9. Mikroba VS Makrofag
“Sherin?”
Dodol, cendol, sempol, Panadol! Demi mendengar suara panggilan sekaligus ketukan di pintu kamarnya, Sherin terlonjak seketika. Bukan, bukan karena suaranya seperti Mbak Kunti. Sherin syok berat karena … ini suara Mama, lho! Bangsul! Hantu jenis apa, sih, yang tega-teganya mau menyerupai Mama buat mengelabui makhluk kesepian seperti Sherin?
Meski masih menolak percaya, Sherin membuka pintu kamar lantas melotot sempurna pada sosok yang berdiri di hadapannya. Manik cokelat terang itu bolak-balik memindai penampakan Mama dari atas sampai bawah. Ini benar-benar Mama! “Tumben udah pulang jam segini, Ma?”
Kalau mamanya Sherin anak Twitter, mungkin pertanyaan enggak guna Sherin sudah dibalas dengan meme Jerry si Tikus yang diedit dengan tulisan ‘napa, enggak seneng?’. Untung Mama bukan pribadi yang jamet. Wanita berusia kepala empat itu hanya tersenyum. “Iya. Hari ini Mama dibantu anak-anak mahasiswa yang lagi koas, jadi enggak terlalu banyak kerjaan, deh.” Mama menumpukan tangannya ke bingkai pintu. “Makan, yuk! Mama udah beli ikan bakar dari Saung Kai.”
Sherin mengangguk-angguk. “Oke, Ma! Sherin ganti baju dulu, ya.”
Detik berikutnya setelah Mama berbalik badan, Sherin bergegas menutup kembali pintu kamar. Matanya membeliak. Hampir saja! Mama enggak boleh melihat kondisi kamarnya yang berantakan! Kaus kaki dekat bantal, tas tergeletak di lantai … Sherin bergerak membenahi segalanya agar kembali ke tempatnya yang benar. Sudah cukup ketidakmampuan Sherin mengendalikan kantuk hingga selalu bangun kesiangan dan meninggalkan rumah dalam keadaan kamar berantakan (Mama yang bereskan). Masa menyimpan tas dan kaus kaki saja Sherin tak bisa? Sebeban-bebannya beban, jangan sampai Sherin sebeban itu, lah!
Perlu waktu dua menit bagi Sherin melepas segala atribut sekolah, mengganti seragamnya jadi kaus hitam panjang dan training abu yang berkaret di bagian pergelangan kakinya. Benar saja. Begitu Sherin turun dan menghampiri meja makan, tampaklah ikan bakar jumbo yang mengundang lapar. Dua piring nasi sudah Mama sajikan. Kepulan hangatnya melambai-lambai agar segera dimasukkan ke dalam perut.
Prosesi makan tak dapat ditunda lagi. Ibu dan anak itu menyantap hidangannya dalam diam. Keheningan ini sejujurnya tidak begitu Sherin sukai, tetapi beginilah kondisi default rumah. Bisa makan bersama Mama saja sudah jadi suatu keajaiban yang jarang bisa Sherin rasakan. Mama berdeham. Atensi Sherin teralihkan dari ikan bakar. “Tadi Mama ngobrol-ngobrol sama anak koas, terus tiba-tiba aja kebayang kalau Sherin yang ada di posisi itu beberapa tahun ke depan.” Mama terkekeh geli. “Keren, ya? Sherin udah ada planning belum, buat jurusan universitas? Sudah kelas dua belas, lho. Guru BK juga pasti udah neror-neror soal karier masa depan, ‘kan?”
Nyaris saja Sherin tersedak ikan kalau saja ia tak segera ingat bahwa responsnya hiperbola sekali. Sherin berdeham-deham, bermaksud mengembalikan daging ikan ke jalan yang benar supaya enggak nyasar ke koridor tenggorokan. Oke, aman. Sherin menenggak air putih di hadapannya hingga tandas selagi memikirkan jawaban yang bisa ia berikan. “Uhm, belum, sih, Ma. Sherin masih pertimbangin banyak hal ….” Problematika utamanya mempertimbangkan variabel kebodohan, sih, lanjut Sherin dalam hati.
Sherin berhenti makan untuk sejenak. Diamatinya Mama yang tidak memberi tanggapan apa pun. Seutas senyum tersungging di bibir Mama selagi mengumpulkan nasi di sendoknya. Sherin tak berkedip sama sekali, berusaha menafsirkan maksud senyuman itu. Tiga detik kemudian, Mama sendiri yang menjawabnya. “Sejujurnya, Mama pengin banget bisa bikin rumah sakit keluarga, Sherin. Biar ayahmu enggak usah kerja di luar kota dan Mama mau warisin rumah sakit itu ke anak-anak Mama.”
Anak-anak? Rona wajah Sherin langsung tersirap blackhole tak kasatmata. Sherin menjilat bibir bawahnya yang sudah sempurna pucat pasi. Anak-anak? Mama hanya punya anak tunggal, lho! Sherin satu-satunya. Ini ambigu, nih. Apakah sebenarnya Sherin punya saudara yang terpisahkan sejak lahir, seperti di sinetron-sinetron? Ataukah ini justru suatu kode bahwa ….
“Makanya Mama pengin kamu jadi dokter juga, Sherin. Menurut Mama, ini ide bagus, lho. Di daerah perbatasan Tasik-Ciamis belum ada rumah sakit yang bisa diakses. Orang-orang perbatasan, selama ini, terpaksa harus ke pusat Kota Tasik atau Ciamis yang sama-sama jauh jaraknya buat berobat. Lahan di seberang rumah kita juga terbilang cukup strategis, Sherin. Kita bisa membangun rumah sakit di sana. Oh, atau minimal klinik, deh.”
Suara antusias Mama yang sarat akan pengharapan itu membuat Sherin mengangguk cepat, tak mau mengecewakan. Jadi dokter? Matilah! Kalau dengar ini, Bu Rika pasti tertawa terbahak-bahak. Mama harusnya punya anak banyak, biar bisa rekrut banyak calon dokter dan membebaskan Sherin yang hakikatnya emang cuma kenal sama kegagalan. Lah, ini? Anak tunggal, satu-satunya harapan Mama … duh, gimana cara Sherin ngasih tahu Mama kalau dia termasuk golongan yang cuma bisa jadi setan selama pembelajaran di kelas? Mama pasti bakalan sedih. Harusnya Mama bikin lagi anak, enggak, sih? Tapi Papa di luar kota terus! Masa jadi Sherin yang dikorbankan demi pemenuhan ekspektasi Mama?
Segala sanggahan sudah siap Sherin muntahkan, tetapi lidahnya telanjur kelu. Pembelaan diri macam apa yang bisa ia gunakan? Ma, Sherin aslinya orang bego! Ma, Sherin mana mungkin, sih, bisa masuk kedokteran? Ma, Sherin enggak pernah punya nilai Biologi memuaskan! Ma, Sherin enggak bisa belajar anatomi tubuh manusia dengan segala tetek bengeknya!
Sayangnya, bantahan dari kesadaran di lubuk hati Sherin bikin semua alasan itu terpendam dan Sherin hanya bisa menunduk dalam. Kalau begitu, kamu bisanya apa, Sherin? Dicengkeramnya sendok erat-erat. Sedari tadi, yang ia lakukan hanya mengacak-acak nasi dan daging ikan yang sudah Sherin pisahkan dari tulangnya. Bisanya cuma jadi beban Mama, akunya dalam hati. Iya. Sherin juga sadar diri, kok. Kalau memang mau menolak segala ekspektasi Mama terhadapnya, Sherin harus punya jalan lain yang bisa meyakinkan.
Enggak usah, Ma. Sherin sukanya bidang seni rupa dan desain … Sherin pengin berjuang buat jurusan DKV atau apa pun yang ada di FSRD aja! Meh. Jangankan gambar atau seni rupa—dalam bentuk apa pun—yang artistik, bikin smiley face aja masih bagusan logo Kumon.
Enggak usah, Ma. Sherin sukanya nyanyi. Sherin mau belajar mendalami seni musik aja! Halah. Jangankan punya golden voice, Sherin menyanyi Balonku saja bisa bikin barisan semut yang lagi antre sembako jadi bubar jalan seketika.
Enggak usah, Ma. Sherin udah menentukan mau linjur aja ke bidang hukum. Sherin mau jadi pengacara yang bisa membela kebenaran. Idih! Jangankan belajar pasal yang sebegitu banyaknya, Dasadarma Pramuka saja masih remang-remang di ingatan Sherin.
“Hm … biar Sherin usahakan, ya, Ma.”
Pada akhirnya, Sherin tak punya pilihan lain. Ingat? Begini-begini juga Sherin tahu diri, kok. Bagaimana mungkin dia menolak keinginan Mama, sementara Sherin sendiri tidak memiliki alternatif lain yang bisa meyakinkan? Ibaratnya, Mama udah ngasih Sherin solusi. Mana mungkin Sherin tolak di saat ia sendiri tidak memiliki solusi lain yang lebih menjanjikan, ‘kan? Mama mengangguk dengan riang. “Makasih, anak Mama. Yuk, makan ikannya lagi. Kamu butuh banyak asupan gizi buat belajar lebih giat.”
Sherin benci situasi ini. Amat sangat benci. Kenapa Mama malah baik, sih? Sumpah! Sherin pengin banget bisa benci Mama yang udah membebaninya dengan sejuta ekspektasi, tetapi tak bisa karena mamanya masih saja perhatian pada Sherin. Kan, jadi tanggung! Kalau Sherin ngotot pengin terus benci Mama yang jelas-jelas baik hati, nanti malah Sherin, dong, yang berperan sebagai antagonisnya? Iya, deh! Walau masih jengkel setengah mati, Sherin akui kalau perkataan Algis memang ada benarnya.
Manusia enggak suka jadi tokoh antagonis. Sama seperti mikroba jahat maupun patogen asing yang ingin singgah di dalam sistem kehidupan manusia. Apakah mereka sendiri yang memutuskan mau-maunya jadi tokoh antagonis, hingga siap ditelan makrofag dan diusir oleh banyaknya sel imun penghuni tubuh?
Kalau mereka bisa memilih … apakah mereka masih mau memerankan sebagai mikroba jahat yang selalu diburu ketiadaan oleh makrofag?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top