Jurnal 3 : Tetap Hidup
Seorang gadis berambut sebahu sewarna tembaga tengah menatap pantulan bayangannya pada sebuah cermin kamar, lalu bergumam pelan, "Untunglah aku nggak harus pergi ke pesta dansa konyol itu."
Sudah tiga minggu sejak Regan Vance keluar dari UGD Herdersonville Community Hospital. Dan sudah tiga minggu pula sejak insiden itu terjadi. Insiden yang sempat memenuhi tajuk utama koran-koran dan berita televisi lokal. Warga kala itu dirundung duka, karena seorang anak laki-laki berusia tujuh belas tahun ditemukan tewas di sebuah gang sempit dan gelap di daerah kumuh Hendersonville, tepatnya, dekat dengan lokasi apartemen di mana Regan tinggal.
Lebih tepatnya lagi, insiden yang melibatkan gadis itu.
Regan menekan bekas luka memanjang di dekat lehernya dan meringis. Kalau dia jadi pergi ke pesta dansa Halloween malam ini, dia harus mengenakan gaun yang pastinya mengekspos bekas luka itu. Dan dia tidak akan tahan menerima pandangan dari orang-orang. Memang sudah tidak terasa apapun pada lukanya, namun ingatan akan kejadian itu masih sangat jelas terpatri di kepalanya.
"Maafkan aku."
Regan terlonjak nyaris satu sentimeter dari lantai akibat suara maskulin yang tiba-tiba terdengar di dalam kamarnya. Sesosok cowok kurus berkacamata dan berambut cokelat gelap sudah berdiri tak jauh di belakang Regan.
"Dude!" Regan menyumpah dan berbalik menatap cowok itu, "Sudah berkali-kali kubilang, kasih peringatan sedikit kalau kau mau muncul!"
Cowok itu mengindahkan kata-kata Regan, alih-alih dia terus memperhatikan bekas luka di leher Regan, "Aku benar-benar menyesal soal lukamu."
Setelah menguncir rambutnya, Regan berbalik kembali menghadap cermin seraya mengenakan jaket tudung. Dia mendesah lelah, "Bukan salahmu, Sam."
Samuel tampaknya tak setuju dengan perkataan Regan. Cowok itu duduk di tepi ranjang milik Regan dan menggumam, "Tapi kau jadi tidak bisa pergi ke pesta dansa karenaku."
Regan memutar bola mata. Dia menggabrukkan diri di sebelah Samuel, "Aku sudah bilang padamu dan kupikir kita sama-sama setuju. Kau akhirnya berhasil menemukannya kemarin. Kita akan mengambil benda berhargamu yang hilang itu."
"Ya, tetapi tidak harus malam ini." Samuel mendongak menatap Regan. Gadis itu balas menatap sepasang mata hijau milik Samuel yang mengingatkannya akan rerumputan segar di pagi hari. Walaupun sosok Samuel tampak semuram sifatnya, tidak demikian dengan matanya.
Mata itu hidup. Tak seperti bagian diri cowok itu yang lain.
Regan mendapat firasat bahwa malam ini justru adalah kuncinya. Dia melakukan riset amatir melalui internet, dan kesimpulan yang didapat adalah; tidak ada waktu yang lebih tepat lagi bagi para roh untuk mencapai puncak kekuatannya selain di malam Halloween.
Ya, Samuel adalah cowok tujuh belas tahun yang meninggal akibat insiden tiga minggu lalu itu. Samuel-lah yang menyelamatkan Regan dari para pemuda mabuk di gang sempit itu dan harus kehilangan nyawa karenanya. Sejak insiden itu, roh Samuel terus mengikuti Regan. Dan gadis itu tahu ada sesuatu yang masih perlu dilakukan cowok itu, karena itu dia terjebak bersama Regan di dunia ini. Hal yang belum terselesaikan. Atau begitulah yang sering didengarnya dari film-film.
Karena itu Regan berkeras. Dia akan mempertaruhkan apapun—bahkan pesta dansanya malam ini—untuk membantu Samuel. Regan menjelaskan perihal teorinya kepada Samuel, namun cowok itu tampak pesimis. Dia menunduk menatap telapak tangannya yang membuka-menutup, "Kau pikir hantu bisa menguat?"
Regan tak tahu harus menjawab apa. Maka dia berkata, "Sam. Kau menyelamatkan nyawaku dan sebagai gantinya, nyawamu hilang. Aku nggak paham mengapa kau begitu... mementingkan hura-hura anak SMA ketimbang usahaku membalas budi kepadamu. Jika aku di posisimu, aku pasti akan jadi roh pendendam yang bakal terus menuntut balas atau semacamnya..."
"Jesse mengajakmu ke pesta dansa." gumam Samuel.
Regan terdiam.
"Aku tahu kau menyukai dia sejak lama." kata Samuel lagi.
Regan dan Samuel memang satu sekolah di Hendersonville High, namun tidak pernah saling mengobrol sebelum kematiannya. Jadi, bagaimana cowok itu tahu menahu tentang perasaannya terhadap Jesse?
"Bagaimanapun perasaanku terhadapnya, prioritasku sekarang bukan Jesse. Tetapi kau." tegas Regan.
Samuel mendengus muram, "Tentu. Lebih cepat membantuku dengan apapun yang wujud bodohku ini nggak bisa lakukan, lebih cepat pula kau dapat menyingkirkanku."
Jika saja Samuel masih solid, Regan tak akan segan menampar cowok itu keras-keras.
"Kau meninggal dalam usahamu menyelamatkanku. Itu bukan sesuatu yang kuinginkan. Dan sekarang kau duduk di hadapanku, mengeluhkan kecurigaanmu tentang diriku yang ingin kau cepat menyingkir? Kau serius?!"
Jika saja Regan sekejam itu, dia bisa saja menambahkan bahwa Samuel tidak berhak mengatur-atur atas apa yang akan dilakukannya. Tetapi dia masih terlalu peduli terhadap perasaan cowok yang tengah duduk sambil memalingkan wajahnya itu.
Padahal dia hanya seorang hantu.
Maka Regan bangkit berdiri dan menyambar ransel dari atas mejanya, "Aku akan menemukan barang milikmu itu. Dan sebaiknya kau angkat pantatmu dari kasurku dan tunjukkan jalannya."
🎃
Dari sekian banyak kemungkinan tempat yang akan didatanginya, Regan jelas tidak menyangka Samuel akan menuntunnya ke tempat ini.
"Kau tahu ini rumah Jesse, kan?" Regan mematung syok di trotoar rumah putih itu. Bangunan itu tampak senormal rumah-rumah lainnya. Dia pernah beberapa kali mengunjungi rumah Jesse ketika cowok itu mengundangnya pada pesta yang diadakan di sana. Jesse memang bukan si Cowok Populer No. 1 yang kerjaannya menyelenggarakan pesta tiap saat. Dia hanya terlalu keren untuk menjadi teman nyaris semua orang, dan terlalu baik untuk menolak permintaan beberapa orang agar mengadakan pesta di rumahnya.
Tetapi malam ini rumah itu terlihat sepi. Lampu terasnya menyala, namun jendela-jendelanya tampak gelap. Tentu saja, ini pukul sebelas malam. Mungkin orangtua Jesse sudah tidur? Dan cowok itu sendiri mungkin sedang di pesta dansa bersama pasangannya sekarang. Mengingat Regan menolak pergi dengannya.
"Ya." sahut Samuel. Regan terlonjak sedikit karena sosoknya berada persis di sebelahnya. Suaranya entah mengapa terdengar lebih jelas daripada biasanya, "Aku tahu. Ada di sini."
Regan lalu mengawasi Samuel melayang masuk menembus pintu depan rumah Jesse untuk mengecek keadaan di dalam. Gadis itu mengikutinya dan menunggu beberapa menit dengan gelisah di teras. Dia mengamati sekitar, ngeri tiba-tiba akan dipergoki dan disangka pencuri. Syukurlah tak lama kemudian Samuel kembali muncul di hadapannya.
"Kosong." lapor Samuel, kemudian dia bertanya ragu-ragu, "Uh... kau bisa memanjat?"
Regan mengerang.
Sekitar lima menit kemudian, Regan mendapati dirinya berguling masuk melalui jendela sebuah kamar gelap di lantai dua rumah Jesse. Ketika hendak bangkit, kepalanya membentur ujung meja dengan bunyi duk yang cukup keras.
"Ouch!"
"Sssh!"
"Ugh, kenapa nggak lewat pintu depan saja? Aku bisa mengakali kuncinya." keluh Regan jengkel.
"Kita nggak mau membuat alarm-nya berbunyi." Samuel hendak mengulurkan tangan untuk membantu Regan berdiri namun dia mengepalkan tangannya kembali, teringat bahwa tindakan itu sia-sia. Maka Samuel berjongkok dan menatap Regan cemas, "Kau baik-baik saja?"
"Selain mungkin memar di ubun-ubun?" Regan nyengir, entah mengapa sedikit bersemangat akibat 'petualangan'nya menerobos rumah orang di malam Halloween. "Yeah, spektakuler."
Kelegaan terpampang di wajah Samuel, dan entah mengapa, Regan merasa wajahnya memanas ketika mata hijau dari balik kacamata itu menemukan matanya di tengah gelapnya ruangan.
"Regan?" Samuel menyebut namanya.
Suara itu. Ada apa dengan suaranya? Mengapa terdengar begitu... jelas dan jernih?
"Regan." panggil Samuel lagi, menyadarkannya. "Kau yakin kau baik-baik saja?"
"Oh... yeah. Sori."
Uh-oh. Oke, Regan. Kendalikan dirimu. Dia hantu, tapi sejak kapan dia jadi seimut ini?
Maka gadis itu bangkit dari lantai dan menatap sekeliling, "Sekarang apa?"
"Kita keluar. Pintu kedua di kanan." Samuel menginstruksikan, "Kamar Jesse."
Regan mengamati sosok Samuel bergerak mendekati pintu hendak keluar, namun Regan memanggilnya, "Tunggu, Sam. Kau belum menjelaskan mengapa kau bisa menemukan barang milikmu di sini. Dan mengapa rumah Jesse?"
Samuel perlahan berbalik. Dia menampilkan ekspresi seolah dia rela melakukan apa saja kecuali menjelaskan soal itu pada Regan.
"Aku melihatnya membawa kalung itu belum lama ini." gumamnya pada akhirnya.
"Kalung?"
"Sebuah kalung."
"Jadi itu yang kita cari? Kalung itu milikmu?"
Samuel mendongak menatap Regan lagi, "Bukan. Tetapi itu milik seseorang yang amat berharga."
Astaga, ada apa sih dengan matanya?!
Berusaha keras mengendalikan kupu-kupu yang entah sejak kapan beterbangan di perutnya setiap kali bertemu pandang dengan Samuel, Regan melangkah menuju pintu dan membukanya. Dia berhadapan dengan lorong lantai dua kediaman Jesse yang temaram, dan sesuai instruksi Samuel, dia menyusuri lorong sepelan mungkin—untunglah dia mengenakan sneakers yang tidak menimbulkan suara saat berjalan—dan tangannya terangkat hendak memutar kenop pintu kedua di sebelah kanan.
Samuel beringsut ke sebelahnya dan berkata dengan nada khawatir, "Regan, berhati-hatilah."
Regan menelan ludah, "Aku tahu."
Dia membuka pintunya.
Ruangan itu tampak seperti kamar remaja cowok pada umumnya. Dindingnya dicat biru gelap, dengan perabot berupa ranjang single, meja belajar, dan lemari pakaian. Beberapa t-shirt dan celana boxer tercerai berai di lantai kamarnya yang berkarpet krem—normal—dan keadaannya gelap.
Dengan cepat, Regan menutup pintu dan mulai menggeledah seisi kamar Jesse.
"Kalung... kalung..." Regan bergumam tak sabar sembari menyusuri meja belajar Jesse, kemudian membuka laci-lacinya satu-persatu. Hampir setengah jam lamanya mereka berdua mencari—Samuel bahkan membantu melihat ke tempat-tempat yang tidak bisa dibuka Regan—dan menemukan nihil.
"Sial, di mana sih?!" Regan menggabrukkan tubuhnya di atas ranjang Jesse, menyerah. Dia sudah membongkar dua kali seisi kamar cowok itu namun gagal menemukan sebuah kalung. Samuel melayang masuk dan menggeleng-geleng.
"Nggak menemukannya juga di kamar-kamar lain—" perkataannya mendadak terhenti. Mata cowok itu melebar diliputi kengerian, "Ada seseorang datang."
"Apa?! Kau bilang rumah ini kosong!" desis Regan.
"Aku tidak mengecek keseluruhannya. Sembunyi!"
Tak butuh pengulangan, Regan menuruti Samuel dan bersembunyi di bawah tempat tidur. Dia merapatkan tubuhnya ke dinding di sisi terpojok ranjang sementara pintu menjeblak terbuka dan ruangan mendadak benderang karena lampunya dinyalakan.
"Yeah... Mom, aku mengerti..."
Suara Jesse.
Sepertinya Jesse sedang berbicara di telepon. Entahlah, Regan tidak bisa memastikan karena yang terlihat dari bawah situ hanyalah kaki-kaki cowok itu yang melangkah mendekati lemari pakaian. Pintu lemarinya terbuka dan Regan dapat mendengar cowok itu merutuk pelan sebelum berbicara lagi di telepon, "Apa...? Tidak, bajuku ketumpahan... uh, minuman..."
Dia tidak ke pesta dansa?
Regan meringkuk semakin ke sudut ketika Jesse melangkah ke dekat tempat tidur, "Tidak, hanya sedikit flu..."
Karena itukah suaranya terdengar sengau?
"Hm. Sampaikan salamku untuk Sepupu Joanna. Yeah, bye."
Teleponnya dimatikan. Regan menahan napas sejenak ketika cowok itu—sepertinya—mengganti atasannya dengan atasan baru yang diambilnya dari dalam lemari, melemparkan kausnya yang agak basah ke dalam keranjang pakaian kotor di sudut kamar.
"Sial, di sini dingin sekali." gerutunya.
Lalu dia keluar dan menutup pintu.
Menunggu beberapa saat hingga tak dapat mendengar lagi suara langkah kaki cowok itu, Regan merangkak keluar dari bawah tempat tidur dan menepuk-nepuk jinsnya yang berdebu. Namun tangannya terhenti ketika mendongak dan mendapati Samuel berdiri kaku.
"Kalung itu..." gumamnya perlahan, "Jesse memakainya."
Samuel tak sempat lagi berkata lebih banyak karena Regan sudah melesat keluar. Dia bahkan mengindahkan panggilan-panggilan cowok itu ketika dia melangkah menuju tangga, mengikuti arah suara-suara obrolan samar dan melongok ke bawah, berhasil menemukan pintu kecil menuju basement di koridor dekat tangga utama.
Jika dugaanku benar...
"Regan!" Samuel memperingatkan ketika menyaksikan gadis itu menuruni tangga menuju lantai satu mengikuti sumber suara, lalu menyusuri koridor tanpa berusaha memelankan langkahnya, "Regan, apa yang—"
Kata-kata Samuel terputus ketika Regan tiba di pintu kecil. Gadis itu memutar kenop pintu ruang basement tanpa repot-repot mengetuknya. Keadaan di dalam situ remang-remang sehingga perlu beberapa saat untuk membiasakan penglihatannya.
Tiga cowok yang tadinya tengah duduk-duduk di ruangan itu serentak bangkit dengan terkejut mendapati Regan memergoki mereka tengah melakukan entah apa. Entah apa yang melibatkan lipatan-lipatan kertas berisi serbuk, lintingan rokok, bir, dan beberapa bungkus kapsul yang tersebar di lantai, yang dengan terburu-buru disembunyikan diiringi umpatan dan makian kasar dari para cowok.
Kecuali Jesse.
Ya, Jesse salah satunya. Dia tidak berusaha menyembunyikan apapun. Cowok itu hanya bangkit dan menatap Regan dengan mata membelalak syok, tak percaya mendapati gadis itu berada di ruang basement rumahnya pada malam pesta dansa Halloween.
"R-Regan?" Jesse tergagap, "Apa yang kau...? B-Bagaimana—"
"Brengsek, Jesse! Cewekmu tahu?!" salah satu cowok menjejalkan bungkusan kapsul ke saku celana jinsnya dengan panik dan menatap Jesse geram. Rasanya Regan pernah melihat keduanya di sekolah.
"Aku bukan ceweknya." tandas Regan tanpa memutuskan pandangan dari Jesse, "Dan, wow. Aku nggak menyangka hobimu sekacau ini, Jesse."
"Aku—"
Menyadari kegawatan situasi, kedua teman cowok Jesse lagi-lagi mengumpat dan beranjak menaiki tangga, "Aku bersumpah, man, kalau ini menyebar..."
"Sudahlah, ayo pergi!"
Jesse bahkan tak repot-repot mencegah keduanya kabur. Dia hanya berdiri mematung di hadapan Regan. Merasa perlu menjelaskan, gadis itu mengangkat bahu, "Sori, aku naik dan masuk dari salah satu jendela yang terbuka. Dan mendengarmu menelepon ibumu. Kedengaran teler. Makanya aku punya firasat buruk dan benar saja..."
"Kau menerobos masuk ke rumahku, Regan." keterkejutan Jesse perlahan memudar berganti emosi lain, amarah.
"Yeah." Regan mengedarkan pandangan ke seisi ruangan remang-remang itu. Di mana sih Sam? "Untuk mengambil sesuatu milik temanku."
Jesse mendengus, kentara sekali menganggap Regan sedang membual, "Apa kau sedang mabuk? Kenapa? Berubah pikiran karena menyesali keputusanmu menolakku ke pesta dansa?"
Regan terbahak, "Mabuk? Whoa, lihat siapa yang sedang bicara."
"Apapun itu yang kaucari, sepertinya kau salah rumah."
"Sebuah kalung." ungkap Regan, lelah berbasa-basi lebih lama lagi. "Milik Samuel Morgan."
Regan dapat melihat reaksi Jesse sesuai dugaannya. Cowok itu terlihat kaget, namun sebelah tangannya otomatis terangkat hendak meraih sesuatu yang melingkar di lehernya.
Tepat sasaran.
"Maksudmu, kalung ini?" tanya Jesse curiga. Regan dapat melihat titik-titik keringat membasahi pelipis cowok itu ketika dia berbicara.
"Aku ingin mengembalikannya..." Regan berdeham, yakin bahwa Jesse akan mulai merasa penjelasannya semakin tidak masuk akal, "...pada Sam."
"Dia sudah mati..."
"Kau nggak perlu mengingatkanku lagi. Aku di sana."
"...dia mati karenaku."
Regan terdiam.
"Apa?"
Jesse merogoh ke balik kerah kausnya dan melepaskan kalung yang dikenakannya. Jesse melemparkan kalung itu ke arah Regan, yang menangkapnya dengan gesit, "Itu bukan milik Sam... itu milikmu. Aku nggak pernah punya nyali untuk mengembalikannya padamu."
Regan memandangi kalung perak berbandul bulat pipih sebesar koin di tangannya. Dia membukanya dan mendapati foto dirinya yang berumur tujuh tahun tersenyum bersama wajah cerah ibunya di sampingnya. Inisial namanya tertera di belakang bandul. RV.
"Ini kalungku." Regan terperangah, "Aku kehilangannya malam itu... bagaimana—?"
Regan tak sempat mendengarkan jawabannya, karena tiba-tiba Jesse ambruk ke lantai.
"JESSE!" Regan berlari menghampirinya dan berlutut, dia membalik tubuh cowok itu dan menepuk-nepuk wajah pucatnya yang berkeringat, "Jesse, oh astaga..."
"Regan."
"Sam!" kelegaan mengaliri seluruh tubuh Regan ketika melihat sosok Samuel berdiri di sampingnya. Dengan geragapan, Regan meraih ponsel dari saku celananya dan menghubungi 911.
Samuel ikut berlutut, tangannya menyentuh nadi di leher Jesse, "Dia sekarat."
"Oh, Tuhan... Jesse! Bertahanlah!" Regan berseru putus asa, mencengkeram bahu Jesse dan mengguncangnya, "Halo?! A-aku butuh ambulans... temanku mendadak pingsan, sepertinya dia overdosis..."
Regan menyebutkan alamat rumah Jesse kepada operator, namun konsentrasinya tak dapat bertahan lama karena sesuatu yang baru disadarinya.
Samuel menyentuhkan tangannya pada nadi Jesse.
Suara operator yang memberitahu Regan bahwa ambulans akan datang dalam lima menit terdengar sayup-sayup di telinganya. Regan menatap Samuel, yang masih berlutut dan memandangi Jesse dengan sorot yang mengingatkan Regan akan pandangannya saat pertama kali muncul di hadapan gadis itu sebagai hantu.
Kesedihan.
Kemudian Samuel mengangkat wajahnya dan matanya menemukan mata Regan. Garis-garis wajahnya yang tertimpa cahaya lampu jalan dari jendela-jendela kecil ruangan temaram itu belum pernah terlihat begitu nyata. Tak mampu menahan diri, Regan mengangkat sebelah tangannya dan menyapukannya pada pipi Samuel.
Dan Regan tak dapat lebih syok lagi saat mendapati jemarinya menyentuh dan merasakan kulit wajah Samuel yang halus.
"Kau... nyata." ujar Regan terpana.
Ujung-ujung bibir Samuel terangkat membentuk senyuman bimbang, ekspresinya campuran antara takut dan senang. Binar di kedua mata hijau itu seolah menunjukkan kebahagiaan dan kepuasan atas kemampuan barunya.
"Kau benar." katanya, suaranya sejelas dan sehidup sosoknya. "Puncak malam Halloween memang yang terbaik."
Regan melirik arlojinya. Pukul dua belas malam tepat.
"Dengar." ekspresi Samuel menegang, sorot matanya berubah serius, "Ini hanya akan bertahan sementara dan aku nggak punya banyak waktu, jadi kumohon... jangan marah. Aku perlu melakukan ini."
"Melakukan apa?"
Samuel menangkupkan kedua tangannya di wajah Regan yang kebingungan, lalu menekankan dahinya di dahi Regan.
Seketika, Regan merasakan kepalanya berputar hebat dan telinganya berdenging, membuatnya mual dan kehilangan orientasi.
"Argh!" Regan menjerit kesakitan.
Kemudian memori membanjiri penglihatan Regan. Memori akan insiden itu. Namun anehnya, Regan merasa seolah dirinya berada dalam tubuh orang lain.
Malam itu, jalanan begitu sepi. Aku berlutut dan tersengal akibat lariku.
Si idiot itu! Ke mana dia pergi?!
Tiba-tiba aku mendengar suara-suara dari arah depan, tak jauh dari tempatku berdiri. Aku melihat samar-samar seorang gadis berdiri menyandar pada tembok sebuah gang sempit yang gelap itu. Dia disudutkan oleh tiga pemuda asing. Salah satunya mengenakan jaket hoodie gelap.
"Kau melihat kami." geram si pemuda dengan nada berbahaya.
"Kau pikir aku takut?" si gadis balas menatap si pemuda mabuk dengan berani, di satu tangannya tergenggam ponsel. Lalu dia menunjukkan layarnya, "Polisi bisa tiba kapan saja."
Si pemuda ber-hoodie menarik lengan si gadis dan merampas ponsel dari tangannya dengan paksa, lalu melemparkannya ke tanah dan menginjaknya.
"Jalang!" pemuda itu menggerung marah dan menampar si gadis hingga kepalanya tertoleh. Cahaya temaram dari lampu jalanan menimpa wajah gadis itu.
"R-Regan?" gumamku tak percaya.
Regan hendak melayangkan tinjunya, namun kedua pemuda di kiri-kanannya dengan sigap memukuli gadis itu hingga babak belur. Regan berlutut memegangi iganya yang sepertinya retak, dia terbatuk-batuk dan meludahkan darah ke tanah.
Dari saku celananya, pemuda ber-hoodie itu mengeluarkan pisau lipat, dia mengayunkannya ke wajah Regan namun Regan mengelak, hanya sedetik terlambat. Ujung pisau itu menggores leher Regan dengan cukup dalam, memutus rantai kalungnya hingga terpental.
"REGAN!" aku mendengar diriku sendiri menyerukan namanya. Diliputi kemarahan, aku berlari mendatanginya. Aku bisa melihat ceceran jarum-jarum suntik dan botol-botol alkohol di salah satu sisi gang yang tertutupi bayangan tumpukan barang-barang rongsok. Tanpa pertimbangan, aku meninju si pemuda hoodie. Aku tahu tak ada harapan bagiku. Kedua pemuda lainnya dengan cepat menahan lengan-lenganku dan pisau itu menghunus tepat di titik vital dekat perutku.
Sialan, batinku.
"Tidak!" Regan menjerit sekuat tenaga, "Tolong! SIAPAPUN TOLONG!"
Aku merasakan diriku perlahan ambruk ke tanah. Darah di mana-mana. Sirine mobil polisi terdengar dari kejauhan. Ketiga pemuda itu panik dan buru-buru mengumpulkan obat-obatan terlarang dan peralatan mereka yang bertebaran untuk melarikan diri.
"DI SINI!" Regan berteriak kepada petugas polisi yang menghentikan mobilnya persis di ujung gang, "Mereka kabur!"
Satu orang polisi paruh baya mengeluarkan pistolnya dan berlari menyusul para pemuda yang melarikan diri. Sementara itu polisi rekannya berlutut di atasku, mencoba memberikan pertolongan pertama. Namun aku melihat ekspresinya yang seolah menyiratkan, 'Tidak. Sudah terlambat.'
Aku bisa melihat samar-samar ada satu orang lagi yang mengejar para pemuda. Mereka terlalu cepat untuk seorang petugas polisi paruh baya. Sepertinya gagal tertangkap. Ketiganya meloloskan diri.
Bukan. Bukan tiga.
Empat melarikan diri.
Salah satu dari pemuda itu, yang selama kejadian itu ternyata bersembunyi dari pandangan di balik rongsokan, lolos dari kejaran.
Seuntai kalung perak berbandul bulat tergenggam di tangannya.
Dia adalah si idiot.
Dia adalah Jesse.
Regan kembali ke ruang basement, dengan Jesse yang terbaring lemah di sampingnya, dan wajah Samuel yang hanya berjarak sekian milimeter dari wajahnya. Dahi-dahi mereka masih saling bersentuhan. Regan tak mampu mencegah jatuhnya air mata di wajahnya. Seluruh memori itu. Dia baru saja menyaksikan memori Samuel pada malam kematiannya.
"Jesse di sana..." Regan berkata, perlahan mendongak dengan kedua mata yang memanas.
Dia tidak pernah tahu Jesse ada di sana ketika semua itu terjadi.
"Regan." ekspresi Samuel melembut, dia masih menangkupkan kedua tangannya di wajah gadis itu, seolah enggan melepaskannya, "Harapan terakhirku bukanlah kalung itu. Melainkan Jesse."
Tangis Regan semakin deras.
"Jesse adalah sahabat baikku." kata Samuel, "Aku tidak bisa menyelamatkannya. Kupercayakan dirinya padamu."
Samuel tersenyum.
"Regan, kumohon selamatkan dia."
🎃
Jesse tidak mati.
Untunglah.
Regan menjenguknya di rumah sakit tiga hari kemudian. Orangtuanya syok mendapati anaknya dibopong ke rumah sakit karena overdosis, dan memutuskan akan memasukkan Jesse ke rehabilitasi.
Sementara itu Jesse juga mengungkapkan identitas para pelaku penusukan Samuel kepada petugas polisi yang menginterogasinya. Jesse mengakui bahwa dia mendapat ancaman dari mereka selama tiga minggu ini agar tetap tutup mulut.
Polisi menyampaikan bahwa mereka tidak akan menahan Jesse karena dia hanyalah saksi, ditambah cowok itu sedang tidak dalam kondisi 'sadar' sepenuhnya saat insiden itu terjadi. Walaupun begitu, keterlibatannya dengan Paul dkk terkait penyalahgunaan obat-obatan terlarang akan tetap diusut.
Tetapi pada titik ini, sepertinya cowok itu sudah tidak peduli pada apapun yang akan terjadi padanya.
Di sisi lain, Regan tidak akan membiarkan cowok itu pergi ke rehabilitasi tanpa memeras penjelasan darinya tentang insiden itu. Maka Jesse menceritakan semuanya pada Regan.
Jesse dan Samuel memang bersahabat sejak lama. Dan berbeda dengan Regan, bukan kebetulan Samuel berada di lokasi insiden malam itu. Saat itu Jesse baru kehilangan adik perempuannya, Alisa, karena penyakit kanker. Itu saat-saat yang gelap. Dan dia menemukan 'solusi'nya melalui Paul, si pemuda ber-hoodie. Dan malam itu Samuel datang untuk menjemput Jesse pulang. Kebiasaan itu sebetulnya sudah berlangsung cukup lama, sejak Alisa masuk rumah sakit. Sam hapal kebiasaan Jesse dan mengkhawatirkannya, walaupun Jesse mati-matian berusaha menyembunyikan hobi buruknya dari sahabatnya itu.
Ketika penusukan itu terjadi, karena sedang dalam kondisi teler, Jesse tidak menyadari siapa yang tertusuk. Dia hanya melihat Regan, dan menemukan kalungnya.
Jesse menyimpan kalung itu sampai sekarang karena menganggap kalung itu sebagai pengingat pahit bahwa kematian Samuel sebagian besar adalah kesalahannya. Karena itu dia terus memakainya.
"Dia menyukaimu, tahu." Jesse terkekeh pelan dari ranjang rumah sakitnya dengan Regan yang duduk di kursi di sebelahnya, mendengarkannya bercerita. "Sam terus menerus mengatakan padaku bahwa dia akan mengajakmu ke pesta dansa Halloween, walaupun dia tahu kau pasti bakal menolaknya."
"Karena itukah kau mengajakku? Untuk mewujudkan keinginan yang tak bisa dilakukannya?" Regan bertanya.
Jesse tersenyum muram, "Um, yeah dan nggak. Awalnya karena aku ingin mengembalikan kalung ini padamu, sekaligus mengakui semuanya."
Regan meraih kalung yang saat ini dikenakannya. Jesse menatap kalung itu dengan sorot penasaran, "Ngomong-ngomong... mengapa kau tahu aku mengambilnya? Kau bilang kau tidak melihatku malam itu. Dan malah mengatakan kalau itu milik Sam? Itu jelas-jelas milikmu."
Regan bersyukur tak perlu menjawab karena tepat saat itu, ibu Jesse, Mrs. Evans, mengetuk pintu kamar rawat Jesse dan melongokkan kepalanya. Lalu memberitahu, "Jesse? Regan? Maaf mengganggu kalian, tapi beberapa petugas kepolisian perlu bertemu denganmu, Jesse. Mereka menemukan seorang saksi mata selain Officer Kyle yang dulu melakukan pengejaran..."
"Ada saksi mata lain?" Jesse menegakkan duduknya. Matanya membesar penuh pengharapan karena mendapati kemungkinan yang dapat menguatkan pernyataannya bahwa Paul bersalah.
Mrs. Evans mengangkat bahu, dan bergidik sedikit. "Entahlah. Saksi itu sepertinya baru pulang dari pemakaman... atau pernikahan. Setelan jasnya formal sekali... dan dia juga mengenakan topi aneh..."
"Uh, Jesse kurasa aku akan pulang." Regan bangkit dari kursinya, melayangkan senyuman pada Mrs. Evans yang menggumamkan kata 'maaf' dan menutup pintunya kembali, "Kau sebaiknya menemui mereka."
Jesse menahan lengan gadis itu, "Regan. Um... terima kasih karena sudah menyelamatkan nyawaku. Aku bahkan tidak bisa menyelamatkan sahabatku sendiri..."
Regan berbalik kembali menghadap Jesse. Jesse memejamkan matanya sejenak, kemudian berkata lirih, "Aku benar-benar minta maaf. Untuk semuanya."
Regan tertawa miris dan meremas lembut pundak cowok itu, "Kau tahu? Kalau Sam melihatmu saat ini, sudah jelas dia pasti tidak akan bangga. Tapi kurasa... dia akan senang karena perkataanmu dan pengakuanmu."
Sudut bibir Jesse terangkat membentuk senyuman kecil, lalu dia berkata ragu, "Hei... apakah kaupikir aku gila karena sesaat aku seperti melihat sosok Sam di ruang basement malam itu? Seperti sedang berlutut menatapku."
Regan tercekat.
"Atau aku hanya berhalusinasi saat sedang sekarat?" dia terkekeh pahit dan pandangannya berkaca-kaca, "Apakah dia datang karena mencemaskanku yang nyaris mati...?"
Regan mengacak rambut Jesse, "Well, nggak ada yang nggak mungkin, Jesse. Tapi kurasa dia ingin memastikan agar sahabat baiknya berhenti menyalahkan dirinya atas apa yang telah terjadi, dan tetap hidup."
Jesse memandangi Regan dalam diam. Keduanya saling menggenggam tangan satu sama lain, dan tersenyum.
Sejak malam Halloween itu, Regan tidak pernah lagi melihat Samuel. Namun Regan dan Jesse berjanji setelah cowok itu keluar dari rumah sakit, mereka akan bersama-sama mengunjungi makam Samuel.
Untuk meyakinkan Samuel bahwa mereka tetap melanjutkan hidup.
End of Journal 3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top