People Say
ei menyandarkan punggung di sandaran kursi. Ia mencubit kedua pipi dan memijatnya dengan gerakan memutar. Bibir dan pipinya hampir saja mati rasa dan kaku karena tersenyum beberapa jam tanpa henti. Belum lagi tangan kanan yang mulai kebas karena acara book signing yang baru saja ia geluti.
"Minum dulu, Mei." Ratna menyodorkan sebotol air mineral pada Mei saat acara telah usai.
Mei tersenyum dan segera membasahi kerongkongannya yang telah kering. Ia membasahi bibir sejenak dengan ujung lidah, kemudian tersenyum pada Ratna—editornya. "Makasih," ucap Mei sembari mencubit pipi Ratna. Umur Ratna memang lebih muda dari Mei, jadi Mei sudah memperlakukannya seperti adik sendiri.
"Entar malem masih ada tugas lho, Mei. Tuh, yang PO novel baru kamu pada nungguin! Bentar-bentar pada nanya kapan novel bertanda tangan yang mereka pesan nyampe. Line aku dah macam alarm rusak aja, bentar-bentar bunyi!" Ratna mengerucutkan bibir. Mei tersenyum melihat reaksi bibir Ratna yang berlebihan.
"Aku paham, Nona, tapi kamu juga harus paham, nih, tangan udah berasa mau patah lembur tanda tangan buat penggemar. Tapi, itulah nikmatnya. Buku aku laku dan royalti mengalir." Mei tertawa kecil mengatakannya.
Ya, novel baru karya Mei memang terinspirasi dari kisah cintanya sendiri. Sebagai tuntutan rindunya pada Miko, otak dan jari Mei seolah terinsiprasi ingin berbagi kisah bersama Miko dengan orang banyak.
"Pacar kamu apa kabar, Mei?" Ratna menarik kursi dan duduk di hadapan Mei.
"Mmm, baik. Lagi sibuk launching game baru dari perusahaan tempat dia kerja katanya. Kenapa? Kamu baper, abis baca novel aku?" Mei terkikik melihat ekspresi Ratna yang mengangkat sebelah alis.
"Siapa yang nggak baper, Mei, kamu ceritanya yang so sweet so sweet doang! Padahal el-de-er nggak segampang itu, 'kan?" Ratna mencebikkan bibir sembari memainkan bolpoint di tangan.
Mei terdiam sejenak, tak bisa ia tampik memang. LDR yang ia jalani bersama Miko acap kali menyiksa dirinya saat perasaan rindu terlalu berkecamuk di dalam dada. Mei menghela napas panjang.
"Eh, boleh dong, aku dikenalin sama pacar kamu. Siapa tahu dia punya temen bule yang cakep. Mau deh, punya pacar bule kayak kamu!" Ratna bertepuk pelan mengatakannya. Wajahnya tampak berharap dan begitu semringah.
Mei menahan tawa kecil. Ekspresi Ratna memang kerap kali membuatnya merasa lucu.
"Hei, kamu pikir punya pacar bule itu gampang?" Mili yang baru saja datang dengan membawa setumpuk map ikutan nimbrung obrolan mereka berdua.
Mei berdecak kesal, entah kenapa Mei dari dulu tak menyukai Mili. Mili adalah proofreader dari perusahaan penerbit yang berulang kali menerbitkan buku Mei. Ia sebal dengan sikapnya yang acap kali suka menohok orang lain dengan kata-kata pedasnya.
"Apa kamu percaya kalau pacar kamu bakalan setia? Kamu nggak lihat cewek bule di sana, tuh, kayak apa? Be-ha aja nggak pernah pake!" Lagi-lagi kata-kata dari mulut Mili sungguh bagaikan sambal ekstra pedas yang Mei suka beli di minimarket dekat rumah. Meskipun saat itu Mili mengatakan hal demikian ditujukan untuk Ratna. Tapi, tetap saja Mei yang merasa pacarnya nun jauh di San Francisco sana merasa tersinggung.
Perkataan Mili sungguh menggoyahkan kepercayaannya terhadap kesetiaan Miko. Tidak, Mei! Kamu harus percaya Miko nggak mungkin ngelakuin hal yang enggak-enggak sama cewek bule di sana. Mei menggigit bibir menahan gelisah yang menyeruak di dada dan otaknya.
"Ih, apaan sih, Mil!" Ratna mencubit lengan Mili. Ia merasa tidak enak dengan Mei yang raut mukanya berubah drastis.
"Ups, sorry! Kelupaan kalau pacar kamu bule ya, Mei?" Mili nyengir tanpa dosa. Mei hanya menanggapi dengan senyum getir.
"By the way, gimana Mei rasanya punya pacar yang berbeda budaya?" Pertanyaan Mili hampir merobohkan dinding kepercayaan Mei lagi.
"Biasa aja." Mei menjawab seperlunya. Ingin sekali ia bergegas pulang demi menghindari perkataan Mili yang mungkin nantinya akan menjadi ganjalan dalam pikiran.
"Perbedaan budaya itu sulit dilebur, Mei. Aku paham itu." Mili semakin membuat Mei tak tenang. Mili mungkin memang sedang memberi nasihat, tapi bagi Mei itu malah layaknya sindiran.
Bagaimana mau tenang, Mei bahkan sudah cukup dewasa untuk bisa mengerti akan perbedaan budaya yang sedang dihadapi Miko dan dirinya sekarang. Amerika. Negeri Paman Sam yang kental dengan budaya barat dengan tingkat liberalisme yang tinggi. Semua serba bebas. Bahkan setelah anak berusia remaja, mereka bebas menentukan pergaulan mereka. Mereka cukup mampu hidup terpisah dari orang tuanya setelah bekerja. Dan hubungan laki-laki dan wanita jangan ditanya lagi. Bila di Indonesia, ada laki-laki dan perempuan saling menginap tanpa status yang tak jelas, maka tak usah diragukan. Esok pagi pasti gosip murahan berdesus membahana ke mana-mana. Berbeda dengan negara di mana Miko tinggal. Semua bebas, tinggal satu atap dengan pasangan kekasih tanpa adanya ikatan sah pernikahan itu hal yang lumrah.
Dan lagi, di sana hubungan biologis bukanlah suatu prioritas dalam hal cinta. Hal itu dianggap sebagai kebutuhan manusiawi. One night stand bersama orang yang tidak kenal pun dianggap lumrah.
Mei bergelut dengan rasa khawatirnya. Mili memang benar, perbedaan budaya bukanlah suatu hal yang mudah. Dihelanya napas panjang dengan kasar. Ia memutuskan untuk segera undur diri dengan dalih terlalu lelah. Ratna dan Mili mengangguk mantap mengizinkan Mei untuk pulang terlebih dahulu. Meski demikian, tatapan Mili masih seolah berusaha berkata, "Lain kali, aku akan menggali lebih dalam lagi, Mei!"
**
Mei melempar handbag ke meja kerjanya asal-asalan di kamar. Ia merebahkan tubuh, berusaha menghilangkan penat dalam empuknya sentuhan kasur yang semenjak pagi buta tadi ditinggalkan. Ia memijit keningnya pelan, pusing. Perkataan Mili sungguh seolah-olah berteriak terus-menerus di telinganya.
Mei bangkit, ia bergegas meraih laptop di lemari. Ia butuh penguatan sekarang. Orang-orang boleh menjejalinya dengan hasutan-hasutan perkataan yang memojokkan hubungannya bersama Miko. Tapi, Mei yakin menemui kekasihnya lewat Skype akan menghilangkan kepeningan kepala dari hasutan-hasutan itu. Mei tak sabar menunggu Miko menerima panggilan video call-nya. Tiba-tiba rindu datang bertubi-tubi seiring dengan ketidaksabarannya menunggu reaksi dari panggilan video call Miko.
Mei tersenyum saat Miko tampak sedang bergelung dengan selimut tebal dengan mata yang masih mengantuk. Rambutnya khas orang bangun tidur, membuat Mei gemas ingin mengacak rambut kecokelatan itu.
"Apa aku mengganggumu?" Mei mengerutkan dahi, khawatir ia tak tepat waktu menghubungi Miko. "Aku merindukanmu," kata itu meluncur begitu saja dari bibir Mei, membuat sang penerima panggilan video call itu membuka matanya lebih lebar. Mengerjap sebentar kemudian ia bangkit dari tidur. Ia membenarkan posisi laptopnya sebentar agar Mei bisa melihat dirinya lebih jelas.
"Tunggu sebentar." Miko meraih botol air mineral di nakas sebelum ia meminum seteguk untuk membasahi kerongkongan-nya. Kemudian ia berdeham dan kembali menatap Mei di layar laptop. "Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Mei menggelengkan kepala pelan, sehingga menampakkan keraguan akan gelengan kepalanya.
"Oh, ya?" Miko menyadari keraguan Mei. Ia mengerutkan kening dan mengangkat kedua alisnya.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
"Apa aku pernah melarangmu bertanya padaku?" Miko menyunggingkan senyum.
Mei hampir saja melompat kegirangan mendapatkan senyuman itu. Dari awal perkenalan hingga sekarang, senyuman itu selalu mampu menghipnotis dirinya dan membuat lonjakan kegirangan di hati. Mei berdeham menghilangkan keterpesona-annya terhadap Miko sejenak.
"Apa kamu memiliki teman wanita?" tanya Mei kemudian.
Miko tersenyum dan menahan tawa. "Apa bisa kubilang kalau kamu lagi cemburu dan cemas?" tebak Miko.
Mei menggembungkan pipi. " Iya. Lebih tepatnya lagi, aku takut," ungkap Mei.
Miko mengangkat sebelah alis dan berusaha memahami ketakutan akan munculnya ketidaksetiaan dalam hubungan mereka. "Takut kenapa?" Miko berusaha mencecar lebih dalam meski ia tahu arah pembicaraan Mei sebenarnya.
"Kamu meski tinggal di Amerika bukan berarti lupa dengan budaya Papa kamu, 'kan?" Mei menopang kepala dengan tangan kanan.
"Maksud kamu aku nggak terjerumus pergaulan bebas?" Miko memperjelas maksud Mei.
Mei mengangguk perlahan, ia takut Miko tersinggung.
"Mei, kita sudah pernah membahasnya sejak awal, bukan?" Miko mengikuti Mei menopang kepala dengan sebelah tangan.
Mei kembali mengangguk perlahan sembari mengingat apa yang mereka bicarakan saat itu. Dan secara tiba-tiba rona wajahnya berubah, Mei bisa merasakan panas yang menjalar hingga ke pipi yang mulai memerah itu. Obrolan keingintahuan Mei akan gaya hidup di negeri Paman Sam dengan Miko justru menjebak dirinya dalam kecupan lembut Miko di bibirnya waktu itu. Saat hujan deras mengguyur jalanan dan mereka berdua yang tengah asyik menikmati romantisme perjalanan di atas motor. Di sudut jalanan yang sepi dan niat berteduh mulanya. Namun, bibir Mei yang membiru karena kedinginan tak bisa menahan diri untuk bertanya hal yang justru malah memancing hasrat mereka.
Mei jadi canggung teringat ciuman pertamanya dengan Miko. Ia melempar pandangannya ke lain arah sembari menggigit bibir. Harapannya Miko tak bisa membaca kecanggungan dan senyum malunya itu.
"Kenapa dengan dirimu? Hei, jangan menggodaku di tengah malam begini." Miko tersenyum melihat gelagat jengah wanitanya. Bagi Miko, wanitanya itu sungguh tampak menggemaskan dengan rona di pipi.
"Ah, jangan berkata begitu. Aku jadi ...." Mei menutup wajahnya dengan jaket yang ia raih dari sisi tempat tidur.
"Apa? Kenapa aku jadi malah menangkap kamu mau bilang 'aku jadi semakin menginginkannya', benar begitu?" Miko semakin gencar melontarkan ledekan pada kekasihnya.
"Ih, kamu apa-apaan, sih!" Mei menahan tawa kecil.
Miko terkekeh sebentar, ia mengacak rambutnya yang berantakan. Sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama dengan Mei. Merasa canggung dan salah tingkah. Meski tak bisa dimungkiri bahwa saat mengingat kejadian itu membuat desakan di dada untuk meraih Mei ke dalam dekapan. Dan bila sudah begini, ia tak mungkin bisa tidur nyenyak karena semua tentang Mei akan terus membayang dalam otaknya.
"Kamu masih ingat tiga hal yang perlu kita jaga, bukan?" Miko memecah keheningan setelah beberapa saat saling terdiam dan hanya saling memandang dalam kontak video call.
"Masih," jawab Mei dengan anggukan tegas. "Tapi, mendengar orang-orang berbicara yang tidak-tidak membuatku takut dan hampir-hampir menggoyahkan tiga hal penting itu."
"Mei, don't listen to what the people say about us! Kita lebih tahu bagaimana kita sekarang." Perkataan Miko ini seolah-olah menghalau setiap perkataan Mili yang tadi sempat menjejali otak Mei. Mendengarnya, seulas senyum tersungging di bibir tipis Mei.
"Tante Mei! Aku pinjem motornya bentar, ya?" Aldi berteriak di depan pintu kamar Mei.
Mei mendesis kesal. Keponakan satu-satunya memenggal kesenangan temu kangennya. "Iya! Kuncinya ada di atas kulkas!" sahut Mei dengan teriakan pula.
"Al mau ke mana, tuh?" tanya Miko.
"Tahu, paling ke game center. Besok kan Minggu, jadi libur sekolah. Obsesinya buat ngikutin kamu jadi gamer profesional makin menjadi!" sahut Mei.
Miko hanya tersenyum mendengarnya. Keponakan Mei memang dekat dengan Miko sejak kelas lima SD. Dulu sewaktu Miko belum kembali ke Amerika, Aldi hampir setiap hari main ke game center milik Miko. Berkat keponakannya, Mei bisa mengenal Miko yang sanggup membawanya move on dari mantan yang berkhianat dengan sahabat kentalnya.
Teriakan Aldi dari lantai bawah kembali terdengar memekakkan telinga. "Tante, kuncinya nggak ada!"
Mei mengembuskan napas perlahan dengan pipinya yang menggembung. Membuat juntaian anak rambut yang berantakan di kening bergerak seirama embusan napas. "Bentar!" teriak Mei.
Mei memasang muka tak rela mengakhiri panggilan video call-nya.
"Udahan?" Miko berusaha mengerti meski sebenarnya ia juga belum puas mengobrol dengan Mei.
Mei mengangguk perlahan. "Aku—" Perkataan Mei terhenti bersamaan dengan ketukan pintu Aldi yang bertubi-tubi.
"Tante! Cepetan! Keburu sore, aku udah kebelet main DOTA, nih!" teriaknya.
"Miss you. Salam buat Aldi, ya?" Miko mengakhiri panggilan video call-nya.
"Miss you too," balas Mei.
Mei bergegas membukakan pintu. Tangannya benar-benar gatal ingin mencubit Aldi. "Dapet salam dari Om Miko," ucap Mei sembari mencubit pipi Aldi gemas.
"Auuw, auuw ...! Sakit, Tante!" protes Aldi, tangannya mengelus bekas cubitan Mei di pipinya. Namun, mata Aldi berbinar dan membola sempurna saat teringat Miko. "Serius? Om Miko titip salam?"
Mei mengangguk sembari berlalu ke lantai bawah mengambil kunci motornya yang terselip di saku cover kulkas.
"Om Miko kapan ke Indonesia? Aku mau nantangin dia duel game DOTA 2!" Aldi bersemangat membicarakan gamer idolanya.
Mei hanya memutar bola mata dan berlalu mengambil garpu untuk menusuk irisan melon dari dalam kulkas. Dulu hanya Aldi yang begitu antusias Mei dekat dengan Miko. Mama dan Rin justru menentang mentah-mentah. Saat itu, memang Brian mantan kekasihnya kembali hadir dan berniat memperbaiki kisah cinta mereka yang telah hancur dengan melamar Mei. Mama dan Rin terang saja memilih Brian karena dilihat dari segi kemapanan Brian yang statusnya sebagai manager suatu perusahaan menjadikan posisinya lebih tinggi dibanding Miko. Yah, Miko waktu itu hanya seorang pemilik game center atas naungan Mamanya dari Amerika. Hidupnya begitu santai dan hari-harinya hampir tak lepas dari video game.
Dan Aldi keponakan Mei-lah satu-satunya yang percaya Miko adalah orang hebat yang mampu mengandalkan hobi game-nya menjadi ladang uang. Ah, mengingat kejadian yang telah berlalu sungguh menyakitkan. Dan sekarang, saat Miko telah kembali ke negaranya demi meraih cita-citanya bekerja di developer game kota Redwood City, Mei memilih untuk menjalin hubungan ini. Hubungan yang menciptakan rindu begitu menggila. LDR, hubungan jarak jauh yang penuh risiko sehingga Mei semakin mendapat kecaman orang-orang sekitar. Apalagi Miko bukanlah orang pribumi asli, melainkan laki-laki blasteran Indonesia-Amerika yang sekarang memilih tinggal di San Francisco.
Perbedaan budaya menjadikan hubungan mereka sungguh rumit. Perkataan pedas acap kali muncul, seperti halnya Mili tadi siang yang dengan seenaknya menohok dirinya di depan Ratna.
Mei mengunyah pelan buah melon dalam mulut, membuang jauh-jauh lamunannya dan memilih memperhatikan celoteh kerinduan Aldi terhadap gamer profesional kebanggaan-nya—kekasih Mei sekarang.
(06-17-2018)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top