36. Kloning VS Isolasi DNA
"Satu, dua, tiga, empat kantung rendang ... demi Pak Haji Amir yang terpandang ... beli tumis kangkung segudang ... biarlah penampakan arwah usil ini kutendang. Atas nama Tuhan yang Maha Melindungi hamba-Nya ... jika memang jalan ini yang Kau inginkan, biarlah kuminta, jadikan makhluk itu sebagai tuyul pembawa duit untukku dan keluarga, jangan yang beban dan boros pakan seperti Bintang ...."
Ngakak brutal! Kalau saja bisa berkesempatan melepaskan identitas Bintang untuk sejenak, Sherin pasti akan tergelak dengan kencang demi mendengar mantra yang dirapalkan Ibu karena tak percaya mendapati anak perempuannya sudah bangun dalam keadaan wangi di waktu sepagi ini walau hari di kalender masihlah Minggu. Bentar, tarik napas dulu. Panjang banget, ya, satu kalimat doang. Oke, lanjut. Wangi Bintang di sini memiliki arti wangi secara harfiah, bukan lagi wangi melati ataupun masamnya keringat. Gimana Ibu enggak syok sampai ngira sosok di hadapannya ini cuma penampakan dari penunggu Sungai Cimulu yang usil, coba?
Sherin mengernyitkan kening, berakting marah sebagaimana reaksi Bintang yang ia baca di cerita MaFiKiBi Society. "Ibuuu!" Betul! Tadi malam, Sherin menyempatkan diri untuk sekadar membaca tiga bab selanjutnya di ponsel Bintang yang—syukurnya—sudah memiliki paket Internet. Tindakan ini sebetulnya cukup Sherin syukuri karena ia jadi tahu kalau di akhir pekan ini, rakyat MaFiKiBi Society akan menyelenggarakan program rutin mereka: MAS JONTOR, MaFiKiBi Society Joging untuk Setor Reparasi. Rincian programnya meliputi kegiatan joging menuju Pasar Manonjaya yang akan diakhiri dengan memakan bubur ayam Mang Iyam sembari menyetorkan materi yang telah dipelajari masing-masing.
Oke, cukup. Tarik napas lagi. Narasinya wanderspace_ ini betul-betul bikin orang lupa napas! Kalau bukan kalimatnya yang dipenggal, mungkin author-nya juga boleh, deh. Eh, eh? Bercanda! Ber-chyaan-daaa.
Sherin geleng-geleng, berusaha memusatkan konsentrasi pada omelan Ibu dan dialog yang hendak ia ucapkan sehabis ini. "Bagaimana? Keren parah, kan, Bintang sekarang? Rekor terbaru!"
"Lho, ini sungguhan kau, Bintang?" Sekali lagi, Ibu memindai penampilan Sherin dari pucuk kepala sampai ke ujung kaki. Rambut terurai yang selalu kusam, cengiran lebar melintang, kaus hitam yang dilapisi jaket abu-abu, training panjang berwarna biru dongker, juga sepatu hitam yang selalu dipakainya ke sekolah sejak tahun akhir di SMP. Tunggu. Kedua alis Ibu menekuk, merasakan adanya suatu hal lain yang mengganjal pikiran.
Mencium radar bahaya, sebelum Ibu benar-benar meneriakinya, Sherin langsung melambaikan tangan sambil melangkah menjauh, keluar rumah. "Aku mau olahraga pagi sambil belajar bareng anak MS, ya, Bu. Ah! Uang kembalian di atas lemari juga Bintang pinjam, buat jajan sama beli bubur nanti. Terima kasih! Dadah, Ibu. Semangat jualannya!"
Muka Ibu menggembung marah. Barulah suatu kesadaran menghinggapi benaknya. "Bintang Rasi Julaehah! Kau seenaknya pakai sepatu di dapur ... jangan harap punya jatah makan siang jika kau tak membersihkan lantainya! Ibu akan potong uang bulananmu, dan ... lain kali, bangunlah pagi-pagi untuk membantu Ibu memasak menu jualan, bukan sekadar main-main dengan temanmu!"
Masih terlalu pagi, tetapi Kampung Cibangun sudah digemparkan suara teriakan dari Sherin ... eh, maksudnya Bintang dan ibunya. Tanpa perlu mencari tahu apa yang terjadi, Mat di rumahnya sudah pasti hanya bisa mengembuskan napas, sangat terbiasa. Kokok ayam kate milik Pak Haji Amir pun tampaknya insecure dengan suara menggelegar Bintang.
Masih asyik dengan buku terbaru Mark Manson di tangan, Mat menghitung setiap detik yang berlalu, dalam hati. Baiklah. Kurang dari sepuluh detik, rumahnya pasti akan kedatangan makhluk absurd dari antah-berantah. Satu, dua, tiga, empat ....
"Mat! Look at me, look at me! Suatu pencapaian baru, 'kan?" Sehabis membuka pintu depan dan mendapati Mat sedang duduk di sofa ruang tengah, Sherin langsung berseru dengan suara Bintang yang cempreng. Tanpa perlu disuruh masuk, Sherin sudah mandiri mengambil langkah.
Akan tetapi, Mat langsung mengacungkan tangan ke arah Sherin, persis seperti wasit yang tengah memberi kartu merah pada pemain di lapangan. "Stop, diam di tempat! Kalau mau bolen, buka dulu sepatunya."
Sherin nyengir lebar. Seraya mengingat scene yang ia baca semalam, Sherin langsung melemparkan sepatu yang dipakainya ke sembarang arah. Langkah kecil itu berlarian menghambur ke arah meja yang menjadi sentral di ruang tengah. Tangan Sherin langsung meraih dua stoples berbeda. Bolen di sebelah kanan, sementara stoples telor gabus di pangkuan kiri. Sherin asyik menjamah kedua jenis camilan itu bergantian, tanpa berniat melepaskan salah satunya dari genggaman sekali pun. Biasalah. Namanya juga Bintang. Sherin, sih, oke-oke aja, ya, mengikuti porsi gembul Bintang, karena setiap kali transmigrasi ke sini, Sherin mengambil alih perut karet Bintang, kok.
Mat tak berkomentar banyak, fokusnya kembali teralih pada setiap gores aksara di genggaman tangan. Akhir-akhir ini, Mat suka membaca buku-buku terjemahan yang nonfiksi.
Ketika makanan bernilai ampuh dalam membungkam kerusuhan seorang Bintang, Sherin justru jadi banyak menggunakan keheningan tersebut untuk merenung. Segala per-bengong-an ini memunculkan pertanyaan random yang tiba-tiba mampir di kepalanya. Kalau Mat mengetahui bahwa yang di hadapannya bukanlah Bintang yang punya perut gentong ... apakah Mat akan tetap menawarinya bolen dan telor gabus? Sherin melamun panjang. Rahangnya berhenti mengunyah untuk sesaat. Lantas, tanpa disadari, pertanyaan itu justru ia sampaikan secara lisan. "Kalau aku bukan Bintang, apa aku ... akan kehilangan segalanya?"
"Apa?" Mat refleks mengalihkan perhatiannya dari buku Mark Manson. Kedua manik hitam legamnya sempurna memandangi Sherin dengan intens. Sejujurnya, jika saja keadaannya lebih baik dari ini ... mungkin Sherin akan merasa terintimidasi karena netra hitam yang tenang tak beriak itu seakan hendak menenggelamkan Sherin bulat-bulat.
Akan tetapi, tiba-tiba saja Sherin merasa tak mau lagi mengindahkan dialog demi dialog yang sudah ia simpan di memorinya sejak semalam. "Kalau aku bukan Bintang, apa kamu bakalan tetep ada di sini?"
"Kalau kamu adalah Bintang yang lain ...." Kalimat Mat yang dijeda itu bikin Sherin menahan napasnya beberapa detik. Bintang yang lain? Ya ampun, begonya Sherin! Kenapa pertanyaannya seakan menggiring opini Mat bahwa dirinya memanglah bukan seorang Bintang? Sherin bablas memaki diri sendiri dalam hati. Akan tetapi, semua terhenti ketika Sherin mendengar Mat yang kembali angkat suara. Kalau Sherin adalah Bintang yang lain .... "Aku yakin akan ada Mat yang lain juga."
Jantung Sherin seakan lupa cara memompa darah ke seluruh tubuh. Bintang yang lain? Mat yang lain? Nyaris saja Sherin jadi memikirkan suatu plot twist kalau ternyata, Mat yang ada di hadapannya ini bukanlah Mat asli, melainkan Mat yang juga melalui proses transmigrasi. Tapi tapi tapi ... semua itu sudah tak lagi berarti. Apa peduli Sherin? Yang sudah pasti adanya, Sherin tertegun karena jawaban Mat tidak sesuai dengan prediksinya sama sekali.
Mendapati Sherin yang malah ternganga lebar, Mat pun mengulas senyuman tipis. "Pasti ada ... pasti ada. Entah karena belum ketemu, ataupun emang enggak disadari adanya ... pada kenyataannya, kamu enggak akan pernah benar-benar sendirian di penjuru dunia mana pun, Bintang. Percaya, deh. Semesta pasti mengirimkan seseorang untuk melengkapi peranmu di tengah sirkulasi kehidupan ini."
Sherin tak kunjung menanggapi, Mat pun tak berminat melanjutkan perbincangan. Syukurlah senyap itu seketika lenyap begitu terdengar suara motor yang berhenti di pekarangan rumah Mat. Alfis dan Kiano, mereka pasti sudah sampai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top