21. Vaksin VS Sistem Imun
"Ma, anu ... Sherin. Sejujurnya, Sherin enggak terlalu percaya diri dengan ... emm ... proses belajar Sherin di sekolah ...." Sherin menatap mamanya yang tengah mondar-mandir, bersiap untuk berangkat kerja. Meski begitu, Mama tetap menggumam singkat sebagai respons bahwa ia mendengarkan. Sherin mesem-mesem enggak jelas, salah tingkah sendiri. Lebih tepatnya, malu sekaligus mempertanyakan identitas diri terhadap apa yang hendak ia katakan. "Jadi boleh, enggak, kalau Sherin pengin ikut les buat memperdalam materi atau sekadar nambah sumber pembelajaran?"
Demi mendengar usulan yang teramat mulia itu, Mama sontak menengok dan bergegas memangkas jarak dengan putri sematawayangnya. "Les? Bimbel? Bimbingan belajar?" Dengan semangat empat-lima enam-tujuh, Mama menyalakan gawai, lalu tampak sibuk sekali mengetik sesuatu di fitur pencarian. "Kamu maunya les di mana, Sherin? Di DO, Danesha Operation, yang paling terkenal di Jalan Martadinata itu? Apa mau di GA, Grand Academy, yang baru buka cabang di Jalan Tentara Pelajar Citapen? Mau spesifik nyari yang bagus mapel apanya, nih? Matematika? Biologi? Ah! Apa mau coba Mama mintakan rekomendasi tempat bimbel ke Tante Laksmi? Atau kamu ada request tertentu?"
Hidup lagi capek-capeknya, Sherin malah menyaksikan sosok Mama yang kelihatan lucu sekali kalau sudah bicara bersemangat seperti itu. Eh, ralat. Ulang, ulang. Maksudnya ... hidup lagi capek-capeknya, eh, jelas lebih capek lagi hidup Mama. Tapi lihatlah sekarang! Sherin yang mau les, malah Mama yang asyik cari review tempat bimbel terbaik di Kota Tasik. Hm ... pasti Mama sudah mengharapkan Sherin les dari dulu, ya? Tapi Sherin tak kunjung dapat hidayah. Mama juga tipikal orang tua yang tak mau menuntut anaknya ini-itu. Beliau maunya menunggu Sherin yang berinisiatif ikut bimbel atas keinginan diri sendiri, bukan karena Mama yang suruh.
Diam-diam, di tengah segala bombardir antusiasme Mama, Sherin mengulas senyuman tipis. Kedua manik cokelat terangnya tak lepas sedetik pun dari sosok Mama yang masih asyik mencari informasi terkait tempat bimbingan belajar demi optimalisasi proses belajar Sherin ke depannya. Duh! Sherin, Sherin. Ke mana aja, sih, selama ini? Coba aja Sherin inisiatif begini sejak dahulu.
Kalau belum bisa membanggakan Mama dengan ranking dan prestasi, minimal tunjukkan semangat belajar dan kesungguhan kamu, deh, Rin!
Lihat! Sherin cuma bilang pengin les aja, Mama sampai girang bukan main. Apalagi kalau Sherin bisa menghadiahkan juara buat Mama, ya? Masuk ranking paralel? Aktif di olimpiade sampai dapat medali emas? Lolos fakultas kedokteran?
Sherin meremas ujung piyamanya dengan kuat, berusaha meredam haru yang menyeruak di penjuru jiwa. Bjir, estetik amat bahasanya. Sherin berdeham singkat, menyadarkan diri pada ruang di mana ia berpijak. Eh, gawat! Kalau terus mengurusi calon tempat les Sherin sampai bablas, Mama bisa datang terlambat ke rumah sakit! Sherin kembali angkat suara. "Ma, nanti lagi aja. Mama, kan, mau berangkat kerja. Lagian sebenernya ... Sherin udah ada satu kandidat tempat bimbel, sih. Hehe."
Mama melotot tak percaya. Bukan karena tersinggung oleh kalimat Sherin yang terkesan bagai pengusiran, melainkan karena tak menyangka putri satu-satunya yang cuma hobi turu dan nyeblak ini sudah mencari tahu terlebih dahulu. Itu berarti ... Sherin benar-benar serius dengan tekadnya ini, 'kan? Kapan, coba, terakhir kali Mama melihat Sherin punya semangat hidup seperti ini? Mama mengerjap-ngerjapkan mata, memastikan bahwa yang di hadapannya sungguhan seorang Sherin Alyssia, bukan Sumarni apalagi Siti Markonah. "Apa nama bimbelnya, Sherin? Biar Mama survei langsung ke tempatnya pulang kerja nanti."
Kedua sudut bibir Sherin merenggang, membentuk kurva senyuman yang makin lebar. Dalam rangka pemenuhan misi #2023SherinEnggakNolepLagi, Sherin sudah menentukan pilihannya. "Sherin maunya bimbel di JAMAL: Juara Ambis Maksimal. Yang di dekat sekolah, Ma. Tinggal nyebrang dan jalan dikit. Boleh?"
Betchyul! Sherin sengaja menyebutkan tempat les yang sama dengan Hana. Menemukan kehidupan baru di tempat lain memang terdengar lebih menyenangkan (berhubung Sherin bisa leluasa jadi sosok yang baru karena mereka belum tahu seberapa kronis jiwa nolep Sherin), tetapi anak perempuan itu tetap memilih JAMAL meskipun mayoritas anak SMANDATAS sudah les di sana.
Pada hakikatnya, inilah taktik Sherin dalam menjaring teman untuk pertama kalinya! Sherin mau coba PDKT dengan Hana terlebih dahulu. Daripada Sherin repot-repot menghabiskan energi dengan mengenal orang baru di tempat les lain ... mending langsung memperbaiki citranya di depan Hana dan teman sekelas lainnya, enggak, sih? Dengan mendekati mereka, pertemanan Sherin di tempat les dan sekolah bisa aman sekaligus. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Cincai, 'kan?
Okelah! Urusan per-bimbel-an memang sudah cincai. Kata Mama, Sherin bisa mulai les besok, kalau mau. Setelah survei dan bayar biaya lesnya nanti, Mama juga mau menghubungi Pak Daud mengenai perubahan jam jemput Sherin. Cincai, cincai? Cincai! Yang belum cincai tinggal hubungan Sherin dengan teman sekelasnya.
Begitu masuk kelas, Sherin hanya bisa tersenyum kaku, lalu duduk di tempatnya dalam diam. Seisi kelas masihlah ribut, belum ada bau-bau datangnya guru di jam pertama ini. Di pojokan sana, segerombolan anak lelaki asyik mengadakan konser yang kalau dicermati baik-baik ... rasanya cukup digelar di kebun binatang saja. Dua-tiga orang ambil vokal, sisanya genjreng sapu atau menabuh meja dengan kekuatan sebesar dendam sang mantan. Di pojok yang lain, tengah berlangsung mabar akbar yang diiringi backsound rentetan kata-kata tidak lulus sensor. Sherin jadi pusing sendiri. Dia ini lagi di habitat apa, sebenarnya?
Satu-satunya pemandangan yang terlihat cukup normal adalah punggung-punggung yang melingkar rapat, tak menyisakan celah sedikit pun. Biasanya, agen-agen yang terlibat di dalamnya akan menyampaikan suatu rahasia global dengan derajat keamanan maksimum! Isu apalagi kalau bukan tentang anak Pak Uzaz, anak dari guru olahraga mereka, yang masuk kualifikasi cogan tingkat tinggi versi ciwi-ciwi SMANDATAS itu?
Sherin dilema parah. Kata Algis, Sherin harus banyak melibatkan diri pada aktivitas sekecil apa pun yang terdapat di sekitarnya. Tapi untuk kasus ini? Aduh, enggak dulu, deh! Gimana cara Sherin menembus pertahanan seketat legging jamet itu, coba? Sherin masih berminat bengong panjang ketika akhirnya ada cakapan-cakapan 'familier' yang bocor dari konferensi para agen. "Demi apa, sih, MaFiKiBi Society udah update bab baru ... bapaknya Bintang meninggoy, masa?"
Dua-tiga banjir peluh ... bjir, apaan tuh! Emang boleh spoiler-nya se-to the point ini? Mana efek dramatisnya? Sherin tersenyum tanpa tenaga. Memang sialan @wanderspace_ ini. Sherin bahkan belum baca bab sebelas! Tahu-tahu sudah ada yang ke alam barzakh saja. Kok bapaknya Bintang bisa meninggal? Kenapa? Gara-gara apa? Gimana ceritanya?
Sherin greget pengin ikut nimbrung buat nanya lebih lanjut, tapi keburu sadar diri kalau dia belum sedekat itu dengan teman sekelas yang lain. Sherin tak punya pilihan lain selain menajamkan indra pendengaran untuk menangkap spoiler sepelan apa pun yang merembes keluar dari barikade pasukan gibah. Biar apa, coba? Biarin!
"Tetot! Minus 15 poin. Join bareng, dong! Bengong ngang-ngong-ngang-ngong gitu mana bisa punya temen, sih? Mau temenan sama dugong, lo? Apa kodok zuma?"
Mentor yang satu ini agak-agaknya sedang ingin ditoyor, ya, Pemirsa. Penampakan Algis si Najis cuma Sherin tanggapi dengan dengkusan marah. "Ah elah, ngegampangin banget, lo! Anak cacingan kek elo mana mungkin ngerti, sih, gimana rasanya jadi anak introvert. Gue ini masih asing buat teman sekelas! Mana bisa langsung SKSD gitu aja?"
"Bro! Wake up, Bro! Lo tahu cara kerja vaksin, kagak?"
Algis yang masih menggendong ransel itu pun kini menarik salah satu kursi orang secara sembarang, lalu mendudukinya, bersiap mengawali kelas PINIS, Pengantar Ilmu Narsis dan Ilmu SKSD sebanyak 7 SKS.
"Pada dasarnya, vaksin itu menyuntikkan entitas virus yang sudah dilemahkan ke dalam tubuh. Entitas ini masih asing, sampai sistem imun aja perlu kerja keras ngelawannya. Tapi apa positifnya? Dia rela dibunuh sistem imun biar kekebalan tubuh kita bisa upgrade. Nyatanya, mau tidak mau ... rasa asing itu emang sudah semestinya kita taklukkan. Segala asing dan ketakutan adalah pertanda bahwa kita memang berada di luar zona nyaman. Dan apa yang akan kamu dapatkan dari itu? Suatu perkembangan. Upgrade diri. Character development. Seru, 'kan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top