Without You Again!

Mei hanya mampu mengembuskan napas kasar. Kesal sekali rasanya tak bisa mengantar Miko ke airport. Tadi setelah pergi jalan-jalan dan membeli martabak red velvet pesanan Aldi, Miko langsung mengantarnya pulang. Ia tak mengizinkan Mei mengantar ke airport karena memang waktu sudah malam. Dan Miko tak menginginkan Mei pulang sendirian malam-malam.

Entah sudah berapa kali Mei melongok jam dinding di ruang tamu, sembari duduk memainkan ponsel di tangan. Ia menanti kabar Miko kalau-kalau ia sudah akan berangkat. Ia bilang pukul sembilan malam pesawatnya lepas landas. Ini masih pukul tujuh, masih banyak waktu. Lagi pula Mei kalau sedang ada acara dengan teman-teman di penerbit ia biasa pulang pukul sembilan malam.

Oke, Mei tak tahan lagi. Ia harus ke airport sekarang menemui Miko setidaknya sebelum laki-laki itu melewati pemeriksaan X-Ray. Mei berlari ke kamar, meraih jaket dan tas gendong mungil di meja kerja.

"Mau ke mana, Mei?" tanya Rin saat Mei melewati Rin yang sedaang asyik menonton TV di lantai bawah.

"Ke toko buku bentar ngecek novel masuk daftar top ten enggak," sahutnya sambil memakai sepatu.

"Oke, hati-hati jangan kemaleman pulangnya," pesan Rin.

Mei hanya mengangguk dan pergi berlalu menghadang taksi di depan kompleks perumahan. Sebenarnya Mei sedikit merasa bersalah karena berbohong, tapi kalau jujur pasti akan ada alasan lagi untuk Rin agar hubungannya dengan Miko semakin buruk saja. Mei meminta sopir taksi untuk lebih cepat melajukan mobil. Ia tak sabar ingin bertemu Miko.

**

Turun dari taksi, Mei mempercepat langkah, setengah berlari. Ia berhenti sejenak di pelataran bandara, menggigit buku jarinya dengan mata mengedar ke seluruh penjuru. Boarding pass, mungkin Miko hampir masuk ke sana. Seraya menyibak rambut ke belakang, ia kembali melangkah tergesa. Helaan napas lega ia embuskan dengan sebelah tangan menyentuh dada dan tersenyum.

"Miko!" panggil Meinya. Panggilan dari Mei itu membuat Miko menghentikan langkah dan berbalik dari boarding pass. Miko mengerjapkan mata, sedikit terperangah dengan kenekatan Mei.

Mei mengerem langkah seribunya. Kedua tangannya mencengkeram jaket Miko berusaha menyeimbangkan tubuh karena berhenti mendadak. Ia tak sempat ambil ancang-ancang karena terlalu gugup. Mei menengadahkan kepala, menatap Miko degan ulasan senyum memohon ampun karena tak mendengarkan kata-katanya.

"Kenapa malah ke sini?" tanya Miko. Tangan kanannya mengacak gemas puncak kepala Mei.

"Aku benci kamu pergi tanpa salam perpisahan apa pun," gerutu Mei.

Miko hanya mengangkat kedua alis sembari berkacak pinggang, menatap heran dan tak mengerti dengan ucapan Mei.

"Last hug!" Mei melingkarkan kedua tangan ke pinggang Miko. Kedua pipinya sudah menggembung, menahan napas agar tak menghela karena sesak.

Tangan Miko yang semula berkacak beralih mendekap. Untuk beberapa detik ia sudah menyimpan wajah di ceruk leher wanitanya. Menghirup aroma lembut yang mungkin akan dirindukan selama beberapa bulan ke depan.

"Ada lagi yang aku benci setelah pacaran sama kamu." Perkataan Mei membuat Miko sedikit melonggarkan pelukan untuk memberikan ruang pada Mei agar bisa mendongak dan saling menelisik iris mata.

"Aku benci airport," lanjut Mei dengan bahu yang terkulai lemas.

Miko menghela napas, melempar pandangan ke lain arah sebelum ia kembali menatap kekasihnya. Airport ternyata menjadi tempat yang paling menyeramkan bagi mereka berdua, karena di sini pasti selalu ada perpisahan.

"Aku janji akan menjengukmu lagi kalau ada waktu." Kali ini ia menatap intens ke manik mata Mei. Sedikit membung-kukkan tubuh demi meraih bibir manis Mei sebelum akhirnya ia pulang.

Mei tak menolak, bahkan tak peduli sekarang mereka sedang di mana. Ini urusannya, bukan urusan mereka yang sedang lewat. Persetan dengan semua yang menatap ini aneh dan tak sewajarnya, umpat Mei. Tanpa ia sadari, budaya di mana Miko tinggal itu sudah mulai merasuk dalam dirinya.

"Aku pulang, ya. Jaga dirimu baik-baik," kata Miko setegar mungkin, meski ia masih berusaha mengatur degup jantung saat beberapa detik tadi berusaha mencecap kembali sentuhan mesra dari bibir wanita dalam dekapannya.

Mei berdeham, menyembunyikan suara bergetar dengan sebuah anggukan dan senyum.

"Ini yang aku nggak bisa nahan kalau kamu nganterin sampe sini, terjadi juga, 'kan? Padahal ini bukan di Amerika yang bebas memberikan kecupan dan pelukan perpisahan," keluh Miko kesal. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa ada perasaan aneh yang membuncah setiap kali ia bersentuhan dengan Mei.

"Begitu, ya?" Mei meringis dan mendesis lirih. Dadanya masih bergemuruh dan berdetak tak normal.

"Ok, go home now!" titah Miko. "Aku masuk dulu, ya?" pamit Miko.

Mei mengangguk. Ia memejamkan mata kembali ketika Miko meraih puncak kepalanya dan mengecup beberapa detik.

Lambaian tangan Mei sempat dibalas seulas senyum dari laki-laki blasteran itu. Hingga ia tak terlihat lagi dari pandangannya, Mei baru berminat untuk berbalik.

"Perlu, ya, salam perpisahan macam itu?"

Suara bas seseorang mengagetkan Mei. Kontan niatan pulang terhenti dengan bola mata melebar menemukan sosok di depannya.

"Juna? Ngapain kamu di sini?" tanya Mei heran.

Arjuna hanya tersenyum dengan kedua tangan yang ia simpan dalam saku celana. Tadi selepas ada panggilan darurat di kantor kepolisian, mama Arjuna sempat menelepon untuk membelikan tiramisu dan mengantarkannya ke rumah Mei. Siapa sangka di rumah Mei sedang terjadi keributan bahwa mama Mei kebingungan menunggu mencari putrinya. Juna masih ingat pagi tadi Mei bilang Miko akan kembali ke Amerika malam ini. Sudah pasti Juna langsung bisa menebak pasti ke sini. Kekuatan ingatan dan menelaah suatu masalah seorang inspektur sudah pasti tak diragukan lagi.

"Aku diminta jemput kamu," sahut Arjuna.

Mei menggigit bibir, ia sudah bisa paham pastilah Mama yang memintanya menjemput. "Tapi, gimana bisa tahu aku di sini?"

"Tahu, aku memiliki insting yang lebih kuat dari orang-orang. Yuk, pulang!" ajaknya sembari berjalan mendahului Mei. Ia menghela napas tak kentara. Seketika rahangnya mengeras seirama gemeltuk gigi karena geram akan apa yang ia lihat.

Mei terdiam, keduanya saling membisu menuju parkiran mobil. Bahkan, saat di dalam mobil pun Mei masih bungkam. Begitu pula Juna, ia sibuk dengan kemirisan hati yang ia alami. Tapi, laki-laki gentle tak seharusnya mengeluh di depan wanita. Ia berusaha memasang muka sedatar mungkin seolah tak terjadi apa-apa.

"Mm ... tadi kamu—"

"Menurut kamu, orang-orang yang lewat itu bisa lihat kamu nggak?" Juna memotong perkataan Mei. Ia paham apa yang sedang dipikirkan Mei.

"Please, jangan bilang ke Mama kalau aku ke airport nyusul Miko," mohon Mei. Mei tahu, kalau sampai Mama mengetahui hal ini, pasti ia akan menyalahkan Miko yang membiarkan Mei menyusulnya malam-malam. Meskipun ini semua salah Mei yang nekat tak mendengarkan perkataan Miko. Tapi Mama pastilah akan menyalahkan Miko terus.

Juna menoleh sebentar, kemudian kembali fokus dengan setir mobilnya. "Itu bukan urusanku, Mei. Aku akan berusaha tak ikut campur dengan masalahmu. Toh, kita tak memiliki ikatan apa pun, meski aku tahu mamaku dan mamamu menginginkan perjodohan itu," terang Arjuna.

"Yang aku tahu adalah bagaimana aku bisa menerangkan pada mamaku dan mamamu bahwa kamu telah memiliki kekasih," lanjut Juna berusaha berpikir lebih dewasa.

Mei hanya menundukkan kepala, menatap ke tangannya yang sedang asyik memainkan buku-buku jari. Ternyata Juna bukan tipe pengadu dan berusaha melindungi Mei dari kemarahan Mama. Memang benar ini bukan urusan Juna. Juna tidak tahu menahu soal kekasih Mei dan sudah pasti Mama yang tak ingin jujur pada Juna dan keluarganya. Sejujurnya, ada rasa bersalah atas perlakuan Mama yang menutupi ada Miko dalam kehidupan putri bungsunya.

"Makasih," kata Mei. Hanya itu yang bisa ia katakan pada Juna yang berbaik hati padanya.

"No problem, Mei. Aku berusaha ngerti, gimanapun juga Miko datang lebih awal ke dalam hidupmu. Sudah pasti dia memiliki peran yang lebih istimewa." Juna tersenyum sembari sesekali menoleh ke arah Mei.

"By the way, bisa juga, ya, kamu pacaran sama gamer? Nggak jenuh, tuh, kalau pas lagi dicuekin main game?" Juna mulai mengobrol ringan dan berusaha menunjukkan bahwa kejadian di airport tadi tidak masalah.

"Aku juga nggak ngerti, dia punya sisi lain yang beda dari yang lain," tutur Mei ringan.

"Kamu nggak takut pacaran sama laki-laki bule gitu?" cecar Juna.

Mei hanya tersenyum smirk. "Ngapain takut, dia baik, dia juga jagain aku. Toh, dia bukan bule tulen. Masih berdarah Indonesia, sama kayak kita. Yah, meski banyak orang yang bilang kita beda. Beda jarak, waktu, sama budaya. Dan budaya menjadi salah satu perbincangan sengit, udah biasa jadi makanan aku sehari-hari. Mulai dari menakut-nakuti Miko di sana pasti one night stand sama cewek lain sampe aku dituding udah nggak virgin lagi."

Juna tersenyum sembari memutar setir ke arah kanan. "Berat, ya, Mei punya pacar jauh. Beda budaya lagi. Tapi, bukan berarti kamu harus tidak percaya padanya. Tidak ada hubungan yang bisa bertahan tanpa adanya kepercayaan. So, percayalah!"

Mei tersenyum, menatap Juna sebentar dan berterima kasih. Baginya Juna cukup bisa diandalkan sebagai kenalan baik. Meski maaf selalu ia katakan dalam hati, karena tak mampu memberikan ruang hatinya pada Juna. Miko telah mengambil seluruh hatinya, meski laki-laki itu jauh dan berbeda. Miko benar-benar menawan hatinya hingga ia tak mampu memberikan cinta kepada laki-laki lain selain Miko. Yah, sekarang Mei kembali menghadapi hari tanpa Miko. Miko sudah pulang ke Amerika.

Cepatlah kembali, bila perlu bawa aku bersamamu. Aku takut terbiasa tanpamu, Juna bisa masuk ke hidupku terlalu jauh.

***

(08-08-2018)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top