakut. Bahkan tadi pagi bahunya gemetaran hanya karena kusentuh sebentar. Apalagi melihat kaki busuk yang kamu bawa."
Perkataan tersebut membuat mataku terbeliak. Ia masih mengingat kejadian beberapa jam yang lalu di gerbang sekolah. Aku justru tidak sadar kalau tubuhku saat itu gemetar.
Kak Awal menunduk. "Ah, maaf. Ini kaki pasien dan harus kupasangkan lagi. Tapi kebiasaan Kakak nggak berubah, ya? Apa Kak Oscar menyentuh orang lain lagi tanpa menggunakan sarung tangan?" tebak Kak Awal, menyipitkan mata curiga.
Laki-laki di sampingnya menyilangkan tangan di belakang kepala. "Tahu dari mana?"
Kak Awal lantas memutar bola mata. "Aku sudah nggak heran sama kebiasaan buruk Kakak. Pantas saja Kasha takut."
"Haha! Tahu dari Aress, ya?"
"Nggak. Dia bukan tipe orang yang mau repot mengurusi pelanggaran orang nggak penting."
Kak Oscar menggeleng. "Aku juga termasuk orang penting karena sudah menjadi temannya sejak kecil."
"Sha, kamu nggak usah takut semisal disentuh Kak Oscar. Kepalanya halal dipukul, kok," ucapnya kalem, mengabaikan perkataan Kak Oscar.
"Uh ...." Aku seketika meringis. Sebenarnya masa lalu yang kulihat jauh lebih menakutkan daripada Kak Oscar yang tidak memakai sarung tangan. "Ehm, apa sekarang saya boleh keluar saja dari balai kesehatan?"
Kak Oscar membalas, "Heh, murid baru ngapain buru-buru? Resep obatnya kan belum selesai."
"Iyakah? Loh, kok obatnya cuma ini?" protes Kak Awal usai membaca catatan nota di atas nakas.
"Hm. Tadinya mau kukasih obat lanjutan, tapi mana mungkin aku kasih obat sembarangan ke pasien yang data dirinya belum lengkap," ujar Kak Oscar tenang, membuatku gelisah.
Atmosfer di sekitarku terasa aneh. Nada laki-laki itu pun terdengar lebih bias. Ia menatapku, seolah tengah menginterogasi sang terdakwa.
"Nggak jelas bagaimana?" Kak Awal menautkan alis.
"Yah, kamu lihat saja di buku itu," ucapnya malas seraya menunjuk buku yang tergeletak di sampingku dengan dagu.
Kak Awal menggapai buku catatan tersebut, lantas menatap kedua manik mataku penuh tanda tanya. Semua informasi kebanyakan diberi tanda setrip (-).
Aku tertegun, dia menatapku waspada. "Kamu nggak punya pet dan efek sentuhan?"
Aku lekas mengalihkan pandangan, sambil menggaruk bawah telinga dan berkata, "Entahlah. A-aku juga tidak tahu."
"Pfft!" Kak Oscar mendadak tertawa. "Kamu ini mencurigakan tahu, tapi lucu sih. Entah bodoh atau polos. Kalau namamu sama sekali nggak tercantum di buku catatan pribadi siswa, mungkin aku bakal mengira kamu itu mata-mata. Apalagi kacamatamu itu ...."
"Kak Oscar," panggil Kak Awal, seakan sengaja menghentikan kalimat yang akan Kak Oscar lontarkan.
"Apa? Memangnya kita semua nggak akan familiar sama kacamata yang dia pakai?
Aku penasaran. Apa maksudnya? Mata-mata, jelas aku bukanlah mata-mata seperti yang mereka kira. Orangtuaku telah susah payah mencarikan sekolah ini untukku. Kenapa mereka berdua sangat peduli tentang status kesiswaannku?
"Apa yang salah dengan kacamata ini?" tanyaku seraya melepas benda yang dimaksud.
"Hah?" Kak Awal melebarkan mata.
Sedangkan Kak Oscar melotot sempurna. "Sialan!"
Lalu entah kenapa, secara bersamaan badan mereka merunduk. Lebih tepatnya Kak Oscar menarik lengan Kak Awal supaya ikutan merunduk.
"Apa yang kamu lakukan? Kenapa lepas kacamata sembarangan? Cepat pakai lagi!" perintah Kak Awal membuatku menaikkan sebelah alis. Dia masih bersembunyi di bawah ranjang.
"Kenapa?"
"Kenapa lagi? Kalau nggak dipakai, nanti kamu bisa kehilangan kendali." Suara Kak Awal bergetar. Dia sangat ketakutan, ya.
"Tapi saya baik-baik saja tanpa kacamata."
"Beneran?"
Perlahan kepala mereka mendongak. Ekspresi yang berusaha mengintip, memastikan keadaan agar tetap aman.
"Iya, sungguh ...."
Aku ingin sekali tertawa, tapi hal itu tidak sopan untuk dilakukan, kan? Sebaiknya aku menutup mulut rapat-rapat sampai mereka bersuara.
Kak Oscar melepas cekalannya pada tangan Kak Awal, lalu beralih memijat pelipis. "Sialan, kukira tadi bakal celaka," ucapnya lega.
"Astaghfirullah, Kasha. Kukira bakal-huft ... nggak nggak. Syukurlah kalau tatapanmu itu nggak berbahaya." Ia mengelus pipiku.
Aku hanya tersenyum canggung sebab tindakannya barusan mirip hal yang sering dilakukan Ibu akhir-akhir ini. Sentuhannya terasa dingin, tapi juga hangat.
"Kalian percaya, kan, aku bukan mata-mata."
"Hmm, iya percaya," jawab Kak Oscar.
"Kenapa kalian sangat ketakutan pas aku lepas kacamata?" Aku terbatuk demi menahan tawa. Tadi itu sangat lucu, menurutku.
Kak Oscar menimpali, "Soalnya kami mengira kamu adalah seer."
"Seer?" Alisku terangkat sebelah.
Kak Awal mengangguk cemas. "Kemampuan seer agak berbeda dengan kemampuan kita. Kalau kita dapat memunculkan kemampuan setelah menyentuh sesuatu, seorang seer sudah dapat menggunakan kemampuannya hanya dengan melihat. Sama seperti kita yang memerlukan sarung tangan khusus, mereka juga memerlukan atribut khusus sebagai alat kendali berupa kacamata yang sengaja didesain untuk golongan seer."
Sekarang kenapa aku yang merasa cemas? Bahkan butir keringat mulai mengalir dari pelipis. "Ja-jadi kacamataku mirip dengan mereka? Tapi kacamata ini dibuat khusus oleh ayahku. Dia seorang spesialis mata."
Kak Oscar meneliti kacamata di telapak tanganku dengan lamat-lamat. "Hmm, yah, kalau begitu hanya kebetulan saja desainnya mirip."
"A-apa seer benaran ada?"
Kalau iya, menyeramkan sekali. Aku langsung membayangkan tatapan Belicia yang mungkin mampu membakarku kapan saja jika dia seer.
"Beneran, lah. Dan kehancuran yang mereka timbulkan itu nggak main-main! Nggak ada satu pun undo di sekolah ini yang bisa mencegah atau menangani ulah mereka. Itu sebabnya aku takut banget. Kalau tanganmu kebakar karena disentuh, masih bisa kami sembuhkan. Tapi kalau tanganmu yang kebakar karena dilihatin seer, kamu bayangkan saja sendiri," lanjutnya.
"Se-seram!" Pasti api tidak akan padam sebelum mengubahku jadi abu. "Ta-tapi, Kak, bagaimana cara melengkapi identitas diri? Saya mau mengisi formatnya meskipun ada beberapa poin yang belum saya pahami."
"Kalau itu, kamu bisa tanya-tanya sama Kak Oscar. Sekarang aku lagi nggak bisa karena masih harus sembuhkan pasien di sana. Sampai jumpa lagi, ya, Kasha."
"Ah, iya. Sampai jumpa." Aku memandangnya berlari kecil ke ranjang paling ujung. Daritadi pun dia sibuk.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top