1. Prokariotik VS Eukariotik

Demi cacing alaska yang enggak pernah bermutasi jadi cacing alas kaki apalagi alas trapesium! Di antara deretan cerita yang ada di perpustakaan Wattpad-nya, Sherin tidak pernah iri seiri-irinya orang iri yang iri-iri dengan sepenuh iri pada karakter fiksi! Coba, biar Sherin review bacaannya selama bertahun-tahun tenggelam di dunia oranye ini.

Ketua OSIS yang perfect? Kapten tim basket yang menawan? Anak petakilan yang memikat? Bad boy penuh kharisma? Akhi-akhi peruntuh iman? Siluman tokek yang powerful? Atau bahkan ... mbah dukun yang multifungsi sebagai pawang hujan sekaligus aktivis penggiat program bedah rumah? Semua karakteristik surgawi itu pernah Sherin cicipi! Tapi kali ini ... masa Sherin tiba-tiba iri sama Bintang di cerita MaFiKiBi Society yang cuma dikelilingi anak-anak ambis, sih?

Sherin menghentikan sejenak aktivitas membacanya yang baru mencapai pertengahan bab dua. Ponsel yang masih menyala itu lekas Sherin empaskan sejauh mungkin, berusaha meminimalisir efek mantra mandraguna yang memancar kuat dari cerita enggak jelas itu. Berulang kali, Sherin menabok kedua pipinya keras-keras. Sadar, Rin! Sadar! Masa kamu mau menuju jalan yang benar? Kalau kamu terinfeksi virus ambis, jadi rajin belajar, stop leha-leha, aktif di kegiatan pembelajaran ... nanti siapa yang bisa Bu Rika ceramahi setiap menjelang akhir semester?

Pikiran Sherin mengembara, bercabang ke sana-sini, sibuk memikirkan berbagai kemungkinan terburuk yang bisa terjadi jika ia benar-benar resign dari golongan terbelakang di SMANDATAS, SMAN Garuda Tasikmalaya. Nanti jabatan setan di XII MIPA-4 jadi kosong, dong? Sherin, kan, belum sempat sertijab ... lagian belum ada kandidat yang cukup mumpuni untuk meneruskan posisinya. Oh, iya! Sherin juga belum memiliki persiapan yang cukup matang untuk konsep dan teknis pelaksanaan kaderisasinya, padahal ia di semester depan sudah harus didepak dari sekolah ... eh, itu pun kalau Sherin lulus, sih. Ck, ck, ck, ck.

Terjadi perang batin di dalam Sherin. Akan tetapi, harga dirinya sebagai generasi anti-edukasi pun mengaku kalah, kurang senjata dan amunisi, kali ini. Sherin menyerah, membiarkan kilau-kilau cahaya hidayah merembes di antara celah hati yang berdebu. Istilah-istilah asing berseliweran setiap kali sudut matanya menyusuri kata demi kata yang terpampang di layar, apalagi kalau Bintang si Maniak Biologi sudah mulai beraksi. Tiga-empat kali kening Sherin mengernyit. Tak paham? Oh, ya ampun! Jangan meremehkan Sherin. Analogi-analogi yang diambil dari hal saintifik begitu, sih, mana mungkin Sherin mengerti!

Ya ... seenggaknya tumbuh kebanggaan tersendiri, lah, di dalam diri Sherin. Biologi? Ez. Inti mata pelajaran itu adalah 'bio', artinya 'hidup'. Selama Sherin hidup, biologi bukanlah perkara besar! Sayangnya, perkara besar itu tetap terjadi ketika Sherin ketiduran setelah membaca bab kesepuluh, tepatnya pada pukul dua pagi. Salahnya sendiri, sih, malah menemukan MaFiKiBi Society di larut malam dan coba-coba menyicip bab pertama. Jadi keterusan, deh!

Bukan tidur yang jadi masalahnya. Toh, selama ini, Sherin dengan insomnianya sudah seperti siluman kalong yang linglung ... malam berjaga, siang terpaksa berjaga juga. Jangan remehkan kemampuan Sherin dalam hal menjaga kantuk selama mungkin! Kalau diadukan satu kompleks, Sherin bisa menang telak, tuh, kategori si paling kuat begadang! Yang menjadi masalah adalah tidur di waktu yang tidak diperkirakan. Kalau ketidurannya pukul sembilan atau sepuluh malam, sih, masih oke, ya ... lah, ini jam dua pagi? Begadang enggak, istirahat tetap enggak cukup ... tutorial kesiangan, sih, iya!

"Sherin, udah jam setengah tujuh!" Lamat-lamat di antara kantuk dan paniknya, Sherin mendengar suara Mama dari lantai bawah. Sherin melotot di atas kasur. Kabar buruknya, mama Sherin tidak seperti kebanyakan ibu di muka bumi yang selalu bilang 'sudah jam delapan' padahal masih pukul enam. Sekalinya Mama bilang setengah tujuh, ya ... berarti beneran udah setengah tujuh!

Sherin melonjak cepat dari kasur. Tangannya menyambar handuk dengan jeda dan hambatan pergerakan seminim mungkin. Setelah mandi asal dan berpakaian sekenanya, Sherin keluar dari kamar, bergegas turun menuju dapur. Di sana, Mama sudah siap dengan menu default-nya: nasi goreng spesial dengan telur ceplok bulat sempurna.

Baru saja mendaratkan bokongnya di atas kursi, bahu Sherin langsung lemas karena mendengar kalimat Mama yang terlontar tiba-tiba. "Mama harus ke rumah sakit, operasi dadakan. Sherin, berangkatnya sama Pak Daud aja, ya, kayak biasa? Jangan sampai kesiangan."

Anak perempuan itu mengiakan selintas, lalu manyun lima senti di balik punggung Mama. Mulai, deh! Sherin enggak suka kalau mamanya menerima panggilan praktik di rumah sakit secara tiba-tiba. Selain dokter yang kompeten, Mama, kan, berperan sebagai mamanya Sherin juga! Sherin adalah pasien abadi Mama! Bisa, enggak, sih ... orang-orang berhenti merebut mamanya dari Sherin?

Mood Sherin berantakan, kacau seperti hidupnya, ups! Satu-satunya kabar baik hari ini: guru yang piket di gerbang sekolah bukan Bu Rika atau Bunda Ineu. Sherin mengembuskan napas lega ketika memasuki gerbang tepat pukul tujuh. Selagi bebas dari buku hitam yang isinya dosa-dosa siswa SMANDATAS, naik tangga tiga lantai untuk menuju kelasnya tak lagi menjadi suatu hal yang patut Sherin keluhkan.

Sherin masuk kelas berbarengan dengan Bu Rika yang memang memiliki jadwal mengajar biologi jam pertama di XII MIPA-4. KBM berjalan sebagaimana biasanya. "Sebelum masuk ke materi inti kita, berhubung kelas dua belas hendak menghadapi ujian sekolah dan Ibu berencana membuat soal dari materi kelas sepuluh-sebelas-dua belas ... sekarang Ibu mau review biologi kalian, ya. Bab struktur sel dulu, deh."

Di bangku pojok belakang, Sherin siap melanjutkan perjalanan mimpinya dengan buku yang diberdirikan untuk menutupi wajah terkantuk-kantuk Sherin dari radar Bu Rika. Sayangnya, sesempurna-sempurnanya taktik Sherin tidur di kelas, pada akhirnya, tetap lebih sempurna telur ceplok buatan Mama. Sherin berjengit kaget ketika mendengar namanya dipanggil Bu Rika.

"Sherin! Apa bedanya sel prokariotik dan eukariotik?"

Apaan tuh? Sejenis obat antibiotik? Sherin menepuk pipi, mencoba lebih serius. Dia sudah baca sepuluh bab MaFiKiBi Society yang isinya banyak menyinggung biologi. Masa pertanyaan begini saja tidak bisa, sih? Sherin memutar otak walau cuma 0,0001 radian per sekon. "Pro itu, kan, artinya setuju, ya. Prokariotik berarti ... setuju ...."

Nada ragu Sherin disambut gelak teman sekelasnya yang menggelegar. Sherin manyun. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin menggunakan teori cocoklogi yang ada. Minimal apresiasi, lah. Coba kalau Sherin kerasukan arwah Bintang? Bah! Auto-kicep, tuh, orang-orang! Sherin merengut sebal, berharap datangnya azab agar tawa warga kelas bisa tersumpal.

Hana, siswa di bangku paling depan, mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. "Ada banyak perbedaan antara sel prokariotik dan eukariotik. Selain ukuran, bentuk DNA, juga keberadaan beberapa organel sel seperti mitokondria, kloroplas, dan retikulum endoplasma ... ada satu perbedaan yang paling mencolok. Sel eukariotik punya inti sel, sementara prokariotik enggak."

Tidak punya inti? Meh! Itu jenis sel atau hidup Sherin? Anak perempuan itu tersindir, lalu mendengkus begitu mendapati jawaban Hana disambut riuh tepuk tangan. Sherin teringat rasa kesalnya beberapa saat lalu.

Iya! Siklusnya selalu saja begitu. Sherin mau bobo cantik, ditegur guru, ditanya ini-itu, enggak bisa jawab, sekali jawab malah ngaco, diketawain sekelas ... lingkaran setan, emang! Pada akhirnya, guru-guru bakalan ngomong dengan penuh keprihatinan, "Masa depan kamu nanti gimana, Sherin?" Yaaa, kalau bisa request, sih, Sherin pengin masa depannya enggak jauh lagi, ya. Seperempat kilometer lagi, misalnya?

Akan tetapi, jangankan masa depan ... Sherin menunggu bel pulang berbunyi saja sudah seperti menunggu Mbak Kunti mengganti style rambutnya kayak Jennie BlackPink. Delapan jam terasa satu abad lamanya! Sherin misuh-misuh dalam hati setelah guru di jam pelajaran terakhir keluar kelas dengan oleh-oleh tugas yang seabrek. Well, seenggaknya, Sherin sudah bebas! Tinggal menunggu jemputan Pak Daud untuk lanjut baca Wattpad di rumah.

Sherin menjejalkan sepatunya ke dalam tas, lalu mengeluarkan sendal hiu dari keresek. Betul, sendal hiu yang lucu maksimal itu! Sherin selalu senang memakainya. Dua hiu kanan-kiri yang mengiringi setiap langkahnya itu membuat Sherin merasa punya teman. Sherin sampai memberinya nama. Hiu kiri itu Stephanie, kalau yang kanan namanya Abigail. Kurang kece apa lagi, coba?

Selagi menunggu Pak Daud, Sherin menghabiskan susu kotak full cream yang dibelinya dari kantin. Karena masih berada di depan gerbang sekolah dan jarak tong sampah dari posisi Sherin sejauh pergi ke bulan bolak-balik, Sherin pun memulai aktingnya. "O-ow!" Sherin bergumam penuh drama, seolah tak sengaja menjatuhkan kotak susu kosong dari genggaman. Sepersekian detik kemudian, sendal hiunya Sherin gunakan untuk menendang kotak itu sejauh mungkin. Weladalah! Sherin melotot ketika mendapati kotak bekas susu itu malah ke tengah jalan raya bersama sandal hiunya!

"Ya ampun, Abigail!" Sherin histeris. Saking takut sandal hiunya kenapa-napa, Sherin sampai lupa tengok kanan-kiri ketika menerobos ke tengah jalan raya untuk menyelamatkan Abigail. Anak perempuan itu juga tak sadar ketika pergerakan riweuh-nya malah menyenggol punggung seorang anak laki-laki yang hendak menyeberang hingga terdorong lebih dulu ke seberang sana.

Persis ketika Abigail terpasang aman di kaki kanannya, barulah Sherin menyadari situasi. Anak laki-laki tadi berteriak, "Awas!" Klakson mobil berbunyi panjang, memekakkan telinga Sherin. Akan tetapi, semua itu tak cukup menyelamatkan Sherin dari kecelakaan yang berlangsung dengan begitu cepat. Tubuh kerempeng Sherin terpelanting.

Ah, mungkin Tuhan benar-benar mengabulkan doanya kali ini. Masa depan Sherin memang tidak jauh lagi. Yeay!

Sherin ... sedang otw akhirat, 'kan?

Tunggu. Di alam kubur nanti, Sherin bisa minta akses baca Wattpad, enggak, ya? MaFiKiBi Society-nya belum Sherin baca sampai tamat!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top