44. Vasokonstriksi VS Spasme Vaskular
"Haha! Tahu enggak, sih, Ma? Sherin pernah jawab pertanyaan Bu Rika. Pertanyaannya tentang sel, tuh. Katanya, apa bedanya sel prokariotik sama eukariotik? Terus, tebak, coba! Apa jawaban Sherin waktu itu?"
Mama telaten menyisir rambut Sherin dengan senyum yang tak lekang menghinggapi bibir tipisnya. "Apa?"
"Sherin bilang, uhm ... pro itu artinya setuju, berarti prokariotik itu sel yang setuju!"
Tawa riang kembali terdengar di halaman rumah yang telah lama sunyi itu. Mentari yang mulai melalui titik zenith di hari yang cukup mendung ini menyaksikan segalanya. Di tengah celotehan gembira ala ibu dan anak pada umumnya, perhatian Mama dan Sherin seketika teralihkan gara-gara sepeda motor Algis yang masuk ke halaman rumah. Demi mendapati dirinya datang di waktu yang tidak tepat itu, Algis jadi salah tingkah. Gerakannya patah-patah turun dari sepeda motor, kemudian menyodorkan tas milik Sherin kepada pemilik aslinya. "Anu ... permisi, maaf ganggu, ya, Tante. Ini barang-barangnya Sherin."
"Ah, terima kasih, Nak Algis! Sini, masuk dulu. Mau minum apa?"
Sherin menyilangkan tangan di depan dada. Kenapa Algis harus datang di saat Sherin sedang melalui momen-momen romantisnya dengan Mama, sih? Ganggu aja! Sherin jadi teringat pertanyaan yang belum terjawab sebelumnya. "Ma, Mama kenal sama orang itu?"
Mama mengernyit sekilas. "Algis, maksudnya? Ya kenal atuh ... dia, kan, rajin nengokin kamu waktu masih koma di rumah sakit, habis kecelakaan silam."
Demi apa? Sherin melotot sampai kedua bola matanya seakan hendak menggelinding keluar, tak percaya. "Masa, sih? Berarti sebelum neror pakai roti seabrek itu ...."
Algis mengangkat bahu. "Aku enggak suka jadi antagonis, ingat?"
Sherin tersenyum. Benar. Algis tidak pernah melarikan diri. Lari dari segala masalah dan kesulitan yang ia hadapi ... ah, benar juga. Sherin jadi teringat urusannya yang belum selesai di sekolah. Sherin berbalik menghadap Mama, kemudian menggenggam tangan wanita menjelang usia kepala empat itu dengan erat. "Ma ... Sherin boleh ke sekolah lagi, enggak ya? Lumayan, masih ada jam pelajaran setelah jam istirahat kedua ini."
"Eh, tapi ... Sherin enggak capek? Habis nangis bombai, lho, kita."
Tawa ringan mengalun dari bibir Sherin. Anak perempuan itu menggeleng mantap. Suasana hatinya sudah jauh lebih menyenangkan saat ini. "Boleh, ya, Bu? Aku ... mau menyelesaikan sesuatu. Tentang Hana dan Bu Rika." Di saat Mama masih bertanya-tanya, Sherin menoleh pada Algis. "Ya, kan, Algis?"
Bjir, jual-jual nama orang. Yah ... Algis tahu, sih, percakapan ini mengarah ke mana. Algis tersenyum simpul seraya mengangkat alis. "Iya, iya."
Sherin memang sedang senang-senangnya menjalani hari dengan Mama siang ini. Akan tetapi, Sherin lelah jika harus terus melarikan diri. Sherin ingin memperbaiki segalanya satu per satu. Di tengah perjalanan menuju sekolah, keraguan sempat melandanya. "Anu, Gis ... gimana bilangnya, ya? Ntar gue mesti gimana? Melakukan pembelaan diri lagi di depan Bu Rika? Mengulang pengakuan yang sama?"
"Amaaan. Santai aja, ntar gue yang atur."
Benar saja. Sesampainya di sekolah, Algis meminta Bu Rika untuk mengetes ulang Hana dan Sherin secara lisan. Sementara anak itu? Ketika hendak dimarahi karena membolos seharian, Algis langsung kabur untuk turun ke lapangan basket dengan dalih mau latihan. Enggak jelas, emang.
"Struktur enzim?"
"Apoenzim, sisi aktif, sisi alostrat ... eh?"
Sherin angkat suara untuk melengkapi jawaban Hana. "Sisi alosterik. Aku pribadi menghafalnya pakai singkatan SAKSIS, Bu, biar aku yakin enggak ada struktur yang terlupakan. Mungkin ini sesuai juga dengan urutan yang aku tulis di lembar jawabannya: Substrat, Apoenzim, Kofaktor, Sisi aktif, Inhibitor, dan Sisi alosterik."
Bu Rika menganalisis jawaban yang tertera di lembar kerja Hana dan Sherin bergantian, sama persis. Memang sesuai. Bu Rika mengangguk-angguk, memvalidasi. "Penemu enzim? Di sini, kamu mention nama ...."
"Anselme Payen," sahut Sherin tanpa keraguan sedikit pun. Matanya tak beralih dari sosok Bu Rika yang tampak memasang tatapan menyelidik. "Beliau seorang ahli kimia Perancis, orang pertama yang menemukan enzim."
"Lebih tepatnya?"
"Lebih tepatnya enzim diastase dan selulosa karbohidrat."
Bu Rika terdiam, lalu melirik Hana yang tak bersuara sedikit pun. "Hana?"
"Saya yang nyontek, Bu." Hana menunduk dalam-dalam. "Maaf ... saya tahu Sherin makin pintar, apalagi di biologi, setelah ikut les di JAMAL. Saya menyaksikan perkembangannya, Bu, jadi bisa saya jamin kalau Sherin memang menjawab tugas individu tadi pagi berdasarkan kemampuannya sendiri, atas dasar kejujuran. Tadi pagi, saya yang sebenarnya mengajak Sherin untuk duduk sebangku."
Embusan napas berat keluar dari mulut Bu Rika. "Maafkan Ibu, Sherin ... Ibu sudah lalai dan menyalahi etika Ibu sebagai guru yang berlandaskan diri pada objektivitas. Maaf karena Ibu selama ini tidak memperlakukanmu dengan baik. Padahal, setiap orang memiliki kesempatan untuk berubah."
"Ah, saya juga mau bilang makasih, Bu. Waktu Ibu lapor ke mama saya karena saya menghilang habis jam istirahat pertama, Ibu bisa aja bilang soal dugaan contek-menyontek, tapi Ibu memilih untuk tidak melakukannya. Saya sangat menghargai keputusan itu."
Bu Rika menggenggam bahu Sherin dengan senyuman haru. "Semoga kamu makin semangat belajar, ya. Kamu memang mampu. Kamu bisa melakukan apa pun, Sherin."
Aku bisa melakukan apa pun. Aku bisa melakukan apa pun. Hingga Bu Rika tak lagi di hadapan, kalimat itu masih menggaung di kepala Sherin. Bahkan jika suatu kecelakaan membuatnya koma atau amnesia dan Sherin hanya bisa mengingat satu hari yang paling membahagiakan, maka Sherin akan memilih hari ini. Aku bisa ... melakukan apa pun. Rasanya seperti ada kekuatan tak kasatmata yang meliputi kedua telapak tangan Sherin. Sherin tak lagi menjadi sosok lemah yang tak berdaya. Sherin ... bisa melakukan apa pun.
Persis ketika Sherin bersiap menuruni anak tangga untuk pulang, rangkulan di pundaknya sukses menghentikan pergerakan Sherin. "Sherin, maaf ...."
Sherin menepuk-nepuk puncak kepala Hana yang tak kunjung mau terangkat sejak mereka keluar dari ruangan Bu Rika. "Udah, enggak apa-apa, Hana. Aku sebel, sih. Aku kecewa, aku sakit hati ... kenapa harus kamu, orang yang pertama kali menyebutku sahabat, yang justru bikin aku kecewa." Sherin terkekeh kecil. "Tapi enggak apa-apa. Seseorang pernah bilang padaku, Na. Katanya, everybody made mistakes in their life. Aku juga punya banyak salah dan ingin terus memperbaiki diri. You're my very first friend ... masa aku enggak bisa ngasih kesempatan kedua buat kamu?"
People come and go. Duka datang dan pergi. Meski begitu, waktu punya kekuatan spasme vaskular. Layaknya otot jalus dinding pembuluh darah dekat luka yang mengalami vasokonstriksi, waktu juga mengurangi darah mengalir melalui luka dan menjaga kestabilan hidup. Tugas Sherin hanyalah tetap bertahan hidup. Bukankah begitu?
Setelah melepaskan segalanya, langkah Sherin jadi terasa jauh lebih ringan. Di tengah perjalanan menuju gerbang sekolah untuk menunggu jemputan Pak Daud, Sherin malah tertarik mendekat ke arah lapangan karena ada seorang anak laki-laki yang bermain basket menggunakan seragam putih-abu. "Ninu-ninu! Pelanggaran! Enggak boleh olahraga pakai seragam selain olahraga, tahu! Udah mah enggak mandi, bau ketek, keringet-keringetan ... wow, valid no debat, inilah juara bertahan dengan kategori si Paling Lecek di seantero SMANDATAS!"
Sindiran Sherin cuma dibalas Algis pakai ketawa. "Abisnya, gara-gara kesiangan tadi, jadi lupa bawa baju olahraga, deh. Makanya, gue mau latihan sampai diusir satpam hari ini sebagai kompensasi, self-punishment."
Sherin berdecak penuh penghakiman. "Kasihan enggak ada temennya. Anak-anak basket lainnya udah pada pulang, ya?"
"Temenin, dong."
"Enggak! Males banget olahraga pakai alat. Lebih seru lari! Enggak ribet."
"Kebanyakan lari dari kenyataan, sih."
"Enggak salah lagi." Sherin ngakak brutal. "Eh, tapi makasih, ya ... udah ngasih spektrum warna baru di hidup gue belakangan ini."
Bjir! Dipuji, nih? Algis refleks menyugar jambul rambutnya ke belakang, sok ganteng. "Asik! Jadi lebih cerah, 'kan? Siapa dulu, dong?"
Agaknya Sherin salah ngomong, deh, ya. Cepat-cepat Sherin meralat ucapannya sendiri. "Ngasih warna-warna suram, maksudnya ... bikin emosi terus, sih!"
"Bilang apa?"
"Iya, makasih."
"Sekali lagi?"
Sherin mesem-mesem. "Iya, iya. Nanti gue tonton pertandingannya, ya ... VVIP, 'kan? Barisan depan? Awas aja kalau kalah! Traktir seblaknya Abah!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top