10. Dopamin VS Hipovolemia
"Bi?"
Demi bunglon yang lagi nyalon tapi bukan buat jadi caleg! Siapa, sih, yang kurang ajar ganggu tidur nyenyak Sherin? Apa, katanya? Bi? Bibi? Sherin ini anak tunggal! Masa ada anak gaib yang ngaku-ngaku jadi keponakan dia? Please, deh. Sherin masih kena mental nan overthinking soal ekspektasi Mama. Enggak usah nambah beban-beban pikiran dengan perubahan genre jadi horor begini, dong!
"Bi? Bi, hei! Bi!"
"Bi, Bi, Bi, Bi ... emang Babi, lo!" teriak Sherin, langsung melotot tanpa peduli serpihan belek yang menusuk-nusuk sudut matanya. Weladalah! Sherin nyaris jatuh terjengkang dengan alay. Semua reaksi hiperbola itu gara-gara sosok yang ada di hadapannya. Cogan dari belahan sudut bumi yang mana lagi ini, Tuhan?! Sherin mangap lebar. "Emang boleh, ya, babi seganteng ini?"
"Bintang, are you okay?"
Bintang? Bi ... Bintang? Refleks Sherin membekap mulutnya sendiri. Manik cokelat terangnya mengerjap cepat, berusaha beradaptasi dengan makhluk cogan yang ternyata tak lain tak bukan adalah Mat, di dunia yang rasanya sudah nyaris ia ikhlaskan: dunia fiksi MaFiKiBi Society. Sumpil! Kok, bisa? Sejak kapan Tuhan jadi plin-plan begini? Biasanya Sherin dikasih nasib yang konstan, kok, stabil banget diberi peran sebagai ampas-ampas kehidupan. Kenapa tiba-tiba dapat kesempatan buat balik ke dunia ini lagi?
Anak perempuan itu malah mikir keras sambil pasang muka aib. Duh! Sherin habis berbuat baik apa, ya? Apa ini bentuk kasih sayang Tuhan karena Sherin udah mengorbankan perasaannya hingga teriris-iris mendengar ekspektasi Mama beberapa waktu lalu? Tapi, kan, Sherin udah biasa dinistakan kehidupan kayak gitu. Kok, Tuhan baru berbaik hati sekarang?
Apa jangan-jangan Sherin mengalami kecelakaan part dua hingga jiwanya terlempar ke sini lagi? Enggak, deh. Di antara file ingatan yang sejujurnya sudah tergerus kepikunan karena keseringan begadang, Sherin rasa, Sherin ketiduran habis overthinking di kamarnya, kok. Masa ada kendaraan yang nabrak rumah sampai nembus ke kamar Sherin? Lokasi tidurnya cukup jauh dari akses jalan raya, lho!
Di saat otak Sherin masih nge-lag parah, Mat angkat suara lebih dahulu. "Alfis sudah pulang dari tadi, lho. Pas aku beres-beres basecamp, tahu-tahu kamu ketiduran di sini. Udah setengah sembilan malam, Bi."
"Hah?" Duh, duh, sistem hidup Sherin! Jangan eror dadakan dan malu-maluin begini, dong! Sherin mikir keras. Scene terakhir yang Sherin perankan itu kalau tidak salah ... baru hari pertama! Ini alurnya udah sampai mana, ya? Sherin mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mat betul. Di ruangan sepi itu sudah rapi, hanya menyisakan Sherin di hadapan meja bulat, tinggal menunggu diusir. "Kiano juga?"
Air muka Mat beriak, tampak tak enak. Meski begitu, tak elak, rona-rona kebingungan turut tersirat di tatapan manik hitam pekat itu. "Dia, kan ... izin duluan. Mau jemput Kalea di RachMart. Kamu habis tidur berapa ratus tahun, Bi, sampai lupa kejadian sore ini?"
Ah. Rasanya Sherin mau berwisata ke Pulau Sia aja ... alias, Sia-land! Sherin merutuk dalam hati. Ternyata alur cerita di sini sudah menjelang bab tujuh-delapan! Cepat juga. Berarti, selama Sherin buang-buang karbondioksida di dunia nyata, alur MaFiKiBi Society tetap berjalan seperti kehidupan pada umumnya. Itu juga berarti, Bintang sempat kembali ke tubuhnya sendiri. Lalu, ke mana jiwa Bintang yang asli ketika Sherin mengambil alih raganya? Sherin berdeham. "Oh, ya. Betul! Soal Kalea, ya."
Kalau Sherin tidak salah mengingat, adegan habis ini itu ... adegan Alfis! Alfis bakalan balik lagi ke markas MS! Sherin melirik jam dinding yang tergantung. Duh, Sherin mana tahu detail tepatnya pukul berapa Bintang pulang supaya bisa berpapasan dengan Alfis di dekat Sungai Cimulu. Peduli amatlah, Sherin harus bergegas! Datang lebih awal jauh lebih baik daripada Alfis keburu pulang lagi dan alur cerita MaFiKiBi Society jadi berbelok gara-gara Sherin.
"Iya. Anak itu ...."
"Mat, aku pulang dulu, ya!"
Kaget dengan reaksi Bintang yang tampak begitu tergesa-gesa memotong percakapan pemancing gibah, Mat memiringkan kepalanya beberapa derajat. "Pulang? Ada apa?"
Tunggu sekejap. Apa akting Sherin tidak cukup natural? Ekhem! Sherin berdeham panjang, berusaha memasang air muka senormal mungkin. Mari pikirkan alasan yang 'Bintang banget'. "Aku harus cepat-cepat pulang, Mat! Kangen Ibu ... eh, kangen cibaynya, sih, yang pasti. Hehe. Makan cibay sebelum tidur itu wajib hukumnya!"
Betul! Makanan, makanan, makanan. Tiga mantra itu sudah cukup untuk mendeskripsikan isi kepala Bintang 24/7, eaaa, kayak lirik lagu aja. Twenty four seven I'm thinking about food, food, food, food, food, food, food! Sherin bangga sekali dengan alasan yang ia lontarkan, merasa sudah begitu sukses menghayati peran sebagai Bintang. Inikah bakat terpendam Sherin?
Setelah begitu lama Sherin putus asa karena hidup dalam ketidakbermanfaatan yang hakiki ... inikah jawaban dari Tuhan? Haruskah Sherin coba ikut klub teater sewaktu terbangun di dunia nyata nanti? Siapa tahu, Sherin bisa diakui oleh orang-orang di sekitar, menarik banyak atensi, ditawari stasiun televisi ini-itu, jadi aktris ternama, dapat penghargaan Piala Citra, lalu ....
"Mau aku antar pulang?"
Pertanyaan Mat membuyarkan bayangan masa depan Sherin yang penuh akan kerlip-kerlip ke-halu-an semu. Aduh, ganggu aja. Sherin menggelengkan kepala. "Enggak usah, Mat. Cuma dari sini ke sana, kok! Aku bisa sampai rumah duluan sebelum hantu penunggu Cimulu sempat untuk sekadar say hi."
Faktanya, ketika melangkah keluar dan menemukan sosok Alfis di dekat pohon, malah Sherin yang merasa cosplay jadi sosok mbak hantunya. Setelah mengingat-ingat aksi Bintang di scene ini, Sherin pun memperagakannya dengan totalitas. Sherin mencengkeram bahu Alfis erat-erat. Tuh, 'kan? Alfis sampai terperanjat, kayak meet and greet sama penampakan sungguhan. Sekarang apa? Bintang yang duluan ngomong, ya?
"Ekhem. Lagi apa, Fis? Butuh sesuatu? Apa ada yang ketinggalan?"
Anak laki-laki yang masih berseragam dengan hoodie hitam itu menjilati bibirnya, tampak mencoba menyembunyikan reaksinya yang cukup gelagapan dipergok Bintang begini. "Uhm, tidak ada." Hanya dua kata yang didengarnya, tetapi Sherin gugup sampai menelan ludah berkali-kali. Eh, sumpah ... ini pemandangan Bintang sehari-hari? Mat enggak dapat, Alfis pun jadi, lah! Cogan mana lagi yang kamu dustakan, Bintang? Bisa-bisanya circle-an sama sobat-sobat ganteng! Minimal donasi satu buat hidup Sherin, dong! Nambah lagi, deh, list keluhan Sherin buat nulis petisi teruntuk Tuhan. Enggak adil banget, 'kan?
Meski denyut jantung mendobrak-dobrak rongga dada seakan ingin melepaskan diri dari sirkulasi tubuh Bintang yang isinya overload oleh gorengan-gorengan full-minyak, Sherin berusaha keras untuk memandangi Alfis tanpa kedip, sebagaimana sosok Bintang asli (di ceritanya) yang tengah menganalisis gestur seseorang. Alfis refleks memalingkan muka. Aduh, aduh, kok lucu! Sherin menahan jeritan ala fangirl yang hendak terlontar. Sadar, Sherin. Sadar! Alfis ingin menghindar dari pemindaian Bintang, bukan baper apalagi salah tingkah karena ditatap sama Sherin ... ups, ralat. Secara teknis, harusnya ditatap oleh Bintang. Kelamaan interaksi sama cogan bikin Sherin eror duluan!
Katanya, bahagia itu meningkatkan kadar dopamin. Bukannya saling meniadakan, dopamin ini malah bikin Sherin kena syok hipovolemia, alias ... Sherin enggak bisa napas. Kenapa Alfis ganteng banget, woy!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top