19. Narkolepsi VS Halusinasi

Walau Sherin merasa cukup kesulitan dalam mengikuti kurikulum Master Algis di jam terakhir tadi, mesti Sherin akui, ending hari ini berjalan sesuai dengan harapan dari lubuk hatinya yang paling dalam. Karena nyolong kartu kuning dan kacamata hitam Pak Uzaz sampai guru olahraga tersebut uring-uringan sejak waktu istirahat, Algis dapat hukuman untuk membersihkan gudang olahraga sekaligus bertanggung jawab jadi koordinator kelas XII MIPA-4 kalau sudah masuk jam olahraga. Barisan? Algis yang atur. Pemanasan? Algis yang pimpin. Alat-alat olahraga? Algis yang siapkan. Singkatnya, Algis mengemban jobdesc sebagai babu Pak Uzaz selama satu pekan ke depan.

Hanya karena apa? Mencuri kartu kuning dan kacamata hitam Pak Uzaz. Algis bilang, dia cuma pinjam itu buat dijadikan sebagai properti pendukung pembelajaran Sherin. Sherin enggak terima, dong, namanya dijual! Untungnya, Pak Uzaz juga enggak terima. Pria berusia kepala empat itu tampak susah payah menahan kekesalan yang sudah sampai ke ubun-ubun. Kartu kuning, sih, peduli amat ... tapi kacamata hitam Pak Uzaz? Waduh! Itu, kan, pusat daya pikatnya! Mau diletakkan di mana muka beliau ini, kalau tak sengaja berpapasan dengan Bu Ratih di ruang guru, tanpa kacamata hitam mengilat yang tak pernah absen menutupi jidat lebarnya selama ini?

Kalau Sherin pikir bolak-balik, sih, rasanya ... kacamata hitam itu memang belum pernah lepas dari Pak Uzaz, deh. Sampai saat ini, kabarnya, taktik Algis nyolong kacamata Pak Uzaz masih misteri. Kalau di-interview langsung ke anaknya sekalipun, si Najis itu paling cuma pasang muka serius sambil angkat tangan bak siap menyerahkan diri pada pihak yang berwenang, tak lupa quotes pembelaan diri favoritnya: 'Saya cuma pinjam, kok!'. Wedus gembel!

Begitu Algis terpaksa menunda agenda pulangnya karena digiring Pak Uzaz untuk membersihkan gudang olahraga, Sherin puas-puasan meledek anak laki-laki itu di belakang punggung Pak Uzaz. Mampuslah! Tahu rasa! Lagian ngide banget, coba. Enggak jelas. Sherin mengangkat bahu tak peduli. Yang ia pedulikan saat ini adalah Stephanie dan Abigail. Betul! Dua sandal hiunya! Kalau sudah jam pulang, berarti sudah waktunya Stephanie dan Abigail bersinar!

Sherin lekas kembali ke dalam kelas untuk mengambil tas. Supaya pergerakannya lebih leluasa, anak perempuan itu duduk di kursi, lalu menyandarkan tongkat penyangga tubuh di samping bangku. Sherin semangat sekali menjejalkan sepatu Converse-nya ke dalam keresek. Sebagai gantinya, ia keluarkan dua sandal hiu berwarna abu untuk lekas-lekas Sherin pakai. Aw! Cebelapa imut, ci, aku?

Peredaran warga kelas di jam pulang ini tidak perlu ditanya. Jelas padat nan bikin macet! Terutama di sekitar area pintu. Orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang lekas pulang, nunggu angkot, pesan ojol, langsung rapat organisasi, gibah dikit, atau merancang agenda main terlebih dahulu. Sherin, sih, jelas langsung keluar kelas demi menjemput kebebasan yang dijanjikan oleh kenyamanan rumah, eaaa. Seperti biasa, Sherin harus nunggu dulu jemputan Pak Daud di depan gerbang. Waduh, jadi flashback pada momen kecelakaan satu pekan yang lalu.

Sherin mengeratkan pegangannya pada tongkat. Kemarin itu pertama kalinya Sherin mengalami kecelakaan sampai masuk rumah sakit. Dulu, Sherin cuma pernah nabrak tetangga pas belajar sepeda. Sisanya nge-nolep. Makanya, kecelakaan kemarin itu betul-betul pengalaman yang sesuatu banget buat Sherin. Mana bikin transmigrasi ke MaFiKiBi Society, lagi. Ah, jadi teringat. Sherin belum baca lanjutannya di Wattpad. Apa sekarang aja, ya, sambil nunggu Pak Daud?

Baru berniat merogoh ponsel di dalam tas, sudut mata Sherin sudah lebih dulu teralihkan oleh penampakan mobil MPV hitam yang merapat ke pinggir jalan. Oh, itu Pak Daud! Ya sudahlah. Sejujurnya, Sherin memang tak punya energi tersisa untuk melakukan kegiatan ekstra lainnya, walau sekadar scrolling HP baca Wattpad.

"Sudah siap, Nak Sherin? Tidak ada yang tertinggal? Langsung pulang saja?"

Sherin hanya menganggukkan kepala. Social energy-nya yang sudah terkuras banyak hari ini seakan memberi limitasi agar Sherin tak bicara apa pun lagi. Akan tetapi, sosok Algis tiba-tiba gentayangan di pikirannya. Interaksi! Bangun komunikasi! Lo manusia, lo punya mulut, lo makhluk sosial, lo butuh orang lain, lo enggak bisa hidup sendiri.

Sial. Sherin jadi merasa tertampar bolak-balik kalau diam begini. Sebenarnya, sisa energi sosialnya yang tinggal sedikit ini membatasi Sherin, atau malah Sherin yang menjadikannya sebagai alasan untuk menormalisasi jiwa nolep-nya yang sudah mencapai tahap kronis?

Sherin geleng-geleng, memutuskan angkat suara untuk membangun komunikasi yang lebih baik. "Langsung pulang aja, Pak. Enggak ada apa-apa lagi, kok."

"Siap!"

Keheningan selanjutnya hanya Sherin jalani dengan melamuni pemandangan lewat kaca. Bangunan-bangunan menjauh hingga tertinggal di belakang. Tergantikan oleh rimbun pepohonan. Gelayut daun yang melambai diterpa angin sore itu seolah menghipnotis Sherin agar lekas-lekas terlelap. Belum lagi AC mobil yang disetel Pak Daud membuat punggung Sherin bersandar dengan nyaman. Ini, sih, benar-benar dapat panggilan dari alam mimpi. Disuruh cepat-cepat kunjungan. Sherin merem-melek, berusaha menahan kantuk. Belum juga jam lima sore, masa udah mau tidur?

Pada akhirnya, setelah sampai rumah dengan selamat dan mengucapkan terima kasih sekenanya pada Pak Daud ... walau sudah berkali-kali Sherin melirik jam di layar ponsel sembari berharap agar cepat-cepat malam, anak perempuan itu tetap merebahkan badan di kasur. Kaus kaki masih terpasang, tas tergeletak di lantai kamar. Sudah tidak kondusif!

"Gue cuma mau rebahan, kok. Ngisi energi sambil ngurangin pegel dikit ... enggak akan tidur. Mama aja belum pulang. Masa gue tahu-tahu huhah hihuh." Gumaman terakhir Sherin amat tidak jelas karena jalur napasnya mulai berperang dengan bantal. Anak perempuan itu sudah seperti dugong yang terdampar. Pasalnya, Sherin membiarkan wajahnya tenggelam di antara tumpukan bantal dan boneka berkarakter binatang laut.

"Aduh. Gue ... beneran, kok. Gue ... enggak akan ...." Tidur. Sherin sungguhan tidur. Sudah susah payah Sherin bermonolog untuk mempertahankan jiwanya di dunia nyata, tetapi akhirnya kalah juga. Jiwanya telanjur diangkut oleh bunga tidur.

Sherin enggak ingat apa-apa. Dia seolah log out dari muka bumi. Sadar-sadar, social energy Sherin tiba-tiba jadi membuncah, dan tentu saja jawabannya karena jiwa Sherin telah kembali bertransmigrasi merasuki raga Bintang. Demi mendapati langit-langit kusam yang pertama kali ditangkap manik cokelat terangnya, Sherin melonjak bangun dari kasur lantai. Sherin lagi di dunia MaFiKiBi Society! Tumben banget Sherin bangun sebagai Bintang sebelum dibangunin sama Mat. Ini hari libur apa gimana?

Sherin malah PPKM, Planga-Plongo Kayak lagi di hari Monday. Bukannya menyingkirkan belek yang menusuk mata terlebih dahulu, Sherin malah tertarik pada buku bersampul karakter yang didominasi warna ungu. Buku diari Bintang. Sherin sudah membaca semuanya waktu terakhir kali berkunjung ke dunia fiksi ini dan tidak ada yang berubah. Mungkin Bintang belum menulis lagi. Meski begitu, Sherin terus membaca ulang isi diarinya sampai hafal.

Kata Mat, nulis itu kayak healing! Ampuh banget buat segala resah dan overthinking-nya aku.

Affah iyah, Bang? Sherin mengernyitkan kening, baru kepikiran kalau informasi ini bisa dia implementasikan di dunia nyata, mengingat beliau ini memang sosok yang tak pernah bolos overthinking setiap harinya. Boleh, boleeeh. Nulis, ya? Kalau bangun di realitas nanti, bolehlah Sherin coba nulis diari juga. Siapa tahu, kan, habis curhat satu halaman ... duaaar, tahu-tahu Sherin jadi penulis best seller, masuk TV, diundang untuk ngisi seminar-seminar kepenulisan, dimintai tanda tangan, jadi seleb, fans di mana-mana, sukses besar ... terus nanti Mama bakalan bilang 'Wah, kamu keren banget, Sherin! Udah, enggak usah jadi dokter'.

Wow, indahnya berhalusinasi! Oh, iya. Karena konsumsi obat terlarang, bawaan penyakit, dan gangguan tidur seperti narkolepsi jelas dicoret dari kemungkinan faktor penyebab adanya halusinasi di kepala Sherin, berarti ... eh, gejala imajinasi berlebih ini, kan, memang berkaitan erat dengan orang-orang yang menutup diri dari kehidupan sosial, ya. Enggak heran, dong, kalau Sherin ternyata kena? Ups!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top