18. Hidrofobik VS Sosiofobik(?)
"Ha-halo! Selamat siang, Hana! Kamu habis dari kantin? Udah makan? Semua aman? Habis ini jam fisika. Bukunya enggak ketinggalan, 'kan?"
Demi mendengar pertanyaan beruntun yang terlontar dengan kurang ajar dari mulut entitas tidak jelas di hadapannya, Hana hanya bisa mengedipkan mata berkali-kali. Pasien ODGJ satu ini lepas dari rumah sakit yang mana? Kok bisa berkeliaran di tanah SMANDATAS dengan bebas?
Di sisi lain, bermandikan keringat dingin sebesar biji ketapang yang asyik seluncuran di kening, Sherin membiarkan bola matanya menjelajahi seisi kelas, mencari kehadiran sang mentor. Ketemu! Tepat di balik punggung Hana yang tengah ia ajak bicara, Algis mengacungkan selembar kertas. Mata Sherin sampai tersisa segaris agar bisa membaca pesan Lord Algis di kertas itu. Senyum, senyum! Senyumnya lebih lebar lagi!
Sepersekian detik kemudian, Sherin langsung mempraktikkan petuah dari sesepuh. Senyum! Kata Algis, senyum itu bisa jadi daya tarik tak terbantahkan. Akan tetapi, ketika Sherin nyengir lebar hingga sisa cabai di sela-sela giginya say hi menyapa dunia ... bukannya terpesona, Hana justru ketakutan bagai bocil yang diburon reog. Sebelum benar-benar mengikuti insting untuk kabur dalam rangka menyelamatkan diri, Hana melirik nametag yang terpasang di seragam lawan bicaranya lebih dahulu. Dia lupa ada makhluk abstrak seperti ini di kelas XII MIPA-4. Oh, iya. Pantesan! Namanya juga Sherin Alyssia. Mau Sherin, tapi heran. Eh, salah! Mau heran, tapi Sherin.
"Oh, Sherin! Kirain siapa." Hana meraup oksigen banyak-banyak. Entah berniat menguasai stok O2 di atmosfer Asia Tenggara, entah bermaksud mengisi ulang social energy. Bukan! Bukan karena Hana tergolong ke dalam kaum introvert yang cepat kehabisan energi. Tapi percayalah, berinteraksi dengan spesies penuh aura negatif kayak Sherin betul-betul menyerap energimu lebih banyak. Setelah melalui sesi meditasi yang cukup memberatkan—diiringi doa-doa penghalau setan—tapi Sherin tak kunjung pergi dari hadapan, Hana pun tak punya pilihan selain balas tersenyum. "Ada apa, Sher?"
"Siap! Anu!" Sherin refleks pasang pose hormat. Duh! Ini ajaran dari mana, sih? Ngide banget. Prik-nya kumat! Sherin geleng-geleng sendiri. Diingatnya pesan Algis sebelum Sherin sungguhan turun ke medan juang ini. 'Bertingkahlah se-natural mungkin! Yang kalem, yang kalem. Anggun-ly, please!'. Jadilah Sherin lekas berdeham, siap mengimplementasikan segala bahan ajar yang ia terima dari Algis selagi mengerjakan tugas Pak Nizar beberapa saat lalu. "Anu ... hehe. Aku mau balikkin pulpen kamu, Na, tugasnya udah selesai. Makasih banyak!"
Air muka Hana berangsur normal. Mode defensif yang ia pasang seketika luntur, seiring urat-urat tegangnya yang perlahan mengendur. Iyalah! Diajak ngomong plus dapat cengiran lebar Sherin secara cuma-cuma itu termasuk ke dalam kategori jumpscare of the month, tahu! Langka, bjir! Wajib masuk menfess SMANDATAS ini! Isi twit-nya kira-kira begini: smandafess! Si Nolep senyumin gue! Cabe di pojok giginya dikit enggak ngaruh ... ini bukan tanda-tanda akhir zaman, 'kan? Hana menghela napas, senang karena percakapannya dengan Sherin sudah mencapai ujung. Enggak mungkin ada lanjutannya, lah, kalau udah sampai sini. "Sama-sama."
Hana nyengir dikit. Sherin masih terus nyengir lebar. Detik berikutnya, dua-tiga perempuan dari kelas lain berhamburan ke bangku Hana. Sudah jam pulang. Amboi! Kenikmatan sesungguhnya itu memang tak perlu didefinisikan pakai KBBI apalagi Brainly, cukup rasakan sensasi jam kosong yang dilanjut bel pulang. Bikin jiwa pemalas makin malas, karena saking malasnya, mau malas-malasan aja malas.
Ribet, 'kan? Enggak, tetep lebih ribet hidup Sherin. Soalnya, Sherin emang udah enggak tahan pengin cepat-cepat balik badan dan menghilang dari peredaran semesta. Rahangnya pegal dipakai nyengir terus. Bukan kering lagi ... giginya udah gosong pol! Butuh sedikit basuhan jigong-jigong alami yang bersumber murni dari habitatnya sendiri.
Akan tetapi, baru juga berniat menyudahi urusan dengan Hana yang kini terlibat perbincangan seru nan berisik bersama teman-temannya dari kelas tetangga ... Sherin terpaksa mematung di tempat gara-gara perintah yang baru saja ia dapat dari Master Algis. Anak laki-laki itu mengenakan kacamata hitam entah milik siapa, lalu melanjutkan komunikasi searahnya dengan media kertas di tangan, sudah macam timekeeper di acara talkshow saja. Katanya mau punya banyak temen? Obrolannya jangan klasik, dong! Masa berhenti sampai situ aja? Inisiatif! Ajak ngomong lagi! Cari topik lagi! Nimbrung-nimbrung aja udah! Kalau kali ini berhasil, kamu bisa dapat Hana + 3 temennya, lho! Baaaanyak untung!
Untung, untung ... ini, sih, nyuruh manusia patung buat cosplay jadi lutung kasarung! Apa mesti Sherin teriak 'aing maung'? Emangnya, dia kira, Sherin bakal nurut-nurut aja kayak kacung? Oh, jelas iya. "Na, Hana, Hana, Hana."
Syok karena makhluk buluk itu masih diam di tempat dan meneruskan percakapan, Hana pun mengerjap seraya menolehkan kepala. "Oh! Ya? Kenapa lagi, Sher?"
"Kamu ...." Sherin nyengir sambil mengulur waktu buat mikir keras. Jangan obrolan klasik, jangan obrolan klasik, jangan obrolan klasik ... lah, bukannya klasik itu berarti bagus? Masa si Algis larang Sherin ngomongin hal yang bagus? "Klasiknya bagus banget."
"Hah?"
Zonk. Sherin mumet. Habis dengar reaksi Hana yang keheranan, baru deh Sherin sadar kalau bacotan yang keluar dari mulutnya itu ngaco total alias gaje tot! Bukannya merevisi susunan gramatikal kata juga diksi yang digunakan untuk memperbaiki keadaan, Sherin malah menyahut dengan gumaman yang sama sekali tidak membantu: "Eh." Wes ... angel, angel!
Di backstage, Algis gregetan dengan reaksi lemot Sherin. Anak laki-laki itu mengacung-acungkan kartu kuning—lagi-lagi entah dari mana—tetapi sinyalnya tak kunjung diterima Sherin yang lagi linglung. Apa boleh buat. Algis maju untuk memberitahu Sherin bahwa ia dapat kartu kuning. Enggak tanggung-tanggung, majunya sampai persis di depan muka Sherin, bikin tiga anak dari kelas sebelah bukannya spontan 'uhuy', tapi malah spontan menghindar.
Perpaduan prik-nya Algis dan Sherin emang kombo yang overpower buat bikin wisatawan marga satwa XII MIPA-4 jadi enggak betah, deh, pokoknya. Itu, kan, berisiko menurunkan pendapatan lokal, ya? Siapa yang kena imbasnya? Jelas Hana! Dia jadi enggak enak sama teman-temannya dari kelas tetangga yang udah senggol-senggol pengin lekas keluar kelas buat mengeluarkan julid yang menggelegak di ubun-ubun, enggak bisa ditahan lebih lama lagi. Hana paham kode itu. Ditatapnya Sherin dengan penuh rasa bersalah. "Sori, ya, Sher. Aku keluar dulu."
"Oh, iya. Hati-hati."
Satu, dua, tiga. Tiga detik sejak Hana dan kawan-kawan pergi, Sherin langsung kena omel dari mentornya. "Nah, 'kan? Lo udah berapa lama, sih, tinggal di goa? Kaku banget gaya sosialisasinya! Kalau makhluk hidrofobik takutnya air, lo ini apa? Masa sosiofobik? Lo serius, kan, bukan alien yang buta maps terus nyasar di planet Bumi? Atau lo ini alien yang sengaja ditinggal pasukan lo karena enggak guna juga di outer space sana?"
Sherin mengerjap tak paham. Tapi kalau dicerna matang-matang ... eh sumpah, omongan si Najis kejam banget, Bangsul! Sherin yang tadinya mau minta evaluasi Algis lebih lanjut terkait studi sosialisasinya pun seketika bad mood. "Kalau emang enggak guna, gimana? Puas?"
Lah? Ngamuk. Di saat napas Sherin udah pendek-pendek karena sumbu emosinya meledak duluan, sekarang malah giliran Algis yang gagal paham. Masa gitu aja baperan? Sherin lagi PMS apa gimana? "Iya. Gue tahu kalau misi sosialisasi yang enggak berjalan mulus ini emang pasti sedikit-banyaknya bikin lo kesel. Tapi ya ... jangan lampiasin ke gue juga, dong."
Udah bawel, nyinggung sensitivitas Sherin, masih aja cerewet, sok tahu segalanya ... enggak sadar diri, lagi! "Kurikulum enggak jelas! Misi #2023SherinEnggakNolepLagi apanya? Lo cuma memperburuk segalanya! Cukup gue aja yang ngatain diri gue enggak guna. Lo enggak berhak!"
Lo, lo, lo, enggak bahaya, ta? Karena Sherin lari keluar kelas, Algis langsung ngejar sambil teriak, "Logika lo kebalik, Bjir! Yang ada, cukup orang lain ngatain lo, bukan lo yang ngatain diri sendiri!" Sadar sesuatu, Algis melanjutkan omongannya dengan suara yang cukup rendah. "Ya ... bukan berarti gue mesti ngatain lo juga, sih."
Larinya Sherin yang terseok-seok pakai tongkat itu jelas aja langsung disusul Algis dalam waktu singkat. Anak laki-laki itu merebut tongkat Sherin, lalu menahan bahu Sherin menggunakan tangan yang satunya lagi. Kontan, Sherin berontak. "Balikin, enggak! Lo mau gue ngesot sambil kayang, apa?"
"Enggak! Sambil sikap lilin aja!" Algis ketawa dikit. "Ber-chyan-daaa. Iya, iya, gue minta maaf! Sumpah! Gue enggak tahu lo punya rasa mawas diri yang setinggi itu sampai memvalidasi omongan gue. Ups! Ya maaf! Gue kasih 25 poin, dah! Lo, kan, keren ... udah banyak komunikasi sama Hana hari ini. Bahkan survive di masa-masa genting pas otak lo nge-lag tadi."
Sherin masih cemberut. "Masa cuma 25!"
Ya elah. Kirain, Algis ada salah lagi, tahunya si Dugong mau nego harga aja. Algis berdecak malas. "Iya, iya. Plus 50 poin!"
"Deal!" Muka Sherin tiba-tiba cerah. Direbutnya tongkat penyangga dari kendali Algis. Setelah kakinya bisa berdiri secara independen, tak lupa Sherin mendorong genggaman Algis di bahunya biar anak itu jauh-jauh dari jangkauan. "Gue udah dapet minus 20 poin gara-gara bacot soal plan, 25 poin dari mindset negatif gue, terakhir minus 30 poin karena rendahnya daya juang, pendengaran, dan kemampuan adaptasi gue. Poin plusnya gue dapet 5 karena berani pinjam pulpen Hana. Sekarang, gue dapat 50 poin tambahan sebagai kompensasi. Total, minus 25 poin. Pertanyaannya, butuh berapa poin lagi biar gue bisa lepasin gelar sebagai anak nolep?"
"Ingatan lo cukup bagus. Bisa dimanfaatkan buat belajar biologi."
Sherin masang tampang songong. Dih, anak yang kalau udah overthinking bisa ingat detail-detail kejadian sampai tujuh turunan ini diragukan?
"Tapi, ya ... baru juga ospek, masa langsung wisuda." Bibir Algis monyong-monyong, bermaksud mencibir.
Di luar prediksi BMKG, tak perlu rasa pegal saat manyun-manyun, bibir Algis justru menemukan volunteer yang rela membantunya secara cuma-cuma. Betul! Relawan baik hati itu bernama Uzaz Sholihat, guru olahraga mereka yang kini tengah totalitas mencubit bibir Algis. Romantis! Pak Uzaz tersenyum manis. "Wisuda? Anda ini sosok yang visioner juga ternyata, ya. Penuh perhitungan beberapa langkah ke depan. Sekarang, kalau masih pengin lulus dari SMANDATAS ... balikin kartu kuning sama kacamata hitam Bapak!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top