Jurnal 6 : Sebelum Matahari Terbit
Sosok itu terbaring dengan posisi tertelungkup di balik semak raspberry di dekat perairan hutan Landgrove, tempat seorang gadis biasa berjalan-jalan pada pagi buta. Tubuh pria itu tak bergerak. Atau tampaknya begitu.
Hutan Landgrove memang dikenal warga desa wilayah Swingate sebagai hutan yang aman karena cukup sering digunakan sebagai rute alternatif antara desa dan pusat kota. Tidak pernah sekalipun terjadi kasus kejahatan, penjarahan, atau pembunuhan. Tetapi bukan berarti tak pernah terjadi keanehan.
Maka, dengan ragu si gadis berjalan mendekati sosok pria itu, tak mampu mengabaikan kekhawatirannya.
"S-Sir?" dia mendekati sosok itu dan berlutut. Gerakannya perlahan dan hati-hati. Setelah meletakkan keranjang yang baru separuh terisi dedaunan, bunga-bungaan, dan rempah-rempah di sebelahnya, jemarinya hendak menyentuh bahu si pria.
Namun gerakannya dihentikan sebuah cengkeraman menyakitkan di pergelangan tangannya.
Gadis itu memekik.
Pria itu rupanya belum mati. Refleksnya begitu cepat hingga nyaris tak manusiawi. Tubuhnya berbalut atasan tunik lengan panjang sewarna gading yang kotor oleh tanah serta robek di beberapa bagian, dipadu celana cokelat dan sepatu bot kulit yang juga sama kotornya.
Gadis itu terlalu syok dan ketakutan, dia terduduk dengan lemas sementara si pria masih mencengkeram pergelangannya dengan kuat, jemarinya kasar dan kapalan.
"S-siapa kau? Apa yang kau inginkan?!" gadis itu tergagap panik.
Mata si pria, mata hitam pekat yang sewarna batu onyx itu menatap si gadis yang ketakutan dengan tajam. Dengan cepat dirinya memindai penampilan si gadis. Rambut cokelat keruh panjang sepunggung yang dikepang satu. Chemise putih sederhana dengan luaran kirtle tanpa lengan berwarna hijau lumut yang dilengkapi ikat pinggang kecil. Dia tampak normal seperti gadis desa pada umumnya. Namun ada sesuatu yang berbeda pada matanya.
Seolah ada kabut tipis yang menutupi iris dan pupil mata gadis itu, membuatnya terlihat abnormal. Dan sesuatu yang ganjil pada arah pandangnya membuat pria itu menarik kesimpulan.
Dia buta?
Tetapi bagaimana dia menemukanku?
Pria itu melonggarkan cengkeraman pada pergelangan tangan gadis itu yang gemetar.
Pergelangan tangan.
Nadi.
Aliran darah.
"Maafkan aku." pria itu menjatuhkan tangan si gadis dan menggeram pelan. Pelipisnya dipenuhi peluh, pandangannya menggelap, inderanya tak terkendali. Kemudian setelah sekuat tenaga berupaya berkonsentrasi, dia bertanya, "Siapa namamu?"
"K-Katherine Everberd. Semuanya memanggilku Kat." gadis itu menjawab, entah kenapa merasakan dorongan untuk tinggal di situ alih-alih melarikan diri dari pria misterius yang saat ini tengah terduduk kepayahan di hadapannya.
"Katherine." pria itu berupaya tersenyum, namun kemudian tersadar bahwa mungkin Kat tidak bisa melihatnya, "Namaku Wendell, dan aku butuh bantuanmu."
"Apa kau terluka? Kau diserang perampok?" tanya Kat khawatir.
"Semacam itu. Aku butuh tempat berlindung..."
"Kita bisa ke pondokku—"
"...dan seekor kelinci. Atau ayam."
"—apa?"
Wendell mendongakkan wajahnya, rahangnya terkatup rapat, "Simpan pertanyaanmu untuk nanti saja, Katherine. Karena matahari sebentar lagi terbit."
🌒
Kat duduk di kursi di dalam pondoknya yang sederhana, sementara Wendell duduk di kursi di seberangnya. Di antara mereka terdapat meja makan, dengan sebuah mangkuk besar, pisau, dan beberapa mayat kelinci.
Ya. Kau tidak salah baca.
Matahari sudah tinggi di luar sana, tetapi sulit untuk menilai seberapa tinggi, karena Kat menutup seluruh jendelanya. Pondok Kat hanyalah pondok kecil yang diwarisi kedua almarhum orangtuanya yang merupakan petani. Ukurannya tidak besar dan hanya terdiri dari ruang utama (perapian, dapur, dan ruang makan menjadi satu di sini), kamar tidur, dan bilik mandi. Maka bau anyir darah—yang sekilas juga tercium seperti aroma besi—menguar dengan cepat ke seisi pondok dengan hebatnya, membuat Kat pusing.
Ditambah, suara-suara mengganggu itu. Suara-suara Wendell yang menguliti kelinci dan meminum darah dari organ-organ yang berhasil dikeluarkannya.
Ya. Sekali lagi, kau tak salah baca.
Aku tidak mempercayai peruntunganku. Kat mengeluh dalam hati. Aku hanya berjalan-jalan pagi, rutinitas yang setiap hari kulakukan, dan mengapa dia harus tergeletak di depanku? Mengapa dia harus memilih pingsan di rute jalan-jalan pagiku? Apakah dia tahu aku ini tipe yang tidak tega membiarkan seseorang tergeletak begitu saja?
Terdengar suara mendesah puas dari arah pria itu, "Ah, kelinci memang yang terbaik."
Kat menelan ludah cemas.
Wendell James Lynden, atau begitulah nama lengkapnya menurut pengakuan pria itu. Keluarga Lynden merupakan salah satu keluarga konglomerat tertua di Swingate. Kursi-kursi pemerintahan dikuasai sebagian besar oleh anggota keluarga itu dan sungguh mengherankan mengapa salah satu keturunan konglomerat terkaya di Swingate bisa terkapar di hutan karena dikejar perampok dan... dehidrasi.
Sementara Wendell, kenyang dengan santapan pengisi tenaganya, meletakkan jeroan kelinci terakhir ke dalam mangkuk besar di hadapannya.
"Apa kau tahu bahwa pikiranmu itu sangat berisik?" pria itu menyeletuk seraya mengelap sisa-sisa bercak darah yang menodai sudut bibirnya dengan punggung tangan. Mata onyx-nya menatap Kat dengan serius. Mendengar itu, Kat membelalak.
"K-Kau bisa membaca pikiranku?"
"Tidak. Hanya bercanda."
Pria itu mendengus pahit, kemudian bangkit dari kursinya, menyebabkan Kat memundurkan kursinya sendiri beberapa inci ke belakang. Wendell mengangkat alis melihat reaksi gadis itu.
Itu aneh.
"Di mana kamar mandimu?" tanya Wendell.
Kat menunjuk ke arah pintu di sudut ruangan, lalu berkata dengan suara kecil yang menghentikan langkah Wendell, "Kumohon jangan kotori apapun. Aku... tidak bisa... membersihkannya dengan baik."
Wendell menatap sepasang mata berkabut milik Kat selama beberapa saat dalam diam.
"Aku mengerti."
Dan Wendell terbukti memegang perkataannya dengan sibuk bebersih tak lama kemudian. Dia mengelap sisa-sisa kotoran, bulu, dan darah yang menodai meja makan dan lantai, kemudian mengumpulkan bangkai-bangkai kelinci di sebuah karung yang ditemukannya di dapur dan meletakkannya di sudut terjauh pondok itu.
"Maaf, aku belum bisa membuangnya saat ini." Wendell melirik ke arah jendela yang tertutup, "Kau tahu kenapa."
Tidak, aku tidak tahu kenapa, batin Kat getir.
"Kau akan mati bila keluar di siang hari?" Kat tak mampu menahan diri.
"Terbakar? Ya. Mati? Perlahan dan menyakitkan." Wendell menyahut, "Tapi aku akan mati, kalau kau tidak menemukanku di perairan di hutan tadi. Aku terlalu lemah untuk berburu sendiri."
"Kau dirampok?"
"Diculik dan dikurung selama beberapa hari. Sepertinya kelompok kultus yang mendeklarasikan diri anti-Lynden atau semacamnya. Mereka tahu tentang kami dan ingin membinasakan keluargaku. Aku berhasil melarikan diri pada tengah malam."
"Mereka menyiksamu?"
"Cukup berat. Tetapi fisikku sangat kuat, mereka tidak. Maka aku bertahan, mereka tidak."
Kat bergidik membayangkan apa yang telah dilakukan pria itu demi meloloskan diri.
Kemudian Wendell berjalan mendekat, membuat Kat melonjak berdiri.
"Giliranku yang mengajukan pertanyaan." ujar Wendell perlahan, "Apakah kau bisa melihat?"
Kat menelan ludah. Dia menimbang selama beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Aku separuh buta. Aku hanya bisa melihat bayangan atau siluet, garis-garis batas benda atau orang, dan dalam jarak yang pendek. Dan aku bisa melihat siluetmu dengan sangat jelas sekarang... pertanda bahwa kau berada dalam jarak yang t-terlalu dekat..."
"Kau tidak sepenuhnya buta." simpul Wendell, tak menghiraukan Kat yang tampak jengah dengan jarak mereka saat ini. Itu menjelaskan banyak hal. Mengapa gadis itu dapat menemukannya di perairan hutan. Mengapa gadis itu tak jatuh pada fitur khusus yang dimilikinya. Berbeda dari manusia lain.
Dia bisa tetap bersikap normal. Dia tidak terpengaruh.
"Kau tidak bisa melihat bagaimana rupaku, atau... mataku?" tanya Wendell lagi, melangkah semakin dekat, sangat dekat hingga dadanya nyaris menyentuh ujung hidung Kat. Kedua tangannya menyentuh dinding di belakang gadis itu, mengurungnya.
Kat, yang sudah terjebak di antara tubuh menjulang Wendell dan dinding kayu pondoknya, mengumpulkan keberanian dan menyahut.
"Apakah perlu bagiku untuk melihat bagaimana wajah pria yang akan membunuhku, cepat atau lambat?" katanya. Suaranya kecil namun tajam dan menusuk, dengan harapan dapat memberi efek yang diinginkannya terhadap Wendell.
"Hmm." Wendell menggumam, tak menyangkal maupun menyetujui perkataan itu. Dia menghirup aroma rambut pada puncak kepala si gadis. Aroma samar dedaunan dan sejenis bunga menyeruak ke dalam indera penciumannya, "Kau membenciku, Katherine?"
"Ya. Kalau kau membunuhku."
Wendell melepaskan tangannya dari dinding dan menjauhkan diri, membuat Kat dapat kembali bernapas. Jantung gadis itu berdentum-dentum cepat di dadanya.
"Kau menarik." ujar Wendell, sudut-sudut mulutnya naik membentuk senyuman samar ketika memandangi gadis pucat berambut cokelat keruh itu dengan sorot tertarik walaupun Kat tak dapat melihatnya, "Kau tahu, aku tak pernah berbincang normal dengan manusia manapun sebelumnya. Karena mataku, well... mata kami memiliki semacam kekuatan yang mampu membuat manusia sangat... patuh. Ini pertama kalinya setelah sekian lama ada seorang manusia yang berbicara padaku dan membenciku, jadi ini sangat menyegarkan."
"Kau masih mungkin akan membunuhku." ulang Kat lagi. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia bersyukur akan cacat penglihatannya.
"Tidak, aku tidak akan membunuhmu..." ujar Wendell. Tidak ada tanda-tanda kebohongan pada suaranya, "...dengan satu syarat."
Emosi yang sedari tadi ditahan-tahan Kat akhirnya menyeruak ke permukaan, "Syarat?"
"Aku butuh tempat bersembunyi untuk sementara. Dan pondok ini cocok."
Kat menghela napas panjang.
"Aku hanya punya satu ranjang dan aku tidak berencana membaginya dalam waktu dekat."
"Aku tidur di siang hari. Kita bisa bergantian memakai ranjangmu."
"Aku tidak punya pakaian untukmu. Dan kau harus cari makanan sendiri. Dan makan di luar."
"Aku mengerti."
"Dan tiap kali... oh entahlah, godaan membunuhku muncul, kau harus ingat bahwa aku yang menyelamatkanmu."
Wendell kesulitan menahan senyum, "Aku tahu, Katherine."
Kat mendesah. Dia mengulurkan tangannya dengan berat hati untuk dijabat pria itu.
"Dan jangan lupa buang karung itu." Kat mengingatkan.
🌒
Sudah nyaris seminggu Wendell menggunakan pondok Kat sebagai tempat persembunyian. Dan selama itu pula mereka menjalani rutinitas yang aneh.
Kat selalu bangun sangat pagi untuk memetik dedaunan atau bunga-bungaan di hutan sebelum matahari terbit, karena baginya lebih mudah melakukan itu di saat sepi. Pendengarannya dapat membantunya lebih baik untuk mengenali kondisi sekitar. Pondok Kat merupakan satu-satunya bangunan yang terletak persis di batas hutan. Di sekelilingnya terdapat perkebunan kecil milik orangtua Kat dan sekarang diurus olehnya dan Noah Bentley—teman masa kecilnya yang selalu datang berkunjung setiap beberapa hari sekali. Oleh karena itu sehabis dari hutan dan sarapan, dia bekerja bersama Noah di kebun. Kegiatan itu berlangsung sampai makan siang. Sore harinya, Kat mengantarkan sayur-sayur hasil kebunnya ke pelanggannya di desa sekaligus berbelanja beberapa kebutuhan. Setelah itu, dia memasak makan malam, mandi, lalu membangunkan Wendell.
Wendell—yang memiliki jam biologis berkebalikan dengan Kat—aktif di malam hari. Setelah bangun, dia pergi berburu di hutan untuk makan. Sepulangnya dari sana, dia biasanya kembali ke pondok membawa buah tangan seperti beri-berian, jamur, bahkan terkadang hewan buruan berupa ayam, ikan, atau kelinci, dan pernah sekali dia membawa potongan daging rusa. Tentu saja dia mengulitinya di hutan, karena Kat yang memiliki penciuman sensitif tidak suka pondoknya kotor.
Wendell juga membantu memotong kayu untuk persediaan Kat, dan tumpukannya sudah menjulang lebih tinggi melampaui dari yang Kat dan Noah bisa lakukan bahkan dalam waktu sebulan. Kemudian karena tidak banyak lagi hal yang bisa dilakukan, setelah membersihkan diri dia akan meneliti koleksi di rak buku yang dulunya milik orangtua Kat dan membaca di depan perapian. Menjelang subuh, Wendell akan masuk ke kamar tidur Kat dan membangunkannya.
Hal tersulit bagi Wendell adalah momen itu, ketika dia harus membangunkan Kat. Gadis itu berada dalam kondisi terlengah, mengantuk, dan sialnya, beraroma sangat enak.
Kat tidak pernah mempertanyakan latar belakang Wendell atau tetek bengek lainnya, seperti yang selazimnya dilakukan manusia yang penasaran. Dan Wendell sangat menghargai itu. Dia tidak suka membicarakan kehidupan pribadinya pada siapapun, bahkan pada temannya atau sesamanya yang sudah lama dia kenal. Teknisnya, Kat tidak tahu apa-apa tentangnya dan secara konstan menyuarakan kecurigaan bahwa sewaktu-waktu bisa saja Wendell menggorok lehernya atau apa, tetapi gadis itu tetap memperlakukannya dengan normal dan penuh empati. Seolah mereka sama.
Wendell sudah hidup jauh lebih lama dari siapapun di desa kecil itu, bahkan mungkin di seluruh Swingate. Dia telah menjumpai begitu banyak orang dengan berbagai macam kepribadian, dengan karisma, rupa yang elok, atau tubuh yang molek... tetapi dia belum pernah menjumpai pribadi seperti Kat. Kat gadis yang sederhana dan jujur, dan suka menolong, atau begitulah yang dipelajari Wendell selama hampir seminggu ini. Terkadang, Wendell diam-diam mengawasi atau mencuri dengar ketika Kat bersosialisasi dengan orang-orang, tua dan muda, dan dia mendapat kesan bahwa gadis itu disayangi warga desa.
Seorang wanita muda yang secara fisik tampak rapuh dan lemah, namun ketulusan dalam dirinya yang seolah tiada habis itu membuatnya bersinar begitu terang, begitu menyilaukan seperti matahari.
Karena sebab-sebab itu, Wendell duduk di tepi ranjang Kat, tak sanggup mencegah jemarinya terangkat untuk menyingkirkan helaian rambut cokelat milik gadis itu yang menutupi separuh wajah tertidurnya. Dia tahu dia tidak seharusnya membiarkan dirinya terpesona oleh seorang manusia.
Satu-satunya manusia yang dapat membuatnya merasa normal.
Jemari Wendell kemudian bergerak naik, membelai kelopak mata gadis itu dengan lembut. Sepasang mata itu perlahan mengerjap terbuka. Kat menguap, namun kuapannya terhenti ketika dia menyadari siluet di atasnya terasa terlalu dekat.
"Wendell?" Kat mengerjap kaget. Kedua lengan pria itu bertumpu di sisi-sisi kepala Kat, membuat gadis itu terperangkap. Dia dapat merasakan siluet wajah Wendell semakin besar ketika pria itu menunduk di atasnya, hingga kemudian sesuatu menyentuh kulit lehernya.
"Apakah kau akan mengubahku jadi sepertimu? Atau menghisapku hingga kering?" gumam Kat tegang, membuat apapun yang sedang berusaha dilakukan Wendell terhenti. Namun Kat masih dapat merasakan bibir pria itu di lehernya.
"Aku tidak memiliki kemampuan untuk mengubahmu." sapuan bibir Wendell yang bergerak ketika mengucapkan itu membuat kulit leher Kat tergelitik. Suara pria itu berat dan parau. Dia terdengar berbeda. "Pilihannya antara dua, kau yang mati atau kau yang tidak ingat apa-apa tentangku setelahnya."
Kat mati-matian menahan jatuhnya airmata. Dia tak mau membiarkan rasa takut menguasainya, tidak secepat itu. "Karena kau tidak bisa meninggalkan jejak pada korban?"
"Terlalu beresiko."
"Kau melupakan peraturanku." Kat berkata, berhasil membuat suaranya terdengar tetap tenang. "Aku menyelamatkanmu."
"Aku tahu." sahutnya. Kat dapat mendengar suara tarikan napas panjang Wendell, "Tetapi mengapa aromamu harus begitu enak?"
Wendell tiba-tiba menjauhkan diri. Kedua matanya melebar syok.
"Brengsek!"
Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi-bunyi riuh dari arah luar, seolah ada yang berusaha mendobrak masuk. Lalu pintu kayu pondok kecil Kat berdebum terbuka dan beberapa pria bermantel panjang hitam dan berpanah menerobos masuk, mengepung Wendell yang sudah berdiri dalam sikap siaga dan Katherine yang kebingungan di tempat tidurnya. Pada punggung-punggung mantel yang dikenakan para pria itu terdapat bordiran perak berbentuk inisial 'V', seperti semacam lambang. Mereka juga mengenakan topeng separuh-wajah yang memiliki semacam pelapis pada kedua bagian matanya.
"Apa yang terjadi?" Kat berusaha menyerap kejadian di sekitarnya dengan panik, "Siapa kalian?!"
"Menyerahlah." salah satu pria yang berjanggut abu-abu berkata pada Wendell.
Wendell menatap pria itu dan berujar dingin, "Kalian telah melanggar perjanjian."
Pria itu menaikkan panahnya dan mengarahkannya pada Kat, lalu mendesis mengancam, "Ikut kami, atau gadis ini mati."
Pria-pria lainnya masih mengarahkan panah-panah mereka pada Wendell. Kemudian si pria berjanggut menggedikkan kepala ke arah mata panahnya, "Sekadar informasi, ini white ash."
Wendell menggeram rendah, "Siapa yang mengirim kalian?"
"Satu-satunya yang perlu kauketahui adalah," pria itu menyeringai, "...bahwa kami sudah cukup muak dengan garis keturunan Lynden yang mengelabui masyarakat dan menduduki takhta dalam waktu yang sangat lama, karena kalian tak kunjung mati."
"Dan siapapun kalian, pernah melihat kami menyengsarakan rakyat?" Wendell balas menyeringai, namun kata-kata yang meluncur dari bibirnya sedingin es.
Pria itu hanya tertawa, sementara yang lainnya mengikat kedua tangan Wendell di belakang tubuhnya dengan jalinan akar white ash—yang membuatnya meringis menahan sakit karena kontak dengan kayu itu membuat kulitnya mendesis seperti terbakar. Kat memekik ketika si pria berjanggut mengalungkan busur panahnya dan menarik Kat paksa hingga berdiri, lalu menempelkan belati di belakang lehernya.
"Jalan."
Kelompok itu menggiring keduanya keluar pondok, menuju sebuah kereta kuda yang sudah terparkir di halamannya. Kaki kuda-kuda itu menginjak sayur-sayur di kebun Kat hingga hancur, dan pemandangan itu cukup membuat amarah Wendell mendidih.
Hanya perlu dua detik bagi Wendell untuk membebaskan diri dari jalinan akar yang membelit pergelangannya, mengabaikan rasa perih luar biasa, dan mematahkan jemari kedua tangan pria yang memeganginya dari belakang. Wendell menghantamkan tengkorak kepalanya pada satu lagi pria di sampingnya hingga pria itu tersungkur pingsan, namun tak cukup cepat untuk mencegah anak panah penjaga di dekat kereta meluncur dan menancap pada bahunya, membuat raungan kesakitannya memecah keheningan dini hari dan dia terjatuh berlutut.
"Tidak! Wendell!" seruan Kat dihentikan oleh sayatan menyakitkan pada lehernya, yang membuat gadis itu menjerit keras, "Aaah!"
"KATHERINE!" Wendell berteriak, sepasang mata onyx-nya berubah kemerahan mengendus bau yang kental di udara ketika darah gadis itu mengalir keluar. Lalu dalam kecepatan satu tarikan napas, dia bangkit, mencabut anak panah yang menancap di bahunya, lalu memungut sebuah busur milih salah satu pria yang pingsan dan memanah si pria berjanggut tepat di antara matanya.
Kat mendengar bunyi memualkan saat panah itu menancap dan merasakan pria yang memeganginya merosot di belakangnya dan terjatuh ke tanah, tak bergerak lagi.
"KAU MONSTER!" penjaga kereta itu meraung marah, hendak menarik anak panahnya lagi, walaupun dia sadar dia terlalu lambat. Wendell menarik satu lagi anak panah yang tergeletak di dekatnya dan panah itu melesat lebih cepat daripada milik si penjaga, menancap di jantungnya. Dia pun terjatuh.
Seorang pria yang jemarinya patah cukup bijak untuk berpikir bahwa ini bukan pertarungan yang bisa dimenangkannya, dan memutuskan melarikan diri dari sana, namun Wendell bergerak cepat dan mencengkeram lehernya. Pria itu terangkat dari tanah, kaki-kakinya menendang udara dengan liar. Wendell menyambar topeng yang dikenakan si pria dan melempar topeng itu ke tanah.
"Jangan bunuh aku...!" dia nyaris menangis. Kedua tangannya berusaha melepaskan cengkeraman jemari Wendell dari lehernya, namun sia-sia. Tudung mantelnya tersingkap turun, memperlihatkan kedua matanya yang terpejam rapat-rapat, dan wajah mudanya berkerut ketakutan.
"Buka matamu dan lihat aku."
Si pemuda terpaksa patuh.
"Sampaikan pada pimpinanmu, keluargaku melindungi daerah ini sejak lama bahkan sebelum kata 'Swingate' tercetus." Wendell mendesis dengan suara rendah berbahaya. Tatapannya tak putus pada si pemuda, yang ekspresinya perlahan mencair menjadi kosong, seolah terhipnotis. Wendell menyeringai memamerkan taring-taring panjang yang berkilat tertimpa cahaya bulan, "Sudah sangat lama kami tidak membunuh manusia, tidak lagi. Tapi kalian memaksaku merusak konsistensi itu malam ini dengan bertindak gegabah. Dan jika situasi seperti ini terjadi di masa mendatang, kami tak segan untuk kembali tak konsisten."
Kemudian setelah menerima anggukan dari si pemuda yang masih tak berekspresi, Wendell melepaskannya.
"Lari."
Pemuda itu terjatuh ke tanah dan terbatuk-batuk, lalu dengan limbung menaiki salah satu kuda dan melesat pergi dari tempat itu.
Wendell tak membuang waktu untuk menghampiri Kat yang sudah terbaring di tanah. Wajah gadis itu pucat dan bibirnya membiru, darah masih mengalir dengan derasnya dari sayatan lehernya. Ketika merasakan Wendell di dekatnya, Kat mengangkat sebelah tangannya, "Wendell..."
"Ya, Katherine." pria itu menggenggam tangan Kat yang dingin, "Aku di sini."
"Kau t-terluka?"
"Hanya bahuku." Wendell tak mengerti dari mana asal rasa panas di dada dan tenggorokannya. Mengapa rasanya begitu menyiksa melihat gadis ini sekarat di depan matanya?
"Minum... darahku." Kat menelengkan kepalanya dengan lemah, "Kau memerlukan ini."
Dan Wendell menurutinya.
Dengan selembut yang sanggup dilakukannya, Wendell menunduk dan menancapkan taring-taringnya pada luka Kat, membuat gadis itu merintih kesakitan, namun memasrahkan diri. Serangan aroma darah gadis itu memenuhi seluruh inderanya dengan hebat, membuatnya nyaris kehilangan kontrol diri. Namun dengan sekuat tenaga, Wendell menarik kembali bibirnya yang basah dan hangat oleh darah Kat, menyaksikan luka panah pada bahunya dengan cepat menutup kembali. Jemari Wendell mencengkeram tanah dan rahangnya mengatup kuat, berusaha keras menahan godaan yang begitu besar untuk kembali membenamkan gigi-giginya pada leher milik Kat.
"Apakah b-berhasil? Bahumu pulih?" Kat tersedak, namun bibir kecilnya menyunggingkan senyuman lemah. Sepasang matanya yang berkabut mulai meredup, membuat Wendell tak kuasa mengindahkan emosinya.
Oh, persetan!
Lalu pria itu menggigit lengannya sendiri hingga cairan kehitaman yang lebih menyerupai ter alih-alih darah mengalir keluar dari lukanya, kemudian dia menunduk kembali dan berkata pada Kat, "Katherine, apa kau percaya padaku?"
"Tidak juga." kekehnya pelan.
Sungguh ajaib bagaimana gadis itu masih dapat bercanda pada saat-saat seperti ini, "Dengar, kau akan merasakan kesakitan yang amat sangat setelah meminum darahku, tetapi setelahnya kau akan membaik. Jauh lebih baik. Jadi buka mulutmu."
Kat sudah tidak mampu menolak atau mempertanyakan apapun yang sedang coba dilakukan Wendell saat ini, pandangannya sudah semakin menghitam, dan dia tak mampu merasakan tubuhnya sendiri, maka dia pun mengangguk.
Segera setelah cairan hitam itu mengaliri mulut dan kerongkongannya, Kat merasa sekujur tubuhnya seperti terbakar. Kat tak mampu bergerak, terlalu lemah untuk menjerit, maka dia hanya menangis. Dia merasakan airmatanya menjatuhi pipinya yang dingin. Bahkan airmatanya pun terasa panas di kulitnya. Kemudian sensasi itu melingkupinya, seperti semut-semut api yang menggigit tiap senti kulitnya dalam waktu yang bersamaan. Kemudian, dengan energi yang terkuras habis akibat menahan rasa sakit yang begitu hebatnya, hal terakhir yang dilihatnya sebelum kehilangan kesadaran adalah wajah Wendell.
Dan walaupun itu adalah wajah seorang pria yang pertama kali dia lihat dalam hidupnya, Kat tahu bahwa itu adalah wajah yang sangat rupawan.
🌒
Para pemain sirkus keliling yang terkadang mampir ke desa seringkali menyerukan kata-kata persuasif pada tiap orang yang lewat agar menyaksikan pertunjukan mereka. "Hadirilah, malam yang akan mengubah hidupmu!" atau semacamnya.
Tetapi tak pernah disangka bahwa perkataan itu benar-benar terjadi. Bahwa satu malam telah mengubah hidup Katherine Everberd, seorang gadis petani miskin yang tinggal sebatang kara di pondok kecilnya di pinggir hutan Landgrove.
Kat kini bisa melihat sepenuhnya. Tidak ada kabut yang menyelubungi iris dan pupil matanya lagi, membuat mata cokelat terangnya tak ternoda apapun. Dan luka sayatan di lehernya itu seolah tak pernah ada. Lenyap tak bersisa.
Warga desa tentunya menyambut kesembuhan Kat dengan sukacita, menganggap itu anugerah dewa-dewa hutan yang menyayangi gadis itu, walaupun Kat tak pernah membuka mulutnya akan alasan kesembuhannya. Selain Kat, hanya Noah yang tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Kat tak menemukan kesulitan untuk mempercayai Noah, karena pemuda itu memang sudah lama bekerja untuk keluarga Lynden. Demikian pula orangtuanya. Dan kakek-neneknya dulu.
Wendell James Lynden. Tiga kata itu terpatri di kepala Kat, bahkan siang hari ini ketika dia sedang mengunjungi pengrajin kayu di desa bersama Noah. Sudah nyaris dua minggu sejak insiden penyerangan itu terjadi, namun Kat tak kunjung sempat membeli ganti pintu pondoknya yang tidak bisa ditutup karena dirusakkan kelompok berpanah itu.
Hal itu membawa Kat pada ingatan yang kembali memenuhi pikirannya...
Beberapa malam yang lalu...
Kat berdiri di ambang pintu pondoknya yang rusak, menatap Wendell yang tiba-tiba muncul mengunjunginya setelah menghilang sejak hari insiden—demikian pula mayat-mayat pria yang sebelumnya bergeletakkan di halaman pondok Kat, menghilang setelah Kat tersadar dari pingsannya.
Pria itu mengenakan mantel dan pakaian yang benar-benar berbeda dari tunik sederhana yang selalu dikenakannya sebelum ini. Setelan elegan berupa kemeja putih berlengan panjang dengan luaran brokat hitam dengan sulaman benang-benang perak yang membentuk pola rumit indah, celana gelap dan sepatu bot berburu yang terbuat dari kulit yang kuat dan tebal. Mantel hitam panjang menyelubungi sosok tingginya, membelah di bagian pundak kiri, tempat emblem keperakan berlambang gagak menahannya. Seekor kuda cokelat besar terikat di sebuah pohon tak jauh dari sana.
Wendell dan keluarga Lynden memutuskan meninggalkan Swingate setelah memutuskan untuk memburu dalang dari kelompok kultus yang menyerang mereka. Dan Wendell tidak tahu apakah mereka akan kembali ke Swingate dalam waktu dekat. Mungkin mereka akan kembali. Mungkin dia akan kembali, namun pada saat itu, siapa tahu Kat sudah menjalani kehidupan manusianya dengan bahagia, menikah, memiliki anak, cucu, menikmati masa tuanya sebelum jasadnya meninggalkan dunia ini dengan tenang.
Karena waktunya dan waktu Kat berbeda.
Dan ini adalah malam terakhir para Lynden berada di Swingate. Pria itu menyempatkan diri untuk mengunjungi Kat sebelum kepergiannya. Untuk terakhir kali.
"Jadi..." ujar Wendell. Suaranya yang dalam dan khas mengalun di telinga Kat, "...kujamin tidak akan ada pria-pria berbahaya yang akan mengganggu kehidupanmu di masa mendatang. Kami sudah membereskannya."
Kat memandang sepasang mata onyx milik Wendell. Entah bagaimana mata itu tak memiliki pengaruh baginya, seperti yang pernah diklaim pria itu sebelumnya.
"Kau tahu, kau telah mengembalikan warna-warna dalam hidupku melalui penglihatan ini." Kat tersenyum, "Kau menyelamatkan nyawaku. Dan bahkan menawariku mansion megah itu—yang tidak bisa kuterima, karena aku menyukai pondok ini. Aku... aku benar-benar berterimakasih atas semua yang sudah kaulakukan."
Wendell memandangi profil gadis sederhana itu. Kedua pipi pucat Kat diwarnai semburat kemerahan karena cuaca yang dingin. Kedua mata Kat, mata cokelat jernih yang kini tak lagi ditutupi kabut putih balas menatap Wendell dengan kehangatan yang begitu membanjiri dadanya, melingkupinya dengan emosi yang membuatnya kewalahan.
Maka Wendell berkata, "Di antara sekian banyak kemungkinan, kaulah yang menemukanku di perairan waktu itu, dan aku tak pernah merasa begitu beruntung. Aku senang dapat mengenalmu."
Wendell maju selangkah. Dia menyelipkan helaian rambut cokelat Kat ke balik telinga gadis itu. Kemudian berkata pelan, "Terima kasih sudah menyelamatkan nyawaku, Katherine."
"Sama-sama." gadis itu menggenggam tangan Wendell yang kini berada di pipinya, senyumannya cerah. "Kau tahu, kebanyakan orang memanggilku Kat."
Sudut-sudut bibir Wendell terangkat membentuk senyuman congkak, "Tetapi aku bukan salah satu dari kebanyakan orang."
"Oh. Kau benar."
Keduanya tertawa. Kemudian Wendell menurunkan tangannya. Katherine menegakkan tubuhnya, menatap pria rupawan itu sebanyak yang sanggup dilakukannya agar sosoknya dapat terpatri jelas dalam memorinya.
"Selamat malam, Wendell James Lynden." Kat berujar, wajahnya dihiasi senyuman terlebar yang bisa dilakukannya.
Wendell mengecup punggung tangan Kat diiringi sebuah senyuman miring.
"Selamat malam, Katherine Everberd."
Kemudian sosok itu berbalik dan menaiki kudanya. Gadis itu mengawasi hingga kuda cokelat dengan penumpang bermantel hitam itu berderap menjauh dan menghilang di ujung jalan setapak memasuki hutan.
Kat masih punya beberapa jam sebelum waktu jalan-jalan rutinnya tiba. Dan lebih baik baginya untuk mengistirahatkan diri segera, karena tidak akan ada lagi pria rupawan penyuka kelinci yang akan membangunkannya sebelum matahari terbit.
End of Journal 6
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top