Jurnal 2 : Pertemuan Takdir
Klang! Klang!
Suara pedang-pedang beradu di lapangan berumput terdengar riuh dan nyaring. Sejak pagi-pagi buta pasukan kavaleri kerajaan Rovenland sudah berlatih dengan kuda-kuda mereka, mempersiapkan diri untuk pertempuran dengan kerajaan seberang, Winterfield.
Bukan hal yang mengherankan, seluruh penduduk Rovenland sudah dapat menerka peperangan ini akan terjadi cepat atau lambat. Semenjak Cassius Drakenson, pewaris tunggal kerajaan Winterfield itu menghilang sebulan yang lalu, keadaan menjadi kacau. Raja dari Winterfield, Philius Drakenson, memerintahkan pencarian besar-besaran terhadap putra semata wayangnya itu hingga ke sebelas kerajaan, termasuk Rovenland. Dan ketika penasehat Winterfield tiba di kastil Rovenland seminggu yang lalu, dia membawa serta kabar mengejutkan; penolakan aliansi.
Raja Philius menuduh Raja Rovenland, Alastor Northwood, telah menculik dan menghasut Cassius. Ini berdasarkan kesaksian mata-matanya yang sempat melihat pemuda itu berada di daerah Rovenland. Masalahnya, tidak ada yang tahu rupa Pangeran Cassius selain anggota istana Winterfield, sehingga penduduk Rovenfield meyakini ini hanya akal-akalan Raja Philius.
Menganggap tuduhan penculikan itu sebagai penghinaan di depan hidungnya, Raja Alastor mendeklarasikan perang terhadap Winterfield.
Alastor Northwood sesungguhnya merupakan raja terbaik yang pernah dimiliki Rovenland dalam seratus tahun belakangan. Ketika Raja di masa lalu tidak pernah repot-repot merasa harus menawarkan aliansi dengan Winterfield, dia melakukannya. Dia pria yang berpikiran terbuka, oportunis, dan bijaksana. Karena itu, keputusannya untuk berperang sangat dapat dimaklumi oleh rakyatnya. Di samping itu, bukan tanpa alasan Raja Alastor memilih untuk berperang.
Kerajaan Winterfield dikenal sebagai salah satu kerajaan yang menentang penggunaan sihir secara mutlak. Barangsiapa yang tertangkap mempraktekkan sihir akan dihukum mati. Di sana, sihir dianggap sebagai sesuatu yang sangat tabu. Sesuatu yang buruk dan mengancam, seperti penyakit yang harus dimusnahkan dari permukaan bumi. Dan sebagai seseorang yang percaya akan kesetaraan derajat antara penyihir dan manusia, Raja Alastor ingin meniadakan peraturan itu bila Rovenland berhasil menaklukkan Winterfield.
Entah apa yang menyebabkan garis turunan Drakenson begitu membenci penyihir, mengingat sudah banyak kerajaan yang menerima mereka. Rovenland bahkan mempekerjakan penyihir kepercayaan di kastil serta memiliki pasukan khusus yang terdiri dari para penyihir pilihan, yang masih berada dalam garis keturunan keluarga kerajaan. Namun pasukan ini hanya dilatih untuk menghadapi saat-saat genting seperti perang.
Mari kembali ke lapangan tempat latihan pasukan Rovenland.
Bagi Alianor, pemandangan para ksatria yang berpeluh saling mengayunkan pedang dengan ekspresi tegang itu terlihat sangat kontras dengan keadaan sekitar. Hari ini cuaca begitu cerah, langit begitu biru dengan gumpalan awan yang seputih susu, dan angin berhembus cukup kencang, terasa sejuk dan menyenangkan di kulit. Bagi gadis bermata violet itu, melihat pemandangan itu seperti menyaksikan perkelahian sekelompok serigala di tengah padang bunga.
"Alia!"
Gadis itu mematung, langkahnya terhenti. Dia menaikkan tudung mantel panjangnya hingga menutupi rambutnya yang sewarna pasir, lalu melirik sekitar dengan was-was untuk mencari sumber suara yang barusan memanggilnya dengan nama kecil.
Archer Northwood berderap menghampiri Alianor bersama dua orang pengawal. Pemuda itu memasukkan pedangnya ke dalam sarung yang tergantung di sabuknya. Dia menyunggingkan senyum lebar dan cerah kepada Alianor. Rambut pirang keemasan dan baju zirah yang dikenakannya berkilau tertimpa cahaya matahari.
Alianor menghela napas pelan, "Oh, tidak."
Dengan terpaksa, dia balas tersenyum sementara Archer dengan sigap meraih keranjang berisi roti dan buah-buahan yang sedang dibawa gadis itu. Alianor tidak mengerti mengapa kakak laki-lakinya itu begitu jeli mengenalinya dari kejauhan. Dia bahkan sudah sengaja meminjam pakaian bepergian milik Beatrix, pelayan pribadinya, demi menyamarkan diri.
"Mau ke mana? Di mana pengawalmu?" tanya Archer curiga sambil mengintip isi keranjang di tangannya, "Kau tidak sedang melarikan diri dari kelas pagimu, kan?"
Kelas pagi dengan Lady Arabelle merupakan dua jam paling membosankan dalam hidupnya. Wanita itu begitu kaku dan mengintimidasi.
"Aku hanya kepingin jalan-jalan sebentar ke desa bersama Beatrix. Dia menungguku di gerbang..." Alianor tergagap, dalam hati menyesali kemampuan buruknya untuk mengarang alasan, "Aku tidak ingin penampilanku terlalu mencolok di desa, jadi aku meminjam pakaiannya."
"Tuan Putri." dua pengawal Archer membungkuk hormat kepada Alianor, yang dibalas gadis itu dengan anggukan sopan. Archer memberi gestur mengusir dengan sebelah tangannya agar dua pengawalnya pergi.
"Maaf, Yang Mulia... kami tidak bisa melakukannya. Perintah Paduka Raja." salah satunya berkata.
Archer memutar bola mata, "Hamond, sejak kapan kau jadi begitu membosankan?"
Pengawal yang barusan dipanggil Hamond itu mengulum senyum dan meralat perkataannya, "Sori, Archer. Perintah Raja Alastor."
"Itu lebih baik." Archer nyengir, lalu pandangannya kembali kepada Alianor. "Ayo, kutemani kau."
Alianor menatap kakak laki-lakinya itu dengan panik, "Tapi kau ada latihan! Kau tidak bisa membolos begitu saja. Entah akan semarah apa Ayah kalau tahu putra mahkota Rovenland lagi-lagi tertangkap berkeliaran tidak jelas."
"Dia benar, Archer." Hamond menimpali, "Kau sudah tertangkap membolos dua kali sejak kemarin. Raja tidak akan senang."
Archer menghela napas panjang, "Baiklah! Baiklah!" lalu dia menyerahkan keranjang Alianor kepada satu lagi pengawalnya yang berambut hitam, "Theo, kau temani Alia ke desa sementara aku kembali ke latihan membosankanku dengan perut keroncongan."
Theobald mengangguk hormat, "Sesuai perintahmu, Archer."
Alianor melemparkan sebuah apel kepada Archer, "Sampai nanti, Kakak."
Archer menggigit apelnya dan menampilkan ekspresi jengkel, "Selamat bersenang-senang."
Setelah mengawasi kakaknya dan Hamond berjalan menjauh kembali ke tengah lapangan, perhatian Alianor teralih pada Theobald, yang tengah memperhatikannya dengan senyuman kecil di sudut mulutnya.
"Tidak akan ada Beatrix yang menunggu di gerbang, bukan?" tanyanya, sepasang mata cokelat gelapnya berbinar penuh persekutuan, seolah paham.
"Jangan beritahu soal ini kepada siapapun, Theo. Berjanjilah padaku." Alianor memberitahunya dengan tegas, berharap dapat sedikit mengintimidasi pemuda itu. Tetapi dia tahu usahanya selalu sia-sia. Theobald sekepala lebih tinggi darinya.
Namun Theobald meletakkan telapak tangan kanan di dada kirinya dan berujar, "Anda pegang janji saya, Tuan Putri."
Mulanya Theobald menawarkan diri untuk mengambilkan kuda untuk mereka, namun Alianor menolak karena mereka akan terlalu mencolok. Maka keduanya berjalan kaki keluar dari area kastil, melewati gerbang besarnya—yang sesuai tebakan Theobald, tanpa Beatrix.
"Maaf jadi membuatmu terpaksa menemaniku di tengah waktu latihanmu." ujar Alianor, menatap Theobald sementara mereka berjalan beriringan menyusuri tepian hutan yang dibatasi sungai menuju desa, "Aku tahu ini waktu-waktu yang penting untuk kita."
"Sama sekali bukan masalah, Tuan Putri." kata Theobald, satu tangannya melipat di belakang badannya ketika dia berjalan, sementara tangan satunya memegangi keranjang Alianor, "Jika boleh jujur, ini sesi yang menyenangkan bagi saya."
Alianor tersenyum malu menanggapi perkataan itu. Theobald merupakan anggota baru Rovenland. Dia baru bergabung selama beberapa minggu, namun dengan kecerdasan dan keahlian berpedangnya yang di atas rata-rata, dia mampu bergabung dengan kelompok kavaleri utama dalam waktu singkat. Bahkan Archer secara personal menunjuknya sebagai ksatria kepercayaannya di samping Hamond.
Alasannya sederhana, karena Theobald adalah satu-satunya yang cukup berani untuk memilih Archer sebagai lawan duel pada audisi perekrutan pertamanya.
Dan bukan hanya Archer yang sepertinya menyukai kenekatan Theobald. Alianor juga mendapati dirinya merasa nyaman bersama pemuda itu. Di saat ksatria-ksatria lain selalu berjalan sedikit di belakang Alianor ketika mengawalnya, Theobald selalu berjalan di sampingnya dan tidak segan untuk memulai obrolan ringan, sehingga tak butuh waktu lama bagi keduanya untuk menjadi dekat.
Dan, walaupun Alianor sedikit malu untuk mengakui ini, dia sangat menyukai wajah Theobald yang berpotongan aristokrat; dengan alis tebal, mata cokelat teduh, tulang pipi tinggi dan bibir tipis yang sewaktu-waktu dapat menyunggingkan senyuman kecil yang mampu membuat Alianor terpukau. Dia tampan, hanya saja jenis ketampanannya berbeda dengan yang dimiliki Archer. Ketampanan Archer bisa dibilang dramatis, dengan rambut emas, profil tegap dan kekar, serta senyuman dahsyat yang sanggup membuat kaki para gadis-gadis lemas. Sementara Theobald, ketampanannya kalem dan syahdu. Seperti tipe yang misterius dan senang berahasia.
Dan entah bagaimana, sepasang mata cokelat gelap itu selalu sanggup membuat Alianor penasaran.
"Yang Mulia Alianor? Anda baik-baik saja?" Theobald bertanya.
Alianor menggeleng-geleng, menyadarkan diri dari lamunannya.
"Aku baik-baik saja, terima kasih."
Alianor selalu menikmati waktu-waktu kunjungannya ke desa, bahkan mungkin ini adalah satu-satunya kegiatan di sepanjang minggunya yang paling dia nantikan. Dia menyukai suasananya, terutama di pagi hari ketika aktifitas jual beli di alun-alun desa sedang ramai-ramainya. Dengan bersemangat, dia berjalan bersama Theobald untuk melihat-lihat berbagai buah, sayur, kerajinan tangan, serta aneka makanan yang dijajakan. Gadis itu memperhatikan ekspresi para pedagang dan penduduk desa yang begitu hidup dan tak dapat mencegah dirinya untuk merasa iri.
Alianor berjalan mendahului Theobald, membawa mereka melewati deretan kios-kios dan kerumunan penduduk desa yang sedang sibuk melakukan jual beli atau sekadar mengobrol dan tertawa-tawa, membelok di salah satu jalan kecil di antara rumah-rumah sederhana. Kemudian mereka memasuki area dengan rumah-rumah yang bahkan jauh lebih kecil lagi—mungkin nyaris dapat disebut gubuk. Alianor berhenti di depan salah satu pintu kayunya dan mengetuk.
"Bagi mereka, aku adalah 'Alia'." gumam Alianor dari sudut mulutnya kepada Theobald, "Mereka tidak tahu siapa aku."
"Saya mengerti." angguk Theobald persis sebelum pintu kayu itu terbuka dan menampilkan sesosok anak laki-laki kurus yang sepertinya berusia tidak lebih dari sepuluh tahun.
"Charles." sapa Alianor hangat.
Melihat siapa tamunya, ekspresi anak itu berubah cerah.
"Kau datang!" seru si anak laki-laki yang bernama Charles itu dengan senyuman lebar, dia memeluk Alianor, "Masuklah! Kakek sedang tiduran."
Alianor harus menunduk sedikit ketika melewati pintu kayunya yang rendah, disusul Theobald yang bahkan harus nyaris membungkuk. Kalaupun Theobald terkejut mendapati luas seluruh bagian dalam rumah itu tak lebih besar dari ruang penyimpanan pedang dan perisai cadangan yang sering digunakan para ksatria di dekat lapangan latihan Rovenland, Alianor cukup kagum karena pemuda itu dapat menyembunyikan kekagetannya dengan baik.
Di sudut ruangan terdapat ranjang kayu kecil dengan sesosok pria tua yang tengah terbaring di atasnya. Pria itu mengangkat wajahnya sedikit untuk melihat tamu-tamunya. Alianor menurunkan tudung dari kepalanya dan tersenyum, "Henry."
"Oh, Alia..." katanya dengan suara serak, namun di wajah tuanya yang keriput dan lelah tersungging senyuman yang tak kalah cerah dari si anak. Sepasang mata Henry yang mengecil karena usia itu berbinar saat menyambut Alianor yang menghampirinya dan menggenggam uluran tangannya yang gemetar tanpa ragu.
"Aku membawakan sedikit makanan dan buah untuk kalian." ujar Alianor.
"Aku tidak tahu harus berkata apa. Kau terlalu baik, Anakku." pria itu berkaca-kaca, kemudian tatapannya berpindah ke arah Theobald, "Dan ini...?"
Theobald mengerjap, "Selamat siang, Sir. Saya... uh..."
"Oh! Maafkan aku! Dia Theo." Alia buru-buru bangkit untuk memperkenalkan Theobald pada Henry dan Charles, "Dia berbaik hati menemaniku di sela-sela latihan pedangnya."
"Oh! Jadi Anda ksatria Rovenland? Keren!" seru Charles bersemangat, kemudian pandangannya teralih ke pedang di pinggang Theobald, "Whoa... apakah itu asli?"
"Sangat asli." Theobald menyunggingkan cengiran pada Charles yang memandanginya terpesona.
"Sungguh beruntung, Nak," Henry menatap Theobald masih dengan senyum tulusnya, "...kau memiliki istri sebaik dan secantik Alia. Terima kasih atas bantuan kalian selama ini."
Baik Alianor maupun Theobald saling berpandangan kaget. Wajah Alianor memerah sementara Theobald tampak seolah berusaha keras menahan senyum. Namun sebelum Alianor sempat membuka mulutnya, Theobald sepertinya tidak repot-repot berusaha membantah perkataan Henry, dan malah berkata pada pria tua itu dengan nada bangga, "Anda benar, Sir. Tidak ada kehormatan yang lebih besar lagi yang bisa kudapatkan selain menjadi suami seorang wanita yang begitu luar biasa."
⚔️
"Saya suka Charles." ungkap Theobald ketika mereka berjalan menyusuri hutan seusai berkunjung dari rumah Henry, hendak kembali ke kawasan kastil. "Rasanya seperti punya pengikut kecil."
"Dia mengagumimu." Alianor tersenyum, "Cita-citanya berubah-ubah setiap hari. Tetapi setelah bertemu denganmu, aku yakin setelah ini dia akan mendeklarasikan dirinya akan menjadi ksatria saat dewasa."
"Tetapi bagaimana kalian bisa saling kenal?"
"Oh, itu karena Charles pernah mencuri dompetku di pasar!" sahut Alianor ringan.
Theobald menaikkan kedua alisnya terperanjat, "Apa?"
"Henry dan cucunya adalah penyihir asal Winterfield. Setelah Raja Philius menghukum mati kedua orangtua Charles karena mereka tertangkap mempraktekkan sihir, Henry membawa cucunya melarikan diri dari kejaran prajurit Winterfield dan meminta perlindungan pada Raja Alastor, dan dikabulkan. Namun penduduk desa masih kesulitan menerima mereka, sepertinya mereka takut Henry dan Charles adalah mata-mata Winterfield. Mereka tidak diizinkan berdagang. Karena itu kehidupan mereka menjadi terlunta-lunta. Suatu hari... Charles mencuri dompetku dan aku berhasil mengikutinya." jelas Alianor, "Sejak mengetahui kondisi mereka, aku rutin mengunjungi mereka untuk mengirimkan makanan atau bantuan dana."
Alianor baru menyadari bahwa Theobald sudah tidak berjalan di sampingnya selama beberapa saat. Gadis itu celingukan dan mendapati pemuda itu terhenti beberapa langkah di belakangnya, tengah memandanginya dengan tatapan yang tak dapat dibaca.
"Theo?" Alia menghampirinya, "Ada apa?"
"Pasti mengerikan bagi anak itu," Theobald menggeram dari balik gigi-giginya yang terkatup rapat, "...karena kedua orangtuanya terbunuh. Juga bagi Henry, menyaksikan anaknya yang dihukum mati."
Alianor menatap Theobald, dengan duka pada wajah pemuda itu yang terpampang jelas. Kemudian, perlahan wajah itu terangkat hingga pandangan mereka bertemu.
"Alia, aku—" Theobald mengatupkan rahangnya. Alianor tercekat. Ini pertama kalinya pemuda itu memanggilnya dengan nama kecil, seperti Archer. Pria itu biasanya selalu memanggilnya dengan sebutan 'Tuan Putri' atau 'Yang Mulia Alianor'.
Tidak ada kehormatan yang lebih besar lagi yang bisa kudapatkan selain menjadi suami seorang wanita yang begitu luar biasa.
Perkataan Theobald terulang di benaknya. Alianor merasa pipinya memanas.
Kemudian, setelah beberapa lama terdiam, Theobald membuka suara. "Apakah kau tahu... bahwa sebagian penyihir mendapatkan penglihatan akan Pertemuan Takdir mereka di masa lalu?"
Alianor mengernyitkan alis, tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Theobald.
"Ketika aku masih kecil, demam hebat menyerangku selama berhari-hari. Di tengah-tengah sakitku, aku mendapatkan mimpi." Theobald melanjutkan, "Aku melihat wajah seorang gadis. Wajah yang tidak pernah bisa hilang dari benakku selama bertahun-tahun, hingga detik ini."
Theobald mengangkat tangan kanannya, jemarinya perlahan terjulur untuk menelusuri garis rahang Alianor, "Itu adalah wajahmu. Saat itulah aku tahu kau Pertemuan Takdirku."
Sepasang mata violet Alianor membulat kaget menatap pemuda di hadapannya. Pasalnya ingatan-ingatan akan keganjilan yang dialaminya saat bersama Theobald mendadak memenuhi kepalanya. Ingatan saat pemuda itu suatu hari menyelamatkan Alianor ketika terjatuh di sungai tanpa sehelai rambutpun yang basah. Ingatan saat Archer tak sengaja menggores lengan Theobald saat adu pedang namun tak ada jejak darah pada kulitnya. Ingatan ketika Theobald entah bagaimana berhasil menyelamatkan Archer dari terkaman serigala di suatu perburuan tanpa menggunakan senjata apapun...
Juga ingatan terbarunya di pondok Henry tadi, ketika pemuda itu menyalakan perapian tanpa repot-repot meraih pemantik.
Alianor berbisik tak percaya, "Kau seorang penyihir."
Theobald tersenyum, namun ekspresinya sedih dan menyesal, "Aku telah merahasiakannya dari kalian, aku minta maaf."
"Mengapa kau tidak memberitahu kami sejak awal?" Alianor menggapai jemari Theobald yang masih berada di wajahnya dan menggenggamnya lembut, "Mengapa menyembunyikan bakat luar biasa yang kaumiliki?"
Mendengar perkataan Alianor, sepasang manik cokelat milik Theobald memandangi gadis di hadapannya dengan berbagai emosi yang bercampur baur, emosi yang begitu nyata dan memenuhi rongga dadanya hingga rasanya menyesakkan. Ketakjuban. Ketakutan. Gundah. Kasih.
Lalu Theobald berbisik lirih, "Jika aku memberitahumu semua hal tentangku, akankah kau pergi?"
Alianor tercekat dan menggeleng. Dia mengangkat kedua tangannya dan menangkupkannya di wajah pemuda itu, lalu membelainya lembut seraya mengucap sebuah janji, "Tidak akan."
Theobald memejamkan matanya dan mengatupkan rahang rapat-rapat, seolah berusaha keras menahan gejolak hebat yang tengah menggelegak di dalam dirinya. Kemudian dia membuka matanya. Mata cokelat teduh yang menemukan mata violet milik Alianor, menatapnya sedemikian intens. Akhirnya, pemuda itu membuka suara.
"Namaku Cassius. Cassius Terryn Drakenson dari Winterfield. Dan aku jatuh cinta padamu, Lady Alianor Dimia Northwood."
⚔️
Perang pun pecah.
Itu merupakan peperangan terbesar antara dua kerajaan yang terjadi selama beberapa abad terakhir. Pangeran Archer memimpin pasukan Rovenland di samping Raja Alastor dan Pangeran Cassius.
Berita akan pengkhianatan Pangeran Cassius menyebar dengan cepat hingga ke telinga Raja Philius, setelah pemuda itu mengakui jati dirinya dihadapan Raja Alastor dan petinggi-petinggi kerajaan Rovenland lainnya, termasuk Archer. Sejak ayahnya menjatuhkan peraturan hukuman mati kepada penyihir yang tertangkap menggunakan kekuatannya, Cassius berjanji untuk merebut tahta kerajaan Winterfield dengan cara yang keras. Dia memutuskan pergi untuk berperang melawan Winterfield bersama Rovenland, dibantu pengikut-pengikut setianya.
Dengan satu syarat.
"Jika Rovenland memenangkan peperangan ini, aku akan mengambil alih kedudukan ayahku sebagai Raja Winterfield." ujarnya tegas, suaranya bergema di aula kastil Rovenland saat dia berlutut mengemukakan sumpah ksatrianya di hadapan Raja Alastor dan yang lainnya. Tak nampak setitikpun keraguan pada wajahnya. Kemudian, tatapannya beralih pada Alianor, "Dan aku berjanji akan kembali untuk menjalin aliansi dengan Rovenland."
Nada suara yang dipenuhi keyakinan, serta api dan ketulusan di dalam mata cokelat pemuda itu saat memandang anak perempuannya, pastilah yang membuat Raja Alastor menyanggupi syarat Theobald—bukan, Cassius.
Dan dengan penyihir secakap Cassius yang memimpin pasukan kavaleri elit berkemampuan khusus, membuat Rovenland unggul bukanlah tugas yang terlalu sulit. Kematian Raja Philius tak terelakkan. Perang pun dimenangkan oleh Raja Alastor.
Dan Cassius pun menduduki tahtanya sebagai Raja baru Winterfield, serta dengan kekuasaannya barunya, dia menghapus larangan akan penggunaan sihir di wilayah kerajaannya.
Tetapi, pikir pria bertopi tinggi yang tengah menyaksikan pertemuan dua kekasih yang menyamar di tengah keramaian alun-alun sebuah desa kecil itu, perjuangan keduanya masih cukup panjang. Pria itu memperhatikan si pemuda berambut hitam dan si gadis bermata violet itu dengan senyuman kecil.
Biar bagaimanapun, jika ini memang betul Pertemuan Takdir mereka, rasanya tidak salah bila kisah mereka nantinya berujung pada akhir yang bahagia.
End of Journal 2
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top