17. Sitoplasma VS Sitotoksisitas

Iyakah, Bang? Waduh. Oke, deh. Sherin tahu ini bukan waktunya untuk men-jamet. Topik pembicaraan Algis serius sekali, lho! Demi kemaslahatan hidup Sherin sendiri juga! Anak perempuan itu menundukkan kepala, cukup pegal karena terus mendongak menatap Algis. Sherin menggumam tidak jelas. "Afeksi, interaksi, komunikasi ...."

"Yang harus lo lakuin cuma membuka diri aja! Coba, deh, inisiatif duluan buat menawarkan bantuan, ngajak ngomong duluan, comot topik ini-itu, ngajak orang ke kantin bareng, join-join kalau lihat teman sekelas lagi joget TikTok ... pokoknya berbaur!" Algis malah greget sendiri. Tinjunya mengepal ke udara. "Siap punya banyak teman habis ini?"

Karena lawan bicara Algis adalah seorang Sherin, jelas perlu momen nge-lag terlebih dahulu, dong! "Hah? Apa?"

Algis melotot sebal. "Tetot! Jiwa pejuangnya kurang, daya dengarnya suram, kemampuan adaptasi pun nol besar. Minus 30 poin!" Algis kembali mengacungkan tinju ke udara, lebih bersemangat. "Siap punya banyak teman habis ini?!"

Bodo amatlah! Sherin tak peduli esensi dari aksi Algis kali ini, ikuti aja dulu! Sherin mengepalkan tangan. "Siap!"

Belum tuntas kampanye #2023SherinEnggakNolepLagi, perhatian Algis dan Sherin teralihkan karena masyarakat kelas tampak tunggang-langgang berlarian menuju bangku masing-masing. Dari bingkai pintu, muncullah sosok yang menjadi alasan di balik kerusuhan kelas. Sosok itu tampak mengusap kepalanya yang mulus nan menyilaukan. "Buka buku paket Bahasa Indonesia-nya, halaman 37, kerjakan uji kompetensi mengenai analisis teks cerita sejarah, kumpulkan sebelum pulang nanti. Bapak masih ada rapat terkait workshop kepenulisan dengan Forum Literasi Pelajar Tasik. Nanti tugasnya dikumpulkan oleh ketua kelas di meja Bapak, yah! Jelas, jelas? Ada pertanyaan?"

Dengan gayanya yang sat-set-sat-set seperti biasa, Pak Nizar pun mengacungkan jempol tinggi-tinggi ketika dirasanya tak ada tanggapan berarti selain keluh kesah anak-anak kelas XII MIPA-4.

"Oke, Bapak tinggal, ya! Daftar hadir untuk presensi hari ini Bapak ambil dari tugas yang masuk! Kalau ada yang memang tidak masuk sekolah hari ini, tolong chat Bapak di WhatsApp saja, ya, oleh ketua kelas atau siapa pun yang mewakilinya. Aman, aman? Selamat mengerjakan!"

Sherin mengembuskan napas berat. Tugas, ya? Mending, sih, Bahasa Indonesia, masih bisa ngarang. Asal bisa berkata-kata, amanlah! Kalau matematika, kan, gimana ngarangnya, ya? Masa tulis angka random aja? Sherin beranjak mengambil buku paket dari ranselnya. Sepersekian detik kemudian, atensi anak perempuan itu terbagi oleh suara Algis. "Lo serius mau meningkatkan mutu hidup sebagai seorang pelajar, 'kan? Enggak cuma di ranah biologi?"

Malas menjawab lebih lanjut, Sherin membiarkan Algis asyik ngomong sendiri.

"Kalau gitu, jangan tunda tugas! Langsung kerjain!"

Penglihatan Algis mulai terganggukah? Tidakkah anak itu melihat Sherin yang tengah membuka-buka buku paket, persis di hadapannya? Sherin mendengkus, tak berminat untuk menanggapi maupun sekadar balas menatap lawan bicaranya.

Ternyata, Algis si Najis ini sedang merencanakan hal lain. Tangannya menyambar tempat pensil Sherin. "Gue curi dulu pulpennya!"

Wait ... what?! Sherin melotot sampai kedua manik cokelat terangnya seolah siap untuk meloncat keluar. "Lah, terus gimana gue ngerjainnya? Bukannya lo sendiri yang nyuruh gue buat gercep ngerjain tugas?"

"Betul sekali! Tumben mikir." Algis tersenyum tanpa beban, tapi tak berniat mengembalikan tempat pensil Sherin sama sekali. "Tapi, ya ... walau gue rampok tempat pensil ini, siapa bilang lo jadi enggak bisa ngerjain tugas? Pulpen orang, kan, ada. Pinjamlah!"

Demi mendengar usulan bombastis Algis itu, bulu kuduk Sherin terasa meremang. Ngerinya! "Pinjam? Pinjam ke siapa?"

"Ini latihan buat membangun komunikasi, tahu! Simulasi, simulasi ... biar gue yang pilihin orangnya."

Beberapa detik kemudian, terjadi aksi kejar-kejaran antara Sherin dan Algis. "Balikin! Gue mau nugas!"

"Pinjam aja! Anggap tempat pensil lo ketinggalan di rumah, jatoh di jalan, atau dipalak orang, lah!"

Enggak logis, emang. Di mana-mana, orang itu malak uang, malak dompet ... ini malak tempat pensil? Tukang palaknya rajin banget!

Sherin enggak tahan buat maki-maki Algis. Sayangnya, anak enggak jelas itu malah ngide melipir ke bangku di bagian depan kelas, lalu menyapa salah satu anak perempuan yang duduk di sana. "Hana, kata Sherin, nih!"

Mampus, mampus! Sekarang apa? Sherin keringat dingin dan refleks berhenti memburon Algis ketika ditatap balik oleh Hana. Si Najis itu! Sherin terkekeh canggung. "Anu ... Hana, eum ... anu. Iya, anu."

Hana masih sabar menunggu Sherin menyampaikan maksudnya.

Sherin menghela napas. Oke siap. Jangan freak dulu, tolong. "Kamu ... ada pulpen dua, enggak? Boleh aku pinjam buat ... nugas? Hehe."

"Boleh! Ada, nih."

Sherin berhasil kembali ke bangkunya dengan sebuah pulpen pink di tangan. Algis menghampirinya dengan cengengesan. "Tuh! Enggak sesusah itu, 'kan?"

Iya, deh, iya, Bang. Tapi, ya ... minimal ada briefing, dong, biar Sherin bisa nulis script dialog dan latihan dulu di depan kaca sebelum pinjam pulpen ke Hana! Orang introvert kronis macam Sherin mana sanggup, sih, sama kehidupan yang serba-impulsif? Bisa mati di tempat kalau dunia Sherin terus bersinggungan sama manusia hiperaktif bernama Algis! Ah, ralat. Introvert tidak sepatutnya dijadikan alasan. Memang Sherin-nya yang problematik luar-dalam, enggak, sih? Kasihan, introvert jadi kambing hitam terus di cerita ini. Salah Sherin, tuh! Doakan saja biar pantatnya kelap-kelip.

Algis tepuk tangan tiga kali, membuyarkan segala susah hati yang tengah Sherin alami. "Berani pinjam dan inisiatif ngomong duluan ... plus 5 poin!"

"Kok, cuma 5? Tadi yang minus aja sampe 30 poin!" protes Sherin.

"Ya elah, enggak sebanding! Lo ini anak didik gue, diem aja, gue yang berhak nentuin itu!" Algis berkacak pinggang. "Habis nugas, kita mulai lagi proyek ini dengan pelatihan raut muka. Lo harus belajar senyum yang baik dan benar, riil, no fake, dan jelas bakal bikin lo keluar dari zona nolep no-friends!"

"Apa? Sepenting itukah?” Sherin mulai meragukan kurikulum yang dibuat Algis.

"Gue tahu senyuman lo pahit kayak buah maja yang dimakan Hayam Wuruk, tapi pahitnya juga bikin Kerajaan Majapahit ada, 'kan? Gue tahu mulut lo bau jigongnya nembus sampe langit ketujuh ... tapi gue mau lo banyak-banyak ketawa. Kenapa? Itu bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Oke, ini enggak begitu selaras sama visi kita terkait menjadi pribadi yang banyak teman. Tapi, ya, kata penelitian, ketawa itu bisa melepaskan hormon dopamin dan meningkatkan sitoplasma dari sel natural killer dan ...."

"Sitotoksisitas, Dodol! Sitoplasma, sitoplasma. Hidup situuu kayak plasma, enggak ada warnanya!" Wanjay! Sherin kaget sendiri karena tahu fakta itu. Jangan-jangan, otak Sherin dapat sepercik donasi kepintaran dari Bintang?

Algis berdeham, menahan kekesalan dalam hati karena ternyata Sherin lebih tahu dari dirinya. "Benar sekali, saudaraku sebangsa setanah air. Gue sadar kalau gue emang enggak terlahir buat jadi ahli biologi. Tapi dipikir-pikir dengan wawasan gue yang luas nan bijaksana ini ... agak-agaknya, lo enggak usah nyindir hidup gue jugalah, Dugong Bau Jigong! Ngajak bertumbuk?!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top