13. PH VS Bunga Hortensia
Duh, Bintang ... bisa, enggak, kita tukaran jiwa secara mutlak? Biar impas! Simbiosis mutualisme! Kamu bisa memaksimalkan potensi kamu dengan fasilitas yang aku punya, sementara aku bisa terbebas dari ekspektasi Mama! Yakin, deh. Kamu pasti bisa jadi anak yang sesuai dengan harapan Mama. Eh, tapi rugi di Ibu kamu, sih ... dapatnya anak kayak aku. Ujung-ujungnya, Sherin terpaksa sadar diri lagi. Orang tua mana, sih, yang mau punya anak kayak Sherin? Ya ... selama ini, Mama emang peduli, sih, sama Sherin. Tapi mau Mama sebaik apa pun, Sherin yakin, di sudut hati kecil Mama, Mama juga pasti ingin Sherin punya nilai guna sebagai anak.
Meh, kenapa hari Sherin jadi mendung begini? Ayo, belajar aja! Otak Bintang butuh asupan materi, tuh! Baru hendak merapikan kembali tumpukan catatan biologi Bintang, sudut mata Sherin malah tertarik pada satu buku yang tampak berbeda dengan buku lainnya. Ukuran buku ini terbilang lebih kecil dan berwarna! Sampulnya dihiasi karakter kartun yang lucu, enggak kayak buku catatan Bintang yang bersampul polos nan basic kayak didapat dari hadiah-hadiah. Apa yang hendak Sherin lakukan selanjutnya? Jelas memenuhi hasrat kepo-nya dengan menarik buku mini itu, dong!
Warnanya didominasi ungu. Setelah digenggam begini, ternyata tinggi dan lebar buku itu hanya berkisar satu jengkal saja. Karena satuan jengkalnya menggunakan tangan Bintang yang enggak kalah kecilnya ... mungkin ini ... enggak lebih dari 15×15 sentimeter? Sherin membuka halaman pertama. Tulisan abstrak ala Bintang menyambutnya. Ah, apa ini buku diari? Seorang Bintang ternyata senang menulis diari juga? Selama Sherin membaca MaFiKiBi Society hingga bab sepuluh, Bintang hanya sibuk belajar biologi, kok. Enggak pernah ada narasi yang menunjukkan kalau anak itu juga senang curhat di buku diari, seingat Sherin.
Hai, Diary! Aku dapat kamu dari kado Mat di ulang tahunku yang ke-14 kemarin. Kata Mat, nulis itu kayak healing! Ampuh banget buat segala resah dan overthinking-nya aku. Pas aku tanya kenapa enggak dari dulu aja menyarankan aku buat nulis ... Mat bilang, dia tahu kalau aku enggak pernah overthinking, tapi masa SMA ini bakalan rawan, lho! HAHA. Mat emang selalu aja bertingkah kayak orang dewasa. Masa bisa-bisanya dia bilang begitu, padahal dia sendiri baru mau masuk dunia SMA tahun depan, bareng aku? Tapi enggak apa-apa, sih. Aku juga lagi tertarik ke dunia kepenulisan. Kalo kata Mat, siapa tau bisa nulis puisi bertema biologi! Makanya aku mau join klub sastra di SMA nanti.
Oh, iya! Klub Sastra! Kayaknya Sherin pernah dengar soal kesibukan Bintang di klub itu, deh, dari konten Instagram @wanderspace_ yang memang Sherin aktifkan notifikasi update-nya. Sherin membuka halaman berikutnya, lanjut membaca. Isinya hanya beberapa ocehan Bintang soal Mat yang multifungsi kayak sel punca, Alfis yang judes abis dan selalu diledek Kiano sebagai Alfeses, juga tentang Kiano yang Bintang anugerahi double degree alias dua gelar: Sang Pawang Upil sekaligus Dewan Anti-Damai. Latar waktunya sudah memasuki kehidupan SMA.
Catatan terakhir yang ditulisi Bintang bertitimangsa kemarin. Isinya tentang perubahan Kiano yang jadi memprioritaskan Kalea di atas geng ambis mereka. Halaman selanjutnya kosong, tetapi hati Sherin telanjur tertaut pada halaman jauh-jauh-jauh sebelumnya, ketika Bintang curhat soal ketidakmampuannya. Suatu tulisan dengan suasana suram yang langka sekali Sherin dapatkan dari tulisan Bintang yang lain.
Mat benar, masa SMA emang rawan. Bahkan baru berakhir hari pertamaku di Persatas ... aku sudah merasakan satu-dua dan banyak hal yang mengganggu pikiranku.
Teman-teman sekelasku hebat semua. Pintar-pintar! Katanya, sih, X MIPA-1 emang kelas unggulan. Biasanya, aku bakalan jauh lebih semangat kalau punya kesempatan belajar bersama orang-orang keren! Tapi kali ini ... enggak tahu kenapa, rasanya aku pengin nyerah atas segala ketidakmampuan aku.
Orang-orang punya tunjangan buku paket yang bagus-bagus:( Materinya lengkap plus detail banget! Aku juga mau, ih. Aku udah coba nyari-nyari di perpustakaan sekolah, perpustakaan kota, sampai yang dekat Dadaha itu ... tetep enggak nemu! Masa aku maksa Ayah-Ibu buat belikan itu, sih? Emang boleh, ya, kalau aku memaksakan diri kayak gini?
Meski sarat akan keputusasaan, Sherin bisa menemukan warna cerah Bintang lagi di halaman selanjutnya. Dilihat dari tanggalnya, sih, berjarak tiga hari.
Hua! Tadi sore, aku nangis di basecamp! Mereka jadi tahu, deh, kalau aku iri sama orang-orang yang punya fasilitas bagus buat belajar lebih banyak. Mereka jadi nawarin buku paket yang mereka punya buat aku pinjem. Baik banget, yaaa:( Enggak apa-apa, deh! Aku beruntung banget! Kalau orang-orang punya akses belajar yang berkualitas tinggi, aku punya sahabat-sahabat keren yang mau berjuang bareng! Previllege aku ternyata gede banget! Jadi malu udah banyak ngeluh:p
Aku emang enggak punya kemampuan buat belajar hal baru secepat Kiano, enggak punya ingatan sekuat Alfis, dan aku juga enggak punya otak 4G kayak Mat. Bayangin aja, deh! Mereka udah punya variabel buat dapatin mimpi mereka masing-masing! Karena aku enggak punya satu pun di antara variabel itu ... aku mau bikin variabel sendiri aja.
Variabel usaha. Itu satu-satunya hal yang bisa aku maksimalin biar enggak ketinggalan, 'kan? Aku enggak mau mengaku kalah dari mimpiku! Kalau aku malah pasrah dan menyerah ... bukannya itu baru game over sesungguhnya?
Mampus. Sherin kena mental.
Sherin sekarang bisa menyadari. Tak hanya faktor genetik, keanekaragaman hayati juga dipengaruhi oleh lingkungan. Walau satu bunga hortensia membawa genetik yang sama sekalipun, ia bisa menumbuhkan bunga dengan dua warna yang jauh begitu berbeda. Kok bisa? Jawabannya tak perlu banyak-banyak, cukup satu variabel saja yang membedakan keduanya: tingkat keasaman media tanam. Tingkat pH yang asam akan menghasilkan bunga berwarna biru, sementara media tanam yang basa akan mengubah bunga hortensia jadi merah muda.
Begitu juga yang terjadi dengan Bintang dan Sherin. Walau keduanya sama-sama terlahir sebagai bunga hortensia yang berwarna biru ... Bintang bisa berubah jadi merah muda karena satu variabel saja: media tanam yang basa. Dalam konteks ini, pH basa itu bernama usaha Bintang untuk belajar lebih keras dari siapa pun. Sementara Sherin, selama ini, hanya asyik diam di tempat selagi menyalahkan takdir atas birunya bunga yang ia miliki.
Sherin tahu betul. Mat jenius, Alfis meneruskan gen ilmuwan, dan Kiano anak yang berbakat. Tapi Bintang memang berbeda. Bintang punya usaha sebagai faktor pembedanya dengan orang lain. Selain karena gender, mungkin ada alasan tertentu di balik tanda tanya 'mengapa' dia terjebak di raga Bintang, bukan yang lain. Kini, semuanya mulai terasa masuk akal.
Tangan Sherin terkepal erat seraya menggenggam tekad dalam jiwa. Begitu bangun di dunia nyata nanti, Sherin akan belajar lebih giat lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top