39. H2O VS Trigliserida


Dunia belakangan ini seenaknya banget memperlakukan Sherin. Nyebelin! Sudahlah panitia transmigrasi, khususnya kuncen penjaga portal pintu menuju ekosistem MaFiKiBi Society, menolak akses eksistensi manusia hopeless semacam Sherin … obat tidur enggak mempan memperbaiki keadaan, yang ada, Sherin malah bikin Mama tambah prihatin … Bu Rika enggak melihat usahanya sama sekali … Lord Algis alias mentor yang selalu minta ditoyor itu pun belum kelihatan batang hidungnya sedari pagi, padahal Sherin butuh validasi bahwa performa presentasinya sudah oke sekali untuk standar seorang nolep kronis seperti Sherin. Eh, poin terakhir itu enggak penting! Males banget kalau Sherin memasukkan iblis macam Algis ke dalam list yang ia kategorikan sebagai suatu urgensi. Najis!

Kamu tadi udah keren banget, Rin! Tampil, jelasin slide tanpa perlu baca PPT, minim typo, bisa jawab pertanyaan dari kelompok sebelah … yaaa, walaupun Bu Rika melihat PPT-nya sebagai hasil karya ber-copyright Hana … itu tetep PPT bikinan kamu, lho! (Enggak semuanya, sih, tapi mostly yang Bu Rika puji adalah bikinan kamu, Rin! PPT Hana versi awal enggak ada grafiknya sama sekali, tahu!) Kontribusimu di sana disandingkan sekaligus disamakan dengan pekerjaan seorang Hana yang serbabisa kayak sel punca itu! Berarti … bisa dibilang, pujian Bu Rika untuk Hana itu sebetulnya ditujukan buat kamu, lho! Jadi, semangat terus, ya! Jangan berhenti berkembang sampai Bu Rika syok berat karena ternyata Sherin lebih dari sekadar ‘Hana memang kreatif, ya’. Anjir, lah. Memang tahi!

Sumpah serapah Sherin lontarkan dalam hati. Segala jenis binatang ia absen satu per satu. Monyet! Eh, maksudnya Macaca fascicularis, Macaca nemestrina, Macaca mulatta, Macaca fuscata … anjay! Udah ilmiah banget, nih, umpatan-umpatannya. Udah upgrade! Mati-matian Sherin berusaha menjaga mood-nya hari ini agar tidak merusak agenda pengerjaan tugas individu mengenai Enzim dan Metabolisme Sel. Sherin menarik napas panjang. Tarik napas … embuskan. Tarik napas … embuskan. Buat kali ini, karena kesabarannya udah diuji, enggak apa-apa, dah, kalau Sherin mubazir karbondioksida lebih banyak dari biasanya. Aduuuh. Gimana, sih? Sherin, kan, selama ini cuma mau … 

“Sebangku bareng aku … mau, enggak, Sher? Callista lagi sakit, enggak masuk hari ini. Sebelahku kosong, kok.”

Sherin hanya bisa melotot begitu mendapati sosok Hana yang jadi jumpscare dadakan sambil menepuk bahu Sherin dengan sok akrab. Eh, eh. Sabar … tahan dulu julidnya. Hana? Lo, lo, lo … barusan itu, Hana yang bilang? Hana yang mengajak Sherin duduk sebangku? Sherin mangap selebar mangapnya kuda nil, seakan baut-baut yang terpancang di rahangnya mendadak lepas begitu saja. Demi apa, sih? Ini keajaiban dunia nomor berapa, ini? Hana yang ngajak Sherin duduk sebangku? Sherin? Sherin yang diajak? Hah? Boleh, enggak, sih, kalau Sherin menganggap tawaran ini sebagai suatu tanda bahwa Hana sudah mulai mengakui eksistensi Sherin? Sebagaimana yang pernah Sherin bilang sekaligus diiakan langsung oleh si Najis Algis … manusia cenderung menjalin pertemanan dalam rangka memenuhi kebutuhan, kan? Dengan uluran tangan Hana ini, apakah berarti bahwa Sherin sudah cukup mumpuni untuk dikategorikan sebagai sosok yang berguna? Sampai seorang Hana mau sebangku dengannya?

Sherin geleng-geleng, mengusir segala geer yang menginvasi benak. Bukan begitu! Hana pasti kasihan dengan hidup Sherin yang selalu menyendiri di bangku pojokan. Oh, lagipula … enggak semua orang membatasi kualifikasi tertentu dalam berteman, kan, ya? Pikiran Sherin terlalu keruh! Hana enggak seburuk itu, kok, sampai melihat teman melalui kacamata dengan dimensi berguna atau enggak bergunanya aja. 

Melihat gelengan kepala Sherin, lengkungan parabola yang diciptakan kedua sudut bibir Hana jadi turun beberapa derajat. “Oh, enggak mau, ya ….”

Sherin gelagapan. “Eh, enggak gitu!” Mampus! Sherin kebiasaan, deh. Susah banget menyinkronisasikan antara realitas dan dunia di dalam kepalanya saja. Jadi bikin miskomunikasi, deh! Sherin melambaikan tangannya berulang kali dengan rempong. “Anu! Tadi aku anu aja, hehe. Ayo sebangku! Aku ambil dulu tas dari bangku belakang, ya, Hana!”

Kurva senyuman Hana jadi melebar lagi. Sherin juga nyengir sambil nahan dag-dig-dug ser, jantungnya dangdutan sampai jedag-jedug dengan brutal. Apakah ini merupakan suatu indikator yang cukup konkret untuk menunjukkan bahwa misi #2023SherinEnggakNolepLagi perlahan membuahkan hasil? Sherin berhasil mendapatkan teman pertamanya? Yes! Ternyata tidak sesulit dan selama yang Sherin duga sebelumnya. Sherin melirik bingkai pintu kelas yang tertutup rapat karena Bu Rika perlu kondusifitas untuk mulai mendiktekan pertanyaan demi pertanyaan tugas individu di akhir bab dua ini. Sudah menjelang pukul setengah sembilan … tapi Algis belum datang juga, ya? Hadeuh! Di masa-masa kejayaan Sherin, masa anak itu enggak datang, sih? Sherin, kan, mau flexing!

“Yeay! Aku jadi sahabatan sama Sherin, hihi.”

Hold on, hold on, Tahan dulu. Diam di tempat! Sherin memandang Hana dengan ngeri. Yang barusan itu betulan bersumber dari Hana yang kini jadi teman sebangkunya? Sahabatan, katanya? Sa-ha-bat-an? Ada yang mengklaim hubungannya dengan Sherin sebagai suatu diksi indah bernama persahabatan? Alamak! Mendadak sekali! Sherin yang sedang asyik memutar otak seraya menuliskan jawaban di kertas selembar pun jadi eror sejenak, balas menatap Hana yang memandangi Sherin tanpa kedip.

“Wow! Kamu sudah mau sampai nomor lima, Sher? Ini esai, lho … jawaban kamu juga panjang-panjang. Keren!” sorak Hana sambil bertepuk tangan sekilas, masih menjaga volume suara dan setiap pergerakannya agar tak terlalu mencolok. Kalau tidak, ia akan dimarahi Bu Rika karena berbuat kegaduhan di dalam kelasnya merupakan suatu dosa besar yang tak terampuni. “Boleh kulihat? Enzim pertama kali ditemukan kimiawan Perancis … woah! Kamu sampai ingat namanya. Anselme Payen!”

Sherin cengengesan sambil menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal. “Hehe. Aku keinget Sapi Pay aja, Na. Pay, Payen. Kamu jelas lebih keren! Pasti udah di luar kepala.” Sherin balas berbisik dengan cengiran yang tak kunjung lepas dari kedua sudut bibir.

Ada banjir di kotak amal … bjir, baper maksimal! Sherin menahan senyum seraya menulis jawaban dengan memperhatikan tingkat estetika tulisan tangannya yang sejatinya tak lebih baik dari tulisan ceker ayam. Habisnya, Sherin sedang diperhatikan seorang Hana, lho! Minimal membangun branding di hadapan teman pertamanya dulu kali, ya. Refleks, kecepatan tangan Sherin berkurang drastis demi memperbaiki keindahan tulisan tangannya.

Soal demi soal telah terjawab. Sherin pun sudah beberapa menit lalu meletakkan pulpen di atas meja, merasa cukup puas dengan jawaban yang sudah ia torehkan sepenuh hati di permukaan kertas. Untuk pertama kali dalam sejarah hidupnya, Sherin ingin memajang lembar jawaban yang ada di genggamannya itu. Tugas pertama Sherin yang dikerjakan dengan penuh percaya diri, tanpa lirik chat GPT atau contekan di telapak tangan! Hana aja sampai memujinya! Meski sudah rampung sampai akhir, Sherin tak berniat mengumpulkan lembar jawabannya sekarang juga. Enggak usah caper, deh … biar Bu Rika syok pas baca jawabannya saja, nanti! Hati Sherin berbunga-bunga membayangkan reaksi macam apa yang akan diberikan Bu Rika. Ya ampun, Sherin! Ternyata selama ini kamu amat berbakat! Maaf karena Ibu buta selama ini, ya. Ya ampun, Sherin! Kenapa kamu enggak bilang ke Ibu kalau punya otak brilian seperti itu? Harusnya Ibu sadar sedari awal … 

Sherin lancar sekali berhalu-halu ria. Seiring menipisnya waktu, Hana maju untuk menyerahkan kertas jawabannya. “Waktu habis!” Sinyal yang diberikan Bu Rika membuat Sherin ikut bangkit. Kertas jawaban yang amat dibanggakannya itu sukses berpindah tangan ke genggaman Bu Rika. Oh, Tuhan! Tatapan tegas Bu Rika langsung diarahkan untuk membaca jawaban Sherin satu per satu. Langsung dicek di tempat, nih? Aw! Sherin tersipu malu. Kalau Bu Rika syok sekarang juga, gimana? Duh, Sherin harus bersiap diundang jadi speaker suatu talk show dengan tema Tips n Trick Membantai Tugas Esai Biologi dengan Baik dan Benar, nih! Habis ini, Bu Rika pasti akan memuji Sherin karena ….

“Kamu menyontek pada Hana, Sherin Alyssia?”

Tuh, ‘kan. Langsung dipuji … tunggu. Sherin yang hendak kembali ke bangkunya seketika balik badan menghadap Bu Rika untuk memastikan telinganya tak salah dengar. “Maaf, Bu? Saya?”

“Lihat ini.” Bu Rika meletakkan lembar jawaban Sherin dan Hana secara bersisian di atas mejanya. Jari telunjuk guru biologi tersebut bergantian menunjuk setiap kesamaan yang terdapat dalam lembar jawaban Sherin dan Hana. “Sama persis, bukan? Untuk menjawab pengertian enzim, kamu bisa memilih pendapat ilmuwan lainnya, lho … tetapi kenapa malah sama persis dengan Hana? Ibu pribadi menyajikan materi tanpa menyebutkan ilmuwannya sama sekali. Hana mungkin menambahkan keterangan sumber rujukan pengertian tersebut dari referensi lain supaya jawabannya bisa lebih kredibel … tetapi kenapa kamu juga ikut-ikutan? Nyontek biar dapat nilai plus juga? Pantas saja pagi ini kamu mendadak sebangku dengan Hana.”

Apa? Hati Sherin yang tadinya berbunga mendadak saja jadi dipenuhi guntur dan kilat yang menyesakkan dada. Tadi, Hana yang ngajak Sherin duduk sebangku, lho, Bu … lidah Sherin sempurna kelu. “Saya … enggak nyontek.” Saya betul-betul enggak nyontek, Bu. Tadi malah Hana yang ngintip pekerjaan saya. Ya, kan, Hana? Hana? Sherin melirik Hana yang masih berdiri di posisinya. Kepalanya menunduk dalam, tampak tak berniat untuk angkat suara dan sekadar meluruskan apa yang sebetulnya terjadi.

Hana? Sherin mengerjap beberapa kali, baru menyadari sesuatu. Hana? Bisakah kau mengatakan apa yang sebenarnya? Bu Rika pasti akan percaya kalau semua pengakuan itu berasal dari mulut kamu, si Anak Teladan XII MIPA-4. Aku? Sudah lihat, kan … Hana? Suaraku tidak didengar ….

“Saya enggak nyontek ….”

Sesusah ini, ya, berperan jadi orang bodoh? Sherin sampai enggak berhak mendapat kepercayaan guru. Dan itu memang rasional, kok. Sherin juga mengakui. Rasanya jauh lebih meyakinkan gajah terbang daripada melihat jawaban bagus yang tertera di lembar tugas orang bodoh seperti Sherin. Reaksi Bu Rika memang masuk akal, kok. Enggak salah sama sekali karena reaksi Bu Rika persis seperti air yang tak pernah memutuskan percaya pada minyaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top