Jurnal 7 : God Save The Clock
"I never worked so hard in my life [as] for Mr. Barry for tomorrow I render all the designs for finishing his bell tower and it is beautiful and I am the whole machinery of the clock."
–Augustus Pugin
***
Rumah Keluarga Barry, 10 Juni 2097 - 07:00 AM
Sebuah kilatan cahaya dengan beragam warna diiringi desingan samar aneh memenuhi salah satu ruang kamar di lantai dua rumah keluarga Barry pagi itu. Ketika cahaya itu memudar, sesosok pemuda berjaket merah sudah berdiri di ujung kaki ranjang seorang gadis yang baru terbangun. Senyuman lebar menghiasi wajah kekanakkan pemuda itu.
"SELAMAT PAGI! AKU REED DARI DIMNESOR-TECH, SIAP MELAYANI ANDA!" serunya lantang.
Dan Hannah Barry menjerit.
***
Reed mengerang pelan, memegangi puncak kepalanya yang nyeri dan sepertinya memar. Dia duduk bersila di lantai kamar berlapis karpet berwarna jingga lembut itu. Di sebelahnya duduk Hannah, si gadis berambut hitam ikal sebahu dan bermata biru yang lima belas menit lalu menjerit panik karena mendapati seorang pemuda asing muncul begitu saja di kaki ranjangnya. Jadi bukan salah Hannah karena telah menimpuk kepala pemuda itu dengan jam alarm.
"Harusnya aku ingat di tahun ini DimTech belum begitu terkenal." erang Reed, merutuk pelan.
Hannah menghela napas jengkel. Dia tahu mengenai Dimnesor-Tech, atau semua orang biasa menyebutnya DimTech. Itu adalah perusahaan yang didirikan oleh sekelompok ilmuan idealis dengan sokongan dana dari para pendukung mereka yang sepertinya memiliki terlalu banyak nominal angka pada buku tabungannya sehingga bingung harus diapakan lagi. DimTech merupakan salah satu pelopor yang terbukti sukses menciptakan mesin waktu, dan mengkomersialkannya untuk publik dalam bentuk 'jasa menjelajah waktu'. Siapa yang berani membayar tinggi dapat melompati waktu bersama agen DimTech.
"Kau seharusnya datang dengan lebih normal. Dari pintu depan. Kami tahu tentang DimTech dan jasa yang mereka tawarkan, tapi tetap saja masih amat jarang mendapati seorang... well, 'staf' mereka muncul mendadak di kamarmu pagi-pagi buta dan mulai teriak-teriak dengan aksen aneh. Jadi jangan salahkan reaksiku." kata gadis itu seraya menawarkan sekantung kentang goreng beku yang baru diambilnya dari kulkas di dapur, "Kompres?"
"Time-Crosser. Pelintas-Waktu. Atau Crosser. Itu aku." Reed meralat istilah 'staf' yang norak itu dan meraih kantung dari Hannah untuk kemudian menempelkannya tepat di memar kepalanya. Rasanya mendingan. "Jadi kau sudah membaca surat dari dirimu enam tahun yang akan datang? Kau-masa-depan menitipkannya padaku."
"Yeah." Hannah menatap kertas yang terlipat di tangannya, alisnya terkernyit. Tulisannya ternyata masih jelek bahkan enam tahun mendatang. "Aku-masa-depan memintaku untuk kembali ke masa lalu dan memastikan kemenangan kakek buyut-buyut-buyutku yang bernama Charles Barry dan... uh, rekannya yang bernama Pugin? Itu aneh banget."
"Augustus Pugin."
"Mengapa aku-masa-depan nggak melakukannya saja sendiri? Mengapa harus menyuruhku?"
Reed mengangkat bahu, "Pastilah karena suatu alasan yang diketahui kau sendiri."
Hannah mengernyit lagi.
"Seorang Crosser dan klien ilegalnya di masa depan (well, masaku) merencanakan suatu kecurangan di masa lalu. Dan di sinilah peran kita, untuk mencegahnya." Reed bangkit, membuat perhatian Hannah jadi teralih padanya.
Untuk ukuran orang dari masa depan, selera berpakaian Reed rupanya sangat kuno. Pemuda itu mengenakan sesuatu yang tampak seperti seragam pilot tahun 1950-an, yaitu setelan terusan penerbang warna cokelat dipadu jaket kulit merah marun dengan beberapa emblem keren yang terjahit di bagian pundak dan sakunya, tas pinggang multifungsi, dan sepatu bot tentara. Di kepalanya bertengger sebuah kacamata goggle besar, yang membuat rambut pirang-nyaris-kuning bergelombangnya tersibak di bagian dahi. Entah kostum ini digunakannya karena keharusan atau hanya demi gaya-gayaan.
"Kecurangan?" Hannah memutuskan untuk berkonsentrasi pada tujuan Reed datang ke sini.
"Rencana penggagalan kemenangan kakek buyutmu dan Pugin di masa lalu." Reed menjelaskan dengan aksennya yang agak aneh, "Dan hal itu sedikit-banyak berpengaruh pada... erm, perubahan sejarah."
"Kemenangan apa sebetulnya? Apa maksudnya?" tanya Hannah, mengingat dia tidak pernah mendalami sejarah keluarganya sendiri.
"Apakah kau pernah mendengar tentang The Great Clock?"
Hannah menyipitkan mata, "Maksudmu Big Ben? Tentu saja."
"Jadi kalian masih memilikinya. Lega mengetahuinya." Reed menggumam misterius.
"Jadi kita perlu mencegah siapapun dari masa depan untuk mengubah sejarah... Big Ben atau semacamnya? Mengubah sejarah... tidakkah itu dilarang di masamu?"
"Ilegal, ya. Tetapi bukan tidak mungkin." Reed mengangkat bahu lagi, seolah menjelaskan hal yang lumrah.
"Apa yang akan terjadi di masa depan?" Hannah mengernyit.
"Maaf, aku hanya bisa menjelaskan sejauh ini. Um... bagian dari kontrak. Peraturan pertama, tidak bisa memberitahukan klien di masa lalu tentang apa yang akan atau sudah terjadi. Peraturan kedua, tidak boleh menjalin hubungan non-profesional dengan klien. Peraturan ketiga, batas maksimal lompatan waktu adalah tiga kali."
Hannah mengernyit, "Bagaimana orang DimTech tahu kalau kita melanggarnya?"
"Semacam lensa kontak yang memiliki kamera." Reed menunjuk matanya sendiri, "Ngomong-ngomong, pakailah ini!"
Hannah, yang masih agak bengong karena berusaha mencerna perkataan Reed, menangkap buntalan pakaian yang dilemparkan Reed padanya seraya mengeryit. Gaun satin berenda warna biru-perak dengan lengan balon dan rok mengembang, seperti yang sering dilihatnya dikenakan gadis-gadis muda di sampul novel roman-sejarah milik ibunya. Dia semakin mengernyit melihat sepasang sepatu hak dan topi berpita yang serasi sebagai pelengkapnya, "Kau serius?"
"Kita perlu membaur!" Reed berkata cerah, "Kita bakal melompat ke 1836."
Sekitar sepuluh menit kemudian, Hannah keluar dari kamar mandinya, berpakaian seperti tokoh di salah satu cerita lawas Jane Austen, dan merasa konyol. Sementara Reed sudah mengenakan setelan miliknya; jas buntut merah marun, kemeja, vest, dan celana bahan warna krem, lengkap dengan topi tinggi dan sepatu pantofel yang senada. Namun dia bersikeras mempertahankan tas pinggang multifungsi itu dan kacamata goggle-nya, yang kini bertengger miring melingkari topi tingginya.
Puncak hidung Reed yang berbintik-bintik memenuhi pandangan Hannah ketika pemuda itu berdiri di hadapannya dan memasangkan sebuah arloji aneh dengan banyak tombol ke pergelangan tangannya. Reed sudah memakai arlojinya sendiri di pergelangan tangan kiri. Kemudian dia menawarkan telapak tangannya untuk disambut Hannah.
"Siap untuk mempertahankan sejarah?" cengiran Reed terkembang lebar, sepasang mata hijaunya berbinar bersemangat.
"Demi masa lalu dan masa depan." Hannah mengulum senyum, memutuskan untuk bersiap atas apapun yang akan terjadi dan menghadapinya dengan berani. Bohong bila Hannah berkata dia tidak merasa bangga dan istimewa, karena walaupun dirinya sendiri di masa depan yang mengutusnya dalam misi ini, bila perkataan Reed bisa dipegang, dia sedikit-banyak akan mempengaruhi jalannya sejarah. Sepenting itulah perannya.
"Yep! Demi masa lalu dan masa depan." Reed mengangguk puas, "Dalam aba-abaku, tekan tombol yang berwarna emas." Reed memberitahunya, "Aku sudah mengatur lokasi, tanggal, dan jam yang tepat untuk lompatan kita..."
"Aku siap."
"Dalam hitungan mundur, tiga... dua... satu... sekarang!"
Hannah memencet tombol emas di arlojinya, sesuai arahan Reed. Lampu kecil di arlojinya berkedip-kedip, dan seketika dirinya merasa udara di sekelilingnya tersedot, lalu dia melihat tubuhnya berkeredap dalam warna-warna aneh—seperti yang terjadi saat kau memainkan sebuah game dan terkena glitch. Dan selama sepersekian detik sebelum pusaran warna menelannya bulat-bulat, Hannah dapat mendengar Reed mengumpat di sebelahnya.
"Oh... sial!"
⏳
Suatu menara, 5 Agustus 1976 - 3:45 AM
"AAAAAAAAAAAAAHHHHHH!!!!!!"
Hannah merasakan dirinya terjun bebas di langit malam. Gadis itu memberanikan diri untuk menoleh dan melihat Reed juga sedang meluncur jatuh bersamanya di sebelahnya. Pemuda itu juga berteriak.
"HANNAH, TANGANKU!"
Dengan panik, Hannah menggapai-gapai udara di tengah terjunnya dan berhasil meraih jemari Reed yang terulur.
Mereka dapat sewaktu-waktu jatuh menimpa sesuatu yang kelihatannya sangat besar dan keras, kemungkinan besar berujung pada kecelakaan naas, namun kemudian dia merasakan sensasi hampa itu lagi ketika arlojinya kembali mengedip-ngedip. Dan kali ini, Hannah berani bersumpah mereka terjun menembus sebuah atap runcing dan sempat melihat kilasan jarum jam raksasa juga sebuah bel besar di ujung kakinya, yang kemudian mengeluarkan bunyi TAANG! diiringi gemuruh memekakkan telinga persis sedetik sebelum mereka kembali berkeredap dan ditelan pusaran waktu.
⏳
London, 27 Januari 1836 - 10:30 AM
Hannah berbaring terengah-engah menghadap langit siang hari yang cerah, tampaknya di atas rerumputan segar yang baru dipangkas. Di belakangnya terdapat sebuah bangunan besar bernuansa putih dengan desain yang indah yang terlihat seperti gedung pemerintahan dan banyak pekerja yang berlalu lalang di sekitar situ.
Hannah mendudukkan diri, merasa pusing dan mual. Lalu terdengar suara kekehan dari sebelahnya, yang membuat Hannah kebakaran.
"APA..." Hannah dengan susah payah bangkit setelah mengumpulkan lapisan roknya yang jumlahnya mungkin menyaingi jumlah lapisan ozon bumi, "...YANG..." dia berbalik menghadap Reed yang masih terbaring di sebelahnya dengan cengiran bodoh yang memudar dan kini menatapnya panik, "...BARUSAN..." dia mencopot topi berpita konyol dari kepalanya dan melemparkannya ke arah Reed dengan segenap emosi, "...KAULAKUKAN?!"
"Itu kecelakaan!" Reed menangkap topi berpita Hannah dan buru-buru bangkit untuk menjauhkan diri dari amukan gadis itu. Dia mengangkat kedua tangannya ke udara, tanda menyerah, "Arlojiku, well, arloji kita... seseorang di masaku pasti mengutak-atik waktu dan koordinat yang sudah kusetel..."
"Kita terjun bebas di langit dan menembus masuk entah-menara-apa!" desis Hannah nyaris histeris, "Dan nyaris mati!"
"Itu tadi Big Ben! Dan kita tidak mati!" ralat Reed cepat, satu tangannya memegangi topi tingginya dan topi Hannah, sementara tangan lainnya meremas rambut pirang bergelombangnya dengan frustasi, "Tapi aku cukup yakin aku mengacaukan sesuatu..."
"Apa?"
"Kakiku sempat menyentuh bel itu dan lompatan darurat kedua kita menimbulkan semacam dorongan yang cukup... uh, merusak."
Reed menekan beberapa tombol di arlojinya dan mengenakan goggle-nya. Ternyata itu bukan sembarang goggle, karena selama beberapa saat kaca pelindungnya berubah menggelap dan Reed tampak seperti tengah menonton sesuatu di baliknya, mencari-cari. Beberapa saat kemudian, ekspresinya berubah panik.
"Uh-oh."
"Ada apa?"
Tanpa berkata-kata, Reed melepaskan goggle miliknya dan menyerahkannya pada Hannah, yang segera dipakai gadis itu. Melalui goggle, dilihatnya sebuah tajuk berita utama televisi nasional London, tahun 1976, dengan penyiar yang tampak tegang sementara membacakan narasi.
Kerusakan Besar Pertama Big Ben!
"Setelah 117 tahun beroperasi tanpa kerusakan signifikan, untuk pertama kalinya 'The Great Clock', atau yang lebih sering kita sebut sebagai 'Big Ben', mengalami kerusakan parah yang membuat jam berhenti berdetak. Berikut keterangan yang kami peroleh dari seorang petugas polisi."
"Aku sedang berpatroli di dekat menara jam, lalu aku mendengar bunyi 'DUAK' seperti dentuman keras dari dalam menara. Aku mengecek waktu, pukul 3:45 dini hari. Setelah itu aku memanggil teknisi, dan kami bersama-sama berlari masuk dan mendapati kekacauan di dalam ruang jam. Potongan-potongan metal berhamburan di lantai dan beberapa tertancap di dinding, dan ada sebuah lubang besar di langit-langit. Pemandangan yang menyedihkan..."
"Belum diketahui penyebab pasti dari insiden ini, namun teknisi memperkirakan bahwa umur logam pada salah satu komponen mekanisme lonceng jam dan penggunaannya yang tanpa henti selama lebih dari seratus tahun telah menyebabkan kerusakan ini..."
Hannah mencopot goggle milik Reed dan hanya bisa bengong.
"Kitalah penyebab kerusakan besar Big Ben tahun 1976." Reed mengusap wajahnya, lalu menggumam kesal, "Kerja bagus, Reed."
"Permisi?!"
Keduanya tersentak, seorang pria dengan setelan dan jas buntut hitam memandangi mereka dengan was-was.
"Maaf, apakah kalian tamu dari salah satu juri?" kata si pria yang kelihatannya seperti petugas keamanan, "Bisakah kalian menyingkir dari atas rumput?"
"Siapa—"
Melihat goggle dan tas pinggang milik Reed yang agak tak biasa, petugas itu mengernyit menghakimi, "Mungkinkah kalian tamu dari Sir Thomas Lidell?"
"Lidell siapa...? Sir Lidell! Oh, tentu!" Reed memotong cepat ketika Hannah menyikutnya dan menyunggingkan senyum cerah seraya mengenakan topi tingginya kembali, "Kami datang untuk... uh," dia berdeham gugup dan mengecek arlojinya, "...untuk menyaksikan pengumuman pemenang kompetisi."
Si petugas menyipit curiga selama beberapa saat, "Pengumuman baru akan dibacakan dua hari lagi." katanya, "Aku yakin kau sudah mendengar tentang itu, Sir...?"
"Sebetulnya, aku Anna Lidell, keponakan jauh Paman Thomas." Hannah menyeletuk cepat untuk menyelamatkan keadaan, "Dan ini tunanganku, Ree—Reeves. Dan... tahulah, pamanku begitu sibuk dan kami tidak pernah berhasil menghubunginya tentang undangan pernikahan kami..."
"Dia benar." Reed nyengir dan memutuskan mendukung cerita Hannah dengan merangkul pundak gadis itu erat-erat, "Kami baru saja tiba dari er... Glasgow pagi ini, dan harus pulang kembali setelah kompetisi, jadi kami benar-benar tidak bisa membuang waktu."
Ekspresi si petugas akhirnya mencair, dan dengan nada bosan dia berkata, "Mari, kuantar kalian ke kamar tamu. Mungkin kalian bisa menemui Sir Lidell nanti, beliau sedang berada di ruang kerjanya bersama juri yang lain, tidak bisa diganggu."
"Trims!" sahut Reed ceria, lalu dia mendekatkan bibirnya ke telinga Hannah dan berbisik, "Improvisasi yang bagus!"
Petugas itu kembali melirik keduanya dengan tatapan mencela, "Dan Sir, bisakah kau dan tunanganmu menyingkir dari atas rumput, please?"
***
Sekarang Hannah tahu persis mengapa si petugas keamanan mengira Reed dan dirinya sebagai tamu Thomas Lidell.
Pria itu eksentrik, dengan setelan jas dan topi yang berlainan warna. Dan bukan warna yang masih dalam satu gradasi, melainkan warna-warna primer yang menyolok mata; setelan biru polos dengan topi dan dasi kuning mustard. Pastilah si petugas berpendapat Hannah dan Reed sama nyentriknya hingga berkesimpulan seperti itu.
Hannah dan Reed saat ini berada satu ruangan dengan para juri yang sedang memilah-milah karya para arsitek. Mereka mengendap-endap masuk ke dalam ruangan itu—setelah si petugas keamanan mengantarkan keduanya ke kamar tamu dan mohon diri untuk kembali berpatroli—dan berhasil menemukan Thomas Lidell di antara juri-juri lainnya di aula rapat.
Reed menjelaskan kepada Hannah secara singkat sebelumnya, ketika mereka berada di dalam kamar tamu, bahwa sebuah kebakaran besar telah menghancurkan House of Parliament di London pada 1834, dan sedang diadakan kompetisi besar-besaran untuk menentukan desain bangunan yang baru. Ribuan kompetitor mengirimkan desain mereka dan saat ini para juri sedang mengadakan pertemuan untuk menyaring desain-desain yang lulus ke tahap akhir.
Dan di sinilah peran mereka. Memastikan bahwa nama kakek buyut Hannah—Charles Barry—dan rekannya—Augustus Pugin—keluar sebagai pemenang.
"...maksudku, empat bulan? Mr. Goodwin yang malang harus meninggal karena stroke akibat lembur demi menyelesaikan karyanya, George...!" Lidell mencicit.
"Dan bayangkan kerja kita. Seribu empat ratus karya yang masuk dan entah sudah berapa cangkir kopi yang kutenggak." Seorang pria necis yang duduk di sebelah Lidell melambaikan sebelah tangannya dengan sikap memprotes.
"Kita tidak dipekerjakan untuk mengeluh, Lidell, Vivian..." pria berambut nyaris abu-abu menegur tajam keduanya. Sebuah papan nama kecil di atas mejanya bertuliskan 'Edward Cust'.
"Sir Edward benar." pria yang duduk di kepala meja panjang melepaskan kacamata dan memijat puncak hidungnya, "Lima desain final malam ini, dan besok pemenangnya akan ditentukan."
"Kami akan berusaha semampunya, Charles." George Vivian menyahut muram, diiringi anggukan dari Cust dan Lidell.
"Lima finalis." Reed mengulang pelan dari sebelah Hannah. Mereka duduk di salah satu kursi-kursi kayu panjang deretan belakang yang tersusun sedemikian rupa mengelilingi meja rapat di tengah aula. Beberapa petinggi dan saksi juga hadir menyaksikan rapat itu menbuat kehadiran mereka tak begitu mencolok. Reed entah sejak kapan sudah mengenakan monocle miliknya yang ternyata berfungsi sebagai semacam teropong jarak jauh. Goggle miliknya sudah tersimpan rapi di tas pinggangnya demi menghindari perhatian-perhatian yang tak perlu. Terdengar bunyi klik-klik samar ketika dia mengatur fokus monocle-nya untuk dapat mengintip daftar nama di tangan Charles Hanbury-Tracy, si ketua rapat.
"Dapat." Reed berbisik, nadanya puas. "Nama buyutmu ada di situ. Kita hanya perlu memastikan namanya tetap ada di sana sampai besok."
Dan maksud Reed dengan 'memastikan' ternyata adalah begadang semalaman di ruang kerja Tracy, menjaga daftar nama itu dan dokumen berisi kelima karya milik para finalis dari kemungkinan dijarah Crosser yang bisa kapan saja muncul.
Keduanya duduk di lantai di balik meja kerja Tracy, posisi yang membuat mereka terhalang dari pandangan orang yang keluar-masuk, namun bila terdesak, mereka dapat bersembunyi di ceruk perapian persis di belakang mereka yang—untungnya—tampak hanya dibangun sebagai dekorasi alih-alih digunakan sesuai fungsi.
Arloji Hannah sudah menunjukkan pukul tiga dini hari ketika matanya sudah semakin berat. Saking mengantuknya, kepalanya terayun dan membentur dinding di belakangnya dengan cukup keras, "Ouch!"
"Ow?" Reed menatap Hannah simpati, lalu dia menepuk-nepuk sebelah pundaknya sendiri, "Kemarikan kepalamu, aku juga butuh tidur sebentar."
"Bagaimana dengan dokumennya?!" Hannah berusaha mengabaikan rasa panas yang tiba-tiba menjalari wajah dan tengkuknya.
"Kita akan tahu kalau ada yang mencoba mencurinya. Laci itu persis di depan hidung kita." Reed mengedip, dan menyadari tidak ada pergerakan dari Hannah, dia meraih puncak kepala gadis itu dan membawanya ke atas pundaknya.
"Uh, Reed... apakah ini nggak melanggar peraturan di kontrak?"
"Apanya?"
"Terlalu akrab dengan klien?" Hannah teringat beberapa peraturan yang sempat dibacakan Reed sebelum mereka melompat ke masa lalu. Salah satunya adalah seorang Crosser harus menjaga hubungan profesional dengan klien.
"Akan kuberitahu sedikit bocoran. Mungkin ini pertama kalinya kau mengenalku. Tetapi tidak demikian denganku."
"Oh... oke...?"
"Teknisnya, aku sudah mengenalmu. Anggap saja kau mungkin bakal ketemu lagi denganku." Reed berteka-teki.
"Dan petunjuk membingungkan ini akan menuntunku pada...?"
"Kau benar, ini harusnya melanggar peraturan. Tetapi mempertimbangkan apa yang akan... well, sudah terjadi, kurasa tidak akan ada masalah."
Hannah menolehkan kepalanya sedikit agar dapat melihat wajah Reed dengan jelas. Mata hijau cemerlang milik Reed ternyata tengah menatapnya. Bintik-bintik di puncak hidungnya terlihat semakin jelas dari sudut ini. Hannah mengernyit bingung, "Mengapa?"
Reed mengulum senyum jahil, sepasang matanya berbinar misterius, "Maaf. Tidak bisa melanggar lebih jauh soal 'memberitahu klien apa yang akan atau sudah terjadi.'"
Walaupun jengkel setengah mati akan teka-teki Reed, Hannah tak mampu mencegah dirinya untuk tertidur di pundak pemuda itu beberapa saat kemudian.
***
Hannah tersentak terbangun saat matahari sudah menerobos masuk dari celah-celah gorden dan terdengar suara-suara langkah kaki dari arah luar pintu ruang kerja.
"Ini pasti sebuah kesalahan! Kami memilikinya, dokumen asli milik Sir Charles Barry."
Hannah menepuk-nepuk pipi Reed agar pemuda itu terbangun dan buru-buru menyeretnya ke balik cerukan perapian, persis sebelum pintu ruang kerja dibuka dan keempat juri menghambur masuk termasuk satu orang yang tidak dapat Hannah lihat dengan jelas karena terhalang meja. Di dekat pintu berdiri dua orang pria yang tampak marah. Salah satu dari pria itu menenteng sebuah tas kerja dan satunya lagi memakai arloji yang mirip dengan yang dikenakan Hannah dan Reed.
"Itu dia! Si Crosser!" Reed berbisik tanpa suara kepada Hannah.
"Kami punya buktinya." si pria berambut klimis yang membawa tas kerja mengeluarkan kertas-kertas miliknya dan menjembrengnya di atas meja kerja. Keempat juri menelitinya, dan Tracy membandingkannya dengan dokumen milik juri, "Lihat, sama persis!"
"Well, ya. Mr. Hopper, memang sangat mirip. Tetapi kami perlu tegaskan bahwa karya milik Barry adalah karya yang kami terima langsung dari pembuatnya. Kami perlu waktu untuk memastikan hal ini dengan Sir Barry dan rekannya Pugin..."
"Mereka curang, sesederhana itu." si Crosser menyela, "Mereka pastilah telah mencuri karya milik Thomas lalu menyalinnya dan memberi label nama mereka sendiri."
Hannah berpikir cepat. Bagaimana bisa? Apakah si Crosser dan kliennya sudah lebih dulu menemukan karya Barry?
"Kami meminta agar karya milik Barry dan Pugin didiskualifikasi dari kompetisi ini karena kecurangan." Thomas Hopper berkata.
Mendadak mendapat ide, Hannah mengatur ulang jam dan lokasi di arloji miliknya. Menyadari itu Reed menarik tangannya dan berkata tanpa suara.
Apa yang kau lakukan?! Reed menatapnya panik.
Aku ada ide. Ayo lompat ke beberapa saat yang lalu, ke luar ruangan Tracy. Hannah menyahut sembari mengatur waktu di jam tangan Reed.
Reed menggigiti bibirnya.
Peraturannya. Kita sudah melakukan dua lompatan. Tinggal sisa satu untuk kembali ke waktumu. Crosser itu pastilah yang mengacaukan arlojiku, berharap kita tak punya kesempatan untuk mengakali mereka.
Jadi Crosser itu mengenalmu dan mengetahui rencanaku di masa depan?
Um... yeah. Pastilah begitu.
Apa Crosser itu juga mengenalku?
Tapi kau di masa depan mengganti warna dan gaya rambutmu.
Jadi kurasa dia tidak akan mengenaliku dengan penampilan seperti ini?
Ya, aku yakin dia tidak akan mengenalimu yang sekarang. Apa yang kaurencanakan?
Reed, kurasa kau membual soal sesuatu, dan aku akan coba mengujinya.
Sepasang mata hijau Reed membulat.
Apa...?
Bersamaan dengan itu, Hannah memajukan wajahnya dan mencium bibir Reed, membuat pemuda itu kelabakan.
Apa yang--?!
Lalu Hannah menggenggam tangan Reed dan membawanya melompat ke luar ruang kerja Tracy, lima belas menit ke masa lalu.
⏳
Mereka berkeredap dan tiba di koridor luar ruang kerja Tracy. Kemudian Hannah dengan cepat mengutak-atik jam mereka dan kembali melakukan lompatan waktu, hanya berbeda satu menit dan berjarak satu meter dari tempat mereka berdiri barusan.
"Ke sini!" Reed menarik gadis itu ke sudut koridor yang sepi dan mencengkeram bahunya, "Kau gila!"
"Ciumannya? Atau dua lompatan acak barusan? Itu untuk mengetes." Hannah nyengir. Reed terbengong-bengong, maka gadis itu menjelaskan, "Begini dugaanku. Sejak awal, aku memang bukanlah 'klien'mu. Perjalanan ini ilegal. Buktinya ciuman 'non-profesional' tadi, kita yang melompat lebih dari tiga kali, dan kau yang membocorkan soal mengenalku di masa depan. Kita melanggar semua aturan tapi belum ada petugas Dimnesor yang menangkap kita..."
Reed mengusap wajahnya.
"Tebakanku benar?" Hannah nyengir, "Kau melakukan ini demi motivasi entah-apa. Jadi bisakah kau berhenti membohongiku dan katakan apakah aku juga seorang Crosser di masa depan, sepertimu? Apakah kau... well, entahlah, pacarku atau semacamnya?"
Hannah dapat melihat pipi dan telinga pemuda itu memerah seperti udang rebus, lalu dia menarik tengkuk Hannah dan membawa bibir gadis itu ke bibirnya.
Ciuman kali ini sangat berbeda dengan ciuman ringan dan singkat dari Hannah tadi. Reed mengulum bibir Hannah dengan cara yang membuat gadis itu berpikir bahwa apa yang sedang dilakukannya bukanlah suatu hal yang baru, seolah Reed amat mengenalnya. Seolah bibir Hannah sudah begitu familiar bagi pemuda itu. Seolah berciuman dengannya adalah suatu hal yang begitu wajar dan tak terelakkan.
"Kau benar. Kita adalah Crosser. Dan kita... sesuatu... di masa depan." Reed akhirnya memberitahu, terengah setelah melepaskan bibirnya dari bibir Hannah dengan tak rela. Dahi-dahi mereka masih saling menempel. "Semua peraturannya tidak berlaku karena tidak ada kontrak di antara kita. Aku tidak memakai lensa kontak maupun pin pelacakku. Dan selain untuk menjaga sejarah, aku... well, kita melakukan ini karena mencurigai Crosser itu menangani klien-klien ilegal, tetapi kita perlu memastikan. Menjadi saksi dan mengumpulkan bukti. Melakukannya secara legal membutuhkan waktu yang lama, perizinan, birokrasi perusahaan, dan sebagainya. Karena itu kita bertindak sendiri."
"Menjadi ilegal untuk menangkap si ilegal." Hannah berkomentar.
Reed nyengir, "Demi hal yang lebih besar, bukan?"
"Kenapa repot-repot berusaha menyembunyikannya dariku? Untuk apa berbohong soal peraturan-peraturan itu?" tanya Hannah, masih agak merona.
"Aku harus berhati-hati agar Crosser itu tidak menemukan celah untuk dapat mengeluarkan kita dari perusahaan. Juga... karena kupikir aku dapat mempertahankan faktor kejutan untuk masa depanmu. Aku tidak mau merusak jalan ceritamu. Tapi ternyata memang seharusnya begini. Inilah awal mulanya." Reed terkekeh menyerah. Lalu mata hijaunya berkilat senang, "Jadi, Hannah Barry, apa idemu?"
Yang terjadi berikutnya adalah, Hannah menjelaskan rencananya, dan setelah paham, Reed melompat ke satu hari sebelum kericuhan yang ditimbulkan Thomas Hopper sesuai saran Hannah. Dan ketika pemuda itu sudah menghilang dari hadapannya, terdengar suara-suara ribut dari ujung koridor. Hannah buru-buru mengenakan monocle yang dipinjamnya dari Reed untuk menyamar, menggelung rambutnya, lalu menutupi arlojinya dengan lengan gaun. Setelah itu dia sengaja membuat dirinya berpapasan dengan Tracy dan yang lainnya.
Kemudian, kurang lebih keributan yang identik terjadi di ruang kerja Tracy, dan kali ini Hannah berada di antara mereka. Dia mengaku sebagai perwakilan dari humas parlemen—entah bagaimana kebohongan itu lolos begitu saja tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun, mereka hanya sempat mempertanyakan mengapa parlemen mengirimkan seorang perwakilan wanita—dan bersikukuh bahwa tuduhan Hopper perlu pembuktian konkrit sebelum terjadi pemutusan sepihak.
"Kami meminta agar karya milik Barry dan Pugin didiskualifikasi dari kompetisi ini karena kecurangan." Thomas Hopper berdeklarasi.
Hannah berani bersumpah sempat menangkap gerakan dari sudut matanya diiringi suara samar desau angin yang berasal dari arah ceruk perapian, namun mengabaikannya.
"Kau punya buktinya, Mr. Hopper?" tanya Hannah.
"Ini buktinya!" Si Crosser mengguncangkan kertas-kertas di tangannya di depan wajah Hannah, "Apa lagi yang diperlukan?"
"Kita sama-sama tidak tahu yang mana karya yang asli." Hannah mengedarkan pandangan kepada seluruh juri, "Karena itu mengapa tidak memanggil Mr. Barry dan Mr. Pugin untuk menanyakan pendapat mereka secara langsung?"
"Bertemu langsung? Mustahil, pengumumannya tinggal besok dan mereka sedang tidak di London. Kita tak punya banyak waktu." Vivian berkata.
Hannah mengangkat alisnya tinggi, "Oh, aku cukup yakin mereka di sini. Sepertinya tadi pagi aku berpapasan dengan keduanya di lobi, parlemen mengundang kelima finalis untuk melakukan wawancara tahap akhir..."
Bersama Reed, batin Hannah sembari berharap pemuda itu berhasil membawa mereka.
"Apa?" Tracy menyela, "Aku tidak pernah dengar ada rencana semacam itu..."
"Karena kami memang tidak pernah memberitahukannya." Hannah menjawab lugas, "Kalian menilai desain, kami menilai kesanggupan dan kesiapan para finalis."
"Baiklah." Tracy memijit puncak hidungnya dan memerintahkan seorang petugas untuk memanggil Barry dan Pugin ke ruangannya. Tak lama, seolah menjawab doa Hannah, keduanya tiba.
Rasanya aneh bagi Hannah melihat kakek buyutnya berdiri tak jauh darinya, tanpa tahu apa yang sebetulnya tengah terjadi. Charles Barry terlihat seperti pria paruh baya pada umumnya di masa itu, dengan tubuh agak gempal, rambut ikal pendek keabuan, dahi lebar dan janggut tebal. Sepasang matanya agak menonjol dan hidungnya lancip. Ujung-ujung bibirnya yang menurun menandakan kebingungannya dengan situasi ini. Sementara di sebelahnya berdiri Augustus Pugin. Dia memiliki perawakan yang lebih lembut dibanding Barry, dengan rambut cokelat gelap yang disisir rapi hingga tengkuknya dan wajah yang muda. Dia juga sedikit lebih tinggi dari Barry.
Tracy sebagai ketua parlemen kemudian menjelaskan situasi kepada keduanya, dan seperti dugaan Hannah, keduanya tampak tidak terima.
"Kami bekerja siang dan malam tanpa tidur demi menyelesaikan desain itu tepat pada waktunya, dan kami dituduh curang?" Barry menggeram marah, dia memandang Hopper dan si Crosser dengan ketidaksukaan yang tak ditutup-tutupi.
"Karena itu kalian di sini." Hannah membuka suara, lalu dia menatap para juri, "Untuk membuktikan siapa yang sebetulnya curang, apakah adil bila aku meminta Mr. Barry dan Mr. Hopper untuk membuat ulang sketsa kasar dari desain nomor enam puluh empat itu sekarang, secara langsung?"
Hopper tampak kebakaran, "Omong kosong macam apa ini?!"
"Bagiku idemu sangat efektif Ms. Reeves." Lidell menyeletuk pada Hannah, "Siapapun arsitek aslinya seharusnya tak akan menemukan kesulitan dengan tes ini?"
Barry segera menyanggupi, sementara Hopper tampaknya siap melepaskan napas api.
Dan tes itu rupanya berlangsung sukses. Barry dan Pugin menyerahkan sketsa kasar yang sangat mirip dengan aslinya dua jam kemudian, sementara Hopper dan si Crosser bergeming. Tracy memerintahkan agar Hopper dan rekannya dibawa ke polisi karena telah menimbulkan kekacauan di tengah penilaian kompetisi, namun keduanya entah bagaimana berhasil 'melarikan diri' dan menghilang dari sana.
Reed dan Hannah sama-sama setuju bahwa Hopper juga berasal dari masa depan dan tengah berusaha mengubah masa lalu entah demi tujuan apa, alasan personal atau lebih dari itu. Yang jelas, ketika pemenang kompetisi diumumkan keesokan paginya, Reed dan Hannah saling nyengir saat mendapati desain nomor enam puluh empat keluar sebagai juara.
⏳
Laboratorium Dimnesor-Tech. 10 Juni 2103 - 22.30 PM
Kertas-kertas di meja kerja Hannah beterbangan sedikit ketika Reed mendadak muncul di belakangnya, mengenakan jas buntut marun dan setelan necis krem, seolah baru melangkah keluar dari novel roman-sejarah atau semacamnya.
"Kau sudah kembali!" Hannah buru-buru bangkit dan memeluk Reed, yang disambut pemuda itu dengan senang hati. Gadis itu menatap Reed cemas, "Well?"
"Kau benar. Kompetisi itu adalah pemicunya. Mereka merancang Elizabeth Tower beberapa waktu setelah sukses dengan House of Parliament." Reed memberitahunya, yang disambut Hannah dengan ekspresi lega. Reed lalu balas bertanya, "Well?"
"Desainnya masih tetap sama." Hannah berkata, "Aku mengeceknya. Big Ben terselamatkan. Sejarah bertahan."
"Tapi kita tetap belum bisa menemukan celah untuk mendepak Crosser sial itu dari Dimnesor. Tidak kali ini. Dan dia jelas akan mencoba cara lain, cepat atau lambat." Reed menggeram jengkel, "Suatu saat aku akan membeberkan kepada Vee..."
Keduanya saling berpandangan selama beberapa saat, lengan Reed masih melingkari pinggang Hannah.
"Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya? Enam tahun menyembunyikan fakta bahwa kau ternyata pernah mencium aku-masa-depan sebelum aku-masa-lalu secara resmi mengenalmu?" Reed berujar dengan nada menyindir.
Hannah terbahak, "Yeah, itu aneh banget."
"Jadi kau menikahiku karena kau selalu tahu bahwa aku sudah jatuh ke dalam cengkeramanmu, kan?"
"Hei! Siapa yang bersikap sok romantis dengan mengajakku makan malam di atap gedung dan tiba-tiba menyodorkan cincin?" protes Hannah seraya memukul bahu Reed, membuat pemuda itu malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Yeah, itu aku. Jadi kalau ada yang berani-berani mengacaukan masa laluku denganmu, aku akan memastikan bakal memburunya dan melompat sebanyak yang diperlukan." katanya dengan berapi-api.
"Demi masa lalu dan masa depan?" Hannah mengulum senyum.
Reed menyunggingkan senyuman terlebar dan tercerahnya.
"Demi masa lalu dan masa depan."
End of Journal 7
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top