6. Arteri VS Kolesterol

Meski ada begitu banyak kata yang berpilin di pikiran Sherin, mulutnya tetap terkunci sempurna. Sherin mengulas senyuman tipis ketika Mama kebingungan karena Sherin tak kunjung menjawab hendak makan apa terlebih dahulu. Pada akhirnya, Mama yang memilihkannya sendiri.

Wanita menjelang usia kepala empat itu mengambil mangkuk bubur dari nampan yang ia simpan di atas meja. Setelah bantu mendudukkan Sherin di atas ranjang—yang sebenarnya bukan hal sulit untuk kondisi Sherin saat ini—Mama pun menyuapi putri sematawayangnya dengan penuh kesabaran.

Hingga mangkuknya tandas, Sherin terus menunduk. Ia tak pernah sanggup menatap mata mamanya secara langsung. Ia tak sanggup menatap mata yang tak pernah menyorotkan rasa kekecewaan sekecil apa pun padanya, padahal Sherin merasa dirinya lebih dari pantas untuk mendapatkannya.

Mama terus mengobrol ringan, berusaha memperbaiki suasana hati Sherin agar mau sekadar bicara seraya mengganti bebat luka di kaki Sherin dengan yang baru. "Nah, selesai! Sherin istirahat, ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa, bilang ke Mama. Oke?"

Persis ketika Mama sibuk membereskan kembali sisa makanan di nampan untuk disimpan di dapur, pergerakan wanita itu jadi terhenti karena mendengar suara parau Sherin. "Ma ...."

Sumpah demi apa pun, Sherin kaget dengan suaranya sendiri! Ia berdeham singkat. Mending kalau berubahnya jadi nada yang serak-serak basah alias keren nan seksi bak ayam krispi. Lah ini suara false Sherin tiba-tiba berubah jadi suara kakek-kakek yang sedang radang tenggorokan! Perasaan, sewaktu koma kemarin-kemarin, Sherin mimpi jadi Bintang, deh, bukan jadi Voldemort maupun knalpot motor! Meski terasa aib setengah mati, Sherin tak terpengaruh apa-apa karena menyadari respons mamanya pun biasa saja. "Iya, kenapa?"

"Sherin mau sekolah, ya."

Sherin menahan napas ketika mengucapkan kalimat sakral itu. Baiklah! Semoga setan-setan di kepalanya tidak telanjur salah paham. Sungguh, Sherin tidak bermaksud mengatakan itu sebagai bentuk kerinduannya pada sekolah atau kegiatan pembelajaran. Tidak sama sekali! Sherin hanya merasa bersalah jika masih saja rebahan hingga bulukan di atas kasur dengan keadaan yang sudah jauh lebih baik. Secara keseluruhan, kondisi Sherin memang baik, kok! Hanya luka di kakinya saja yang masih ngilu dan perlu alat bantu untuk berjalan. Nyawa masih ada, mata masih berguna, tangan masih di tempatnya ... apa yang bisa Sherin jadikan alasan untuk kembali membolos hari ini?

Gelengan Mama sudah sesuai dengan perkiraan Sherin. "Kamu, kan, baru siuman tadi malam, Sherin ... jangan memaksakan diri. Mending nunggu dulu Sherin sembuh total, ya?"

"Sherin udah sembuh, kok, Ma ... tinggal pemulihan. Absen Sherin bisa diisi alpa sebulan penuh kalau harus nunggu lukanya bener-bener nutup." Kedua sudut bibir Sherin merenggang, melukiskan senyuman terbaik yang bisa ia tampilkan saat ini. Sherin berusaha menatap balik mamanya, mencoba meyakinkan. "Sherin di sekolah juga cuma belajar, Ma, enggak perlu banyak gerak. Lagian Sherin udah skip pelajaran satu minggu ... Sherin pasti capek kalau harus ngejar ketertinggalannya nanti. Boleh, ya, Ma?"

Mama saja sampai izin dari pekerjaannya untuk merawat Sherin dengan intensif ... masa Sherin tidak bisa sekadar menghadiri sekolah untuk mamanya? Sudahlah tak pintar, tak berbakat, tak membanggakan ... masa rajin sekolah juga enggak? Minimal berangkat dan mengikuti kelas, deh! Biar Sherin enggak terlalu malu jadi anaknya Mama. Karena sesetan-setannya setan yang ada dalam diri Sherin sebagai setan ... setannya, yaaa, tetap tahu diri, tahu posisi, lah!

"Tapi ...."

"Enggak apa-apa, Ma. Sherin juga sumpek, kok, kalau seharian cuma di kamar." Tapi bohong, lanjut Sherin dalam hati. Iyalah! Dirinya sebagai anak introvert ini mana mungkin mengenal kata jenuh selama diam mengisolasi diri dari khalayak ramai di dunia luar sana?

Perlu waktu yang tak begitu singkat bagi Mama untuk mempertimbangkan segala situasi hingga akhirnya mengangguk mantap, mengizinkan Sherin untuk berangkat sekolah. "Biar Mama yang antar, ya. Kalau butuh sesuatu atau pengin pulang, bilang aja ke Mama. Nanti biar Mama yang minta izin ke wali kelas. Datang telat atau pulang awal pun tidak apa-apa. Biar Mama mintakan toleransi dari pihak sekolah."

Senyum Sherin terkembang. Hanya ini yang bisa Sherin usahakan agar tidak terlalu mengecewakan orang tuanya. Sherin mau Mama terharu dan menyenangi semangat Sherin untuk belajar, walau kenyataannya jelas tidak seperti itu.

Benar saja apa kata Mama. Karena luka dan keterbatasan ruang gerak Sherin, persiapannya jadi banyak terhambat. Sudah pukul delapan. Sherin jelas terlambat. Meski begitu, ada Mama yang sigap menjelaskan keadaan Sherin pada guru piket juga Bu Rika yang tengah mengajar di dalam kelas. Sherin pun diperbolehkan mengikuti kegiatan pembelajaran semampunya.

"Baik. KBM kita pagi ini sudah selesai. Untuk selanjutnya, Ibu tugaskan kalian buat percobaan mengenai materi pertumbuhan dan perkembangan. Ini tugas kelompok. Silakan bentuk kelompok yang terdiri dari enam orang. Nanti, setorkan data anggota kelompoknya ke Ibu, oke? Terakhirnya lusa. Lusa, kan, ada jadwal biologi lagi, ya ... eh, jangan! Lusa kalian ulangan harian sampai materi enzim tadi. Data kelompoknya ... bolehlah maksimal pekan depan. Pokoknya pekan depan nanti, Ibu mau semua sudah punya kelompok dan kita bisa mulai diskusi mengenai variabel bebas juga variabel terikat dari percobaan yang akan kalian lakukan. Dapat dipahami?"

Mampus. Tugas kelompok! Sepanjang sejarah hidupnya, prosesi pembagian kelompok ini selalu menjadi kejadian traumatis dalam memori Sherin! Pasalnya, ia pasti diabaikan orang-orang. Tidak ada yang mau mengajak beban macam Sherin ke dalam kelompok. Bahkan, mereka mungkin tak akan peduli walau Sherin tidak punya kelompok sekalipun. Amboi! Sedihnya jadi beban yang selalu berakhir di tempat pembuangan sisa!

Kalau aja mereka tahu gue sempet jadi Bintang si Master Biologi waktu koma, pasti pada nyesel karena enggak ngajak gue masuk kelompoknya. Dasar, Dugong! Sherin mendengkus sebal. Sayang seribu sayang, otak Bintang tidak Sherin bawa pulang ke dunia nyata. Mbuh, lah! Selalu saja seperti ini. Seminggu tanpa eksistensi Sherin di kelas ini tidak lantas membuatnya jadi objek yang patut dikasihani.

Oh, ralat. Sebenarnya, sejak Sherin menginjakkan kaki kembali di lantai kelas, ada suatu perubahan yang nyata. Lihat saja! Dalam hitungan sepuluh detik, pasti sosok itu akan ....

"Gue bawa banyak roti! Pilih tiga. Rasa keju, kacang, cokelat, kelapa, stroberi, sarikaya, atau ...."

Sherin lekas mencari tongkat penyangga, lalu berdiri dari kursinya. Bu Rika sudah keluar sejak tadi, membiarkan seisi kelas gaduh dengan momen perebutan kelompok. Di saat Sherin hendak overthinking mengenai tugas kelompoknya, makhluk astral ini tiba-tiba muncul dan memuntahkan puluhan bungkus roti dari kereseknya ke atas meja Sherin hingga satu-dua roti berjatuhan. Sherin berjengit ngeri, menatap lelaki jangkung di hadapannya dengan tatapan penuh penghakiman.

"Pilih tiga roti!" Bukannya mengerti akan kebingungan Sherin, anak laki-laki itu malah tambah beringas mengintimidasi Sherin. "Atau bawa semuanya aja. Itu jauh lebih bagus. Makan!"

Sumpah?! Dengan paksaan begitu, mana bisa Sherin tidak berburuk sangka dengan membayangkan hal-hal negatif seperti adanya sianida di roti itu, 'kan? Kenapa roti, kenapa Sherin, dan ... astaga! Kenapa rotinya harus sebanyak itu!

Aksi pemaksaan ini sudah terjadi sejak Sherin masuk kelas—walau dengan cara bisik-bisik karena masih ada Bu Rika tadi—tetapi Sherin tetap tak mengerti motif sekaligus tujuan dari aksi enggak jelas ini. Kabar buruknya lagi, Sherin sudah berusaha lari dari lelaki itu, tetapi, biadabnya, sosok itu terus mengejar dan tak peduli pada Sherin yang masih berjalan pincang menggunakan tongkat.

Sherin kena mental. Ya, Tuhan! Sherin punya dosa apa, sih, sampai ketempelan jin begini? Sherin tahu hidupnya memang sepi, sendiri, dan menyedihkan sekali. Akan tetapi, bukan berarti Sherin ingin diekori oleh titisan dedemit yang amit-amit! Mending kalau anaknya baik. Ini, sih, kayak kolesterol di jalan hidup arteri Sherin. Bikin aterosklerosis, dan yang pasti malah bikin Sherin darah tinggi di usia dini!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top