10. Nomor Telepon
Anna memainkan ujung rambutnya, seolah sedang menimang-nimang jawaban. Aku tahu membujuk orang bukan hal yang mudah. Dan mereka sudah memutuskan untuk menolakku sejak awal.
"Kami sibuk," jawab Anna setelah membuatku menunggu kisaran dua menit.
"Baiklah, apa boleh buat."
Aku tersenyum tipis. Untungnya, aku tidak terlalu berharap mereka mau terlibat denganku lebih lama.
"Hei! Ada apa dengan senyum menyedihkanmu itu? Meski sibuk, bukan berarti kami nggak bisa meluangkan waktu," sambung Anna sembari menatapku jengkel.
"Eh?" Aku menatapnya bingung. Di dahiku muncul beberapa lipatan kulit.
Anna berdehem. "Sepulang sekolah, kamu ikut aku menjemput Barry. Setelah itu kita bisa mengobrol panjang lebar sambil jalan. Bagaimana menurutmu? Bukankah ideku layak?"
"Ah, idemu sangat layak, tapi apa kamu baik-baik saja?" tanyaku seraya menutup mulut dengan telapak tangan. "Wajahmu ...."
Dia menangkup kedua pipi dengan pupil mata melebar. "Wajahku, memangnya kenapa?"
"Wajah Kakak merah," ucap Barry jujur.
"Masa, sih?" Anna berkata syok, kemudian mengaca di kaca jendela rumahku yang hitam transparan. Dia agak kecewa karena tidak bisa melihat warna merah.
"Kebetulan aku manggil dokter ke rumah, tapi dia belum datang. Kamu bisa masuk dan menunggu sebentar buat cek kesehatan."
"Aku nggak sakit, kok," jawab Anna sambil mengipas wajah. "Mungkin karena cuacanya lagi panas."
Aku pun mendongak, menatap langit senja yang membiarkan semburat warna merah menghiasi awan. Kumpulan awan menyatu dan menghalangi cahaya matahari. Ini bahkan terasa sejuk saat melihat rombongan burung hitam terbang melintas, tetapi warna merahnya sama persis dengan warna pipi seseorang.
"Udah, yuk?" ajak seseorang itu menyenggol lengan sang adik. "Kami pamit dulu, ya, Kasha."
"Kamu yakin nggak kenapa-kenapa?"
"Iya. Aku nggak kenapa-kenapa. Udah, ah! Sampai jumpa besok!"
Belum sempat aku membalas salam perpisahan tersebut, mereka berdua sudah berlari secepat kilat. Rambut keritingnya tampak melompat-lompat menyesuaikan langkah kaki mereka.
Aku pun menutup pintu sembari memikirkan pertemuan besok. Meski Anna sudah membuat janji temu sepulang sekolah, tetap saja aku harus siap apabila dia pura-pura lupa. Namun bukan berarti aku tidak senang.
"Kamu senang, iya?"
Bahuku berjengkit mendengar suara Mama yang melengking. Mama jarang sekali berbicara menggunakan intonasi tinggi, maksudku, Mama adalah tipe orang yang tidak bisa berbicara keras. Suaranya selalu lemah lembut.
"Mama, tenang dulu!" Papa berteriak, dari pintu yang terbuka lebar aku melihatnya berusaha menghindar saat Mama melemparkan benda-benda di sekitar ke arahnya.
Terdengar barang pecah yang aku tidak tahu barang apa itu. Ekspresi Papa seakan marah, tetapi sorot matanya lebih mengkhawatirkan kondisi Mama. Sosok wanita itu tercetak jelas di matanya.
"Mama sudah bangun?" tanyaku setelah tiba di ambang pintu. Napasku agak memburu.
Mereka berdua langsung menoleh. "Kasha," ucap Mama dan Papa bersamaan. Detik berikutnya, mereka terdiam.
"Apa yang terjadi di sini?" tanyaku lagi, mencoba tersenyum.
"Kasha, kembalilah ke kamarmu!" perintah Papa. Mutlak. Nada dinginnya membuatku takut.
Dia memalingkan muka, berusaha menyembunyikan wajah yang mungkin dipenuhi amarah. Aku tidak bisa membantah ucapannya di saat seperti ini. Kakiku yang hendak melangkah masuk kini urung. Perlahan aku mundur, berbalik sendirian menuju kamar pribadiku yang tenang.
Di sini sepi.
Benar-benar sepi.
Teriakan orangtuaku teredam oleh pengedap suara yang terpasang pada setiap kamar. Apalagi Papa sudah mengunci pintu kamarnya, sehingga aku tidak mungkin mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku tidak mendengar apa pun meski kamar kami berseberangan.
Aku tidak tahu apa permasalahannya. Aku sama sekali tidak mengerti. Kenapa tadi Mama melempar barang?
Apa mungkin karena aku?
Mungkin saja ....
Mungkinkah dia tahu kalau aku berbohong? Kalau iya, kenapa dia melampiaskannya ke Papa? Bukan aku?
Lalu kenapa kalian bertengkar?
Pikiranku buyar saat potongan seragam di tanganku terjatuh. Aku pun memungutnya dengan perasaan was-was. Mataku menyipit begitu mendapati secarik catatan terbekuk di antara bungkus plastik.
"Apa ini?" gumamku.
Aku membuka kertas tersebut, ternyata berisikan tulisan tangan yang menurutku sangat rapi. Seolah dia mengetiknya dengan mesin. Tulisan tangan tersebut berisi permintaan maaf serta memuat informasi penting mengenai kontak seseorang.
Assalamualaikum.
Perkenalkan, namaku Sulthan.
Aku minta maaf karena sudah menyulitkanmu di hari pertama sekolah. Seharusnya seragam ini dibagikan maksimal satu hari sebelum kamu berangkat, tapi karena jadwalku terlalu padat sebab mengikuti berbagai lomba, penyerahan seragamnya baru bisa dilakukan sekarang. Itu pun melalui perantara wakilku. Aku harap kamu maklum dan ke depannya aku akan berusaha sebisa mungkin agar lebih membantu.
Oh, iya. Ini adalah nomor teleponku jika sewaktu-waktu kamu membutuhkan bantuan. Aku belum bisa membantu secara langsung karena masih di luar provinsi, tapi aku bisa membantu jika kamu punya pertanyaan misalnya terkait sekolahan.
081234567890 ^_^
Salam hangat.
Ketua Kelas.
Mulutku sedikit terbuka usai membaca surat dari ketua kelas. Tanpa berpikir dua kali, aku lekas menyambar ponselku yang tertinggal di meja ruang tamu, lantas menekan tombol-tombol angka sesuai dengan isi surat.
Aku tersenyum senang katena panggilan tersebut langsung tersambung.
"Halo—"
"Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau sedang berada di luar jangkauan. Silahkan cek kembali nomor yang Anda tuju—"
"Haa ..."
Aku memandang layar ponsel seolah ingin melubanginya. Inilah kenapa aku tidak boleh terlalu senang ketika menggantung harapan pada orang lain.
Tiba-tiba saja, telepon genggamku berdering. Aku spontan menekan angkat telepon tanpa membaca nomor si pemanggil.
"Halo?" kernyitku.
"Halo, ini siapa ya?" tanya suara bulat dari dalam panggilan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top