20. Impuls VS Sinapsis
"Bi? Lho, sudah bangun, ternyata."
Halu Sherin seketika buyar. Nasib baik, yang berada di hadapannya kali ini adalah spesies cogan bernama Mat yang tak kalah indahnya dari imajinasi Sherin tadi. Kalau diganti kehadiran Mat, sih ... Sherin juga enggak rugi! Sherin memasang cengiran lebar di muka Bintang. Amboi! Bisa-bisanya Bintang selama ini malah asyik cosplay jadi kebo setiap pagi. Padahal harinya disambut tampang kinclong Dematra, lho! Dematra Maherendra! Iya, yang cast-nya Lin Yi itu!
"Bi, kamu oke? Kenapa nyengir terus? Habis mimpi ngemi ayam sama husbu lagi?" Pertanyaan Mat yang sarat akan kekhawatiran itu tidak digubris Sherin sama sekali. Gigi besar-besarnya tetap menolak mingkem. Di saat Mat hendak mundur beberapa langkah ke belakang untuk melaporkan liputan terkini terkait Bintang pada ibunya, manik hitam legam Mat lebih dulu teralihkan pada buku ungu di tangan Sherin. Transisi perubahan raut muka Mat cepat sekali, tahu-tahu kernyit bingungnya bertransformasi jadi binar penuh ketertarikan. "Kamu masih nulis diari di situ, Bi?"
Gantian, kini Sherin yang mengernyitkan kening, tak siap dengan pertanyaan Mat yang sudah seperti digorengnya tahu bulat Mang Aheng alias dadakan. "Ah ... iya." Sherin melirik diari Bintang dan muka antusias Mat bergantian. Sepersekian detik kemudian, wajah Sherin dicerah-cerahkan biar tak terlihat mencurigakan. Asikin ajalah, Brow! "Iya, dong! Kan, Mat yang bilang kalau nulis itu alternatif terbaik buat healing dari segala overthinking.”
Mat terkekeh geli sampai matanya tersisa segaris. Ya ampun, gemoy betul ... pengin Sherin colok kedua matanya! Mat yang tak tahu raga Bintang tengah dikuasai jiwa psikopet Sherin itu hanya tertawa seadanya. "Emang sekarang kamu lagi overthinking, Bi? Tumben banget pas aku ke sini, kamu enggak lagi merem di antara buku-buku biologi. Ada masalah? Ada yang bikin kamu kepikiran? Atau ada kabar yang kelewat membahagiakan?"
Bjir, Sherin mesti jawab gimana? Malas berpikir panjang dengan mempertimbangkan segala aspek semacam perkembangan alur dan sebagainya, Sherin memutuskan nyengir lebar saja. Sudahlah! Mat bukan tipikal orang yang selalu menuntut jawaban, kok. Beliau sangat pengertian dan iya-iya saja selama ini. Jangan sampai Sherin merasa terbebani untuk jawab seadanya yang malah menimbulkan kecurigaan dan bikin situasinya tambah rumit lagi. Solusinya? Nyengir! Gigi besar-besar Bintang menampakkan diri. "Ehe." Gaje betul memang.
Sesuai prediksi, Mat pun tak banyak menanggapi. Anak laki-laki itu hendak keluar kamar dan memutuskan menunggu Bintang bersiap sembari memanaskan motor di luar saja. Akan tetapi, niatnya terhenti ketika Sherin kembali angkat suara.
"Eh, Mat!" Begitu mendapati lawan bicaranya balik badan dan tepat menatap kedua manik cokelat terangnya, Sherin tiba-tiba panik sendiri. Kadar ganteng Mat ugal-ugalan, enggak kalem alias kurang ajar banget buat kedamaian sistem hidup Sherin! Berusaha tak terdistraksi dengan penampakan cogan di hadapannya, Sherin berdeham singkat. Ia baru teringat kalau ... mungkin overthinking-nya juga bisa ia salurkan langsung pada Mat di sini. Toh, Sherin berlindung di dalam raga Bintang.
Mat mengangkat kedua alisnya. "Kenapa?"
Sherin meneguk ludahnya susah payah. Bersikap normal saja, Sherin ... anggaplah kamu memang Bintang yang niatnya hanya ingin berdiskusi, bukan curhat. "Gini, lho. Berhubung kamu ... eh, kita, kita selama ini, kan, tumbuh bareng MaFiKiBi Society yang mengedepankan segala ambisi untuk belajar banyak hal ...."
Walau Sherin bicara penuh jeda dan tampak ragu menyampaikan isi kepalanya, Mat tak berniat mengintervensi sekali pun. Ia hanya mengangguk-angguk, mendukung Sherin untuk menyelesaikan ucapannya.
Emang boleeeh jadi pendengar yang sebaik itu? Sherin mengerjapkan matanya cepat-cepat. "Nah, menurutmu, berdasarkan sudut pandangmu, Mat ... apa pendapatmu soal anak-anak di luar sana yang ... kurang dalam belajarnya? Mat percaya, enggak, kalau di luar sana ... ada orang yang enggak bisa apa-apa? Jangankan raih peringkat, mau belajar aja mesti nunggu seabad."
Mat terdiam cukup lama. Betul! Memang bibir Mat yang sedang diam, tetapi jantung Sherin malah ikutan diam di tempat juga. Oh, salah. Secara teknis, harusnya jantung milik Bintang yang lagi dipakai Sherin. Ya, punya siapa pun ... jantung yang inilah, pokoknya! Ribet banget, sih, mendeskripsikan detail-detail di cerita transmigrasi begini. GWS, deh, author Mikroba VS Makrofag!
Keheningan yang Mat ciptakan malah bikin Sherin overthinking lahir-batin. Seorang Bintang nanya hal begituan emang terdengar agak plot hole, sih, ya? Melenceng dari jalur karakterisasi? Ya, ya ... abisnya gimana, ya. OOC dikit enggak ngaruh! Kapan lagi Sherin bisa nanya langsung pada one of master per-ambis-an di dunia MaFiKiBi Society tanpa mencantumkan identitas aslinya sebagai Sherin yang anti-belajar, coba? Kesempatan langka! Demi apa? Demikian!
Mat berdeham singkat. Kepalanya sedikit ia miringkan, tanda bahwa topik ini cukup membuatnya tertarik. “Percaya, kok. Selalu percaya. Kenapa enggak? Aku tahu lingkungan Persatas emang sarangnya banyak anak ambis. Budaya ambis ini juga rasanya udah dinormalisasi setiap tahun. Kalau kata orang … peringkat bawah di Persatas itu bisa jadi golongan atas di sekolahan lain. Iya. Aku tahu kalau kita tumbuh di lingkungan yang mendorong kita buat jadi sosok yang … mau tidak mau, harus terus belajar. Tapi itu bukan alasan buat kita menutup diri pada realitas yang ada di luar sana, Bi. Ketimpangan mutu dan akses pendidikan … itu masih jadi PR kita.”
Waduh! Calon Bapak Ketos emang selalu pakai bahasa berat begini, ya? Mat tidak sedang menyalonkan diri sebagai caleg, ‘kan? Diksinya pemerintahan abis! Sherin yang terpaksa masuk IPA dan tak pernah eksplorasi di ranah anak IPS ini bisa kasih reaksi apa, coba, kalau bukan mangap enggak jelas? Biasalah, spontan. Huhuy! Sherin geleng-geleng, berusaha memusatkan konsentrasinya. Mat tampak belum selesai bicara.
“Sejujurnya, aku enggak tahu pasti, sih, Bi, mengenai konsep dan definisi dari ‘anak yang kurang belajarnya’ menurut kamu itu kayak gimana. Tapi, dari sudut pandangku, setidaknya ada beberapa variabel yang memengaruhi. Ada faktor kurangnya kemauan, kemampuan, maupun kesempatan.”
Tunggu. Ini mata Sherin yang masih kelilipan belek, atau memang … tatapan Mat mendadak menyorotkan sesuatu yang berbeda? Mat kelihatan … lebih serius? Sherin jadi ngeri sendiri dipandangi sebegitu intensnya.
Turut merasakan atmosfer yang tahu-tahu jadi berat begini, Mat pun mengulas senyuman simpul. “Dan menurutku, di antara ketiga variabel tersebut … faktor kemauanlah yang paling penting.”
Di saat Sherin sedang enak-enaknya bengong, Mat malah mengingatkan kalau waktu terus berjalan dan mereka bisa terlambat kalau Sherin tidak lekas bersiap. Oke, cukup. Ini waktunya Sherin melanjutkan alur yang kemarin. Sudah masuk ke puncak konflik Kiano, kini menjelang penyelesaiannya. Selain perkataan Mat yang cukup membekas alias gentayangan terus di kepala Sherin, yang ia dapati dari perjalanan transmigrasi kali ini adalah pentingnya eksistensi teman dalam menjalani kehidupan. Sherin jadi makin yakin kalau ini adalah saatnya membuka diri dan mulai memperbaiki hubungan dengan teman.
Durasi hidup di MaFiKiBi Society kali ini terasa cukup singkat. Mungkin dipengaruhi karena tidur Sherin terlalu nyenyak. Betul! Sudah lama sekali sejak terakhir kali Sherin bisa tidur selelap itu. Efek samping dari energi yang dihabiskan bersama pelatihan Algis ternyata cukup dahsyat, ya!
Begitu Sherin kembali membuka mata di dunia nyata, anak perempuan itu refleks melirik angka pada jam dinding yang tergantung. Wow, masih pukul lima pagi! Ini lebih langka daripada menemukan Upin-Ipin cosplay Rapunzel! Sherin terlonjak bangun di atas kasur. Ketika ia hendak berselebrasi karena berhasil bangun pagi tanpa alarm atau dibangunkan Mama, Sherin tiba-tiba teringat omongan Mat. Kalimat anak laki-laki tersebut ternyata masih jadi bahan overthinking Sherin, tidak ditinggalkan di dunia fiksi begitu saja, seakan ada sinapsis yang menghubungkan neuron dan mengirimkan sinyal impuls ke neuron lain.
Sherin jadi pusing sendiri … kenapa batas-batas antara cerita MaFiKiBi Society dengan realitas kehidupannya jadi saling tumpang-tindih dan perlahan terasa mulai mengabur?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top