2. Nukleus VS Sitoplasma
Kelam. Suram. Muram. Temaram.
Tak ada setitik pun intensitas cahaya yang bisa ditangkap Sherin. Dunia di sekitarnya hanya gelap. Sepi, bisu ... tetapi Sherin tak merasa takut walau sedikit. Toh, selama ini, ia sudah biasa merasa hidup dalam keterasingan. Dunia baru bernama barzakh atau apalah ini bukan hal yang mengerikan lagi untuk Sherin. Eh, enggak tahu, deng, kalau ada malaikat nyeremin di depan sana. Masa malaikat tega ngasih siksa kubur buat makhluk se-burik Sherin, sih? Udah mah di dunia sengsara, masa di kuburan juga nelangsa? Malaikat enggak kasihan, apa?
Sherin bergeming. Jiwanya serasa melayang-layang, tak bertahan di pijakan. Kaku. Sherin mati rasa. Dia sedang apa, sih, sekarang? Tidak bisa buka mata, tidak bisa mengintip situasi ... eh, eh! Dari kejauhan, indera pendengaran Sherin sayup-sayup menangkap suara ketukan konstan yang samar. Aduh! Apa pula itu? Plis lah, Tuan Malaikat. Sherin ini anaknya introvert akut, tinggalkan saja Sherin sendiri ... biarkan Sherin menikmati kedamaian ini dalam kesendirian!
Frekuensi ketukan tadi terus bertambah dengan percepatan yang konstan. Kalau ada Alfis dari cerita MaFiKiBi Society, mungkin dia akan langsung menghitung resultan gayanya menggunakan Hukum Newton II ... eh itu mah GLBB, ya? Gerak Lurus Berubah Beraturan. Kalau yang ada frekuensinya itu rumus apa, deh? Di bab gelombang bunyi kah? Wait. Sherin terperanjat dalam diam. Kenapa otaknya jadi encer begini? Apakah ini kesempatan terakhir yang diberikan malaikat supaya Sherin bisa merasakan PoV jadi orang pinter walau cuma di alam kubur? Yah ... lumayan, deh, biar Sherin merasa ada sedikit nilai plusnya sebagai manusia di akhir hayatnya ini. Jadi enggak malu-malu bangetlaaah di hadapan Tuhan.
"Bintang ...."
Hah? Barusan itu ... malaikat sedang melafalkan mantra, atau ngatain Sherin yang banyak dosa pakai bahasa gaib? Belum jua tanda tanya di benaknya terjawab, kesadaran Sherin tersentak kuat. Sherin melotot. Matanya terbuka, mendapati langit-langit putih kusam yang tampak sudah tua. Sherin masih hidup? Ini ... di mana? Apakah sewaktu tak sadarkan diri, Sherin digondol seseorang ... diculik dan diikat di gubuk tua, untuk kemudian dimutilasi, diambil satu-dua ginjal beserta organ-organ lainnya, lalu dijual ke pasar gelap?! Aduh, bahaya! Organnya, kan, rusak semua ... dipakai giling seblak terus. Pelanggan bisa kecewa, nanti!
Sherin mengerjap cepat. Pandangan yang tadinya buram nan membayang bak menonton YouTube dengan resolusi 144p, kini perlahan-lahan mulai jelas. Selain langit-langit kusam dan lampu yang padam, objek pertama yang ditangkap indra penglihatan Sherin adalah sosok laki-laki yang tengah berjongkok menghadapnya. Otak Sherin nge-lag. Dengan mata penuh belek, Sherin berusaha mencerna situasi yang tengah dihadapinya. Ini ... malaikat maut menjelma jadi laki-laki ganteng biar Sherin enggak takut lagi? Atau orang itu pelaku yang telah menculiknya? Sherin menggerakkan lengannya ke atas, lalu sadar bahwa tangannya tidak terikat. Kaki juga ia angkat. Tidak ada ikatan tali, kawat, borgol, atau alat lainnya. Lho? Penculik ini niat enggak, sih? Masa setengah-setengah gini!
Belum sempat Sherin protes keberatan, ia terlonjak kaget karena mendengar laki-laki itu angkat suara lebih dahulu. "Bintang, aku harus piket, jaga gerbang sebelum Kak Raya ngomel. Kalau jam enam pagi belum siap juga, kamu berangkat sama Alfis aja, ya." Hah?
Sherin loading lagi selama tiga hingga lima detik. Tanpa merasa perlu memahami kalimat lelaki tadi seutuhnya, Sherin malah lebih memilih untuk histeris. Ia menjerit kencang. Ups ... suaramya tiba-tiba jadi cempreng begini. Efek bangun dari kubur kah? Tidak, tidak. Seperti apa pun situasinya, bangun-bangun berduaan dengan lelaki di ruang tertutup itu bukanlah suatu hal yang wajar! Sherin tentu harus panik!
Sherin refleks bangkit berdiri, mengambil bantal sebagai senjata pertahanan yang berada dalam jangkauan, lalu melemparnya ke arah lelaki tadi. Sayangnya, serangan Sherin ditangkap dengan mudah. Pikiran negatif berkuasa. Sherin sudah membayangkan lelaki itu akan menyudutkan Sherin, lalu menutup jalur napasnya menggunakan bantal, seperti yang sering Sherin tonton dari drakor-drakor pembunuhan.
Akan tetapi, lelaki di hadapannya ini malah mengernyitkan kening sok polos, seolah Sherin baru saja dimuntahkan dari mulut pesawat ruang angkasa. Bah! Sayang sekali. Sherin bukan manusia yang gampang diperdayai. "Sebelum gue lapor polisi dan hidup lo hancur sehancur-hancurnya, mending inisiatif ngaku, deh. Lo siapa dan kenapa gue bisa ada di sini?!"
"Bintang ... kamu oke? Enggak kesurupan hantu penunggu Cimulu yang pernah kamu ceritain, 'kan?" Sherin mendengkus mendengar kata ganti 'aku-kamu' yang lawan bicaranya gunakan. Lelaki tadi memasang tampang terguncang, kena mental. Pakai trik psikologi untuk memanipulasi Sherin agar keluar dari mode defensifnya, ya? Haha! Sherin tidak mempan termakan umpan begituan! Sherin tertawa menang bak antagonis yang siap menginvasi separuh Asia.
Tunggu. Gelaknya terhenti sejenak. Sherin mulai kebingungan ketika mendapati lelaki enggak jelas itu malah mundur perlahan, seolah ingin kabur dari Sherin. Hei! Sherin yang dirugikan di sini, kenapa malah Sherin yang seolah jadi penjahatnya! Lelaki tadi meneguk ludah dengan kasar. "Aku enggak makan cibay buatan Ibu, kok, Bi ... saking takutnya aku habiskan, kamu sampai kumat segininya, ya? Aku tahu kamu sering mimpiin husbu dan halu-halu, tapi sampai gue-elo begini?"
Cibay, Bintang, dan Ibu ... lho, terdengar familier. Sherin mengernyit. "Sekarang hari apa?"
"Senin, jadwal aku piket gerbang."
"Nama lo?"
Meski manik hitam legamnya menatap penuh kengerian karena mendengar gaya bahasa Sherin, lelaki itu tetap menjawab dengan mantap, seperti tokoh baik yang ingin membantu temannya memulihkan ingatan dari amnesia. "Mat, Dematra Maherendra. Kelas X MIPA-1. Rumahku di sebelah kanan rumah kamu, tepat empat belas langkah dari pintu depan."
Mat? Sherin melotot sempurna. "M-mat? Mat?!" Bak cacing kepanasan, kepala Sherin tengok-tengok depan-belakang kanan-kiri seakan bisa dirotasikan sebesar 360 derajat. "Mat ... ada cermin?"
Sudahlah lupa diri, lupa teman, lupa segalanya ... Bintang juga lupa posisi benda-benda di kamarnya yang terbilang kecil ini? Mustahil. Normalnya, Bintang selalu memaksimalkan kemampuan menemukan barang hilang di kamarnya sebagai pembelaan diri ketika diomeli Ibu untuk beres-beres. 'Walau berantakan, Bintang inget letak setiap benda, kok, Bu! Bintang enggak akan minta jasa Ibu lagi, deh, kalau nyari sesuatu!'. Kurang lebih seperti itu. Mat geleng-geleng tak percaya, lalu menunjuk sepotong cermin kecil tanpa frame yang menempel di daun pintu kamar Bintang. "Itu cermin."
Sherin susah payah memeriksa refleksi dirinya di cermin yang mini itu. Detik berikutnya, Sherin menutup mulut, menahan seruan syok yang nyaris terlontar ke udara. Demi seblaknya Abah yang selalu Sherin beli sebelum terjadinya insiden mencret pagi buta! Sherin menjelma jadi Rooh Yoon Seo, cast Bintang di cerita MaFiKiBi Society! Pantas saja lelaki tadi punya kegantengan yang enggak ngotak juga ... orang dia Dematra! Sherin linglung lunglai. Tubuhnya sampai terduduk di lantai bagai kapas lemas yang terempas. Mat panik menghampiri, tetapi aksi itu malah membuat Sherin tambah mleyot. Sherin membisu saja ketika Mat menepuk-nepuk pipi penuh ilernya sambil memanggil nama Bintang berulang kali.
Oh, Tuhan ... Sherin tahu, Engkau memang Maha Pengasih. Apakah kesabaran Sherin selama ini telah membuahkan hasil hingga mendapat nikmat-nikmat sedemikian rupa dari-Mu? Apakah nasib mengenaskan Sherin selama 17 tahun ini sukses membuat doanya bergaung di antara penghuni Surga hingga banyak yang merasa kasihan dan bantu meng-aamiin-kan?
Kini, Sherin meyakini satu hal di lubuk hati terdalamnya: Doa orang yang terzalimi memang betul-betul makbul!
Sherin terjebak dalam lamunan panjang bak lingkaran setan tak berujung. Eh, eh. Tapi, ya, terlepas dari kabar gembira melebihi kabar kulit manggis ada ekstraknya ... apakah semua ini mungkin? Sherin kecelakaan dan terbangun di dalam raga Bintang yang notabenenya tak lebih dari karakter fiksi hasil pemikiran author delusional? Mungkinkah jiwa seseorang ditransplantasi ke dalam ekosistem suatu cerita fiksi?
Benak Sherin menghubungkan benang-benang merah mengenai kronologi terlemparnya jiwa Sherin pada dunia novel ini. Kalau dianalogikan dengan proses sintesis protein ... dunia nyata itu nukleus, sementara dunia fiksi ini sitoplasma yang tak lain merupakan lokasi sintesis protein oleh ribosom. Untuk mencapai dunia MaFiKiBi Society, Sherin perlu kecelakaan sebagai fasilitator sebagaimana RNA polimerase yang datang ke DNA, membuat cetakannya, dan menyuruh Sherin pergi ke dunia fiksi. Sebagaimana RNA polimerase yang membentuk mRNA atau RNA messenger, kecelakaan gara-gara Abigail juga membuat Sherin tak sadarkan diri dan membawa kode hasil salinan jiwa Sherin ke dunia fiksi.
Habis itu, masuk, deh, ke proses translasi yang menghasilkan rantai polipeptida penyusun protein. Sherin belum tahu, sih, variabel apa yang berperan sebagai AUG alias kodon start hingga sintesis jiwanya di dunia ini bisa terbentuk ....
"Bintang? Kamu beneran enggak apa-apa? Ibu udah teriak-teriak biar aku ninggalin kamu aja kalau kamunya belum mandi juga, katanya."
Peringatan Mat tidak ditangkap indra pendengaran Sherin sama sekali. Kedua manik cokelat terang itu malah terbuka lebar seolah hendak keluar saat itu juga. Binar-binar antusias menghiasi bola matanya. Bukan. Bukan karena teriakan Ibu dari arah dapur yang makin meresahkan. Bukan pula karena kadar gantengnya Mat yang bisa membuat polisi tidur langsung terbangun. Akan tetapi, debar-debar kebahagiaan Sherin tercipta karena datangnya suatu kesadaran.
Bintang, kan, maniak biologi sejak SD, ya ... dengan pindah ke jiwanya begini, apakah Sherin jadi bisa memakai otak karakter fiksi yang ambis total itu? Kini ... Sherin ... jadi anak yang pintar biologi? Tidak akan diomeli, diremehkan, apalagi ditertawakan teman sekelas karena menjawab pertanyaan Bu Rika dengan keliru?
Sherin bangkit berdiri, lantas menyambar handuk. Ya ampun! Kalau begini ceritanya, Sherin mau terus jadi Bintang! Entah sedang liburan atau nyasar di mana Bintang aslinya saat ini. Yang penting, Sherin harap, Sherin tak akan pernah pulang ke dunia nyata.
Jadi seorang Bintang yang selalu bisa diandalkan oleh orang-orang di sekitarnya ... siapa yang nolak, coba?
Kedua sudut bibir Sherin terbentang lebar. Untuk pertama kalinya setelah belasan tahun numpang napas di bumi, Sherin bisa tersenyum menyapa pagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top