Jurnal 4 : Sihir Kristal
Ada dua alasan sederhana mengapa kota ini dinamakan Wyverlotus.
Pertama, kota ini memiliki danau besar yang indah dan banyak terdapat bunga lotus. Kedua, pada momen-momen tertentu setiap pergantian musim, musim hewan berkembang biak atau bermigrasi, akan terdengar raungan menggetarkan tulang yang berasal dari balik pegunungan. Raungan para naga—wyvern.
Selama berabad-abad—bahkan mungkin lebih tua dari itu—kawanan naga sudah mendiami Wyverlotus, bahkan hingga beradaptasi dengan keberadaan manusia. Naga pada hakikatnya bukanlah makhluk yang agresif. Mereka cenderung pendiam. Mereka hanya 'sedikit berang' apabila manusia berada terlalu dekat dengan habitat mereka, atau bila mereka diganggu.
Karena itu, raungan samar di kejauhan yang terdengar pada siang hari yang cerah itu sama sekali tidak mengganggu konsentrasi para penduduk Wyverlotus, maupun Aurora Herschel, seorang gadis berusia enam belas tahun yang sedang asyik merapikan sulur-sulur white clemantis yang ditanamnya beberapa minggu yang lalu. Sepatu bot dan apron kulitnya terkena tanah di mana-mana, namun dia tidak peduli. Terdapat segumpal awan kecil selebar payung yang melayang-layang hanya beberapa inci di atas kepalanya, melindunginya dari terik matahari.
"Aurora!" sebuah suara dari kejauhan memanggilnya. Wanita gemuk paruh baya itu melambaikan tangannya dari balik pagar rendah sebuah bangunan kokoh tak jauh dari kebun tempat Aurora berada. Bellbony. Sesungguhnya panti asuhan Bellbony lebih cocok disebut kastil mini, dengan atap-atap runcing dan dinding-dinding kokoh yang tersusun dari bebatuan abu-abu terang.
Aurora mengecek arloji kulit buatan tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, hadiah dari seorang sahabat baik. Sudah hampir pukul dua belas.
"Aku datang!" sahut Aurora pada Mrs. Yvaine.
"Panggil Allen juga! Anak itu bahkan tidak menyentuh panekuknya tadi pagi!" Aurora mendengar Mrs. Yvaine berseru lagi.
"Oke!"
Setelah melepas apron dan kunciran pada rambut merahnya, Aurora mengembalikan peralatan berkebun ke dalam kabin kayu kecil di dekat situ dan membersihkan tangan, lalu dia menarik tongkat sihir elm dari kantung overall yang dikenakannya dan menjentik ke arah awan di atas kepalanya. Gumpalan kecil itu melayang menjauh dan semakin tinggi, hingga akhirnya mencapai awan yang lebih besar jauh di langit di atas sana dan menyatu dengannya.
Aurora memasukkan kembali tongkatnya, setengah berlari menuruni bukit untuk mendekat ke arah tepian danau besar dan cantik itu, Silver Lake. Saking luasnya, Aurora selalu merasa di manapun dirinya berdiri di kawasan Bellbony, dia akan selalu mendapat pemandangan permukaan berkilauan danau itu. Silver Lake mengelilingi hampir seluruh sisi Bellbony, kecuali sisi Barat, di mana terdapat hutan pinus membentang hingga ke kaki gunung, yang sekaligus menjadi pembatas kota Wyverlotus.
Mata Aurora menangkap sosok tak asing itu, sedang tiduran di atas kano kecil yang mengapung tak jauh dari tepian danau. Satu lengannya berada di bawah kepala sebagai bantal, sementara satu tangan lain terlipat di atas perutnya. Segumpal awan kecil seperti milik Aurora melayang-layang rendah di atas wajah tertidurnya yang tertutupi buku, melindunginya dari terik matahari.
Allen Wolfe. Seperti namanya, dia seperti serigala penyendiri. Si kutu buku yang kebetulan juga sahabat baik Aurora dan asal muasal hadiah arloji kulit itu.
"Allen!" Aurora berseru. Tak nampak reaksi dari cowok itu, maka Aurora berjalan semakin dekat ke tepi, "Allen, sudah waktunya makan siang!"
Cowok itu tetap tak bergerak, tak menunjukkan tanda-tanda mendengar seruannya. Maka Aurora berjalan semakin mendekat ke tepi danau, mengangkat tongkatnya, dan merapalkan mantra di bibirnya. Buku di atas wajah Allen melayang dan mengepak-ngepak liar, menyebabkan wajah tertidur Allen perlahan mengernyit bingung, lalu matanya mengerjap terbuka dan dia terduduk dengan panik sambil mengibas-ngibaskan lengannya dengan gerakan mengusir.
"Burung siala—oh." Allen terhenti saat menyadari bahwa burung yang sedari tadi berusaha diusirnya tak lain adalah bukunya, lalu tatapannya jatuh pada Aurora yang terpingkal-pingkal di tepi danau.
"Kau seharusnya lihat tampangmu!" gadis itu memegangi perutnya, tertawa keras hingga terbungkuk-bungkuk dengan mata berair. Allen menangkap bukunya dengan kesal dan menjentikkan tongkat sihir miliknya, membuat buku itu melesat terbang ke arah Aurora dan berbalik menyerang gadis itu.
"Ap—hei! Allen! Hentikan! Itu geli!" Aurora berusaha menghindari buku itu yang sekarang mengepak-ngepak di sekitar tengkuknya. Allen—yang sudah mengenal Aurora sebaik dia mengenal punggung tangannya sendiri—tahu bahwa tengkuknya adalah kelemahan gadis itu.
Tetapi Allen jelas tidak memperkirakan reaksi Aurora akan jadi separah itu, sampai-sampai Aurora tak menyadari ke mana arah kakinya melangkah.
"Hei, awa—!" Allen bangkit di kanonya melihat Aurora yang tersandung ke belakang.
BYUUUR!
Terlambat. Aurora tercebur ke dalam danau. Dari kanonya, Allen hanya bisa melihat puncak rambut merah gadis itu mengapung-apung di air di kejauhan. Dengan panik, Allen merutuk dan mengetukkan tongkatnya ke sisi kano, membuat perahu itu meluncur dengan mulus ke arah rambut Aurora.
"Aurora!" Allen menjulurkan tangannya, menarik tubuh Aurora hingga kepalanya terangkat. Kedua mata gadis itu terpejam dan tubuhnya tak bergerak, "Oh, sial... sial..."
Kemudian, tanpa diduga-duga, Aurora menggenggam tangan Allen yang masih terulur dan menarik cowok itu hingga terjungkir dari kano dan terjun ke danau. Suara tawa Aurora kembali memenuhi pendengaran Allen ketika cowok itu mengangkat kepalanya ke atas permukaan air dan terbatuk-batuk. Rambut cokelat gelapnya menempel lepek ke kepalanya. Dia menggigil dan kesal. Namun melihat tawa cerah gadis itu, Allen menyerah dan ikut terbahak.
Allen memang tidak dapat menang dari Aurora.
💎
Suasana makan siang di aula makan Bellbony bisa dibilang senormal Sabtu siang lainnya. Tentu saja normal yang dimaksud mencakup kebisingan seluruh penghuni Bellbony yang berkumpul di meja makan—yang sebetulnya tidak terlalu besar tapi entah mengapa selalu cukup menampung semua orang—, Mrs. Yvaine yang sibuk melambai-lambaikan tongkatnya, membuat piring-piring berisi menu makan siang mereka yang beragam dan menggiurkan terbang keluar dari dapur dan mendarat di atas meja, serta Mr. Vogelrosen—namun semua orang selalu memanggilnya Mr. V—yang sedang berdiri di pintu dapur, menjulang di hadapan Aurora dan Allen yang basah kuyup.
Mr. V berdiri diam selama beberapa saat di hadapan keduanya, tak berkata-kata. Namun akhirnya dia menghela napas. Dia mengeluarkan tongkat sihir dari saku setelan jasnya, lalu menjentikkan tongkatnya, seketika Aurora dan Allen kembali kering total. Sepasang mata biru terang Mr. V menatap keduanya dengan sorot menyerah campur geli, "Biar kutebak. Kekacauan di danau?"
"Lebih tepatnya, keberhasilan membangunkan seorang sahabat dari hobi tidur siangnya di tengah danau." Aurora nyengir.
"Menikah saja sana, Aurollen!" beberapa senior berseru, menimbulkan tawa dan kekehan dari sisanya. Aurora terkernyit bingung.
"Siapa yang—?"
"Oh, itu nama kami untuk pasangan abadi Bellbony, Aurora dan Allen. Aurollen." salah satunya menyeletuk. Tawa semakin ramai dan suitan terdengar riuh.
Mr. V menyunggingkan senyum miring melihat Allen bersemu sementara Aurora melongo kehilangan kata-kata dengan telinga berasap.
"Bergabunglah dengan yang lain." Mr. V menggiring keduanya ke meja makan kemudian menyuruh seisi aula agar makan dengan tenang.
Mr. V adalah ketua sekaligus pemilik Bellbony. Tidak ada yang pernah tahu sejak kapan dia menjabat di posisinya sekarang, atau nama lengkapnya, ataupun berapa usianya sebenarnya. Aurora hanya bisa mengira-ngira, namun secara fisik, dia terlihat seperti pria berusia tiga puluhan dan itu membimbingnya pada dugaan bahwa mungkin saja keluarga Vogelrosen mewarisi Bellbony dan posisi itu padanya. Dan dia adalah pria paling unik yang pernah dikenal Aurora. Selain dia adalah penyihir yang cukup terkenal di kota Wyverlotus karena kecakapan, kedermawanan, dan—ehem—ketampanannya, dia mengelola Bellbony dengan cukup baik. Terlalu baik malah.
Para penyihir yang tinggal di Bellbony merupakan yatim piatu, tidak memiliki relasi, atau hidup sebatang kara dengan berbagai alasan. Seluruh penghuni Bellbony memiliki umur yang bervariasi, mulai dari yang termuda berumur tiga tahun—si kecil Rosie yang dulu 'dititipkan' orangtuanya di depan pintu masuk Bellbony—hingga bahkan hampir lima puluh tahun, seperti Mr. Bahlow—yang sekarang memutuskan berkontribusi terhadap Bellbony dan mengajarkan ilmu tentang naga—dan Ms. Appleby—sekarang mengajar ilmu alkemi. Ini menjadikan Bellbony semacam institusi pendidikan non-formal bagi penyihir yatim-piatu. Walaupun para tenaga pengajar tetap mendapat bayaran dari Mr. V.
Karena Bellbony tidak memiliki sistem pembagian kelas, seluruh penghuni membaur dan sulit membedakan umur. Satu-satunya penanda adalah warna dari kristal yang terkalung di leher tiap penyihir.
Sejak lahir, semua penyihir memiliki liontin kristal mereka masing-masing dengan warna yang berbeda-beda tiap individu, merepresentasikan kekuatan mereka. Sebagai contoh, milik Aurora adalah hijau muda dengan sedikit sentuhan pink, Allen adalah mauve, dan Mr. V adalah indigo. Liontin kristal bertindak sebagai semacam 'wadah' penampung kekuatan berlebih yang dimiliki penyihir pemakainya, maka warna-warna ini semakin jelas dan pekat mendekati usia kedewasaan seseorang—umumnya usia tujuh belas. Dan bila warnanya sudah terlalu pekat, seorang penyihir harus menyalurkan tabungan kekuatan di dalam liontin tersebut untuk membuat warnanya kembali bening. Hal ini dilakukan secara kontinyu, demi menghindari kekuatan tersebut berbalik merugikan si penyihir.
Beberapa minggu lagi adalah ulang tahun Allen yang ketujuh belas. Warna liontinnya sudah sangat gelap dan sejujurnya, Aurora khawatir. Cowok itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan melakukan sesuatu terhadap kekuatannya, walaupun Mr. V sudah berulang kali memanggil Allen ke kantornya dan mendiskusikan masalah ini. Pernah Aurora mencuri dengar percakapan Allen dengan Mr. V, dan apa yang didengarnya sangat tidak memuaskan.
"Aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat," kata Allen tempo hari di hadapan Mr. V, "Aku akan melakukannya untuk August."
Allen memiliki seorang kakek yang lumpuh dan tinggal sendirian di sisi lain Silver Lake, August Wolfe. Aurora biasa memanggilnya dengan sapaan August. Mereka cukup dekat karena Aurora seringkali menemani Allen yang rutin mengunjunginya setiap hari, membantunya membersihkan rumahnya atau apapun.
August dulu merupakan seorang penjelajah. Kelumpuhan yang dialami August adalah akibat kecerobohannya dulu, ketika dia terjebak dalam situasi perang di suatu negara yang membuatnya koma selama setahun penuh dan gagal membuat kristalnya kembali bening pada waktunya. Kekuatan itu menyerang balik dan membuat kedua kaki August lumpuh total dan sihirnya menjadi tidak stabil hingga sekarang.
Karena alasan itu, Mr. V menarik Allen untuk tinggal di Bellbony. Tinggal bersama seorang penyihir tua dengan sihir yang tak stabil sesungguhnya merupakan hal yang berbahaya.
💎
"Jadi apa kau akhirnya akan memberitahuku apa yang akan kaulakukan dengan... semua ini?" Aurora menggesturkan tangannya ke bundelan yang saat ini tengah dibongkar Allen dengan bersemangat, sore itu di tepi danau. Isinya adalah satu setel pakaian musim dingin—mulai dari mantel, atasan, celana, hingga sarung tangan dan kaus kaki—yang dijahit Aurora sendiri. Menurut Mr. V, bakat Aurora adalah keterampilan tangannya, dan gadis itu selalu bangga akan hal itu.
Agak aneh mendapati Allen secara spesifik meminta pakaian musim dingin buatan Aurora sebagai hadiah ulang tahunnya. Namun mengingat Allen memberikan arloji buatan tangan pada ulang tahun Aurora yang keenam belas beberapa bulan yang lalu, gadis itu merasa sepatutnya dia membalas kebaikan Allen.
"Tidak sekarang. Tetapi ini sempurna. Trims." Allen mendongak menatap Aurora dan nyengir lebar. Aurora mengangkat bahu dan ikut duduk di sebelah Allen di tepian danau, hanya beberapa meter jauhnya dari tempatnya terjatuh beberapa hari yang lalu. Kemudian dia mendengar Allen berkata lagi, "Ini benar-benar bagus."
"Kau bisa beli di desa."
"Tidak sekuat dan sehangat buatanmu."
"Oh."
Aurora terdiam. Dia memeluk lututnya dan berkata lagi.
"Kau sudah bicara pada August bahwa kau akan pergi dari Wyverlotus setelah melaksanakan Sihir Kristal-mu?"
Allen mengembalikan pakaiannya ke dalam kantung dan mengangguk, "Yeah. Dia kelihatan benar-benar bangga dan... bahagia. Kurasa dia senang aku mengikuti jejaknya."
Aurora menoleh menatap Allen dan tersenyum menenangkan, "Jangan khawatir, Mr. V sudah menunjuk seorang pekerja untuk membantu kakekmu selama kau pergi. Marcus praktisnya mengajukan diri. Dia senang mengobrol dengan kakekmu. Oh, dan aku juga masih akan sering-sering mengunjunginya."
Keduanya lalu terdiam.
"Bagaimana denganmu?" Allen mendadak menyeletuk.
"Apa?" Aurora mengangkat alis.
"Apakah kau akan baik-baik saja? Maksudku..." dia berdeham, tampak ragu-ragu sejenak, "...aku nggak harus pergi."
Memang sulit bagi Aurora untuk menghadapi kenyataan bahwa Allen akan pergi dari Bellbony untuk menjelajah setelah dia melakukan Sihir Kristal-nya, pergi dari Wyverlotus, entah sampai kapan. Tetapi Aurora selalu tahu bahwa itu adalah mimpi Allen sejak dulu. Memperluas ruang gerak, bertemu orang-orang baru, melihat dunia. Maka Aurora menoleh menatap Allen dengan sorot tak percaya dan bertanya balik, "Dan apakah kau akan puas hanya dengan hidup di Wyverlotus? Hal paling seru yang bisa kaulakukan di sini paling-paling meneliti naga."
Allen tidak menjawab. Keduanya sama-sama tahu persis apa jawabannya.
Aurora mengerjap, dia berusaha melawan rasa panas yang sudah bertengger di sudut-sudut matanya, "Kumohon jangan mengkhawatirkanku. Aku tahu persis bahwa Allen Wolfe adalah seorang yang terlalu hebat untuk kota ini. Cerdas, loyal, berbakat, dan... well, segala kebaikan ada pada dirimu," gadis itu terkekeh, "...dan kepergianmu tak akan mengubah apapun, terutama persahabatan kita."
Allen tampak meresapi kata-kata Aurora. Sementara Aurora selalu terkesima setiap kali tak sengaja terlalu lama memandang mata Allen. Sepasang mata lilac yang kini menatapnya dengan sorot lembut yang sulit Aurora deskripsikan. Gadis itu menikmati saat-saat seperti sekarang. Duduk bersebelahan dengan Allen di tepi Silver Lake, menatap matahari senja yang perlahan nyaris tenggelam ke balik pegunungan, membuat sebagian permukaan danau berubah kemerahan sewarna kuning telur.
"Kau juga harus melihatnya." Allen berkata pelan, masih menatap gadis di sampingnya.
"Apa?"
"Sihir Kristal-ku."
"Tentu!"
"Itu..." Allen mengalihkan pandangan dan menggaruk tengkuknya, "...um, sedikit-banyak terinspirasi darimu. Maksudku, itupun jika aku berhasil. Melakukannya, maksudku."
Aurora terbahak, "Kau nggak pernah jadi pembicara yang baik."
Allen mendesah berat, "Aku tahu."
💎
"Aurora! Bangunlah!"
"Mrs. Yvaine...?" Aurora mengerjap bangun, suaranya serak. Dia melihat wanita itu berdiri di samping ranjangnya masih mengenakan piyama, "...jam berapa ini?"
"Dua dini hari. Ayo, Allen akan melakukan Sihir Kristal-nya di danau." Mrs. Yvaine berbinar bersemangat.
Hanya butuh sepuluh detik bagi Aurora untuk menyambar mantel dan sepatunya, lalu berlari menuruni tangga dan keluar mengitari Bellbony, menuju kerumunan yang sudah lebih dulu berkumpul di tepian danau. Jantungnya berdegup tak terkendali.
Apa-apaan? Mengapa tiba-tiba sekali? Dan ulang tahunnya bahkan baru dua hari lagi!
Angin dingin menyeruak ke balik pakaian Aurora setibanya dia di tepi danau, membuatnya menggigil sedikit, "Di mana Allen?" Aurora bertanya ketika menemukan Mr. V. Pria itu tersenyum dan menunjuk ke arah tengah danau.
Di sana, di tengah-tengah Silver Lake, Allen berdiri di atas kanonya, mengenakan mantel musim dingin yang dijahitkan Aurora. Kedua tangannya terentang lebar, di tangan kanannya tergenggam tongkat sihir, di tangan kirinya tergantung liontin kristal yang berkilauan. Samar-samar Aurora dapat melihat mata Allen terpejam dan bibirnya menggumamkan mantra. Kemudian terdengar bunyi keretak yang membuat semua orang melonjak kaget, diiringi gemuruh teredam yang berasal dari dalam danau. Semua orang kebingungan.
"Apa yang—?"
Sebuah bercak putih muncul di permukaan air danau yang berada persis dari bawah kano, atau mulanya Aurora kira begitu, hingga bercak itu perlahan menyebar dan semakin meluas, menutupi seluruh danau. Udara mendadak mendingin dan napas-napas semua orang yang menonton di pinggir danau berubah menjadi asap.
"Es?" ucap salah satu senior yang berdiri tak jauh dari Aurora, diiringi tarikan napas terkejut yang lainnya, "Anak itu membuat danaunya membeku menjadi es?"
"Untuk apa?"
"Bagaimana dengan makhluk hidup di bawahnya?"
Aurora melihat Mr. V bergerak di sampingnya mendekati danau, mengamati lapisan es yang meluas hingga akhirnya berhenti tepat di batas air berakhir. Serbuk putih menempel pada ujung-ujung sepatu Mr. V yang kini berjongkok dan menyentuh permukaan es itu dengan telapak tangannya.
"Hmm." gumamnya tertarik, perlahan bangkit. "Tak akan lama. Ini rupanya semacam portal."
Aurora dapat merasakan bahwa bukan hanya dia yang tak mampu untuk segera menangkap arti perkataan Mr. V.
Seolah mengamini perkataan Mr. V, lapisan es itu kemudian beriak. Seolah es itu tidak nyata. Seperti seseorang tengah memproyeksikan gambar lapisan es entah dari mana pada permukaan air danau.
"Lihat!" seseorang tiba-tiba berseru dan menunjuk ke arah langit.
Keanehan tengah terjadi. Seberkas cahaya samar berwarna kehijauan tampak bergerak di langit, lalu muncul pula warna lain, kali ini keunguan. Kemudian biru. Semakin lama semakin banyak dan menyebar, namun penyebarannya mengikuti bentuk danau Silver Lake di bawahnya. Pancaran warna-warna itu kemudian membaur satu sama lain dalam bentuk garis-garis cahaya yang menari-nari di langit dengan mengagumkan.
Aurora.
Seluruh penghuni Bellbony tak mampu bersuara. Semuanya terdiam, terpana menatap pemandangan langka yang luar biasa memukau di hadapan mereka, terhipnotis dengan keindahannya.
Aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat. Aku akan melakukannya untuk August.
Kata-kata itu terngiang di kepala Aurora sebelum gadis itu berputar menerobos kerumunan, lalu melesat menyusuri Silver Lake secepat kakinya sanggup membawanya. Dia menghiraukan suitan-suitan riuh dari teman-temannya yang menyerukan "Woohoo! Aurollen!" dari belakangnya dan menghadang angin dingin yang menyapu wajahnya ketika dia berlari.
Dia membutuhkan seseorang bersamanya untuk menyaksikan ini.
Aurora memperlambat larinya ketika dia akhirnya tiba di pekarangan rumah kayu sederhana milik August Wolfe, yang terletak di sisi Silver Lake yang berlawanan dengan Bellbony. Aurora mendapati pria berambut abu-abu itu tengah duduk di kursi rodanya di pinggir danau, menyaksikan pemandangan di hadapannya dalam diam. Pendaran cahaya-cahaya indah di langit malam itu terpantul pada sepasang matanya, mata lilac yang sama dengan yang dimiliki cucunya.
Sedikit terengah, gadis itu berjalan mendekat ke arah August, yang kemudian menyadari kehadirannya dan menoleh. Pria itu tersenyum.
"Brilian, eh, si Allen itu?" ujarnya dengan binar pada matanya yang belum pernah dilihat Aurora sebelumnya. Aurora balas tersenyum.
"Dia mempersembahkan Sihir Kristal-nya untukmu." Aurora memberitahu.
"Dia mengingatnya." August berkata pelan hingga nyaris seperti bisikan, "Dia mengingat ceritaku, tentang bagaimana pengalamanku suatu malam di Eslavia dulu. Tentu sebelum kejadian itu, ketika kakiku masih bebas melangkah mengitari dunia. Dia membawakan ingatan akan malam terindah yang pernah kualami ke hadapanku, agar aku bisa menyaksikannya dari atas kursi rodaku saat ini."
Pria itu menoleh kembali menatap ke langit, sementara Aurora tak mampu mencegah matanya berkaca-kaca.
"Dia memang brilian." Aurora menyahut setuju, ikut memandangi cahaya-cahaya di langit dengan takjub, "Penyihir paling baik dan paling brilian yang pernah kukenal."
August tertawa, dan Aurora dapat menangkap kebanggaan pada nada suaranya ketika mengatakan, "Dan sepandai rubah. Bagaimana dia bisa selicik itu, melakukan Sihir Kristal-nya untuk menyenangkanku sekaligus gadis favoritnya?"
Aurora merasakan kedua pipinya memanas, mengingat perkataan Allen tentang Sihir Kristal-nya tempo hari di tepian danau.
Itu sedikit-banyak terinspirasi darimu.
"Oh!" seruan August yang tiba-tiba membuat Aurora agak terlonjak, "Lihat siapa yang datang."
Aurora mendongak mengikuti arah pandang August, dan melihat sebuah kano tengah meluncur pelan dari tengah danau menuju mereka.
"Cucuku yang hebat!" August dan kursi rodanya menghampiri Allen yang turun dari kano. Dia melihat kakeknya dan berlari kecil ke arahnya. Keduanya bertemu di tengah dan berpelukan.
"Hai, Kek. Maaf membangunkanmu di pagi buta." Allen tersenyum meminta maaf ketika melepaskan pelukannya.
"Melewatkan tidur cantikku demi menyaksikan mahakaryamu? Kau menciptakan portal proyeksi luar biasa besar melalui danau sebagai medium, demi Tuhan! Banggalah sedikit pada kemampuan supermu!" August mengacak rambut Allen dengan tawa sumringah di wajahnya. Kemudian ekspresi pria itu melembut, kedua matanya basah oleh airmata, "Kau membuatku sangat bangga, Nak. Terima kasih."
Allen tak sanggup berkata-kata. Dia hanya menunduk sementara August terkekeh-kekeh parau sambil terus mengacak rambutnya. Allen kemudian berkata pelan, "Maafkan aku karena harus meninggalkanmu."
August memutar bola matanya, "Oh, kau hanya perlu sering berkunjung. Dan jangan khawatirkan si tua bangka ini! Kau punya kehidupan untuk kaujalani. Kesempatan yang masih panjang bagimu untuk melihat dunia. Mengapa kau sia-siakan? Aku mencintai setiap detiknya, dan kau pasti akan mengerti maksudku setelah kau mengalami sendiri petualanganmu."
Mereka saling berpandangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya August berdeham dan memundurkan kursi rodanya, "Aku akan ke dalam sebentar untuk mengambil taplak dan makanan. Dan mungkin akan membangunkan si bodoh Marcus untuk bergabung dengan kita melihat pemandangan hebat ini. Aku segera kembali!"
Ketika berbalik, Aurora bersumpah sempat melihat kedipan mata August yang terarah padanya diiringi senyuman penuh arti. Dan itu rupanya membuat perhatian Allen teralih pada gadis itu.
Allen berjalan mendekati Aurora. Langkahnya ragu-ragu.
"Hei." senyumnya.
Aurora membalas senyumannya dengan gugup. Entah mengapa rasanya canggung untuk balas menatap cowok itu saat ini, "Hei juga. Jangan bilang kau memerlukan mantel itu untuk malam ini?"
"Aku punya kenalan di Eslavia." jelas Allen, "Dia ahli cuaca, dan perkiraan aurora akan muncul paling dekat dengan ulang tahunku adalah malam ini. Dan aku harus berkunjung ke sana sebentar untuk..."
"Kau apa?" potong Aurora takjub. Teleportasi bukanlah sihir yang mudah. Bahkan para penyihir-penjelajah tidak banyak yang sanggup melakukannya.
"...untuk menyambungkan portalnya dengan Silver Lake, yeah." Allen semakin menunduk, "Aku ke Eslavia."
Menyadari tak mendapat tanggapan apapun dari Aurora, Allen menarik liontin dari balik kerah mantelnya dan menunjukkan bandul kristal yang sekarang sudah bening. Dia terkekeh gugup, "Aku menghabiskan nyaris separuh warnanya untuk perjalanan itu."
Aurora tak mampu menanggapinya. Dia masih terlalu takjub dan syok akan usaha Allen yang benar-benar di luar dugaan.
"Jadi..." Allen menggaruk tengkuknya, "...bagaimana, kau suka hasil karyaku?"
Gadis itu memandang ke arah langit sekali lagi. Kemudian mendesah pelan, "Bagaimana aku bisa tidak menyukainya? Rasanya seperti melihatmu mengukirkan namaku di langit malam."
Setelah mengatakan itu, Aurora tiba-tiba merasakan pergelangan tangannya ditarik. Dan detik berikutnya, wajah Allen memenuhi pandangannya.
Lalu Allen mencium Aurora. Bibirnya yang menempel di bibir Aurora terasa lembut dan dingin, begitu pula dengan ujung hidungnya yang menyapu pipi gadis itu.
Ciuman itu berlangsung terlalu singkat. Belum sempat Aurora bereaksi apapun, Allen sudah menjauhkan wajahnya. Lalu dengan pipi semerah tomat serta wajah yang panik, Allen mulai meracau, "Aku tahu mungkin bagimu aku ini sangat brengsek karena me-me-menciummu, tetapi... sial! Aku nggak bisa menahannya. Maafkan aku, maafkan aku... Tapi aku nggak bisa berhenti memikirkanmu dan prospek bahwa aku nggak akan bisa sering-sering menemuimu atau sekadar melihatmu jika aku pergi nanti membuatku... ketakutan. Aku bahkan nggak tahu bagaimana p-perasaanmu padaku! Aku nggak tahu bagaimana menanyakannya padamu selama ini karena aku adalah pengecut yang nggak berani melakukan apa-apa... dan aku bahkan bermimpi mengajakmu melakukan perjalanan bersamaku walau tahu kau nggak mungkin melakukannya karena kau pernah bilang kau mencintai kehidupan di Wyverlotus tapi tetap saja..."
Racauan Allen melambat dan akhirnya terhenti. Cowok itu menyisiri rambut pendek gelapnya dengan frustasi, pipi dan telinganya belum pernah terlihat semerah itu. Kemudian dia menyumpah dan menggumam kepada dirinya sendiri, "Aku benar-benar bodoh."
"Kau nggak bodoh." komentar Aurora, mengangkat bahu. "Payah mungkin. Tapi bodoh... nggak."
Allen memandangi Aurora. Ekspresinya begitu menggemaskan, campuran antara jengkel dan pasrah.
"Kau benar, soal aku yang nggak berencana untuk meninggalkan Wyverlotus dalam waktu dekat." ujar Aurora pelan, "Hatiku tertambat di sini. Maksudku, di kota ini ibuku meninggalkanku dan Bellbony sudah seperti rumah dan keluarga. Aku menyukai setiap senti tempat ini, bahkan juga naga-naganya. Tapi... aku nggak keberatan menunggumu."
Aurora memperhatikan mulut Allen terbuka sedikit dan matanya membelalak karena keterkejutannya, tak sanggup berkata-kata. Maka Aurora meneruskan.
"Atau kalau kau nggak berencana untuk menetap di Wyverlotus setelah perjalananmu, aku bisa menyusulmu. Sesekali. Begitu banyak cara. Dan mengingat kau bisa ke Islandia begitu mudahnya, aku yakin kau bisa sering-sering ke Bellbony dan—ufh!"
Kata-kata Aurora terputus karena Allen tahu-tahu memeluknya sedemikian erat hingga gadis itu kesulitan bernapas. Aurora tersenyum, lalu balas memeluknya. Allen mengubur wajahnya di leher Aurora. Hembusan napas cowok itu terasa hangat di kulit Aurora, entah sudah seperti apa kondisi jantungnya saat ini. Aurora membelai rambut Allen yang terasa lembut di sela-sela jemarinya. Kemudian, setelah rasanya seabad saling berpelukan, Allen mengangkat wajahnya, namun lengan-lengannya masih melingkari pinggang gadis itu, membuat keduanya saat ini bertatapan dalam jarak yang begitu dekat.
"Um... b-bolehkah aku menciummu lagi?" Allen berbisik penuh harap.
Aurora membelai pipi Allen dan menatap sepasang mata lilac itu dengan berkaca-kaca, gadis itu tertawa. "Duh, Wolfe. Dengan senang hati."
Sudut-sudut bibir Allen terangkat membentuk senyuman sebelum dia mencium gadis kesayangannya itu sekali lagi. Kali ini lebih lama dan lebih menghanyutkan.
Sungguh mengherankan begitu lama waktu yang diperlukan August untuk mengambil taplak dan makanan. Yang jelas, Allen dan Aurora cukup lega karena pria itu baru muncul setelah keduanya akhirnya sanggup memisahkan diri.
Entah yang mana yang lebih bersinar malam ini, aurora di langit malam di atas Silver Lake, atau Aurora yang berada dalam dekapan seorang serigala penyendiri yang tergagap saat menyatakan perasaannya.
End of Journal 4
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top