Jurnal 9 : Tujuh Kesempatan

Kalian telah terusir, wahai Para Penghukum.
Karena belas kasih terhadap jiwa anak manusia.
Karena nafsu akan jiwa anak manusia.

Waktu akan melekat pada dirimu.
Emosi yang telah menyentuhmu akan kekal bersamamu.

Pergilah ke Dunia Tengah dan renungkan selama kesempatan yang diberikan.

Tujuh.

Tujuh Kesempatan.

Dan salah satu akan menyambut di akhir perjalanan;

Pengampunan,
atau Ketiadaan.

Bila dilihat oleh mata awam, keberadaan sebuah restoran keluarga di tengah tempat itu merupakan pemandangan yang cukup aneh. Bagaimana tidak? Bangunan persegi itu berdiri dengan menonjol dan kontras di tengah-tengah tanah lapang yang suram. Pada atap restoran terdapat neon merah-kuning besar-besar yang membentuk tulisan 'Haven's Diner', dengan nyala berkedip-kedip. Ada spasi kosong di antara huruf 'h' dan 'a', yang apabila dilihat dari dekat, ternyata merupakan huruf berbentuk 'e' yang mati permanen dan setengah terlepas, seolah pemiliknya terlalu malas untuk mengganti bohlam atau sekadar membetulkan posisinya yang menggantung terbalik dari engselnya.

Ngomong-ngomong, suasana di dalam restoran itu pun tidak lebih baik. Pengunjung tidak terlalu ramai, seperti biasa. Sepasang pria dan wanita, mungkin pertengahan dua puluh atau tiga puluhan, duduk saling berhadapan di salah satu meja aluminium persis di tengah ruangan.

Si wanita mengenakan setelan formal serba putih dari atas ke bawah, yang necis dan berpotongan feminin, lengkap dengan pita hitam satin sebagai pengganti dasi serta sepatu hak hitam mengilap berujung lancip. Rambut sepunggungnya yang bergelombang itu berwarna merah seperti kobaran api, kontras sekali dengan pakaiannya. Dia duduk dengan tegak dan anggun. Matanya—yang juga semerah api—menatap laki-laki di depannya dengan serius.

Pria besar di hadapannya—dia sangat besar, bahkan dalam posisi duduk saja tubuhnya menjulang dua kepala lebih tinggi dari para pria normal di sekitarnya dan memblokir nyaris seluruh pandangan si wanita—berpenampilan seolah kebalikan dari wanita itu; dia mengenakan mantel panjang hitam di luar tunik warna abu-abu, ikat pinggang mencolok yang lebih menyerupai ukiran berbentuk ular berkepala gargoyle melingkari pinggangnya, serta celana kulit hitam yang dimasukkan ke dalam biker boots. Walaupun pria itu bersandar di kursinya dengan santai, dia balas menatap si wanita dengan seringai sinis pada bibir tipisnya. Sepasang mata dan rambutnya memiliki warna yang sama, serupa lelehan perak. Rambut sebahunya tampak liar dan memberi kesan seolah tidak pernah disisir.

Keduanya memancarkan aura yang begitu menekan dan mengintimidasi. Namun mereka juga tampak janggal dan konyol berada di sana pada waktu yang bersamaan. Penampilan mereka begitu mencolok bagi seluruh tamu Haven's Diner malam itu.

Seorang wanita paruh baya yang mengenakan seragam pramusaji dengan celemek polkadot menuangkan kopi ke dalam cangkir yang diletakkannya pada meja di antara si pria dan si wanita. Dia mengunyah permen karetnya dengan berisik sambil mencatat pesanan tamu dan memasang tampang bosan. Tapi khusus di meja itu, raut bosannya sedikit berganti ekspresi mengejek.

"Pesta kostum?" kekehnya sembari menuang kopi, "Apa temanya? Malaikat dan Iblis? Aku tidak tahu ini waktu yang tepat untuk melakukannya. Ini masih April."

Si pramusaji harus puas dengan keheningan yang menyambut cibirannya. Pasangan nyentrik itu tampaknya tidak repot-repot merasa perlu menanggapi komentar tidak bermutu itu. Mereka punya hal lain yang lebih sakral untuk dipikirkan.

Setelah si pramusaji meninggalkan meja mereka sambil mewanti-wanti bahwa restoran akan segera tutup, si wanita berambut dan bermata merah-api itu membuka suara.

"Orcus."

Suara wanita itu seperti bukan berasal dari dunia ini. Begitu jernih dan bening, agak mengingatkanmu dengan dentingan kaca, atau bel bersuara indah, atau tetesan air di kolam yang tenang. Namun di saat bersamaan, begitu dingin.

"Puriel."

Suara si pria besar lebih terdengar seperti geraman rendah, parau dan liar. Mengingatkanmu akan berbagai macam perasaan negatif yang menyesakkan. Kegelapan. Ancaman. Rasa takut.

Wanita yang dipanggil Puriel itu melirik jam dinding yang berada di atas konter. Sudah nyaris pukul dua belas malam. Dia lalu berujar, "Pengulangan Keenam akan segera tiba."

"Tidak perlu mengingatkanku." Orcus mendengus, "Terjebak di lingkaran ini bersamamu? Yang terburuk sepanjang perjalanan karirku."

"Waktu." Puriel memejamkan matanya lelah, mengindahkan cemooh pria itu, "Siapa yang akan sangka kita harus berurusan dengan itu..."

"Dan Emosi." Orcus berdecak keras, menunjukkan rasa frustasi dan ketidakpuasan melebihi yang dirasakan Puriel, "Itu yang paling parah. Dan sekadar pengingat, ini salahmu."

"Oh?" Puriel mengangkat alisnya kaku, "Sekadar pengingat, bukan aku yang memakan bulat-bulat jiwa seorang pemuda tujuh belas tahun."

Orcus mengernyit, "Dan bagaimana denganmu yang mengemis-ngemis di depan pintuku untuk mengeluarkan Edward Wright dari wilayahku? Aku diperintahkan untuk membawanya bersamaku."

"Aku tidak mengemis." kilah Puriel, "Dan kau diperintahkan untuk menjadikan Nathaniel Jones sebagai budak Dunia Bawah, bukannya santapan makan malam."

Geram dengan sikap arogan wanita di hadapannya, Orcus balik bertanya dengan cengiran lebar yang congkak dan tanpa rasa bersalah, memamerkan deretan gigi yang runcing, "Kau pikir aku akan dengan mudahnya melepaskan jiwa yang begitu lezat? Lagipula, lihat siapa yang bicara! Si Malaikat Penghukum yang oh senantiasa adil... siapa sangka dapat meminta keringanan dalam hukuman yang diberikan terhadap seorang pembunuh?"

"Dia mencoba melindungi bayi itu." Puriel berujar dingin.

"Dia seorang pembunuh." Orcus menyahut sederhana.

Puriel kembali memejamkan mata. Dia tidak percaya mereka sudah menyia-nyiakan lima kesempatan sebelumnya dengan pertengkaran yang sama alih-alih memikirkan bagaimana caranya memperbaiki takdir Edward dan Nathaniel. Lima pengulangan, lima kegagalan, sementara mereka hanya memiliki tujuh kesempatan.

Jarum jam bergerak menuju angka dua belas tepat. Puriel menatap jam itu seraya mendesah, sementara Orcus melirik jam sambil berdecak.

"Pengulangan Keenam." geram Orcus, terpaksa mengutip perkataan Puriel dengan nada tak suka.

Kemudian, ketika ketiga jarum jam itu berada persis pada angka dua belas, kedua pasangan nyentrik itu pun secara bersamaan menghilang dari kursi mereka.

Pengulangan Keenam

Orcus POV

Orcus berdiri di suatu daerah yang luas dan sunyi, menyaksikan dengan ekspresi bosan drama yang terulang di hadapannya. London. 1850. Senja hari yang muram. Seorang gadis berkulit pucat berjalan sendirian di tengah persimpangan jalan yang sepi itu. Dia mengenakan gaun biru muda berenda, dengan bagian pundak balon dan rok mengembang, rambut hitamnya dicepol sederhana di tengkuknya, menyisakan ikal-ikal pendek halus yang menggantung di pelipis hingga ke pipinya. Tak ada satupun kendaraan, bangunan, atau pejalan kaki yang terlihat di daerah itu. Hanya ada jalan berbatu dan pepohonan yang tidak terlalu rindang.

Si gadis melirik ke sekelilingnya dengan cemas sebelum cepat-cepat berlutut persis di titik tengah persimpangan dan menguburkan sebuah kotak kayu yang dibawanya ke dalam tanah. Kemudian gadis itu melepaskan kedua sarung tangannya dan menggambar sebuah simbol di tanah persis tempatnya mengubur kotak tadi. Simbol itu berbentuk bintang dengan lingkaran yang mengitarinya. Lalu dia berdiri dan memejamkan mata, seolah tengah memanjatkan sesuatu.

Orcus menghilang dari tempatnya berdiri, untuk muncul kembali persis di belakang si gadis. Kemudian, dengan gerakan perlahan, Orcus menunduk dan mendekatkan bibirnya ke telinga si gadis dan berbisik.

"Boo."

Si gadis terlonjak kaget dan berputar cepat, untuk berhadapan dengan Orcus yang tengah tersenyum miring. Kemudian gadis itu tergagap, "S-Siapa kau, Sir?"

Orcus menghela napas panjang.

Memiliki pengikut memang memuaskan, tetapi lelah rasanya harus mengenalkan diri berulang kali.

"Langsung saja supaya cepat. Kau bisa memanggilku Orcus." Orcus menjawab, nada dan tatapannya bosan, "Dan kau pastilah Delilah Wright. Aku datang karena persembahanmu. Katakan permohonanmu, apa saja. Aku akan mengabulkannya."

"K-kau... Dewa Dunia Bawah?" Delilah bertanya gemetar, membelalakkan mata cokelatnya menatap sosok Orcus yang menjulang di hadapannya dan membawa aura kuat yang begitu mengerikan, yang mengingatkan Delilah akan mimpi-mimpi terburuknya.

Orcus memutar bola mata yang serupa lelehan perak itu, "Yeah, apapun. Cepatlah, aku tidak punya banyak Waktu."

"Aku..." Delilah berujar pelan, berusaha keras agar tidak menyerah dengan ketakutan yang menyergapnya, "Aku ingin Nathaniel Jones jatuh cinta padaku."

"Kau tidak akan menyesali permohonanmu?"

Delilah menelan ludah, "Aku tidak akan menyesal."

"Maka berjanjilah." Orcus menatap Delilah, "Lakukanlah ritual yang sama sepanjang hidupmu setiap malam purnama. Aku benci para pengingkar janji, jadi akan ada konsekuensi jika kau melupakan janjimu. "

Delilah mengangguk, "Aku berjanji."

Orcus mengangkat sebelah alis peraknya dan memamerkan seringai puas, "Sesuai permohonanmu."

Kemudian, pria itu mengangkat tangan kanannya dan menjentikkan jemarinya. Gemuruh di langit yang memekakkan telinga dan menggetarkan tanah muncul diiringi kilau yang membutakan mata.

Lalu segalanya hening.

Puriel POV

Dia tak pernah punya kesempatan.
Dia tak pernah punya jalan kembali.
Dia akan menjadi hukumanmu sekaligus pengampunanmu.
Dia akan terbakar oleh apimu.
Dia adalah milikmu.

Lagi-lagi suara itu. Suara yang sama. Kata-kata yang sama yang hanya terdengar oleh Puriel setiap kali Pengulangan terjadi. Apa maksudnya?

Puriel membuka matanya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, dia menyaksikan Delilah dan Orcus yang saling berhadapan di persimpangan jalan, menyegel janji. Bilamana gadis itu mengetahui takdir macam apa yang akan menyambutnya, dia tidak akan bertindak segegabah ini...

Kemudian Orcus menjentikkan jemarinya. Seluruhnya menjadi kilau putih...

Puriel membuka matanya lagi. Dia berada di dalam sebuah rumah, di sebelah Orcus, yang sedang menyaksikan pemandangan di hadapan mereka tanpa ekspresi.

Keduanya berdiri di sebuah kamar yang terkunci, sementara Delilah Wright menatap pemuda yang tengah berjalan ke arahnya dengan ekspresi horor.

"K-kumohon, Nathaniel... jangan lakukan ini!" Delilah berkaca-kaca, dia terjebak di antara dinding dan tubuh Nathaniel Jones yang semakin mendekat.

"Aku tidak bisa mengontrol perasaanku, Del. Aku menginginkanmu." Nathaniel memandangi Delilah dengan sorot buas yang tidak dikenali Delilah. Itu bukan tatapannya. Nathaniel yang dulu tidaklah seperti ini, batin gadis itu.

Puriel menoleh kepada Orcus, yang mengangkat bahu.

"Dia melupakan janjinya." Orcus menyeringai bosan, "Ini konsekuensinya."

Puriel tak menyahut. Beberapa bulan setelah Delilah menjadi kekasih Nathaniel, gadis itu melupakan ritualnya. Mengacaukan perjanjiannya dan menimbulkan karma baginya. Orcus masih belum bisa merubah kejadian ini. Mereka terpaksa menyaksikan—lagi—bagaimana Nathaniel Jones meniduri paksa Delilah Wright. Delilah memukul, meronta, dan berteriak, namun tubuh mungilnya tak memberinya keuntungan melawan kekuatan seorang pemuda tegap dua puluh tahun yang tengah terperdaya.

Orcus mendengus.

Manusia lemah, Puriel mendengar Orcus berpikir.

"Ayahnya akan datang dalam..." Orcus melirik jam dinding, "...tiga... dua... satu."

"DELILAH!" raungan murka dari arah luar pintu terdengar. Orcus dan Puriel tak bergeming sedikitpun saat sosok Edward Wright mendobrak masuk ke kamar anak perempuannya yang sedang dalam posisi tak senonoh bersama Nathaniel Jones yang separuh telanjang.

Gadis itu menangis di tempat tidur, berkata lirih pada ayahnya, "Ayah... tolong aku..."

Sisanya, Orcus dan Puriel sudah tahu persis. Yang jelas, Nathaniel Jones akan berakhir menjadi seorang ayah yang terlalu muda. Begitupun Delilah Wright, menjadi ibu muda sembilan bulan lagi, memaksanya meninggalkan pendidikan dan mencari pekerjaan. Karena Delilah menolak menggugurkan kandungannya. Dia mencintai Nathaniel, walaupun pemuda itu berubah setelah dia melanggar janjinya dengan Orcus. Walaupun Edward Wright, ayahnya, membenci Nathaniel Jones sepenuhnya karena telah menghancurkan masa depan anak perempuan satu-satunya itu.

Orcus POV

Orcus tahu betul dalam beberapa detik, Nathaniel akan menyerbu masuk ke dalam rumah milik si ibu muda, Delilah, yang sedang menyusui bayinya yang baru berumur tiga hari.

Kondisi Delilah masih lemah pasca melahirkan, dia terbaring berbalut selimut di kamarnya sembari mendekap bayinya, sementara Edward sedang keluar untuk membeli perlengkapan untuk cucu laki-lakinya.

Sesungguhnya, keadaan tidak begitu buruk bagi kedua Wright. Namun tidak begitu dengan Nathaniel. Dunianya hancur. Dia gagal menyembunyikan fakta bahwa dia telah memperkosa Delilah Wright, semua orang kini tahu. Mencoreng citra baiknya di mata masyarakat sebagai pebisnis muda London yang mapan dan terpelajar.

Namun Delilah memutuskan tidak memperpanjang kasus pemerkosaan itu. Karena Delilah sendiri tahu persis bahwa ini adalah akibat kecerobohannya mengingkari janjinya dengan Orcus. Karma yang harus diterimanya.

Orangtua Nathaniel mengusirnya dari rumah begitu tahu apa yang terjadi kepada anak perempuan Edward Wright, salah satu klien terpenting di perusahaan mereka. Maka pemuda itu menghilang selama sembilan bulan. Dan dia memutuskan kembali begitu menerima surat penuh keharuan dari Delilah, yang dengan naifnya mengira bahwa Nathaniel juga akan tersentuh dengan kabar kelahiran putranya.

Tidak, Nathaniel sama sekali tidak tersentuh. Dia jijik pada segalanya. Jijik pada bayi merah di dalam dekapan Delilah, yang juga sama menjijikannya, karena mereka berdua telah menghancurkan hidupnya. Merusak hubungan dengan orangtuanya. Merusak nama baiknya di mata orang lain.

"Nathaniel!" Delilah berseru senang ketika melihat Nathaniel muncul di ambang pintu kamarnya. Hanya saja ada yang janggal. Penampilannya kusut. Setelan dan jasnya tampak kotor dan lusuh. Menguar aroma alkohol yang tajam dari tubuhnya.

Hanya butuh tiga langkah lebar bagi Nathaniel untuk menghampiri ranjang Delilah dan menghantamkan tinjunya ke kepala wanita itu, hingga dia pingsan. Pemuda itu lalu mengambil bayi itu dan membawanya kabur keluar dari apartemen.

Orcus menggerung keras. Dia tidak mampu memikirkan apapun. Dia tidak bisa mengubah jalan cerita. Semuanya terjadi dengan sama persis. Dia telah mencoba menolak perjanjian dengan Delilah beberapa kali pada beberapa Pengulangan sebelumnya. Gagal. Dia mencoba mencegah pertemuan-pertemuan Nathaniel dan Delilah, namun takdir selalu menemukan celah. Kali ini dia kehabisan akal, dan memasrahkan diri dengan apa yang sudah dan akan terjadi.

Puriel POV

Puriel mengawasi Nathaniel Jones berlari. Menyusuri trotoar dengan buntalan kecil di dadanya. Bayi itu. Bayinya. Hingga sejauh ini, kejadiannya masih sama persis. Orcus tidak melakukan apa-apa. Bagaimana dia bisa bersikap begitu egois?

Setibanya di daerah sepi yang sudah berulang kali dikunjungi Puriel, Nathaniel berbelok masuk ke pekarangan sebuah bangunan kosong, memanjat ke dalam melalui salah satu jendelanya yang tidak berkaca, sambil masih menggendong bayi itu dalam dekapannya.

Puriel memunculkan dirinya di dalam gedung. Menyaksikan bagaimana Nathaniel meletakkan bayi itu di lantai. Lalu pemuda itu perlahan membungkuk, dan mencekik si bayi.

Orcus POV

Hanya berselang beberapa saat setelah Nathaniel Jones melangkah keluar ke trotoar sembari membawa-bawa bayinya, Edward Wright pulang dan melihat pemuda itu lewat dengan terburu-buru di depannya. Kemudian pria paruh baya itu berlari naik dan melihat anak perempuannya tergeletak pingsan di tempat tidur dengan pelipis yang memar. Untunglah Delilah segera tersadar. Kemudian dia menangis dan histeris, menyadari bayinya menghilang.

Edward tidak berpikir dua kali ketika kakinya membawanya secepat yang dia sanggup lakukan untuk mengikuti jejak Nathaniel. Berhasil. Dia melihat pemuda itu memanjat masuk ke sebuah bangunan tua yang kosong. Terlambat sedetik saja, Edward tidak akan melihat ke mana perginya orang itu.

Edward mengikutinya dan memasuki bangunan yang gelap dan berdebu itu. Kemudian dengan panik memeriksa ruangan-ruangan di dalamnya.

Dia menemukan Nathaniel tengah membungkuk di atas si bayi, dengan kedua tangannya melingkari leher mungil bayi itu.

Monster itu akan membunuh cucuku!

Kejadian yang terjadi berikutnya berlangsung sangat cepat. Edward menggerung marah dan menerjang Nathaniel, membuatnya tersungkur ke lantai dengan bunyi debum pelan. Seperti kesetanan, pria itu memukuli Nathaniel berulang-ulang dengan tinjunya, tubuhnya menindih tubuh Nathaniel sedemikian rupa sehingga dia tidak mampu bergerak.

Seolah belum cukup, Edward kemudian mencekik pemuda itu. Membuat Nathaniel menggelinjang panik di bawahnya, berusaha menyingkirkan tangan-tangan kuat milik Edward dari lehernya. Wajahnya berubah memerah. Matanya memelototi Edward, dan suara napas serak yang keluar dari kerongkongannya membuat Edward merasa puas...

Kemudian, perlawanan itu mendadak terhenti. Tangan-tangan milik Nathaniel terjatuh lemas di sisi tubuhnya. Ekspresi kesakitan itu menjadi kosong, begitupun dengan tatapan matanya.

Edward terengah. Dia mundur, bangkit dengan sempoyongan, memandangi sosok tak bernyawa milik Nathaniel yang tergeletak di hadapannya.

Si bayi menangis. Edward hendak meraih cucunya untuk menggendongnya, namun mendadak, jantungnya terasa nyeri seolah ditikam belati yang tak kelihatan.

Lalu pria itu jatuh tersungkur di lantai, matanya membelalak terbuka.

Edward Wright sudah tak bernyawa.

⚖⚖⚖

Orcus dan Puriel terbangun di tempat yang familiar. Tanah lapang berangin dan suram yang sama, serta bangunan persegi dengan neon yang menyala mencolok di hadapan mereka.

Mereka kembali ke Haven's Diner.

Orcus berlutut dan mengeluarkan raungan menggelegar. Dia memukulkan tinjunya ke tanah hingga kepulan debu membubung tinggi ke udara dan seluruh tempat itu bergetar, seolah terkena gempa bumi singkat. Sepasang matanya kini tidak lagi serupa lelehan perak, melainkan berubah sekelam malam. Asap hitam menghembus keluar melalui seluruh tubuhnya, juga melalui lubang hidung serta sela-sela gigi tajamnya yang terlihat dari seringaian mengerikannya. Wajahnya berkerut, campuran antara kemurkaan dan rasa frustasi.

Emosi yang kekal.

Perlahan, Puriel berlutut di hadapan Orcus. Dia menangkupkan kedua tangannya di wajah Orcus, mengangkat kepala Orcus hingga tatapan mereka bertemu.

Mata itu hitam kelam. Kegelapan yang tak memiliki dasar. Kegelapan yang menyesakkan, menyakitkan, dan menyedihkan.

"Kita masih memiliki satu kesempatan." Puriel menghiburnya, "Pengulangan Ketujuh."

"Ini sia-sia. Kita akan musnah." Orcus menggeram rendah dan parau, "Kita akan lenyap tanpa jejak."

"Aku akan memohon pada Mereka untuk menerimamu kembali." Puriel berujar, entah mengapa suaranya terdengar bergetar, "Aku yang akan dimusnahkan."

Puriel hendak bangkit, namun genggaman tangan Orcus yang kuat menahan pergelangan wanita itu. Kegelapan itu memudar. Perlahan, amat lambat, hingga akhirnya lenyap sama sekali. Puriel menyaksikan sepasang mata Orcus kembali ke warna asalnya dan asap hitam yang menguar dari tubuhnya turut menghilang.

"Kau masih memiliki harapan." Orcus terkekeh pahit, "Kau menyerah pada simpatimu terhadap anak manusia. Kau memintaku mengasihani Edward Wright dan mengeluarkannya dari Dunia Bawah untuk kaubawa ke Dunia Atas. Tetapi aku? Aku melahap jiwa Nathaniel Jones. Aku menyerah pada nafsu buas yang selalu menghantui eksistensiku. Terhadap anak manusia... dan bahkan terhadapmu, sejak awal."

Puriel mengerjap.

Orcus... dia...

Orcus menatap Puriel tajam.

"Tidak akan kubiarkan mereka menghapusmu."

Dia tak pernah punya kesempatan.
Dia tak pernah punya jalan kembali.
Dia akan menjadi hukumanmu sekaligus pengampunanmu.
Dia akan terbakar oleh apimu.
Dia adalah milikmu.

Pemahaman memenuhi Puriel seperti air sungai deras yang membanjiri kepalanya.

Suara itu. Suara peringatan yang selalu didengarnya persis ketika Pengulangan dimulai. Akhirnya dia mampu memahaminya.

Seketika, kemarahan menggelegak di dalam dirinya.

Puriel bangkit.

Api.

Api meleleh keluar dari tiap senti tubuhnya. Mengubah helaian rambut merahnya menjadi lidah-lidah api yang berkobar liar, siap menghancurkan apapun. Membuat tanah suram itu berpendar jingga karena cahaya api miliknya.

Ini tidak adil.

Orcus menatap pemandangan di hadapannya dengan terkesima. Puriel. Malaikat Penghukum yang murka. Apakah amarah yang langka itu timbul karena dirinya?

Orcus turut bangkit dan tanpa ragu mengulurkan jemari berkuku runcing miliknya untuk menyentuh wajah putih Puriel, kemudian membelainya. Entah sejak kapan dirinya sudah menginginkan hal ini. Puriel. Nama itu bergaung di pikirannya dengan keras dan memabukkan.

Bersamaan dengan itu, kemarahan Puriel mereda. Sosoknya sudah tak lagi berbalut api. Tanah itu kembali semuram sebelumnya. Dia kembali dalam wujud rapi. Ekspresinya tersiksa.

"Orcus." Puriel mendongak menatap mata pria yang saat ini berdiri hanya sejengkal di hadapannya, "Aku tidak yakin, tetapi kurasa aku punya ide bagaimana kita harus mengakhiri hukuman ini."

"Apapun." Orcus menatap Puriel dengan senyum persekutuan tersungging di bibirnya, namun senyuman itu tampak kontras dibandingkan sorot matanya yang sendu. Sorot yang hampir tidak pernah terlihat pada mata perak itu sebelumnya. "Apapun."

Bersama-sama, mereka memasuki Haven's Diner untuk menanti jarum jam bergerak ke angka dua belas tepat.

"Pesta kostum?" kekeh si pramusaji bercelemek polkadot sembari menuang kopi, "Apa temanya? Malaikat dan Iblis? Aku tidak tahu ini waktu yang tepat untuk melakukannya. Ini masih April."

Lagi-lagi, pertanyaan si pramusaji yang sama. Meja yang sama. Tamu-tamu yang sama. Kopi yang sama.

Yang berbeda, kali ini pasangan nyentrik itu duduk berhadapan dengan kedua tangan yang saling menggenggam. Dan ketika jam dinding menunjukkan pukul dua belas tepat, lagi-lagi, keduanya menghilang.

Pengulangan Ketujuh

Orcus dan Puriel tiba di persimpangan yang sama, berdiri bersisian, dengan tangan yang masih tergenggam satu sama lain.

Puriel hendak melepaskan genggamannya, namun Orcus menahannya.

"Aku tidak pernah tahu betapa hangatnya tanganmu." katanya dengan suaranya yang parau dan dalam, sambil mengamat-amati tangan-tangan mereka yang masih saling terpaut, "Aku selalu mengira akan terbakar bila menyentuhmu."

Sesuatu terasa menghimpit tenggorokan Puriel, serta dada dan kedua matanya terasa panas. Api boleh jadi bersemayam dalam tubuhnya, tetapi belum pernah merasakan sensasi seperti ini sebelumnya.

Emosi yang kekal, batin Puriel.

"Delilah." Puriel berujar, mengalihkan perhatian Orcus darinya, "Apa yang akan kau lakukan?"

Orcus menyunggingkan cengiran congkaknya, "Sama seperti sebelumnya, mengenalkan diri dan membuat perjanjian."

Setelah itu, apa yang terjadi selanjutnya sama seperti yang sudah berulang kali mereka saksikan.

Delilah Wright yang memohon kepada Orcus demi hubungannya dengan Nathaniel Jones.

Delilah yang melupakan ritual purnamanya, membuat perjanjiannya dengan Orcus rusak dan menyebabkan karmanya dengan Nathaniel.

Tragedi tak terlupakan bagi Delilah.

Nathaniel yang kabur dari kota itu.

Delilah yang mengorbankan banyak hal demi merawat kandungannya.

Kelahiran si bayi.

Kemudian, akhirnya, momen itu. Momen ketika Nathaniel datang untuk menculik bayi Delilah dan membawanya ke bangunan tua kosong.

Seperti sebelumnya, Orcus menghilang dari tempatnya untuk mengikuti Nathaniel dan Edward ke bangunan itu. 

Seharusnya, Puriel bersama Orcus mengikuti keduanya, seperti sebelumnya.

Tetapi tidak kali ini.

Kali ini, Puriel tetap tinggal di sisi Delilah. Dia menyentuhkan ujung telunjuknya ke pelipis Delilah, menyembuhkan luka memar akibat pukulan Nathaniel dengan seketika, dan membuat Delilah kembali tersadar.

"S-siapa kau?" Delilah melihat Puriel, lalu menatap sekelilingnya dengan panik, "Di mana Nathaniel?! Di mana bayiku?!"

Mereka tak punya banyak waktu, karena itu Puriel duduk di hadapan gadis itu dan menjelaskan semuanya.

"Namaku Puriel. Kau bisa bilang aku rekan Orcus. Dan aku datang untuk membantumu." dia memulai perlahan, menatap gadis itu lurus dengan mata apinya, dan memastikan Delilah menangkap perkataannya, "Ayahmu sedang mengejar Nathaniel ke suatu tempat di mana dia akan mencoba membunuh anakmu, dan ayahmu akan membunuh Nathaniel karena itu..."

"Tidak!!!"

"...tetapi kau bisa mencegahnya." Puriel mengulurkan kedua tangannya untuk disambut Delilah, "Aku bisa membawamu ke sana. Dan kau bisa mencegah kematian orang-orang yang kausayangi."

Delilah memandangi Puriel tanpa kedip dengan sepasang mata bundar cokelatnya yang basah oleh airmata. Puriel bertanya lagi, "Apa kau mempercayaiku?"

Delilah mengangguk. Sesaat setelah tangan-tangan Delilah menyentuh tangan Puriel, keduanya menghilang dari kamar itu.

Kejadiannya sangat cepat. Mereka tiba di bangunan kosong itu, dengan Orcus yang telah tiba lebih dulu.

Orcus berdiri menatap Puriel dan Delilah bergantian, ekspresinya campuran antara terguncang dan tak percaya, "Apa yang kaulakukan?!"

Suara teriakan Delilah menyadarkan Puriel kembali. Tanpa pikir panjang, Delilah spontan menerjang tubuh ayahnya yang tengah menindih Nathaniel, menarik mundur pria itu dengan sekuat tenaga, berupaya melepaskan cekikan pada leher Nathaniel. Dia berhasil.

"Ayah! Hentikan, kumohon!" Delilah menarik dan memeluk ayahnya, sementara Nathaniel tersaruk-saruk menjauh dan terbatuk-batuk, kemudian pingsan di sudut ruangan.

Bayinya selamat. 

Nathaniel dan Edward tidak mati.

Mereka berhasil.

Baru saja Puriel hendak membuka mulutnya untuk mengatakan ini kepada Orcus, cahaya putih yang membutakan melingkupi pandangannya.

⚖⚖⚖

Puriel POV

Puriel mendapati dirinya tengah berada di tempat yang sudah sangat dikenalnya.

Dunia Atas.

Tempat itu agaknya dibuat menyerupai aula yang banyak terdapat di Dunia Tengah, entah untuk tujuan apa. Lantai marmer dan tiang-tiang pualam tingginya memiliki warna dan corak indah, dan pemandangan itu mengelilingi Puriel. Aula itu juga tidak memiliki langit-langit. Dia dapat melihat langit luas yang benderang di atas kepalanya.

Di hadapannya, hadir Sang Agung, pemimpin dari segala Malaikat.

Puriel menunduk dan berlutut.

"Kau menunjukkan dirimu di hadapan anak manusia."

Suara itu sulit dideskripsikan. Ketika Sang Agung berbicara, suaranya menggetarkan seluruh elemen penyusun dirinya. Menggetarkan udara di sekitarnya dan dataran di bawahnya.

"Bagaimana dengan Orcus?" Puriel bertanya.

"Orcus berada di Dunia Tengah, bersiap menunggu kebinasaannya."

Puriel memejamkan matanya. Lagi-lagi sensasi itu. Sensasi panas pada mata dan dadanya.

"Mengapa aku berada di sini? Aku telah melanggar peraturan."

"Kau di sini karena Kami menginginkan alasanmu."

"Sejak awal Kalian menghendaki Orcus untuk menjadi alat pengujiku. Kalian membohonginya. Sejak awal, takdirnya adalah untuk terbakar di tanganku." Puriel tersenyum dingin, "Aku punya kesempatan untuk kembali sementara dia tidak? Kalian memberiku petunjuk sementara dia menjalani Pengulangan nya tanpa tahu apa-apa? Aku tidak bisa menerima ketidakadilan itu. Karena itu aku menyentuh Delilah Wright."

"Kau berharap akan dimusnahkan bersama Orcus."

Itu bukan pertanyaan. Namun Puriel tetap mengangguk untuk penegasan.

"Itulah mengapa kau berhasil melalui Pengulanganmu. Kau adil."

"Tetapi aku melanggar peraturan besar Dunia Atas!"

"Ingatan anak manusia adalah hal yang ringkih, Anakku. Kau bisa kembali."

"Aku menolak."

Puriel bangkit dan melebarkan sayapnya. Sayap semerah api yang sudah bersamanya sejak Masa Penciptaan. Dia meraih salah satu sayapnya dengan tangannya sendiri dan merobeknya.

Jeritan tak tergambarkan dari Puriel memenuhi aula itu, diiringi tetesan air mata milik Sang Agung yang menyaksikan Anaknya, Anak kesayangannya, memilih untuk binasa bersama Dewa Dunia Bawah yang tidak memiliki kesempatan.

Satu sayap cukup bagi Puriel untuk kembali ke Dunia Tengah.

Satu sayap cukup untuk membawanya kembali ke tempat Orcus.

Maka Puriel berlari ke tepian aula, lalu terjun ke kekosongan.

Kegelapan.

Puriel tersadar dengan keadaan gelap di sekelilingnya. Dengan cepat dia bangkit dan mendesah lega karena menyadari bukan Haven's Diner yang menyambutnya, melainkan ruangan kosong berdebu dengan satu jendela yang menampilkan langit malam di luar. Bangunan itu. Bangunan tua kosong tempat Edward nyaris membunuh Nathaniel. Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ruangan itu tidak kosong sepenuhnya.

"Orcus!" seru Puriel lega.

Orcus tengah duduk bersandar ke salah satu sisi dinding ruangan itu dengan sebelah lengan yang bertumpu pada satu lututnya yang ditekuk, tampak kepayahan dan seolah menahan sakit yang teramat sangat, namun pria besar itu masih sanggup menyunggingkan seringai congkak khasnya ketika melihat Puriel. 

"Kau kembali." engahnya, sepasang mata peraknya berkilau tertimpa sinar lembut rembulan yang menembus melalui jendela, namun seringaian itu dengan cepat lenyap dari wajahnya ketika menyadari kondisi wanita itu. "Apa yang terjadi dengan sayapmu?"

"Mereka melakukan Pengulangan itu hanya untukku. Aku bisa kembali, sementara kau ditakdirkan untuk terbakar di tanganku karena pelanggaranmu." Puriel berlutut di hadapan Orcus. Dia lalu tersenyum lembut, "Karena itu aku merobeknya dan kembali."

Orcus menatap Puriel dengan tatapan yang tak terbaca. Seolah terhipnotis, sebelah tangannya naik untuk mengusap ujung helaian rambut sewarna api milik Puriel, mengaguminya dengan ekspresi yang membuat wanita itu begitu dilingkupi...

Kedamaian.

"Akhirnya aku mengetahui alasan mengapa manusia seringkali bisa bertindak begitu bodoh." ujar Orcus, terkekeh parau.

Puriel mengangguk, lagi-lagi sengatan panas itu, "Aku juga."

Orcus mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk maju dan menarik Puriel ke dalam pelukannya. Puriel balas memeluk Orcus. Seketika, dia merasa iri terhadap manusia. Bagaimana bisa mereka dapat menikmati perasaan yang begitu indah seperti saat ini dengan amat sering dan leluasa? Bagaimana bisa mereka menampung berbagai Emosi dalam tubuh fana itu, bila saat ini saja Puriel seolah dapat hancur kapanpun menjadi serpihan-serpihan akibat perasaannya saat memeluk Orcus?

Puriel mendengar Orcus berbisik di telinganya.

"Memelukmu rasanya seperti memeluk keajaiban."

Kemudian, perlahan mereka melepaskan pelukan. Orcus menatap Puriel dengan senyuman yang terkembang lebar di wajahnya. Bukan seringai. Itu senyuman tulus yang dibalas Puriel dengan bahagia.

"Kita akan lenyap tanpa jejak." kekeh Orcus lemah, "Dan kau terlihat begitu berkilauan."

Kali ini, giliran Puriel yang menyunggingkan senyuman persekutuan.

"Kita sudah dibuang. Tak ada salahnya melanggar sedikit lagi?"

Tanpa mengindahkan tatapan bingung dari Orcus, Puriel menggenggam tangan pria itu dan memejamkan mata, untuk membawa mereka berpindah ke suatu tempat.

Puriel dan Orcus membuka mata. Sebuah kamar. Kamar bernuansa biru lembut dengan aroma yang khas. Beberapa boneka tergeletak di atas salah satu lemarinya dan sebuah ranjang kecil berada di tengah ruangan.

Bayi itu, putera dari Delilah, tengah tertidur lelap, terbungkus selimut dan diapit bantal-bantal kecil di sekelilingnya. Perlahan-lahan, Puriel meraihnya untuk menggendongnya. Bayi itu mengerucutkan bibir mungilnya.

Puriel mengecup kening si bayi seraya membisikkan kata-kata.

"Waktu akan menjadi teman baikmu dalam menghadapi dunia. Api dalam jiwamu takkan pernah padam. Inilah berkatku untukmu, wahai anak manusia. Kekuatanku senantiasa memberkatimu. Jejakku akan tertinggal pada dirimu, dan keturunan-keturunanmu selanjutnya, hingga Akhir Masa menutup segalanya."

Kemudian Puriel menyerahkan bayi Delilah pada Orcus, yang menimangnya dengan kelembutan yang tak pernah Puriel sangka sanggup dilakukannya.

Orcus mengecup jemari-jemari kecil milik bayi Delilah dan berucap, "Emosi dan sisi-sisi burukmu takkan pernah berhenti menghantui, seperti layaknya anak manusia lainnya, namun kau tidak pernah menyerah. Suatu hari kau akan menemukan seseorang, seseorang yang menjadi hukumanmu sekaligus pengampunanmu. Dan kau akan menemukan kedamaian."

Orcus dan Puriel saling tersenyum. Dan mereka terus berada di sisi ranjang kecil si bayi hingga fajar menyingsing. Pasangan nyentrik itu tak sekalipun melepaskan genggaman tangan mereka satu sama lain, mengagumi siluet tangan-tangan mereka yang terbentuk di lantai kayu akibat tertimpa cahaya pagi.

Hingga pada akhirnya, walaupun siluet itu perlahan menghilang seiring dengan musnahnya kedua sosok itu, kehangatan dan perasaan damai yang melingkupi kamar itu tetap tertinggal.

End of Journal 9

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top