Midsummer Night Dream
》· · ──────·本·──────· ·《
.
.
.
.
.
Dedicated to Na Jaemin, the boy who birth in summer, August 13th 2000
.
.
.
.
.
I want to be your love forever and ever
Without break or decay
When the hills are all flat
The rivers are all dry
When it thunders in winter
When it snows in summer
When the heaven and earth mingle
Not till then will I part from you
-Shang Ye
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
13 Agustus, malam musim panas.
Saat Na Jaemin membuka mata di balkon flatnya, langit sudah menggelap. Bukan sewarna jeruk seperti yang terakhir dilihatnya ketika menyesap kopi hitam -itu kebiasannya setiap sore hari. Cangkir kopi yang kosong, angin musim panas, bulan yang mengintip malu dibalik kabut.
Dan wangi bunga...
"Sudah bangun?"
Na Jaemin mendapati seseorang yang ditunggunya sejak lama. Si gadis, yang serupa lembayung mekar. Pemilik senyum bunga plum. Satu dari seribu, yang kelopaknya berhasil menyentuh hati pemuda Na.
Lelaki itu tersenyum. Dan senyum tak cukup menggambarkan betapa bahagianya dia.
"Apa kabar, Na Jaemin-ku?"
"Selalu merindukanmu."
"Jawaban yang lain?"
"Selalu sangat merindukanmu."
Sang dara tertawa, seperti angin musim gugur yang menyapu daun jatuh. Tawa yang jernih. Yang memiliki kekuatan untuk mengangkat semua kelabu pemuda Na.
"Lalu, kabarmu?"
Seulas senyum tertarik di pipi si gadis yang penuh, "yang paling bahagia karena bertemu denganmu."
Angin meniup pelan furin.
Na Jaemin mengingat valentine bertahun-tahun lalu seperti baru kemarin. Hari dimana, dia ingin meminta Semesta untuk membawanya kembali. Salju turun menyambut hari kasih sayang, wangi coklat, dan loker yang penuh kudapan manis.
Mereka bertemu untuk pertama kalinya, di ruang musik dengan Steinway and Sons yang dingin. Jari panjang lelaki itu bergerak layaknya robot tanpa cacat dalam sunyi. Ballade No.1 in G Minor Op 23 milik Chopin. Dia adalah sosok tanpa emosi di depan piano rakasasa. Sistem yang bergerak dan terus mencari alasan keberadaannya duduk di sana. Jarinya menari, hanya hitam dan putih.
Satu tarikan nafas ketika dia selesai bermain, suara tepuk tangan datang untuknya.
Dari satu-satunya orang. Lembayung tercinta yang kini ada di hadapannya. Dentuman yang membawa mereka kepada saat ini.
Itu saja, tanpa kata. Hanya tepukan diantara sunyi.
Lalu esoknya Na Jaemin mendapati roti yakisoba dan sebotol teh. Serta post it sewarna jingga dan berwangi buah peach,
'Terima kasih kepada lelaki yang kemarin kutemui di ruang musik, jari yang menari di atas partitur agung Chopin. Hari ini hari ulang tahunku, terima kasih telah memainkannya. Itu hadiah terbaik'
'P.S. Aku nggak tau kamu suka roti yakisoba atau tidak...'
'P.S.S. Itu buatanku sendiri.'
Sejak saat itu, sang adam menemukan alasan terbaik untuk pianonya.
"Aku mencium aroma kopi. Kuat sekali, sepahit apa kali ini?"
"Kopi yang diminum seseorang ketika bersedih."
"Jadi, kamu bersedih?"
"Karena aku begitu merindukanmu dan tak ingin berpisah denganmu."
Gadis itu menggenggam erat tangannya. Hawa hangat mengalir seperti berada di depan tungku. Na Jaemin ditatapnya sepenuh hati, dengan mata bola karamel yang dalam. Dan senyumnya, candu menenangkan.
Ini benar-benar nyata.
"Perpisahan ada karena pertemuan, Na." kata Gadisnya yang bersuara lembut, "kau tahu kan bertemu denganmu itu sesuatu yang paling kusukai."
"Hal paling indah dalam hidupku."
"Iya kan? Perih perpisahan itu nggak sebanding saat kita bisa bertemu. Jangan menyesalinya ya?"
"Tidak pernah sedetikpun."
"Kalau begitu jangan sedih. Lihat kan? Aku ada di sini."
Na Jaemin memijat ibu jari gadisnya. Menatapnya lamat jari-jari hangat itu. Kuku yang tak pernah terlalu panjang, selalu bersih. "Aku ingat saat kamu menangis karena sakit gigi."
"Hah, kamu selalu mengingat itu,"
"Mana mungkin aku bisa lupa," si pemuda tertawa renyah, menampilkan deretan gigi yang selalu disukai gadisnya. "aku datang dan kamu bilang semakin parah sakitnya, karena aku begitu manis. Jadi aku memang semanis itu, hm?"
Pipi si dara merona sewarna kelopak sakura.
"Lalu kamu memijat ibu jariku seperti ini. Jangan jahat peri gigi, gadisku jadi bersedih."
"Ah aku bernyanyi seperti itu ya?"
"Kamu panik karena aku menangis kesakitan."
"Kamu bilang tidak mendengar nyanyianku saat itu?"
"Mana mungkin aku tidak dengar?"
Ranting pohon plum bergoyang tertiup angin, sepertinya dia tertawa melihat pemandangan di hadapannya. Saksi bisu yang bahagia. Malam ini masih panjang, mereka bisa bercerita sepanjang dewi bulan masih menguasai langit.
Karena flat itu kembali berwarna setelah hari-hari kelabu.
"Na, ada kunang-kunang." sang gadis melompat riang dari kursinya, menatap dari tepi balkon dengan antusias kepada gerombolan kunang-kunang yang terbang di ilalang tepi sungai. Menyala indah di tengah sibuk kota.
"Mau kuambilkan?"
"Seratus?"
"Seratus, seribu, sepuluh ribu. Kalau kubawa kemari, kamu mau membuatkanku roti yakisoba?"
Gadisnya terkekeh manis, "kamu bilang dulu terlalu pedas dan tidak enak."
"Tidak ada yang mau memakannya selain aku, kan?"
"Karena aku hanya membuat untukmu."
Lagi-lagi, rasanya seperti baru kemaren roti yakisoba itu lewat di kerongkongannya. Rasanya terlalu pedas, mungkin gadisnya itu kelupaan karena terlalu senang berpikir tentangnya.
Furin kembali berdentang tertiup angin.
Ingatan mereka kembali ke musim panas bertahun lalu. Festival musim panas pertama mereka setelah saling mengenal. Si gadis sedikit merajuk karena nggak diijinkan beli permen apel yang manis. Sang jejaka tahu dia itu pecinta manis yang selalu sakit gigi.
"Mau menembak target?" tawar Na Jaemin pada dia berbalut yukata putih bercorak lili.
"Kamu yakin menantangku? Semua yang ada disini itu sudah pernah kumainkan tahu."
"Kenapa tidak? Kamu takut?"
"Aku tidak takut huh!"
Na Jaemin tertawa, "Bertaruh? Kalau aku menang, kamu harus membelikanku permen apel. Kalau aku kalah, kamu yang akan kubelikan. Gimana?"
"Kenapa aku harus bertaruh hanya untuk permen apel?"
"Kalau tidak mau ya tidak masalah. Aku nggak akan mengijinkanmu beli. Kalahkan aku dulu."
Daranya tertawa, "jangan menangis kalau kalah ya."
Pada akhirnya pemuda Na unggul satu poin dari gadisnya. Dia tertawa atas wajah iri menggemaskan ketika dia memegang permen apel. "Manis sekali. Kasihan mereka yang punya sakit gigi."
Si gadis masih merajuk sebal, "aku tidak iri tuh!"
"Memang jangan iri."
"Ah sudahlah. Kamu nikmati saja permen itu sendiri dasar menyebalkan." sebelum gadisnya pergi, Na Jaemin menahan lengannya. Dia menyodorkan permen apel yang belum tergigit itu, bersamaan dengan senyum manis seperti kembang gulali.
"Satu gigit saja. Tidak boleh lebih."
Itu lebih dari cukup buat si gadis. Langsung saja karamel meleleh di dalam mulutnya. Malam festival masih panjang. Kembang api menyala seperti bunga mekar. Musim panas pertama mereka.
Lalu kunang-kunang yang mereka temui berjalan pulang. Puluhan jumlahnya, menari magis diantara ilalang setinggi kaki. Tepian sungai tak pernah seindah itu. Luminescence adalah keajaiban, energi dingin yang menghasilkan cahaya.
"Mau berlomba menghitungnya?" tawar gadis itu.
"Kalau kamu menang?"
"Kamu harus menangkapnya. Seratus kunang-kunang."
"Kalau aku menang?"
"Kamu meminta apa?"
"Jangan pernah pergi dariku ya."
Tawa gadisnya pecah bersamaan dengan bunyi jangkrik dan kereta yang melintas tak jauh darisana. Mereka menghitungnya untuk menghabiskan malam. Entah berapa banyak kunang-kunang yang ada.
"Hampir tengah malam." kata si gadis sambil menatap chandra yang menggantung dilangit. "Kamu mengantuk?"
"Tidak pernah saat kamu ada disini."
"Kita sudah banyak bercerita."
"Seribu cerita nggak akan cukup dalam satu malam."
"Kuharap waktu lebih panjang. Aku masih ingin berada disini."
Waktu adalah kerelatifan. Orang berkata, letakkan tanganmu di atas tungku selama satu menit, itu akan terasa seperti satu jam. Tapi duduklah bersama orang yang kau cintai selama satu jam, itu akan terasa seperti satu menit.
Waktu berjalan cepat bagi mereka yang jatuh cinta.
"Kau tahu tidak," pemuda Na meminta atensi. "Sedikit bintang di langit malam ini. Sepertinya mereka malu."
"Karena aku ada di sini."
"Mmm. Selain itu?"
"Kenapa?"
"Mereka malu karena kamu lebih cantik dari apapun," lalu mereka tertawa. Na Jaemin memang tak pernah gagal menggoda gadisnya. "Bulannya cantik." tangan kiri Na menggenggam erat telapak si gadis.
"Selalu. Seperti dahulu, sekarang, dan nanti."
"Seperti melihatmu."
Si gadis tersenyum hangat. Dia teringat lagi pada suatu hari di musim gugur. Festival kebudayaan sekolah, saat kembang api dihempaskan ke langit, bersamaan dengan dia menatap lelaki Na yang berbalut syal sewarna kopi. Berdiri sampingnya, dihadapan api unggun dan keramaian. Tapi tatapannya itu hanya untuk gadisnya saja.
Bulan purnama dan angin musim gugur yang dingin.
Lalu lelaki itu berbisik,
Tsuki ga kirei.
Bisikan yang terus bergema mengalahkan keramaian lain. Dewi bulan menjadi saksi.
Angin kembali mencium furin dan membunyikannya.
"Selamat ulang tahun, Na." si gadis berbisik lembut. Matanya dalam menatap jejaka yang duduk di sebelahnya. "Maaf aku tak bisa membuatkan canele untukmu."
"Aku merindukan canele buatanmu."
"Sudah kutinggalkan resepnya bukan?"
"Tak pernah seenak buatanmu sendiri," Na Jaemin menyisir surai pendek gadisnya. Helaian rambut itu tak pernah panjang, tapi selalu berwangi vanila dari sana. "Tapi kamu memberiku waktu. Untuk merasa sebahagia ini."
Dalam satu tarikan nafas, lelaki itu mengenang semuanya.
Lantai ruang musik yang menghangat...
Bau kapur...
Kelopak sakura yang gugur tertiup angin, masuk melalui celah jendela...
Hela nafas gadisnya yang tertidur...
Wangi canele hangat...
Partitur yang berserakan...
Dia adalah si buta yang bertemu pelangi. Dia adalah bunga layu yang sekarat, lalu diairi setetes demi setetes. Lembayung datang menyentuh hatinya, cupid bekerja dan hal magis terjadi. Aprhodite memberinya restu, kata orang itu namanya jatuh cinta. Emosi yang tak pernah dibayangkannya, datang kepadanya seperti hujan di padang pasir.
"Kamu tahu kan, Na? Warna putih itu menghasilkan ratusan warna, cahaya sempurna penghasil spektrum. Lalu hitam itu pemersatu, semua warna dicampur menjadi hitam. Hitam putih itu harmoni, tapi diantaranya ada warna warni kehidupan."
"Dan kamu datang memberi warna di atas tuts pianoku. Kamu bertanggung jawab untuk itu."
"Setiap orang yang datang memberi warna yang berbeda."
"Tapi kamu pergi. Meninggalkan warna kesedihan."
"Warna kesedihan bukan berarti tidak indah kan?"
"Karena kamu yang melukisnya, maka jadi seindah itu."
Rona pipi sang gadis yang sewarna sakura mekar itu selalu indah. Senyumnya seperti matahari musim panas, mampu membuat bunga matahari tak mengalihkan pandangannya. Syal gadis itu coklat seperti daun berjatuhan di musim gugur. Dan saat ia diselimuti salju, terlihat cantik sekali.
Dia adalah kedinamisan warna yang indah baik suka maupun duka.
"Malam makin tua sayang, sekarang tiga pagi." kata Na Jaemin. Matanya begitu sendu ketika melihat senyum samar gadisnya. Sungguh, dia masih merindu. Tapi penguasa waktu tak ingin waktu berhenti untuk mereka berdua.
"Semakin sepi. Sepertinya orang-orang sedang bermimpi."
"Terkadang mimpi itu lebih indah daripada hidup."
"Sihir yang hebat. Dia membuat segalanya terasa nyata."
"Kuharap saat ini aku bermimpi. Duduk bersamamu saat ini, kita bercerita seribu malam dan tak mau bangun."
"Tidak boleh. Kamu harus bangun, Na."
"Batasan antara mimpi dan kenyataan ternyata setipis itu ya."
Na Jaemin menyandarkan dahinya pada bahu sang gadis. Sejak dulu selalu senyaman hujan pagi hari. "Aku selalu memintamu hadir di mimpiku. Segalanya terasa sepi saat mataku terbuka."
"Kamu tidak akan kesepian, Na."
"Malam selalu sepi. Kau tahu? Terkadang aku merasa langit gelap itu akan menelanku."
"Aku ada diantara bintang itu. Aku selalu ada di sana."
"Rasanya tidak pernah seindah saat aku melihat malam bersamamu. Seperti ini."
Apa aku sanggup bertahan?
Kakinya seolah terjebak dalam lumpur yang membuatnya sulit melangkah. Sedangkan gadisnya semakin jauh, kereta terakhir membawanya pergi.
Si gadis menyisir pelan surai lembut sewarna kopi milik sang adam. Menyalurkan rasa sayangnya, memberi rasa hangat pada lelaki itu layaknya perapian di badai salju. "Kamu nggak sendiri. Saat kamu membuka mata, kamu bisa melihat semua orang menyayangimu."
Gadis itu melanjutkan, "tidak ada yang benar-benar pergi. Satu pergi, seribu yang lain akan hadir. Setiap jejak mereka selalu ada kan? Kata mereka Tuhan menciptakan kenangan, itu agar kita tidak kesepian. Agar mereka bisa melanjutkan hidup dari yang sudah pergi. Bukankah hidup itu indah?"
"Terlalu indah hidupmu hingga kematian jatuh cinta dan membawamu pergi dariku."
Kereta terakhir yang tak bisa dikejar oleh pemuda Na.
Saat sakura berguguran, dia ikut pergi.
"Aku memang jahat," sebutir air mengalir dari sudut mata gadis itu saat merengkuh pemuda Na. "aku datang hanya membuatmu terluka. Aku pergi dan menghantuimu. Aku selalu iri, aku selalu ingin lebih lama di sini. Aku ingin mengingatkanmu makan, membuatkanmu canele. Aku ingin menghitung kunang-kunang bersamamu. Aku ingin memiliki rambut putih bersamamu."
Seandainya kita bisa kembali ke hari-hari itu.
Bertahun-tahun lalu, gadis itu datang menyentuh dasar hati Na yang dingin. Menjadi musim panas yang menyingkirkan bongkahan es musim dingin. Menjadi bunga yang tumbuh di tanah tandus yang kering. Lalu dia pergi, seperti dandelion yang tertiup angin. Meninggalkan luka yang belum sembuh pada lelakinya.
Na Jaemin tahu, dia tidak pernah sendirian. Setiap sudut memiliki aroma gadisnya. Setiap dia membuka mata ada banyak yang menyayanginya. Dia selalu dicintai, baik oleh gadisnya maupun seluruh semesta.
Pemuda itu tahu bahwa gadisnya menjelma menjadi bintang. Menatapnya dari kejauhan, memastikan kekasihnya selalu bahagia. Walau dia telah pergi.
"Aku merindukanmu. Waktu yang kuhabiskan bersamamu. Tempat yang kita datangi, semuanya. Canele manis buatanmu, kamu yang marah saat kopi milikku terlalu pahit. Kamu yang selalu sakit gigi. Kamu yang berbalut salju sore itu. Aku ingin bercerita lebih lama bersamamu."
Pertemuan berada dalam linier bersama perpisahan. Kenangan terbentuk diantaranya. Mereka menikmati kenangan dalam gelap malam. Tapi sayang dan rindunya tak pernah berkesudahan. Bahkan setelah pagi datang.
Satu malam saja selama setahun.
Si gadis menatap sang lelaki Na. Garis wajah yang selalu disukainya, pemilik senyum yang semanis permen apel. Sosok yang memiliki hati terhangat dan terkuat. Dia beruntung, gadis itu selalu berterima kasih terlah bertemu seorang Na Jaemin.
"Malam ini hampir berakhir, Na. Aku boleh meminta sesuatu?"
"Katakan itu."
"Mainkan Chopin Ballade No 1 in G Minor, sebelum aku pergi lagi."
Ah lagu itu. Lagu yang paling disukai gadisnya. Lagu pertemuan mereka. Lagu yang Na Jaemin hanya mainkan untuk lembayung tercintanya. Lagu pengiring sang gadis yang akan menutup mata.
Na Jaemin beranjak menuju Steinway and Sons yang ada di sudut ruangan. Dari balik mesin raksasa itu, sekali lagi dia tersenyum sendu menatap rupa gadisnya yang seperti bunga lili. "Aku tidak bisa mengucapkan perpisahan."
Dan jarinya kembali menari. Diantara heningnya malam menuju pagi pianonya bersuara. Dalam dan tenang. Seperti berbisik, penuh kasih sayang, dan kelembutan. Tuts pianonya menjelma menjadi jembatan penuh warna.
Chopin, Ballade No. 1 in G Minor berwarna dengan warna kesedihan.
Permainannya serupa hujan yang menitikkan tetes bernama kenangan. Lagu itu memiliki aroma gadisnya, yang tak hilang terkikis waktu. Bau harum masa lalu, kenangan yang mengalir sederas air matanya, sesendu hatinya.
Aku akan selalu bersamamu.
Ternyata memang tak bisa dilupakannya, sejauh dia pergi. Dia selalu ada. Semua kenangan itu memeluknya, memberi kehangatan pada jari yang menari di atas hitam putih. Aroma yang sama. Gadisnya masih di sana. Musim semi, musim panas, musim gugur, maupun musim dingin. Ketika bunga-bunga mekar dan mewangi.
Gardenia
Krisan
Petunia
Daisy
Pansy
Dia selalu terlihat seperti cahaya yang menembus dasar lautan. Berlari membawa pemuda Na pergi dari gelap. Terus berlari meski lelakinya berteriak memanggil namanya. Punggungnya semakin menjauh bersamaan dengan air mata yang selalu disembunyikannya.
Na Jaemin begitu merindukannya. Semua tentang dirinya.
Aku selalu ada dalam dirimu.
Kalau kamu tidak melanjutkan hidupmu, lalu apalagi yang tersisa?
Terima kasih kepada Semesta yang tak pernah meninggalkan Na sendiri. Lelaki itu selalu disayangi. Terima kasih telah menitipkannya pada sang dara tersayang, yang mengajarkannya untuk membuka mata.
Jangan lupakan aku.
Air matanya berjatuhan ketika dia selesai bermain. Direngkuhnya sang gadis yang mulai memudar. Kelopak bunga plum musim dingin bertiup di sekitarnya. Seolah mengantarkan gadis itu kembali kepada asalnya.
Na Jaemin ingin menghentikan langkahnya. Lebih lama lagi dia merengkuh lembayung rapuh itu. Lebih lama lagi dia membisikan nama gadisnya. Menghabiskan hari-hari yang panjang di bawah matahari. Menikmati canele dan yakisoba buatannya. Memandang langit malam lebih lama hingga terlelap.
"Jangan menangis, jangan menangis, Na Jaemin-ku..."
"Jangan pergi." bisikan Na Jaemin bergetar dalam kesedihan. Rengkuhannya makin kuat karena gadis itu semakin menghilang. Angin musim panas bertiup kencang, membunyikan furin yang memburu waktu mereka.
Seandainya aku bisa menggenggam tangannya lebih lama lagi.
"Kamu sudah lebih tegar dari saat itu sayang."
Suaranya semakin memudar tertiup angin. Meski begitu senyumnya tak pernah luntur, curang sekali. "Berjanjilah, Na. Hiduplah walau tanpa diriku. Lanjutkan hidupku, karena aku ada di dalam dirimu."
"Aku menyayangimu selamanya."
Selamat tinggal... selamat tinggal...
"Hiduplah lebih bahagia ketika kita bertemu lagi."
Aku bahagia.
Pemandangan terakhir yang Na Jaemin lihat adalah senyum sendu gadis itu sebelum ratusan kelopak bunga membawanya pergi. Seperti dandelion tertiup angin. Meninggalkannya kembali dalam kehampaan.
Seberapapun musim semi datang, takkan kulupakan semua tentangmu.
Satu pergi, seribu akan hidup kembali.
Lalu pagi datang mengusir malam.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kepada Na Jaemin
Rasanya aneh menuliskan surat kepada lelaki yang tak pernah kutemui.
Sosokmu ada disana dan terasa jauh sekali.
Tanggal dikalender berlalu begitu saja.
Hari kelahiranmu kembali datang di musim panas.
Tinggimu bertambah tidak ya?
Hari-hari terasa cepat sekali.
Waktu memang relatif.
Kamu yang sekarang ini sudah berjuang panjang.
Saat bercerita kepada dirimu dahulu, pasti bangga sekali ya.
Ketika menulis surat untuk dirimu di masa depan, apakah mimpimu telah terwujud?
Seperti apapun mimpimu, pastikan untuk menjaganya.
Alam semesta pasti memeluk mimpi-mimpi itu.
Karena itu, jangan menyerah ya.
Saat tersandung, jangan takut untuk berdiri dan melangkah lagi.
Seberapa sulitnya, kamu harus melewatinya.
Kita hidup untuk menulis sejarah yang hebat.
Yang akan diingat saat tua nanti.
Ah, jangan takut saat sendiri, Na.
Jangan bersedih karena kamu akan selalu dicintai.
Suatu tempat di sana, ada mereka yang mengkhawatirkanmu.
Yang selalu berdoa untuk kebahagiaanmu.
Jadilah bahagia, Na Jaemin.
Karena melihatmu bahagia, juga bahagiaku.
Dan terima kasih telah bertahan selama ini.
Aku bahagia bisa mengenalmu.
Aku menantikan pertemuan pertama kita nanti.
Saat kamu berdiri di panggung yang bermandikan cahaya.
Aku akan ada di lautan cahaya itu.
Sampai bertemu, Na Jaemin.
Selamat ulang tahun
-🌸
.
.
.
.
》· · ──────·本·──────· ·《
End
Happy birthday Na Jaemin, anak baik, mas crush, si sayang, ice cream prince, little bunny, pokoknya duh itulahh
Menangis akhirnya proyek ini selesai juga, bisa di pub di wp astaga terharu. Banyak banget dramanya serius deh, stuck tiga minggu gadapet 1000 kata tuh pengen nanges rasanya😭
Tapi akhirnya jd juga, keanya ancur banget ini duh gangerti lagi😭
Poinnya itu, dimanapun Nana gimanapun dia, jangan merasa sendirian, semua orang sayang Nana, doi nih kesayangan semua orang, dan dihidup ini banyak warna yg bisa bikin hari2 dia indah ceilah bahasa gue.
Intinya itu, dia dicintai, selalu dicintai.
Mungkin terlalu aneh ini cerita, tp gue pengen pesannya itu nyampe. Pengen doi ngga sendirian walaupun ada yg pergi.
Rekomen banget buat ngedenger Chopin Ballade No 1 in G Minor dah
At last, Happy Birthday, Na Jaemin💚
13 Agustus 2020
Tobyosan 🌸
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top