28. MHC I VS Natural Killer Cell
"Terima kasih, Bintang!"
Idih! Sherin mendadak merasa salah log in habitat. Ada apaan, nih? Mendadak dia ditransfer ke sekolah PAUD, apa gimana? Masa, ya, teman sekelas Bintang yang udah ABG banget dengan segala dandanan juga outfit trending-nya, mendadak berperilaku semanis anak kucing yang kunti bogel nan berukuran sachet alias mini banget itu.
"Kamu keren, Bi! Pinter-pinter tapi enggak pelit sama temennya."
"Iya lagi! Mulia sekali hatimu, Bi! Makasih banyak, lho, udah buka jasa layanan konsultasi tugas secara gratis buat kami-kami semua ini. Membantu banget! Semoga ilmu kamu barokah selalu, ya."
Eh, Bjir! Jadi siraman rohani, nih? Sherin jadi penasaran. MaFiKiBi Society versi cerita asli di Wattpad-nya kayak gini juga, enggak, sih? Cringe, deh! Apa coba, judulnya? Bagi-bagi donasi ilmu? Emang boleh se-maasyaa Allah itu? Nanti, dah! Pulang sekolah nanti, Sherin mau lanjut baca MS. Soalnya, Sherin udah ketinggalan jauh banget, Coy! Harusnya timeline di dunia fiksi ini udah nyampe bab belasan, tapi bacaan Sherin belum juga berpindah dari chapter sepuluh.
Sekarang apa, coba? Masa keadaannya adem-ayem begini? Karena MS cuma punya tiga puluh bab, harusnya bab belasan itu lagi puncak-puncaknya konflik enggak, sih? Ini wanderspace_ lagi mabok apa gimana, nih, pas nulis lapak Bintang?
"Rill, Cuy! Terima kasih, Orang Baik! Mau aku traktir mi ayam Mang Dod, enggak?"
Dari segala pujian yang ia dapatkan, Sherin baru bereaksi pada pujian yang satu itu. "Mau!"
Sialnya, persis ketika Sherin sedang asyik-asyik menikmati kuah kari dari mi ayam Mang Dod yang tebal nan menggoyang lidah itu, panitia transmigrasi malah seenaknya balikin Sherin ke dunia nyata. Ah, elah! Lagi enak-enaknya, kok. Belum kenyang malah disuruh pulang! Nanggung banget. Enggak bisa, ya, nungguin Sherin sekadar abisin mi ayamnya dulu? Bangun-bangun, Sherin mendengkus keki.
Perlahan, kedua manik cokelat terang Sherin yang masih berdaya 10% itu mengamati tumpukan buku dan kertas-kertas biologi yang tercecer di atas kasur. Sherin sempat syok karena mendapati benda-benda itu tidak lecek sama sekali, padahal Sherin pribadi yang senang guling-guling dengan brutal kalau lagi tidur. Suatu keajaiban! Habis dari dunia MS, apakah Sherin jadi mewarisi kemampuan Bintang yang hobinya memang tidur (atau lebih tepatnya ketiduran) di antara materi biologi?
Detik berikutnya, Sherin meregangkan badan dengan penuh bergaya. Sumpah! Sherin merasa keren, nih. Apakah salah satu kebiasaan Bintang yang mulai diinternalisasikan ke dalam proses enkulturasi hidup Sherin ini merupakan indikasi bahwa nasib Sherin perlahan mulai beranjak menuju taraf yang lebih baik? Akankah Sherin sungguhan jadi maniak biologi macam Bintang? Apa yang akan Sherin lakukan, ya, kalau sudah sepintar Bintang nantinya? Ngajak Hana battle jadi juara paralel? Donasi ilmu kayak Bintang? Bikin bimbel pribadi? Oh, ya ampun! Halu Sherin udah kejauhan! Visioner banget, enggak, sih?
Eh, tapi, ya ... yang semestinya Sherin ikuti dari jejak Bintang ini bukan semata-mata 'pinter'-nya saja, melainkan prosesnya. Itu yang paling krusial. Cukup sulit dan bikin pressure, memang ... tapi Sherin sudah menguatkan tekad dalam diri. Jangan terlalu terpaku sama output-nya aja. Fokus berproses, berproses, berproses ... berkembang, berkembang, berkembang. Tujuan utama dari segala pembelajaran adalah terciptanya rasa cinta terhadap ilmu pengetahuan, juga penerapan prinsip belajar sepanjang hayat.
Jangan salah! Begini-begini, Sherin mulai memperbanyak tontonan bermanfaat di media sosialnya, bukan sekadar video meme atau joget-joget enggak jelas lagi. Sherin berusaha memengaruhi algoritma media sosialnya agar lebih banyak menunjukkan konten-konten yang bisa jadi booster produktivitas. Katanya, kita ini harus punya mindset bahwa kita adalah agen pembelajar seumur hidup. Jadikan segala tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang yang kita temui sebagai guru. Jangan pernah sok tahu. Jangan pernah lupa mengosongkan kepala ketika mempelajari sesuatu. Serap dan tampung ilmu-ilmu untuk kemudian diikat memori dengan menggunakan catatan kecil.
Sebelum pukul enam tepat, Sherin sudah bersiap dengan segala kelengkapan sekolahnya di meja makan. Sherin nyengir lebar mendapati mamanya sungguhan mengadakan pesta telur pagi ini. Selain ukurannya jumbo-jumbo, kuantitasnya juga terbilang banyak. Sherin asyik menyimak saja ketika Mama mengabsen target pemberian olahan telurnya satu per satu.
Di saat Sherin asyik menikmati menu telur balado di piringnya, ia tak menyadari gelagat Mama yang tiada henti curi-curi pandang padanya secara berkala. Senyuman tipis tak lekang menghiasi wajah keibuannya. Mama tak henti bersyukur dalam hati. Jelas, lah! Mama notice adanya perubahan yang cukup signifikan dari diri Sherin. Bahkan, pemikiran ini sudah menyeruak sejak anak sematawayangnya itu meminta Mama buat mendaftarkannya ke tempat bimbel, sebenarnya. Meski begitu, Mama masih tak menyangka jika perkembangan Sherin ini berbelok tajam ke arah yang positif tanpa keraguan.
Mama kira, hidayah Sherin untuk ikut les itu sudah jadi kabar menggembirakan, ternyata masih belum seberapa. Secara tidak langsung, segala hal baik yang datang secara konsisten belakangan ini membuktikan adanya keseriusan Sherin untuk berubah. Mama jadi penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada Sherin. Lihat! Hari ini, Sherin bangun pagi tanpa perlu dibangunkan. Bukan lagi untuk sekadar menyetorkan pengeluaran sisa-sisa seblak di sistem pencernaannya, melainkan semangat bangun pagi untuk mengikuti pembelajaran di sekolah. Orang tua mana, sih, yang enggak bangga?
Untuk kasus Sherin, Mama merasakan kelegaan yang berlipat-lipat. Pasalnya, sebelum ini, Mama sudah cemas tak keruan karena menyadari tingkat semangat hidup yang rendah dari putrinya. Kalau sudah begini, Mama jadi jauh lebih tenang. Syukurlah. "Lho, sudah mau berangkat, Sherin?"
"Hihi! Iya, Ma. Kita, kan, mau praktik, Ma. Takutnya teman kelompok Sherin kelamaan nunggu."
Jadilah Sherin langsung berangkat bersama Pak Daud. Atmosfer yang tercipta di dalam mobil tak kalah bagusnya seperti mood Sherin hari ini. Pak Daud jadi lirik-lirik Sherin dengan cemas. Takutnya ada suatu kesalahan yang terjadi pada anak perempuan tersebut. Korslet, misalnya? Overheated? Aus? Meski begitu, perjalanan dari rumah ke sekolah jadi berlangsung cukup menyenangkan karena dihidupkan obrolan-obrolan kecil yang jarang Sherin hadirkan sebelumnya.
Sesampainya di ruang kelas, Sherin langsung melibatkan diri pada dialog-dialog kelompok Biologiwan. "Kerja kelompok ini beneran harus di luar KBM, ya? Mau dikerjain kapan, tepatnya? Pulang sekolah? Atau sebelum bel, nih?"
Hana mengangkat tangan, menyedot atensi kawan sekelompoknya. "Oh, betul! Hari ini. Jam terakhir aja, gimana? Sejarah, kan, jam kosong. Pak Dian lagi cuti menikah, soalnya."
"Gaskeun!"
Selagi menunggu jam pelajaran terakhir, warga Biologiwan mengumpulkan semua alat dan bahan terlebih dahulu. Biji melon, cangkang telur, tanah sekam, pupuk organik, gelas plastik, polybag, ulekan ... oke, udah aman! Hana bergumam singkat. "Kalau cangkang telurnya masih kurang, kita bisa minta dari kantin juga enggak, sih? Kedai Abah, juga! Kan, seblaknya kadang pakai telur."
Semua sepakat tanpa cekcok. Tibalah jam terakhir. Ember dari toilet sekolah dikerahkan untuk menampung cangkang telur yang akan dihancurkan menjadi pupuk. Berdasarkan instruksi Hana, cangkang telur ini harus benar-benar dipisahkan dari selaput putihnya itu, katanya. Biar lebih mudah diulek sehalus mungkin. Akan tetapi, tindakan Algis yang seenaknya (seperti biasa) bikin Hana terpaksa memakai banyak stok kesabaran yang ia punya.
"Eh, yang bener, dong, Gis! Selaput putih di telurnya harus dikupas dulu, jangan asal hancur terus dimasukin ke ember!"
Sherin jadi pusing sendiri. Anak itu punya kekebalan hidup segede apa, sih? Rasa-rasanya, enggak pernah terpengaruh sama tindakan maupun ucapan orang-orang dan dunia luar. Anak itu pasti enggak pernah mengalami overthinking. Bagus, sih. Tapi, ya ... pantes aja dia enggak punya hati!
Bisa-bisanya, coba. Untung sebelnya Hana enggak sampai kick Algis dari Biologiwan. Sherin, sih, takut, ya! Sherin enggak mau dilihat sebagai substansi yang berbeda dari orang-orang kebanyakan ... Sherin enggak mau. Sherin lebih memilih untuk tidak mencari masalah. Pasalnya, orang-orang itu kayak sel NK, sel natural killer, yang akan membunuh sel terinfeksi hanya karena tidak memiliki MHC I seperti sel lainnya yang sehat.
Sherin jadi pribadi kurang ajar di kelompok ini? Mana berani! Diterima pun sudah sujud syukur!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top