Mama Ask
Weekend kali ini Rin sedang sedikit flu. Ia memilih istirahat di rumah dan Mei sedikit terkena imbasnya. Setiap minggu pagi, Rin selalu membantu Mama pergi belanja ke supermarket untuk mengisi kulkas. Untuk minggu ini, Mei yang menggantikan meski ia masih sedikit mengantuk karena semalam ia lembur. Mei mengulum senyum sembari menumpu kedua siku di troli yang ia dorong. Semalam ia kerja lembur video call melalui Skype dengan gamer kesayangannya. Mei semakin melebarkan senyum di bibir dengan pikiran menerawang.
Sebuah tepukan di bahu Mei membuyarkan lamunan. Mei tergagap mendapati tatapan heran Mama.
"Ngapain kamu senyum-senyum sendiri?" usik Mama. Beberapa bahan makanan Mama ambil dan ia berikan ke Mei.
"Ah, enggak apa-apa, kok," sahut Mei. Kini ia sibuk menata bahan makanan ke troli.
"Gimana Juna? Dia masih suka deketin kamu nggak, Mei?" Mama bertanya sambil masih terus sibuk melihat-lihat display aneka kue.
Pertanyaan Mama lantas membuat Mei tanpa sadar menghela napas dengan jengah. Ia sungguh tak mengerti kenapa Mama masih saja menanyakan hal yang sama. Padahal sudah jelas-jelas Mei masih setia dengan Miko.
"Ya, nggak gimana-gimana. Orang Mei udah jujur sama Juna, kalau Mei udah punya pacar." Jawaban Mei ini membuat Mama menghentikan aktivitas melihat-lihat kue dan menatap Mei sebentar.
"Kenapa nggak sama Juna aja, sih, Mei? Dia baik, mapan, asli Indonesia. Kalau kamu nikah sama Miko entar Mama gimana? Kamu bakalan ninggalin Mama?" Protesan Mama membuat Mei menelan saliva dengan susah payah.
Sebelumnya Mei tak pernah terpikirkan hal itu. Menikah dengan Miko, itu berarti Mei harus siap mengikuti ke mana pun Miko pergi. Dan pada kenyataan yang selama ini ia jalani, Mama dan Papa menjadi pusat perhatian Mei. Mei tak pernah terpikir membeli apartemen sendiri dan hidup mandiri meski ia mampu membelinya sendiri. Hidup bersama keluarga adalah pilihan yang aman dan nyaman. Itu pemikiran yang selama ini ia pegang.
"Ih, apaan sih, Mama! Jangan terlalu jauh mikirnya, sih. Dijalanin aja dulu yang sekarang." Mei memilih mengabaikan pertanyaan Mama tadi dan kembali sibuk menata barang di troli.
Mama hanya menipiskan bibir berlipstik merahnya dan kembali menilik kue di rak display. Waktu Miko berkunjung pagi itu, beruntung Mei belum terbangun dari tidur dan masih asyik bergumul di kamar. Mama sempat berbicara sedikit dengan pacar putrinya itu. Dan jawaban Miko memang belum begitu meyakinkan Mama. Hingga sekarang segudang kekhawatiran akan Mei yang akan mengikuti Miko ke Amerika sedikit menghantui dan mengganggu pikiran. Membayangkan jauh dari Mei adalah hal yang mengerikan. Putri yang ia besarkan sejak dalam kandungan, hingga sekarang yang terkadang masih bersikap manja dan kekanak-kanakkan.
Bagaimana mungkin ia sanggup melepas jauh. Sebagai seorang ibu, mana ada yang menginginkan anaknya pergi jauh. Bila bisa, setelah menikah pun jangan terlalu jauh. Agar mereka masih saling bisa menyapa dan menjenguk satu sama lain. Bukan begitu? Mama yakin setiap ibu terkadang memiliki ketakutan anaknya direnggut terlalu jauh. Kalau ada yang bilang tidak, itu bohong. Meski pada akhirnya mereka memilih melepas sang anak demi kebahagiaan mereka. Tapi hampir bisa dikatakan 90% ibu di dunia pastilah berat saat akan melepas anak pergi jauh.
Sekarang giliran Mei yang menepuk bahu Mama karena tak kunjung selesai mengamati jajaran kue terlalu lama.
"Lama banget milih kuenya. Mama mikirin apa, sih?" gerutu Mei.
"Ah, itu ... enggak, kok ...." Mama tergagap. Ia mengambil kue asal saja untuk menutupi pikiran yang sedikit terguncang memikirkan Mei.
Keduanya berjalan bersisian menuju kasir dengan antrean yang lumayan panjang.
"Mei, kalau kamu jadi dilamar Miko dan menikah, sering-sering jenguk Mama, ya?" Mama mulai lagi menunjukkan kekhawatiran. "Kalau bisa sebenernya mending Miko yang ke Indonesia aja. Kerja di sini, Mei. Cari kerja di Jakarta kan banyak."
Mei menghela napas berat. Ternyata ini alasan Mama tidak mengizinkan Mei bersama Miko. Karena Mama tak ingin jauh dari anak-anaknya. Pantas saja Rin masih di rumah dan Rasya yang mengalah bolak-balik luar kota demi Rin dan Aldi. Untunglah Rasya orang yang sabar menghadapi Mama.
"Nanti Mei coba bicarain, deh, sama Miko. Mama nggak usah khawatir, meskipun nanti Mei di Amerika, pastilah Miko bakalan ngajakin Mei sering ke sini jengukin Mama." Mei merangkul lengan Mama dan menyandarkan kepala di bahunya. Mei bisa melihat ada titik bening di sudut mata Mama. Tapi, Mama menguatkan diri menahan air mata agar tidak tumpah dengan menarik napas panjang. Mama mengusap punggung Mei, kemudian mengajak Mei maju karena antrean mulai memendek. Permintaan Mama sungguh membuat Mei tak mampu menahan diri untuk tak berkeluh kesah pada Miko.
**
San Francisco.
Mei-Mei: "Apa hubungan kita ini memiliki komitmen menikah?"
Mei-Mei: "Jika kita menikah, kita akan tinggal di mana?"
Miko menatap layar ponsel sejak beberapa menit yang lalu. Ia belum membalas chat dari Mei. Bukan karena malas dan takut untuk berkomitmen menikah. Tapi, ini lebih menjurus pada masa depan mereka setelah menikah. Sewajarnya memang wanita yang mengikuti suami mereka ke mana pun sang suami pergi. Ini lain ceritanya. Ketika para lelaki dipertemukan dengan calon mertua yang menginginkan tak jauh dari istri mereka, lantas mau apa? Miko sudah kepalang cinta dengan Mei. Tak mungkin ia mundur dengan mudahnya hanya karena alasan klasik di mana mereka akan tinggal setelah menikah.
Sebagian pasangan yang belum menikah akan mengang-gap remeh hal ini. Namun, ketahuilah, bahwa banyak hubungan pernikahan hancur karena alasan perseteruan di mana mereka akan tinggal. Terkadang suami egois merasa istri harus mengikutinya ke mana pun ia pergi termasuk harus tinggal di rumah orang tua suami. Dan kadang pula istri yang terlalu egois karena tak nyaman tinggal di rumah mertua, kemudian ia jadikan alasan untuk tetap tinggal bersama orang tua. Atau mungkin suami sudah memiliki rumah sendiri dan istri bersedia mengikuti tapi orang tua sang istri keberatan ditinggal putrinya.
Iya, yang terakhir itu yang menjadi kendala Miko sekarang. Ia sudah sanggup mandiri, pekerjaan tetap di developer game ternama di Redwood City. Gaji yang bisa dibilang lumayan karena buktinya ia bisa sering bolak-balik menggunakan pesawat demi Mei. Dan lagi Miko telah memiliki apartemen sendiri. Tapi, itu semua belum bisa menjamin mama Mei memercayakan Mei padanya.
Bila ia harus mengalah tinggal di Indonesia, lalu bagaimana dengan pekerjaan yang telah ia jalani dua tahun ini? Mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Miko merebahkan tubuh ke sofa, menatap langit-langit apartemen yang sudah dua tahun ia tinggali. Miko bukan tipe lelaki egois yang dengan mudah memaksa kekasihnya untuk patuh. Hati Miko juga terlalu melo saat melihat mama Mei berbicara pagi itu dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tante sudah tidak mungkin mencegah Mei. Tapi, Tante mohon jangan buat Mei jauh dari Tante."
Miko tak sanggup memberikan jawaban saat mendengar perkataan itu terlontar dari mama Mei. Apalagi saat sudut mata itu sedikit menunjukkan air mata yang tertahan. Sekeras apa pun seorang ibu, ia akan menunjukkan sisi rapuhnya saat putrinya hendak dipersunting laki-laki. Miko hanya mampu tersenyum. Mengangguk dengan keraguan di hati yang mungkin saat itu juga, mama Mei menyadari keraguan anggukan kepala Miko.
Helaan napas Miko embuskan perlahan. Menjalin LDR bersama Mei sudah cukup membuatnya sengsara. Memikirkan hal setelah menikah ternyata lebih berat lagi. Apa iya, setelah menikah mereka berdua juga harus menjalin LDR?
Aaarrgghh...! pekik Miko sembari mengacak rambut dengan kasar.
"Sudah menikah LDR, bagaimana mungkin bisa menjala-ninya? Pacaran LDR saja saat bertemu aku nggak sanggup nahan diri buat nggak nyentuh dia. Dengan hubungan yang sah, aku bisa gila menahan diri tak menyentuhnya hingga seminggu atau bahkan sebulan." Miko mulai berkeluh kesah sendirian. "Stupid!" rutuk Miko pada dirinya sendiri.
Miko kembali menatap layar ponsel dan segera membalas chat dari Mei yang sempat tertunda.
**
Jakarta.
Mei sibuk menghapus sisa eyeliner dan maskara tipis di mata dengan sedikit make up remover. Sesekali ia melirik ponsel di meja rias. Sebuah dengusan kesal karena tak kunjung mendapat balasan chat dari Miko meluncur begitu saja. Mei melonjak kegirangan saat ponsel kembali bergetar dengan beberapa notifikasi chat dari Miko. Ia mengernyitkan kening dan alisnya sedikit terangkat. Kemudian ia sedikit menjauhkan kepala dari layar ponsel. Lalu terkekeh sendiri menyadari kelakuan Miko yang sedikit-sedikit melantur ke dunia game.
My Gamer: "Mei, aku maunya nikah sama kamu."
My Gamer: "Aku rela jual semua set hero DOTA aku untuk lamar kamu."
My Gamer: "Tapi ...."
My Gamer: "Kalau udah nikah kita jauhan, aku bisa masuk rumah sakit jiwa."
Dan kejadian klasik bagi para pejuang LDR adalah asyik berbalas chat. Sesekali tersenyum dan tertawa kecil saat berbalas chat. Bukankah LDR begitu adanya? Mei tersenyum, meletakkan ponsel ke meja saat sesi chat selesai. Dan dalam chat itu sama sekali tak membahas di mana mereka akan tinggal setelah menikah nanti. Mei mengembuskan napas perlahan. Bagaimanapun, permintaan Mama untuk tak jauh darinya membuat Mei kepikiran. Dan ia juga memahami posisi sulit Miko. Ia hanya bisa menggigit bibir, merasa kebingungan dan merasa khawatir dengan permintaan Mama.
**
(07-10-2018)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top