2. Mata Berapi

"Namaku Kasha. Aku pindah ke Sekolah Hewan karena arahan orangtua. Salam kenal, Teman-teman. Mohon bantuannya di masa depan," ucapku sopan.

Sebenarnya aku ingin tersenyum pada mereka dalam sesi perkenalan. Aku ingin memberikan kesan murah senyum dan bersahabat, tetapi raut wajah mereka tidak mendukungku untuk melakukan itu.

Pandangan rendah, kesal, dan sinis berkumpul jadi satu. Aku tidak tahu kenapa harus mendapat semua mata yang memandangku negatif. Respon ini jauh berbeda dari apa yang kubayangkan.

Kutelan saliva pahit sambil mengalihkan atensi ke samping kursi kosong. Gadis itu dengan tanpa ekspresi melihat wajah-wajah teman di sekitarnya, seolah berusaha merekam sosok mereka satu per satu. Dia hanya baru mau mengukir senyum saat beo tersebut menggesekkan kepala ke pipinya.

Benar-benar ciri khas seorang Mila. Mungkin dia selalu begitu di luar sekolah.

Ternyata dia juga murid baru. Aku ingat bagaimana tadi ketika dia memperkenalkan diri.

"Halo, namaku Mila!"

Lagi-lagi ia memanfaatkan burung beo untuk menggantikannya bicara. Semua orang tampak kaget. Suara yang dikeluarkan oleh Sara begitu menggelegar.

"Halo, namaku Mila!"

Beo itu mengulang setiap kalimat hingga tiga kali.

"Ekhem, Ibu izin membantu perkenalkannya. Jadi, kalian bisa memanggil dia Mila. Dia mengalami kesulitan bicara sejak kecil, tetapi kalian bisa tetap bisa mengajaknya berkomunikasi dengan burung beo ini. Seperti yang kalian lihat, Mila mempunyai burung beo sebagai pet. Ibu harap kalian bisa berteman baik dengan Mila."

Mila tersenyum manis dan semua orang menyukainya. Respon yang bagus.

Namun, ironi.

"Guru!" celetuk salah satu siswi, membuyarkan lamunanku. Sekilas, ia mengangkat tangan ke udara. "Bolehkah saya mengajukan pertanyaan pada murid baru?"

Ibu Julia menatapku, meminta pendapat. Aku pun mengangguk mantab.

"Silahkan."

"Terima kasih, Guru!" Lalu, siswi tersebut membuka sarung tangannya dan menghampiriku.

"Belis kamu gila, ya?" seru murid lain.

"Wah! Dia melepas sarung tangannya. Entah kekacauan apa lagi yang akan dia ciptakan."

"Kamu mau apain anak orang, Bel?"

Mereka berisik. Belis seolah ingin menerkamku.

Spontan, aku mundur beberapa langkah. Auranya menakutkan.

"Kenapa kamu menghindar? Takut, ya?" Ia bertanya sembari meraih kedua tanganku agar tidak mundur lagi. Tupai kecil di pundaknya berjalan melalui lengan kami yang saling terhubung.

Kemudian, sekarang tupai itu memanjat ke atas kepalaku. Semua orang bergelak tawa.

"Pfft! Poppy-ku lucu, kan?"

Aku mengernyit.

"Kamu tahu nggak? Perkenalanmu tadi sama sekali nggak menjawab apa pun yang ingin kami semua ketahui."

"Maksudnya?"

"Inget baik-baik, ya, Kasha. Perkenalan yang bener tuh kayak gini." Belis memejamkan mata, semakin menggenggam erat tanganku.

Udara di sekitar kami menjadi lebih panas. Aku mengeluarkan banyak keringat dan entah bagaimana, begitu Belis membuka mata, aku melihat kilatan api menyala-nyala di dalam manik matanya.

"Astagfirullah!"

"Belis ngebakar anak orang!"

.

.

.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top