1. Sekolah Hewan
Kami minta maaf belum bisa menyekolahkan kamu di tempat umum karena kurikulumnya beda. Kenalan Papa menyarankan agar memasukkanmu ke sekolah swasta, kebetulan dia juga menjadi guru bahasa di sana. Semoga hari pertamamu menyenangkan!
Penuh Cinta,
Mama dan Papa
Aku tertawa kecil membaca surat yang ditulis oleh Mama. Kulipat kertas kecil itu dan menyimpannya kembali ke dalam tas. Kemudian, aku mendongak pada bangunan megah nan kuno.
"SEKOLAH HEWAN"
Begitulah, aku membaca tulisan hitam raksasa yang berdiri tegak di rooftop. Perlahan senyumanku berubah poker dan helaan napas keluar dengan panjang.
Aku tidak tahu ada sekolah di sekitar sini. Namanya aneh. Bangunan sekolah pun terletak di tepi jalan besar. Lokasinya sangat strategis. Meski aku baru pindah ke tempat ini selama beberapa bulan, tapi aku sering melewati jalan besar dan hanya melihat gedung-gedung biasa. Seingatku tidak ada bangunan kuno yang mencolok.
"Heh, kamu menghalangi jalan."
Aku menoleh ke samping. Seseorang menyentuh bahuku, sehingga spontan aku menepisnya kasar. Laki-laki itu mengangkat kedua tangan seolah baru saja tertangkap polisi.
"Oscar, lagi-lagi kamu melanggar aturan," seru suara tegas di belakang.
"Eh, tunggu dulu! Apa aku berbuat kesalahan? Aku kan cuma pegang sebentar."
"Aturan tetap aturan. Pakai sarung tangan atau dilarang memegang murid lain tanpa izin!" gertaknya.
Dia berdecak. "Ck, merepotkan."
Siapa mereka? Alisku naik sebelah. Ternyata sekumpulan anak berseragam dengan atribut lengkap yang baru pertama kali kulihat. Mungkin murid senior di sini.
Pandanganku langsung tertuju pada apa yang mereka bawa di masing-masing lengan. Burung beo dan ular. Aku cukup mendapat sedikit gambaran tentang sekolah macam apa yang Papa ingin aku masuki.
Aku tersenyum tipis. "Saya murid baru."
Laki-laki yang tadi menyentuh pundakku kini mengelus dagu. "Oh, jadi kamu murid baru yang masuk pakai jalur orang dalam, ya?"
"Oscar!"
"Ada apa sih teriak-teriak? Toh, sudah jadi rahasia umum kalau sekolah kita bisa disogok."
Aku tertegun mendengar jawaban Oscar, tapi dia benar bahwa aku menggunakan jalur orang dalam. Entah kenapa Oscar tampak tidak menyukai caraku menginjak sekolah ini. Pandangan mereka terhadapku juga berubah.
Di tengah kecanggungan, Oscar lagi-lagi menyentakku. "Heh, Murid Baru! Kamu nggak lupa bawa kartu, kan?"
"Maksudmu kartu ini?" Aku menunjukkan kartu polos berwarna hitam.
"Iya, benar. Kamu nggak bisa masuk kalau nggak bawa kartu. Aku kira kamu lupa bawa karena terus berdiri di sini."
Papa pernah mengingatkanku untuk baik-baik menyimpan kartu. Ternyata ada alasan tersendiri. Untung saja setelah Papa memberikan kartu ini, aku selalu membawanya ke mana-mana.
"Terima kasih. Aku akan selalu ingat untuk membawanya."
Oscar melirik gadis di belakang yang sedari tadi memeluk lengan laki-laki di sebelahnya. "Eh, Mila, dia satu kelas denganmu tuh."
"Apa?" pekik si laki-laki berkacamata. Gadis di sampingnya mendongak.
Pupil mata yang sedikit melebar, namun ekspresinya masih datar. Daritadi gadis itu memang diam saja dan melihat semua kejadian di depan mata dengan tenang. Dia hanya sesekali melempar senyum ke arah burung beo yang bertengger pada lengannya.
Tiba-tiba, kulihat dia mendekatkan wajah kepada burung beo seraya menutup mulut. Dahiku berkelit. Dia seakan membisikkan sesuatu.
Burung itu kemudian menatapku tajam, sebelum menirukan suara yang mungkin baru saja dibisikkan.
"Halo!"
Wow, ini konyol! Apa dia menyapaku lewat burung? Tanpa sadar, aku mengambil langkah mundur karena terkejut.
"Halo!"
Aku mengetatkan pegangan pada tali ransel. Tiruan kali ini lebih keras dan diikuti kepala yang menunduk, seolah memberi salam pertemuan. Paruh beo yang besar membuat tengkukku merinding.
"Halo!"
Ya Tuhan, telingaku mulai sakit. Aku khawatir dia akan terus menirukan bunyi 'halo' sampai aku menjawabnya dengan benar.
"Ha-halo," balasku gugup.
"Pfft!" Oscar menahan tawa.
Aku mengangkat kepala, lalu menatap mereka bertiga satu per satu. Kenapa kalian semua tertawa?
Ah, kecuali Mila. Dia hanya berwajah datar. Tapi untunglah, suara burung beonya berhenti.
"Mau ke kelas bareng nggak?" tawar Oscar sembari menoel-noel dahiku.
Aku melayangkan tatapan horor. Namun di sisi lain, aku cukup heran sebab tidak ada peristiwa masa lalu menyedihkan yang kulihat. Sepertinya dia tidak memiliki penyesalan atau semacamnya.
"Oscar, jangan menyentuh orang sembarangan!" teriak pemilik suara di belakang.
Dia langsung mengangkat kedua tangan ke atas, lalu melontarkan tawa tanpa menunjukkan rasa bersalah. Sedangkan laki-laki berkacamata tersebut terlihat dadanya naik turun. Aku pikir terdapat larangan yang dibuat sekolah untuk tidak saling menyentuh satu sama lain.
Meski aku tidak tahu kenapa demikian, bukankah ini aturan yang bagus?
***
Nb :
Akhirnya, chapter pertama yey!
Aku harap kalian nggak berharap banyak sama imajinasiku, wkwk.
Oh ,iya, btw, aku punya cover mentahan, tadinya buat temenku, tapi dia gajadi pakai cover ini. Tapi sayang banget kalau dibuang .... Jadi, awalnya kan gini—
Abaikan judul sama nama penulisnya, ya.
Kalau kalian punya cerita yang mungkin bisa direpresentasikan sama cover di atas (cowok, dark, bulan sabit, dan jam) bilang di komen atau bisa juga DM aku.
Nanti kukirim versi kosongan dan kalian bisa minta ubah judul + napen. Bakal aku editin, kok!
See you~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top