The Difference

Jam beker Doraemon kesayangan Mei sudah meraung-raung sebanyak tiga kali pagi ini. Tapi, mata Mei masih enggan membuka kelopak. Mei ingat, ia ada janji dengan Miko pukul delapan pagi. Namun, ini masih pukul tujuh pagi, dan Mei selalu yakin bepergian bersama Miko tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk bersiap.

Tak ada dress cantik di atas lutut karena Miko akan mengajaknya hang out dengan motor sport-nya, menyusuri kota dan wisata kuliner. Atau pergi ke Puncak, duduk di atas motor ditemani camilan ringan dan beberapa kaleng softdrink. Jadi, Mei tak perlu susah payah berlama-lama memilih pakaian. Cukup kaus atau boxy sweater dipadu celana jeans. Make up pun tak perlu berlebihan, Miko suka Mei dengan wajah naturalnya. Bedak tipis, eyeliner, dan lipgloss itu saja cukup. Itulah Miko, ia santai dan Mei suka. Cukup setengah jam saja Mei bersiap bila akan berencana jalan-jalan dengan gamer kerennya itu.

Mei meregangkan tubuh, memeluk guling dan kembali bergumul dengan selimut. Semalam ia tidur terlalu larut. Tangannya terulur ke nakas saat terdengar notif pesan masuk. Mata yang semula menyipit—menolak sinar ponsel—terbelalak begitu membaca nama pengirim.

Miko: "Bangun, Mei! Kamu udah siap pergi kencan hari ini?"

Lengkungan senyum tergambar di wajah wanita dengan rambut berantakan itu. Ia turun mencari segelas air putih ke dapur. Sebuah decakan di lidah lolos begitu saja ketika menemukan ruang tengang berantakan. Sepertinya Aldi baru main PS dan tak bertanggung jawab membereskan sisa kekacauan. Mei berkacak pinggang. Seingatnya, Miko selalu rapi. Miko tak pernah membiarkan peralatan gaming tercecer asal begini. Kenapa Aldi nggak bisa menirunya, sih? keluh Mei.

Mei mengabaikannya dan melanjutkan misi menghilang-kan kehausan ke dapur. Segelas air putih menjadi pilihan yang baik untuk kerongkongan yang kering. Kedua pipi Mei menggembung, perlahan mengempis ketika minumannya tertelan perlahan. Dentingan kaca berbentur dengan gerabah lain terdengar, begitu Mei meletakkan gelas ke dalam cucian piring. Ia harus segera membereskan perkakas game Aldi sebelum Rin bersunggut-sungut.

Mei tertegun mendapati Miko yang sedang asyik mengutak-atik PC game milik Aldi dan merapikan semua alat pendukungnya. Mei menghampiri, duduk di karpet menyangga kepala dengan sebelah tangan di meja. Mengulum senyum dan merasakan rona wajahnya yang kian membuat dirinya memanas saja.

"Oh, Tuhan! Sepertinya aku sudah gila karenanya," gumam Mei. "Pasti aku terlalu memikirkannya sampai-sampai bermimpi ketemu dia terus."

Miko tampak begitu menawan sekarang. Mei hampir-hampir tak berkedip sedikit pun saat ini. Kemeja lengan panjang berbahan denim yang ia gulung hingga siku membuat tampilan Miko tampak santai. Tangannya sibuk memegang obeng untuk memasang kembali PC yang baru selesai ia bongkar. Mei kembali meneguk air putih di gelas yang ia pegang. Kemudian ia kembali menatap Miko yang masih saja asyik dengan kegiatannya, tapi mulai tersenyum saat beberapa kali ujung matanya melirik Mei. Ah, lagi-lagi Mei terpesona dengan senyum dari bibir tipisnya.

Miko meletakkan obeng ke karpet, kemudian duduk bersila menghadap ke arah Mei dan serta merta mencubit pipinya disusul tawa kecil. "Wake up, Mei! Apa kamu masih belum bisa membedakan kenyataan dan bermimpi, hmm?" ucap Miko.

Mei terkesiap. "Jadi, ini bukan mimpi?" Mei mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha melihat ke sekeliling kemudian mencubit pipinya sendiri. "Kok, udah di sini? Sejak kapan?"

"Mas Rasya tadi telepon, minta betulin PC Aldi katanya ada yang rusak," jawab Miko, matanya masih menatap lekat pada Mei yang masih saja kebingungan antara alam nyata dan mimpi. "Ih, apaan, sih, Mei! Ini di rumah kamu, lho. Jangan mengharapkan hal yang enggak-enggak dariku untuk menya-darkanmu dari alam bawah sadar !" Miko menjitak pelan kepala Mei.

Rona wajah di pipi Mei semakin kentara. Ia berlari ke kamar untuk bersiap mandi dan berganti pakaian yang pantas. Bagaimana mungkin ia punya keberanian membiarkan Miko melihatnya seberantakan ini. Ah, ini kedua kalinya Miko me-mergokiku tampil jelek begini! Uh, sebal! rutuk Mei.

Miko memandangi punggung Mei sembari menahan tawa karena tingkah Mei yang lucu. Aldi yang baru saja keluar kamar membawa headset terheran melihat tantenya yang lari terbirit ke lantai atas.

"Makanya, Tante Mei kalau tidur jangan ngebo!" teriak Aldi dengan tawa renyah. Miko semakin terkikik mendengar candaan Aldi.

**

Mei menuruni anak tangga kembali menuju lantai bawah menemui Miko. Kemejanya berkelebat seirama dengan langkah kaki yang tergesa menuruni anak tangga. Ia sempat menuju dapur menyambar sekotak susu UHT rendah lemak dari kulkas. Tangannya cekatan meraih roti gandum, mengolesnya dengan seulas selai cokelat.

"Aldi ke mana?" tanya Mei saat duduk sembari menyelipkan sedotan ke bibir.

"Lagi ke minimarket sebentar katanya, sama Mas Rasya," sahut Miko.

Mei mendengus kesal melihat Miko masih saja sibuk dengan PC Aldi yang rusak. Ia merasa dinomorduakan. Mei menyodorkan roti ke mulut Miko, berusaha mengalihkan perhatian Miko dengan menyuapinya.

Miko menghentikan aktivitas dan menatap Mei sebentar.

"Belum sarapan, 'kan?" tanya Mei diiringi senyum. Ia celingukan ke segala arah, berusaha mengawasi setiap sudut ruangan dan memastikan tak ada orang yang melihat kelakuan sok romantis berpacaran dengan gamer kebanggaan keponakan-nya.

Miko tersenyum mendapati kelakuan aneh Mei, namun ia tak menolak suapan roti itu dan kembali beraktivitas membetulkan PC sembari menghabiskan roti dari tangan Mei.

"Kamu ternyata bisa juga ya, betulin PC rusak," ucap Mei dengan mulut penuh mengunyah roti yang ia bagi bersama Miko.

"Dikit-dikit bisa, kok," sahut Miko.

"Kamu apa aja bisa kayaknya," puji Mei lagi.

"Ada hal yang aku nggak bisa, mau tahu?" Miko meletakkan kembali obeng dan menatap manik mata Mei.

"Apaan yang nggak bisa?" Mei menghentikan kunyahan roti di dalam mulut.

"Romantis," jawab Miko sembari menahan kekehan. Mei tertawa kecil mendengar jawaban Miko.

Benar sekali jawaban Miko. Ia memang bukan tipe cowok romantis yang suka mengajak wanitanya dinner sembari mendengarkan alunan musik jazz di rumah makan mewah. Yang Mei tahu Miko akan lebih suka mengajaknya ke tempat asyik sembari menikmati camilan dan segelas milkshake. Jangan pernah berharap duduk di pantai bersama Miko dengan balutan gaun pantai yang cantik sembari menikmati kelapa muda atau makanan mewah lain di resto tepi pantai. Yang ada, bersama Miko pulang dari pantai Mei akan basah kuyup dengan bibir membiru karena kelakuan iseng menenggelamkan Mei ke tepi pantai.

"Ayo, jalan-jalan!" ajak Miko.

Mei mengangguk cepat. Ia segera menggendong tas mungil ke punggung. Mama dan Rin biasanya sedang pergi ke pasar, dan Papa pasti sedang pergi jogging dengan teman-temannya keliling kompleks atau di taman kompleks. Pas sekali mereka mau pergi jalan, Rasya dan Aldi kembali dari minimarket.

"Entar pamitin ke Mama, ya?" mohon Mei pada kakak iparnya.

Terang saja Rasya menjawab dengan anggukan mantap. Ia tak pernah menekan Mei seperti yang lain, meski terkadang istrinya sering kesal bila Rasya begitu mendukung Mei.

"Pinjem Tante Mei sehari ini aja, ya, Al?" ucap Miko pada Aldi.

Aldi hanya mengacungkan jempol. "Martabak red velvet jangan lupa ya, Om?" Aldi terkekeh kemudian.

"Pa, kenapa sih, Nenek nggak mau Tante Mei sama Om Miko aja?" Aldi mulai bertanya saat Mei dan Miko keluar dengan motor. Mata Aldi masih memandangi punggung tante-nya yang baru saja keluar dari pagar.

"Kadang perbedaan itu menjadi halangan dalam memper-satukan dua orang yang saling mencintai, Al," sahut Rasya sembari duduk di teras meraih koran di meja dan mulai mem-baca.

"Semua orang itu kan beda. Nggak ada yang sama." Aldi bersikeras.

Rasya meletakkan koran di pangkuan dan menatap Aldi sejenak. "Iya, memang beda. Papa sama Mama juga beda, tapi perbedaan antara Om Miko dan Tante Mei bukan perbedaan yang biasa kita temui Al, lebih kompleks dari perbedaan orang-orang," terang Rasya.

"Ah, nggak ngerti!" sahut Aldi yang merasa pusing dengan penjelasan yang papanya lontarkan. Aldi baru saja menginjak remaja sehingga ia cenderung mengedepankan emosi saat tahu Nenek dan mamanya menentang hubungan Tante Mei dengan Om Miko. Bagi remaja yang baru mengenal roman picisan, terang saja akan mengatakan sama-sama cinta untuk apa diperdebatkan.

Rasya hanya mengedikkan bahu dan mengacak rambut Aldi sembari tersenyum. Rasya bisa mengerti bila Aldi berpikir demikian. Aldi belum paham perbedaan yang begitu kompleks yang akan banyak berdampak pada hubungan setiap manusia meski dengan adanya penengah saling menghargai sekalipun. Tapi, ia selalu yakin Mei dan Miko bisa melaluinya, meski perbedaan budaya tempat tinggal mereka akan menjadi batu sandungan mereka kelak.

**

Kota Tua Jakarta, pagi ini ramai karena weekend menjadi hari yang pas untuk menikmati pagi di sini. Berderet-deret sepeda berjajar rapi untuk disewakan. Dan Miko memilih bersepeda mengitari Kota Tua berboncengan dengan Mei.

"Lebih cepet ngayuhnya!" pinta Mei yang mulai merasa Miko memperlambat kayuhan sepeda.

Miko menghentikan kayuhan, menoleh ke belakang dan menatap Mei sebentar sebelum akhirnya ia melempar pandangan ke lain arah.

"Kamu berat juga, ya, Mei!" candanya.

Mei sontak mendelik dan mencubit perut Miko. Miko hanya mengaduh dan meringis kesakitan. Mana ada wanita yang mau dibilang berat apalagi oleh pacarnya sendiri. Itu sama saja mengatakan, kamu gendut!

Miko mengerem sepeda mendadak dan mau tidak mau membuat kening Mei menubruk punggung Miko. Mei mengikuti arah pandang Miko. Ia sedang mengamati anak kecil yang sedang tantrum sembari melempar gadget semaunya sendiri. Ia menangis sejadinya sedangkan sang ibu hanya kesal dengan tingkah anaknya.

"Pegang sebentar, Mei!" Miko menyerahkan sepeda ke Mei dan menghampiri anak kecil yang masih saja tantrum meski ibunya berusaha menenangkan. Mei mengikuti Miko, menuntun sepeda dan menaruhnya di tepi jalan.

Sebuah hal yang mungkin tak akan mungkin dilakukan seorang laki-laki. Miko meraih gadget yang terlempar ke paving dan mengamati layar gadget. Seulas senyum tampak dari bibir tipis Miko. Ia mendekat dan berusaha duduk bersila di belakang anak yang sedang menangis tak karuan. Anak itu langsung diam yang semula takut dengan Miko.

"Begini caranya, kamu, kan, masih anak-anak, jangan langsung memilih Hard Mode. Untuk latihan cobalah yang Kids Mode, kalau udah sering latihan ini dan menang coba ke Normal Mode. Mengerti?" Miko menatap lembut ke arah anak kecil yang mulai menghapus jejak air mata. Ia berusaha membimbing sang anak bermain game Bima X di gadget yang semula terlempar.

Mei tersenyum melihatnya. Ini yang pada awalnya membuat ia tertarik dengan Miko. Keakrabannya dengan Aldi yang masih SD dulu menjadi daya tarik untuk Mei. Miko tipikal laki-laki lembut dan mudah merangkul siapa saja meski itu anak kecil sekalipun. Matanya selalu menunjukkan sisi lembut diiringi senyum ramah yang membuat orang lain selalu tak mampu menolak membalas senyum untuknya.

Ibu dari sang anak berulang kali mengucapkan terima kasih pada Miko. Miko hanya tersenyum dan mengangguk ramah. Keasyikan Mei buyar saat seseorang menepuk bahu Mei. Mei berjingkat terkejut.

"Hai, Mei! Lagi ngapain di sini?" tanyanya.

Mei mengerjapkan mata, mengamati sosok laki-laki dengan kaus pas badan berwarna abu-abu. "Juna?"

Arjuna tersenyum kemudian melempar pandangan ke arah Miko yang menghampiri Mei. Seribu kali lebih mampus dari biasanya! pekik Mei dalam hati.

"Ada apa, Mei?" tanya Miko.

Mei berusaha memasang muka sedatar mungkin. "Ah, enggak, ini Arjuna anak temen Mama di Jogja," ucap Mei berusaha mengenalkan Arjuna pada Miko.

"Miko," ucap Miko sembari mengulurkan tangan pada Arjuna.

"Juna," balas Arjuna dengan menjabat uluran tangan Miko. "Jadi, Miko beneran ada?" Arjuna mulai mencecar pertanyaan semalam yang belum sempat Mei jawab.

Mei hanya tersenyum kecut sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Iya," jawab Mei disertai anggukan kepala. "Kamu lagi ngapain di sini?"

"Jalan-jalan aja," sahutnya. Arjuna dan Miko saling bertatapan dan kali ini tatapan mereka berdua membuat Mei kebingungan. Mau tidak mau Mei harus menjelaskan masalah Arjuna hari ini juga pada Miko sebelum akhirnya Miko mendengar dari mulut Mama atau Rin.

"Kita duluan, ya, kita masih mau jalan lagi. Miko entar malem udah mau balik Amerika soalnya." Mei memotong adegan saling tatap mereka berdua. Sesegera mungkin menarik lengan Miko membawanya menjauh dari Arjuna.

Arjuna hanya menganggukkan kepala. Desisan yang tak kentara ia suarakan dengan lirih. Ia heran kenapa malah Mei menghindarinya. Bukankah Mei yang berutang penjelasan padanya? Terang saja berutang penjelasan karena berdasarkan informasi dari mamanya dan mama Mei, wanita itu belum memiliki kekasih. Dan hari ini juga kenyataan benar-benar menamparnya tanpa ada jeda waktu setelah pertemuan semalam. Dirinya sempat terpesona dengan Mei saat mamanya memperlihatkan wajah ayu Mei melalui foto dari mama Mei. Apalagi mendengar Mei belum memiliki kekasih.

Arjuna menghela napas panjang saat melihat punggung Mei dalam boncengan sepeda bersama Miko. Laki-laki itu tampak begitu lembut menatap Mei tadi. Arjuna bukan tipe laki-laki yang cuek dan kurang peka terhadap situasi. Ia bisa memahami tatapan Miko pada Mei. Tatapan itu bukanlah tatapan biasa, tatapannya seolah memberitahukan bahwa wanita di hadapannya adalah miliknya.

**

Mei menyeruput milkshake dari gelas plastik yang ada di tangan Miko. Perbedaan rasa milkshake yang mereka pilih membuat Mei tergiur untuk mencicipi milkshake pilihan Miko. Mei lebih suka rasa cokelat, sementara Miko, vanila selalu menjadi favoritnya.

"Mei," panggil Miko membuyarkan keasyikannya menik-mati dingin milkshake.

"Hmm?" Mei hanya mengangkat kedua alisnya sambil meletakkan gelas milkshake ke kursi. Ia mulai bersiap mende-ngar sejuta tanya dari Miko tentang Arjuna.

"Arjuna itu laki-laki yang akan dijodohkan denganmu?"

Mei terdiam sejenak, pikirannya langsung kacau Miko bertanya demikian meski mulanya ia telah siap. Namun, ia lebih memilih mengangguk pelan kemudian melempar pandangannya ke deretan sepeda yang ada di Kota Tua Jakarta. Ditatapnya Miko dengan perasaan nelangsa dan bingung.

Miko menghela napas berusaha menahan gejolak hatinya. Mama Mei ternyata benar-benar tak menginginkan hubungan dirinya dengan Mei berlanjut. Meski dirinya telah membuktikan bahwa ia mampu menghidupi Mei kelak dengan bekerja di developer game.

"Aku paham Mei, banyak sekali perbedaan di antara kita. Jarak sudah pasti akan membuat mamamu khawatir saat kamu jauh darinya dan berusaha mengikutiku. Waktu juga sudah pasti membuat mamamu tergesa ingin menemukan laki-laki yang tepat untukmu. Dan budaya, itu hal yang paling penting. Mamamu pasti khawatir kamu terpengaruh budaya yang ada di sekelilingku saat di Amerika. Kita memang beda, tapi—"

"Don't leave me alone, please!" Mei memotong perkataan Miko. Matanya mulai berkaca-kaca menahan ketakutan pada Miko yang akan meninggalkannya lagi. "Aku nggak mau pisah dari kamu! Aku nggak peduli seberapa bedanya kita! Kita cuma butuh usaha supaya mereka percaya kalau kita saling mencintai! Yang aku tahu, cinta tidak mengenal apa itu perbedaan, Miko! Please, jangan lepas aku untuk laki-laki pilihan Mama lagi!"

Mei menundukkan kepala, menahan desakan bulir bening di pelupuk mata. Tangannya sudah mencengkeram kuat kemeja Miko sebagai upaya meyakinkan kekasihnya bahwa ia tidak menginginkan berpisah.

Miko tersenyum melihat reaksi ketakutan Mei yang berlebihan sebelum ia mendengar lanjutan perkataannya. "Kita memang berbeda, tapi..." Miko mengangkat dagu Mei, menatap ke dalam manik matanya sebelum akhirnya ia melanjutkan perkataan yang sempat terputus tadi. "Aku tidak akan pernah melepasmu lagi hanya karena perbedaan itu."

Seulas senyum dari bibir tipis Mei terkembang. Bila saja ini bukan di negaranya, mungkin ia sudah menghambur ke dalam pelukan Miko.

Miko mengacak rambut Mei gemas. Tak menyangka ia berpikiran sejauh itu. Padahal, mulanya Miko hanya ingin menguatkan Mei untuk tetap bertahan. Tapi, reaksi Mei malah jadi begini.

Bagaimanapun mereka berdua sudah dewasa, tak ingin membuang waktu dengan saling melepaskan kemudian pada akhirnya mereka lebih memilih cinta dan kembali lagi. Miko akan berusaha tetap menggenggam tangan Mei sampai kapan pun juga. Meski ia harus memohon pada orang tua Mei dan berusaha meyakinkan mereka bahwa ia sanggup menjaga putrinya.

***

(08-08-2018)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top