Jurnal 8 : Sang Penjaga

Ada gereja tua kecil di perbatasan hutan Whitewoods yang sudah lama kosong.

Gereja putih itu berada agak jauh dari pemukiman, dan di dekat situ terdapat sebuah danau. Danau itu tidak memiliki nama, juga lokasinya tersembunyi di balik kerindangan pepohonan, sehingga keberadaannya nyaris tidak disadari. Hanya warga setempat atau mantan jemaat gereja tersebut yang mengetahui tentang danau itu, itupun hanya sedikit.

Dan di danau itulah, seorang gadis terjatuh.

Sepanjang hidupnya, si gadis pernah satu kali bertanya dalam hati; untuk apa manusia hidup, bila pada akhirnya mereka hanya akan dimatikan? 

Memang tidak ada yang istimewa pada dirinya. Rambut sebahu, mata coklat membosankan, kulit pucat, dan penampilan standar. Usianya masih delapan belas. Dia juga bukan pemenang Nobel perdamaian, penyembuh kanker, atau semacamnya yang menunjukkan kontribusi luar biasanya terhadap dunia.

Tetapi, gadis itu selalu yakin dirinya 'cukup pantas', karena dia seringkali mengisi kegiatan dengan hal-hal positif. Seperti pada tiap akhir pekan, dia selalu meluangkan waktu di klub Pecinta Lingkungan dan berkeliling ke beberapa blok di sekitar perumahannya untuk mengumpulkan sampah plastik. Atau ketika tempat penampungan hewan setempat tengah membutuhkan staf pengganti di malam Natal (karena staf aslinya harus dilarikan ke rumah sakit karena kandungannya sudah mencapai bukaan satu), dia dengan sukarela mengajukan diri.

Gadis itu selalu yakin dia sepatutnya berumur panjang dan berharap kematiannya yang tak terelakkan itu akan menjadi sesuatu yang layak dan normal, seperti misalnya sakit tua atau serangan jantung saat renta.

Intinya, dia tidak pernah menyangka hidupnya mungkin akan berakhir pada usia delapan belas di sebuah danau terpencil di tengah hutan Whitewoods, perbukitan yang terletak di belakang kota tinggalnya. Karena kecelakaan yang cukup konyol, bahkan. Di liburan musim panas sebelum kegiatan perkuliahannya dimulai kembali, grup Pecinta Lingkungan setempat sedang melakukan trekking untuk membantu memperbarui pemetaan di dalam hutan demi kepentingan warga. Dan di tengah perjalanan bersama grup itulah, entah mengapa si gadis mendadak merasakan dorongan untuk keluar dari jalan setapak.

Sesuatu menarik perhatiannya.

Keputusan untuk keluar jalur itu berujung pada bukaan hutan dengan sebuah danau besar yang baru pertama kali dia lihat. Rasa penasaran membawanya menaiki dermaga kayu yang mengarah ke tengah danau. 

Sesuatu yang tampak seperti pita berwarna kuning-biru mengapung-apung di permukaan danau. Benda itu entah mengapa terlihat begitu tak asing baginya...

Tanpa memperkirakan umur kayu penyusun dermaga itu, si gadis mendapati kakinya terperosok dalam lubang kayu yang lapuk ketika melangkah di atasnya dan membuatnya kehilangan keseimbangan.

Masalahnya, dia tidak bisa berenang.

Maka ketika air danau yang dingin menelan tubuh si gadis tanpa ampun, kepanikannya membuatnya membeku.

Dia tak mampu bergerak. Seluruh saraf di tubuhnya seperti tak merespon alarm bahaya yang meraung-raung dari otaknya. Dia tak dapat berteriak. Tak ada suara, gelembung-gelembung besar keluar dari mulutnya sebagai gantinya. Tenggorokan dan kerongkongannya dipenuhi air yang beraroma tanah dan lumpur, mengalir masuk dari mulut dan hidungnya. Telinganya tak dapat mendengar apapun.

Hening.

Gelap.

Dingin.

Gadis itu terbenam semakin dalam. Satu-satunya yang masih dapat diandalkannya hanyalah penglihatan. Pemandangan langit mendung yang menembus permukaan danau itupun perlahan menjauh seiring dengan jatuh tubuhnya. Dia semakin tenggelam ke dasar danau. 

Si gadis memejamkan mata.

Apakah aku akan mati?

Mendadak, tubuhnya serasa ditarik.

Apakah itu malaikat pencabut nyawa?

Gadis itu tak mampu memikirkan skenario lain. Dia bahkan nyaris tak menyadari tarikan itu datang bersamaan dengan rasa sakit pada salah satu lengannya.

Lalu semuanya terasa benderang.

Si gadis tak dapat mengingat detail bagaimana dia dapat kembali ke tepian danau atau apa yang terjadi sebelum dia tersadar dan terbatuk-batuk hebat, memuntahkan air danau dari mulut dan hidungnya. Paru-parunya serasa terbakar dan tubuhnya menggigil hebat. Dia ambruk kembali ke tanah, terengah-engah, matanya tak sanggup mempertahankan fokus pada langit mendung di atasnya dan tubuhnya terlalu lelah untuk menyadari bahwa ada sosok selain dirinya di tepian danau itu, sama basahnya.

Yang diingat gadis itu hanyalah penampakan sekilas sesosok anjing hitam yang menaungi kepalanya. Anjing hitam yang besar, dengan kedua mata putih terang tanpa pupil. Diiringi bunyi samar bel gereja di kejauhan, anjing itu menyeringai, dan gadis itu dapat merasakan napas panas makhluk itu di wajahnya saat dia melepaskan geraman.

Geraman dalam yang entah bagaimana, terdengar seolah memanggil namanya.

"Lily."

Cahaya suram berasal dari sinar matahari yang menembus masuk dari sebuah jendela kecil itu membangunkan Lily. Posisi kepala gadis itu persis berada di titik di mana sinar menimpanya, menyilaukan.

Lily mendudukkan diri dan menyadari dirinya berada di dalam sebuah ruang kecil temaram yang tampaknya seperti kamar tidur yang sudah lama tidak dihuni, dinilai dari bau apak dan debu yang melapisi perabot dan furniturnya. Bahkan ketika dia bangkit, kepulan debu yang berasal dari selimut di ranjangnya membubung ke udara, membuatnya terbatuk-batuk.

Lily merasakan tenggorokannya perih dan saat itu pula ingatan membanjirinya. 

Danau. Terjatuh.

Dilanda kepanikan, suara pintu kayu yang berderit terbuka membuatnya menjerit.

"AAAH!"

"Whoa!" 

"S-siapa kau? Apa yang terjadi?" Lily bertanya ketakutan. 

Pemuda yang baru saja membuka pintu berdiri diam selama beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Kau terjatuh di danau dan kehilangan kesadaran. Karena itu aku membawamu ke sini. Cobalah untuk tenangkan dirimu dulu..."

"Di mana ini?" Lily menatap si pemuda yang berpakaian serba hitam. Hampir menyerupai cassock atau jubah seragam pendeta dengan atasan hitam sepanjang lutut, dipadu celana panjang dan pantofel hitam. Hanya saja tidak ada warna putih pada kerah tingginya. 

"Aku membawamu ke gereja, aku bertugas di sini." jelasnya.

"A-aku melihat seekor anjing." Lily akhirnya terduduk lagi, dia menyadari kepalanya berdentum-dentum menyakitkan, "Anjing hitam besar. Dia... di pinggir danau. Dia menyelamatkanku."

Anjing itu memanggil namaku, Lily menambahkan dalam hati.

Si pendeta muda meletakkan nampan berisi secangkir teh yang masih mengepul dan beberapa keping biskuit di meja kecil di dekat pintu kamar dan menggesernya ke hadapan Lily, "Aku menemukanmu di tepian danau, tak sadarkan diri."

Apakah itu hanya halusinasi?

Lily akhirnya mendongak menatap si pendeta, "Terima kasih sudah menyelamatkanku, Bapa."

Mendengarnya, si pendeta muda menunduk malu. "Aku teknisnya belum menjadi pendeta. Kau bisa memanggilku Max."

"Max." Lily mengulang, memperhatikan penampilan pemuda itu dengan lebih seksama setelah kepanikannya mereda. Max tampaknya hanya beberapa tahun lebih tua dari Lily, dengan rambut hitam pendek dan sepasang mata abu-abu yang begitu kontras dengan seragamnya dan tampak agak terlalu mencolok di dalam ruangan temaram ini.

"Aku membawakanmu sesuatu untuk dimakan. Kau bisa mengganti bajumu yang basah dengan, uhm... punyaku." Max menunjuk ke arah kaki ranjang tempatnya meletakkan sehelai kemeja putih dan celana hitam dengan ekspresi meminta maaf, "Maaf hanya ada itu..."

"Tidak apa-apa, kau sungguh baik. Aku akan pinjam kemejanya saja, terima kasih." Lily menyisiri rambutnya yang lepek dan kusut. Masih sulit dipercayai dia nyaris mati tenggelam. Dia bersyukur tidak ada cermin di kamar ini, kalau ada mungkin dia sudah pingsan lagi akibat melihat pantulannya yang kacau balau.

Max mengangguk menanggapi perkataannya, lalu hendak keluar kamar. Namun kemudian dia terhenti dan berbalik, "Oh, jika kau mencari tasmu, aku sedang menjemurnya di luar bersama barang-barangmu yang basah, Lily."

Mendengar namanya diucapkan oleh pemuda itu, seketika Lily bersikap waspada, "Um... dari mana kau tahu namaku?"

Max mengerjap kaget, "Uh... tertulis di kartu identitasmu di dompet. Aku hanya berusaha menolongmu."

Seluruh saraf di tubuh Lily seketika melemas. Tentu saja. Normal bagi siapapun untuk mencari tahu identitas seorang gadis yang nyaris tenggelam dengan mengecek barang-barangnya. Termasuk tas, dompet, ponsel...

"PONSELKU?!" pekik Lily panik. Max mengangkat bahunya menyesal.

"Ponselmu mati. Aku tidak bisa menghidupkannya."

"Oh, tidak!"

***

Setelah menumpang mandi dan berganti pakaian, Lily termenung sejenak di dalam kamar. 

Apa yang membuatnya tertarik ke danau itu? Mengapa seolah ada yang begitu penting di sana?

Gagal mengingat-ingat motivasinya, Lily buru-buru menghampiri Max yang sedang menyapu kapel untuk mengecek barang-barangnya yang sedang dijemur di tangga luar gereja. Ketika melangkahkan kaki keluar, langit cerah berubah mendung dan gemuruh petir terdengar menggelegar. Kemudian hujan perlahan turun. Awalnya hanya rintik kecil. Namun tak lama berubah deras.

Lily tercengang.

"Apa—kenapa tiba-tiba...?"

"Maafkan aku." terdengar Max berujar pelan di sebelahnya. Lily menatapnya bingung, "Maksudku... aku menyesal barang-barangmu nggak bisa kering lebih cepat."

"Yeah, aku juga." gumam Lily lesu seraya mengumpulkan seluruh barang dan tasnya untuk dibawa masuk ke dalam. Di kapel, Lily menjajarkannya di atas salah satu kursi panjang. Sementara mengelapi barang-barangnya, Lily jadi memperhatikan Max yang kembali sibuk berberes. Dia menatap sekeliling. Kondisi gereja tua ini benar-benar memprihatinkan. Kotor, berdebu, banyak terdapat sarang laba-laba, dan beberapa furnitur seperti kursi jemaat dan beberapa engsel pintunya terlihat rusak, sementara lampu gantungnya—Lily coba menyalakan dan gagal—juga tidak berfungsi.

"Kubantu." Lily berjalan mendekati Max yang tengah berusaha mengangkat salib besar di belakang mimbar yang terjatuh. Max tersenyum berterima kasih. Setelah berhasil menggeser salib itu ke tempatnya semula di dekat dinding, Lily menyuarakan pertanyaan yang sudah bercokol selama beberapa saat di pikirannya, "Apakah gereja ini tidak dihuni atau dipakai siapapun selama bertahun-tahun?"

Max menegakkan diri, "Gereja ini kosong selama bertahun-tahun sejak... um, pendeta sebelumnya... pergi."

"Pendeta Rosenberg?" 

Max menoleh cepat, "Kau mengingatnya?"

"Kedua orangtuaku mengenalnya, tepatnya..." Lily bingung sedikit dengan reaksi dan pertanyaan Max yang agak tak biasa, "...kami sempat tinggal di sini dan menjadi jemaat gereja ini. Lalu kami pindah dan kembali lagi ke sini baru-baru ini. Ayahku melepaskan pekerjaannya dan memilih berwiraswasta. Kampusku juga dekat, jadi segalanya akan lebih praktis." 

Bahkan setelah Lily selesai berbicara, dia mendapati pemuda itu masih memandanginya lurus-lurus.

"Kau mengingat Pendeta Rosenberg?" Max mengulang pertanyaannya, menatap Lily dengan sepasang mata abu-abunya yang terasa mengintimidasi.

"Tidak, sejujurnya." Lily menjawab, "Aku masih enam tahun."

Mendengar itu, Max akhirnya menurunkan pandangannya, "Oh."

Kemudian tanpa berkata apa-apa, Max kembali meneruskan kegiatannya. Lily membantunya memunguti buku-buku yang berserakan di lantai.

"Boleh aku bertanya, apa yang terjadi pada Pendeta Rosenberg?"

Max terdiam.

"Dia... pergi dari kota ini bertahun-tahun yang lalu dan tak pernah kembali. Dia... menghilang."

"Mengapa?"

Gadis itu memperhatikan pundak Max menegang, seolah topik ini membuatnya tak nyaman.

"Karena suatu alasan." katanya, kemudian meneruskan dengan suara lebih pelan, "Dia ayahku."

Lily tercekat, "A-aku minta maaf. Aku tidak bermaksud me—"

Max berbalik dan menyunggingkan senyuman kecil kepadanya, "Tidak apa-apa, Lily."

Dalam hati Lily memaki dirinya dan ketidakpekaannya pada hal-hal semacam ini. Maka dia memutuskan untuk mengalihkan topik, "Jadi kau kembali ke sini untuk mendirikan kembali gereja ini?"

Pemuda itu lagi-lagi tersenyum, namun kali ini senyumannya terlihat sedih. "Aku hanya menjaga tempat ini untuk sekarang. Tapi mungkin tidak akan lama."

"Setelah ini kau harus kembali ke kota asalmu?"

Pandangan Max menerawang.

"Semacam itu."

Selama beberapa hari berikutnya, Lily menghabiskan siang harinya di gereja tua itu, membantu Max membereskan kapel sembari membawa bekal makan siang untuknya dan untuk Max. Dan rutinitas itu membuatnya hapal akan kebiasaan pemuda itu.

Max tidak pernah terlihat beraktivitas di luar, dia lebih memilih mendekam di dalam gereja dan mengerjakan sesuatu, entah bersih-bersih, membaca buku, memainkan kartu remi, monopoli, atau apapun yang ditemukannya di gudang gereja. 

Max memiliki kamar di sudut utara bangunan gereja yang 'terlarang' untuk Lily masuki. Satu-satunya alasan yang digunakan Max setiap kali Lily mempertanyakan ini hanyalah, "Kamar cowok."

Awalnya Lily sempat memiliki kesan kalau Max adalah pemuda yang dingin dan tertutup. Namun setelah menghabiskan waktu bersama-sama dan semakin mengenalnya, ternyata—secara mengejutkan—Max adalah pemuda yang ramah dan cukup sensitif. Di satu waktu keduanya mengobrol soal diri masing-masing, yang Lily candai sebagai Sesi Pengakuan Dosa.

Pada sesi itu, Max mengakui bahwa terhadap orang asing dia cenderung pemalu. Namun terhadap orang yang sudah dikenalnya dengan baik, dia bisa sangat loyal, bahkan cenderung egois dan menjadi terlalu bergantung. Sementara Lily menganggap dirinya pekerja keras, berpola hidup sehat, dan suka kebersihan. Sehari-hari, dia selalu memastikan dirinya mendapat pasokan sayur dan buah yang cukup, serta lebih memilih air putih dibanding kopi atau soda, atau bir. Tetapi Lily cukup yakin bagi keluarganya atau sebagian besar teman-temannya, perilaku 'suci'nya itu pastilah terlihat menyebalkan. Mungkin itu salah satu faktor mengapa dia tak punya banyak teman.

Bicara soal keluarga dan teman, Lily seringkali mendapati Max melamun tiap kali Lily tak sengaja menyinggung topik itu. Max tidak pernah bicara soal kehidupan sosialnya. Dan di saat-saat seperti itu, ingin sekali rasanya mengetahui isi kepala pemuda itu. 

Jika tidak sedang melamun, pada momen-momen yang tak jarang terjadi di tengah-tengah kegiatan berberes mereka, Lily pernah beberapa kali mendapati Max sedang memandanginya. Dan Lily bukan bicara soal curi-curi pandang. Itu adalah tatapan intens yang tidak sembunyi-sembunyi, yang bila Lily menatapnya balik dan bertanya "Apa?", Max hanya akan terus menatapnya sambil menjawab, "Nggak kenapa-napa."

Yang lebih canggung lagi, Max tidak pernah jadi orang pertama yang menurunkan atau mengalihkan tatapannya. Kalau saja Lily tidak selalu keburu salah tingkah, mungkin keduanya akan berujung pada lomba adu tatap. 

Ngomong-ngomong, adu tatap itu kembali terjadi siang ini, ketika keduanya sedang makan bekal di salah satu kursi panjang dalam kapel setelah kerja bakti mengepel lorong. Lily sampai mencengkeram sandwich isi telurnya secara tak sadar, saking dia ingin mempertahankan tatapannya. 

Namun alih-alih menanyakan "Apa?"-nya seperti sebelum-sebelumnya, Lily memutuskan bertindak nekat.

"Max, bagaimana kalau kita jalan-jalan di hutan?"

Max—yang tidak menduga pertanyaan semacam itu akan terlontar—mengerjap.

Sukses.

"Aku tidak bisa." Max mengalihkan pandangannya.

"Kenapa?"

"Sibuk."

Lily mendengus, "Omong kosong. Kerjaanmu di sini hanya bersih-bersih, membaca dan mencatat entah apa di buku-bukumu, dan mendekam di Kamar Rahasia-mu."

"Aku tidak bisa meninggalkan gereja." gumam Max.

"Kenapa?"

Max tidak langsung menjawab.

"Kau sebaiknya pulang, Lily."

Lily mendesah putus asa. Berapa banyak rahasia yang dimiliki pemuda ini? Pertama, dia bilang dia tidak bisa meninggalkan gereja. Kedua, dia selalu was-was setiap kali Lily berada terlalu dekat dengan kamarnya. Ketiga, dia tidak pernah membicarakan keluarganya sama sekali, kecuali mengakui bahwa Pendeta Rosenberg adalah ayahnya.

Puncaknya, Max menyuruh Lily pergi. Ini khusus, karena biasanya dia baru mengusir Lily persis ketika bel gereja berbunyi pada petang hari sekitar pukul empat. Tidak pernah lebih. Karena itu Lily tidak pernah berada di gereja pada malam hari. 

Tetapi, malam ini Lily ingin membuat pengecualian.

Segala sesuatu pada Max seolah meneriakkan 'misteri' bagi Lily. Dia merasa pemuda itu menyembunyikan terlalu banyak hal, memendam begitu banyak kemuraman hingga taraf yang membuat Lily ingin membantu dan tidak bisa tidur tenang sebelum melakukannya. 

Karena itu, berbekal jaket, senter, dan ransel berisi peralatan yang biasa dibawanya saat trekking bersama grup Pecinta Lingkungan, Lily kembali ke area gereja malam itu, sekitar pukul dua pagi. Dalam hati Lily bersyukur karena dia tinggal di apartemennya sendiri sejak masuk kuliah—walaupun rumah orangtuanya sangat dekat—sehingga dia tidak harus mengendap-endap keluar kamar.

Bagaimanapun, dia merasakan dorongan kuat untuk mengunjungi Max. Mungkin dia bisa mengejutkan pemuda itu dengan tidur di kapel hingga pagi dan membuktikan bahwa dia tidak menyentuh apapun selama itu dan... yah, bisa dipercaya. Well, mengesampingkan soal dirinya yang menerobos masuk gereja di tengah malam.

Lily akhirnya tiba.

Melihat gereja di malam hari benar-benar memberi kesan yang berbeda. Bila pada siang hari bangunan itu terlihat sendu dan sejuk, apa yang dilihat Lily saat ini adalah bangunan gelap yang dikelilingi aura misterius. Dia dan Max boleh saja membenahi bagian dalam gereja tua itu, tetapi dari luar, perubahannya tidak banyak terlihat.

Membulatkan niat, Lily berjingkat menyeberangi pekarangan gereja dan menyusuri lorong di sisi kanan bangunan, menuju pintu sampingnya yang...

Tidak dikunci!

Bersorak dalam hati akan keberhasilannya, Lily menyelinap masuk dan menutup pintu di belakangnya, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Ketika keluar dari ruang samping gereja dan memasuki kapel, pada saat yang bersamaan, Lily melihat pintu besar utama gereja menutup.

Max? Dia keluar?

Terdengar gemuruh petir dari luar, Lily mengintip melalui salah satu jendela dan mendapati gerimis telah turun. Lily menaikkan tudung jaketnya dan menerobos hujan.

Lily sudah keluar dari pekarangan gereja dan memasuki wilayah pinggiran hutan, namun tidak tampak sosok Max di manapun. Hujan semakin deras, Lily berteduh di bawah sebuah pohon dengan daun-daun lebar dan menyipitkan mata, menyusuri seisi hutan dengan bantuan senter dari ponselnya.

Kemudian, dari balik batang pepohonan Lily melihat permukaan air danau yang beriak lembut di bawah sinar bulan.

Dan lagi-lagi, sesuatu pada danau itu menarik perhatiannya.

Pita itu. Pita biru-kuning yang ternyata, setelah dilihat lebih dekat, merupakan bandana anak-anak motif bunga yang sangat familiar.

Seperti miliknya dulu...

"Lily!"

Suara seseorang menyerukan namanya. Suara siapa?

Sedikit lagi. Tinggal sedikit lagi Lily bisa meraihnya...

"LILY!"

Lily tersentak bangun. Terbatuk-batuk. Lagi-lagi rasa sakit yang sama di tenggorokan dan paru-parunya terasa panas. Dia kebingungan mendapati dirinya setengah terbaring di tepian danau, dengan sekujur tubuhnya yang basah kuyup, tapi jelas bukan hanya akibat dari hujan, "A-apa yang terjadi?!"

Dan di sebelahnya, telah duduk seekor anjing besar hitam bermata putih terang.

"Kau!" Lily berseru serak, mengenali anjing misterius itu. "Kau yang menyelamatkanku tempo hari saat aku nyaris tenggelam!"

Sepasang mata putih milik anjing itu hanya menatap Lily tanpa kedip. Ragu-ragu, Lily mengulurkan sebelah tangannya yang gemetar karena kedinginan. Di luar dugaannya, anjing itu menyundulkan kepalanya ke telapak tangan Lily, menyambut belaian tangan gadis itu dengan senang hati. Tidak seperti perangainya yang liar dan menyeramkan, juga ukurannya yang mungkin dua kali ukuran golden retriever dewasa, anjing itu tanpa ragu membiarkan Lily menggaruk-garuk belakang telinganya. Lily menikmati mengelus surai-surai hitam panjangnya yang lembut namun basah.

"Terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku." ucap Lily pada anjing itu, "Siapa pemilikmu? Apakah Max memeliharamu diam-diam di kamarnya, karena itulah dia tidak mengizinkanku masuk?"

Sepasang mata putih si anjing hanya menatap Lily tanpa kedip.

Lily terkekeh, "Kau tahu? Kau benar-benar mirip majikanmu jika sedang begitu."

"Dasar bodoh!" geram si anjing.

Jantung Lily serasa berhenti. Dia membelalak memandangi anjing itu dan mulai tergagap.

"Ba-barusan...?"

"Kau nyaris tenggelam tiga kali di sini karena kecerobohanmu."

"K-kau... bi-bicara... kau bisa bica—"

"Inilah mengapa aku menyuruhmu untuk tidak berada di sini lebih dari petang hari."

Lily membuka-tutup mulutnya tanpa ada suara yang berhasil keluar.

"M-Max?" Lily berujar serak.

Anjing itu menyundul pelan rahang Lily, seolah mengiyakan.

"Kau harus mulai belajar berenang, Lily."

Lily tidak mampu lagi menangkap perkataan si anjing, karena detik berikutnya, dia keburu pingsan.

Tersadar di tempat yang bukan kamar atau sofa apartemennya rasanya sudah menjadi semacam rutinitas aneh bagi Lily belakangan ini. Lily kembali berada di kamar berdebu di gereja—walaupun debunya sekarang sudah sangat jauh berkurang. Pemandangan langit yang masih gelap dari jendela kecil menunjukkan bahwa mungkin Lily hanya pingsan sebentar. Dia masih mengenakan pakaian basahnya, hanya saja jaket tudung dan kaus kakinya entah bagaimana sudah tergantung di kaki ranjang...

Ada seekor anjing hitam yang sedang tidur di dekat kakinya. Tepatnya, tidur dengan posisi kepalanya menimpa kedua kaki Lily, membuat gadis itu tidak bisa kabur.

Tetapi Lily sadar dia tidak punya alasan untuk kabur. Tanpa sadar Lily mendudukkan diri dan mengulurkan tangannya untuk membelai punggung si anjing. Anjing besar hitam yang semalam mengaku-ngaku sebagai Max...

"Apa kau benar-benar Max?"

Sepasang mata putih si anjing mengerjap terbuka, "Tentu saja."

"Astaganaga!" Lily memekik kaget, menyebabkan si anjing... well, 'Max' bangkit dari tidurnya. Lily pastilah sedang menampilkan ekspresi sedemikian rupa sampai-sampai Max jengah sendiri dan turun dari atas kaki gadis itu ke lantai, menimbulkan bunyi debum pelan. Kemudian dia mengambil sesuatu dari atas lantai dengan moncongnya dan meletakkannya di pangkuan Lily. Sebuah bandana berwarna kuning-biru motif bunga-bunga.

"Apakah itu benda yang kaucari?"

Lily memungut bandana itu. Sekarang dia ingat. Itu bandana miliknya ketika masih kecil. Dia selalu memakainya ke mana-mana dan kehilangannya ketika...

"Tiga kali..." Lily mengulang pelan, "...aku jatuh di danau itu tiga kali..."

"Yang pertama kali ketika kau berumur enam tahun." Max menyambung kalimat gadis itu.

Mendadak, Lily merasakan dadanya dipenuhi rasa panas akibat emosi yang membuncah karena ingatannya.

Dia menatap Max, takjub dan tak percaya.

"Maximillian?"

Max memajukan kepalanya, menyundul rahang Lily pelan dengan moncong hangatnya, "Kau akhirnya ingat."

Lily bangkit dari ranjang begitu cepatnya hingga terjatuh berlutut di hadapan anjing hitam itu, lalu memeluknya erat. Entah berapa lama dan seberapa keras gadis itu menangis, seingatnya dia hanya pernah sekali menangis seperti itu dulu.

Yaitu saat upacara pemakaman sahabat masa kecilnya, Maximilian Rosenberg.

Lily dan Max duduk berdampingan di tepi danau. Hujan sudah reda dan langit malam di atas mereka yang tak tertutupi puncak pepohonan berubah keunguan. Sudah nyaris subuh.

Lily menghabiskan satu jam terakhir mendengarkan Max bercerita. Tentang dirinya, ayahnya, kematiannya. Sejujurnya, bila saja yang bercerita di sebelahnya saat ini bukanlah Max yang berwujud seekor anjing hitam besar, Lily meragukan dirinya akan percaya setiap hal yang dikatakan pemuda itu.

Lily ingat bahwa dia dan Max dulu merupakan sahabat sepermainan, walaupun jarak umur mereka cukup jauh. Keluarga Lily merupakan jemaat gereja di bawah naungan ayah Max, Pendeta Rosenberg, karena itu keduanya sering menghabiskan waktu bersama-sama di area gereja.

Dan ketika Lily berumur enam tahun dan Max berumur sebelas, tragedi itu terjadi. 

"Aku tengah mempertimbangkan untuk menenggelamkan diri saat itu. Rasanya sakit sekali."  Max berkata kepada Lily dengan suaranya yang lebih menyerupai geraman pada wujud anjingnya, "Dan tiba-tiba kau datang menangis-nangis padaku, berteriak-teriak mengancamku kalau kau akan loncat ke dalam danau jika aku pergi."

"Orangtuaku memberitahuku sambil menangis bahwa kau tidak akan bisa lagi bermain denganku." ujar Lily pelan, dia memeluk lututnya sementara angin yang membawa aroma tanah bekas hujan berhembus di sekeliling mereka. Lily mendengus, "Leukimia. Waktu itu aku tidak mengerti maksud mereka. Makanya aku lari ke gereja dan menemukanmu di dekat danau. Kupikir kau mau pindah rumah atau apa."

Max menoleh menatapnya, "Kau datang di saat-saat yang terlalu tepat."

Lily menggeser duduknya dan meraih Max. Dia melingkarkan sebelah lengannya ke tubuh Max, setengah bersandar, setengah memeluknya. Pada posisi seperti ini pun Max sekepala lebih tinggi darinya. Gadis itu bisa merasakan Max menyukai pelukannya, karena dia kemudian meletakkan kepala dan moncongnya di puncak kepala Lily.

"Oke, ini Sesi Pengakuan Dosa. Aku lega karena aku tepat waktu." gumam Lily tulus, lalu dia menambahkan dengan nada bercanda, "Aku bahkan merelakan kehilangan bandana kesayanganku waktu itu."

"Aku lega karena aku bisa berenang untuk menyelamatkanmu." kekeh Max parau, "Kau tidak bisa membayangkan bagaimana horornya menyaksikan bocah berumur enam tahun yang kepingin mencegahmu meloncat ke danau malah nyaris tenggelam di hadapanmu."

Mendadak Lily menarik kepalanya dan bertanya bingung pada Max, "Ngomong-ngomong, mengapa bandana itu bisa muncul lagi setelah bertahun-tahun di danau yang sepertinya selalu mencoba menenggelamkanku?"

"Wanita penghuni danau itu menjaganya untukmu. Kau tertarik ke sana karena dia ingin mengembalikannya. Dia tidak punya niatan jahat."

"Uh... kau pasti tidak memberitahu 'wanita' itu kalau aku tidak bisa berenang?" Lily berupaya keras untuk tidak membayangkan sesosok wanita misterius di bawah air yang berusaha menarik-narik kakinya. Max terkekeh.

"Dan aku dimarahi habis-habisan setelahnya. Aku membahayakan nyawamu dan nyawaku." kenang Lily, entah bagaimana mampu mengingat segalanya dengan jelas saat ini, setelah bertahun-tahun lamanya semua ingatan itu seolah terblokir dari kepalanya.

Max membawa Lily ke Kamar Rahasia seusai peluk-pelukan dan tangis-tangisan mereka di gereja tadi, dan menunjukkan isinya. Itu bukan kamar tidur. Tempat di mana langit-langit seharusnya berada digantikan oleh atap kaca membulat, membuat penerangan alami dari bulan di langit malam menyinari ruang kecil kosong itu. Sebuah nisan yang lebih menyerupai monumen kecil dibangun di tengah-tengah ruangan. Dan pada permukaan marmernya tertera;

DI SINI TERBARING
MAXIMILIAN ROSENBERG

PUTRA, SAUDARA, TEMAN

DAN ANJING KESAYANGANNYA, CEROS

Gadis itu memejamkan matanya, berusaha menguasai diri. Bukan hal yang mudah menemukan makam milik sahabat kecilmu setelah sekian lama 'melupakan kematiannya'. Maka dia meneruskan dengan pelan, "Kurasa kepergianmu sedikit-banyak memiliki andil pada ingatanku."

"Kau pindah segera setelah kematianku." kata Max.

"Aku tidak bisa tetap di sini." Lily merasakan matanya memanas, "Sahabatku dikubur."

Lily mengeratkan pelukannya, dan Max bersandar semakin dekat. Langit sudah berubah ungu muda, dan segaris warna jingga sudah muncul di horizon yang samar-samar dapat mereka lihat dari antara batang-batang pepohonan.

"Ceros anjing yang baik." Max membuka suara setelah beberapa saat mereka terdiam, "Dia milik ayahku dulu, tetapi dia juga sakit. Maka ketika Ayah mendirikan gereja ini, dia memindahkan abu Ceros untuk ditanam di sudut utara bangunan, berharap dia dapat menjaganya dari hal-hal buruk."

Max terkekeh dan melanjutkan, "Aku ingat pernah bilang kepada ayahku di saat aku terbaring di rumah sakit. Aku ingin membantu Ceros menjaga gereja itu setelah aku mati. Dia mewujudkan keinginanku. Dia menguburku bersama Ceros agar aku dapat mengabdikan kehidupan setelah kematianku sebagai penjaga."

"Kau menjaga banyak hal." canda Lily, "Gereja, danau, bandanaku..."

"...dan kau." sambung Max.

Lily menoleh dan tersentak kaget. Entah sejak kapan Max sudah berubah kembali menjadi manusia.

"A-aku minta maaf..." Lily hendak melepaskan pelukannya, merona, namun Max menahan lengannya dan kembali membawa gadis itu ke dalam dekapannya. Ini sungguh aneh. Lily dapat merasakan tekstur pakaian yang dikenakan Max dengan sangat baik. Dan eksistensi Max terasa nyata dan solid. Lily memberanikan diri menjauhkan wajahnya untuk dapat menatap sepasang mata abu-abu terang milik pemuda itu, lalu dia mengangkat sebelah tangannya dan menyentuhkan telapaknya di pipi Max yang halus.

"Max, sebenarnya kau ini apa?"

"Entahlah." Max mengangkat bahu, "Mungkin hantu. Atau ilusi. Atau memori. Wujud dari ingatan ayahku. Atau sebagian kecil dari semua itu."

Sinar mentari yang perlahan muncul di ufuk menerangi wilayah hutan, menegaskan garis-garis pepohonan, dedaunan, kontur tanah, dan rerumputan di sekeliling mereka. 

Max tersenyum, tatapannya menerawang, "Aku hanya bisa bertahan selama berada di dalam batas pekarangan gereja. Tetapi aku melanggar janjiku, dua kali. Untukmu. Karena itu aku harus segera—"

Lily mengeratkan pelukannya. Dadanya sesak, tenggorokannya serasa tersumpal dan matanya semakin buram, "Jangan pergi."

Max tersenyum sedih, "Aku tidak bisa di sini lebih lama lagi."

"Maafkan aku, kau seharusnya tidak usah keluar area gereja dan pergi ke danau. Kau tidak perlu menyelamatkanku..."

"Jangan katakan itu. Kau sahabat baikku. Aku harus melakukannya. Hiduplah tanpa penyesalan apapun. Hiduplah dengan kemampuan dasar berenang."

Lily yang sudah sesenggukkan jadi tak sanggup menahan tawanya, "Kau menyebalkan."

"Trims." kekeh pemuda itu.

"Tetapi anehnya," gadis itu menghapus airmatanya dan mendongak menatap sahabatnya, "...aku menyayangimu, Max."

Max menyunggingkan senyuman terlebar dan tercerah yang pernah dilihat Lily. Sinar mentari fajar menimpa profilnya, membuat rambut hitamnya berubah kecokelatan sewarna daun kering, dan memperjelas binar hangat pada sepasang matanya yang begitu membuat Lily sesak oleh nostalgia bercampur kesedihan yang teramat sangat karena dia harus merelakan pemuda itu. Waktu kebersamaan mereka terasa terlalu singkat, terlalu cepat.

"Aku juga menyayangimu, Lily." ucap Max tulus, "Selalu."

Kemudian Max memajukan wajahnya dan memberi kecupan panjang di dahi gadis kesayangannya itu. Gadis yang memejamkan mata untuk menikmati kehangatan itu, sementara keduanya saling berharap agar rasa itu tetap bertahan di ingatan mereka hingga kapanpun.

Setahun kemudian...

Minggu pagi.

Sekelompok orang, tua dan muda, terlihat berjalan menyusuri setapak perbatasan hutan Whitewoods, mengobrol dan bertukar sapa. Sebetulnya, itu pemandangan Minggu pagi yang agak tak biasa bagi warga sekitar, karena hari itu adalah hari pertama pembukaan kembali gereja tua di dekat danau itu.

Sejak terbangun sendirian di tepian danau dengan bandana kuning-biru tergenggam di kepalan tangannya setahun yang lalu, Lily memiliki tujuan baru. Gadis itu mendedikasikan waktu luangnya jika tidak sedang berkuliah untuk mencari pendeta baru untuk dipercayakan menjadi penerus di gereja tua Whitewoods. Dia membentuk kelompok penggalangan dana untuk merekonstruksi gereja, dan mendadak nama Lily menjadi dikenal di seisi kota. Bila dulu Lily tidak pernah banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang selain keluarganya, prioritas barunya ini menuntunnya menjadi pribadi yang lebih bersosialisasi dan sebagai bonusnya, Lily sekarang memiliki begitu banyak nomor kontak baru untuk ditambahkan di ponselnya.

Ngomong-ngomong, ponsel itu masih ponsel yang sama dengan yang pernah tenggelam bersamanya di danau setahun yang lalu. Ponsel yang dulu Lily pernah gunakan untuk diam-diam mengambil foto Max yang sedang duduk membaca buku di salah satu kursi kapel.

Foto itu pun masih tersimpan dengan aman di dalamnya. Anehnya, yang tampak pada foto itu hanyalah pemandangan kursi kapel gereja. Tidak ada Max di sana. 

Kini, foto kursi kapel yang kosong itu telah dicetak dan menempati sebuah pigura khusus di sudut kamar tidur Lily, di dalam rak kayu kecil yang berisi benda-benda berharga dengan kisah-kisah tersendiri, atau penuh dengan kenangan. Dan di antara pigura dan deretan barang-barang lain miliknya, sebuah bandana kuning-biru dengan motif bunga-bunga kecil turut tersimpan dengan rapi.

End Of Journal 8

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top