Jurnal 11: Dansa Sang Bulan
Itu adalah malam tercerah yang pernah dialami seorang gadis.
Gadis itu berdiri menatap langit, seperti biasa. Bulan tampak begitu bundar dan penuh di atas sana, menyinari taman itu dengan pendar sendu. Angin malam berhembus lembut, menyapu dedaunan dan rerumputan, menimbulkan suara gemerisik yang seolah mengisiki pendengarnya, 'hei, apakah kau ingin tahu sebuah rahasia?'
Kemudian, di tengah-tengah kekhusyukan itu, gadis itu merasa seseorang mengawasinya.
Hal yang pertama kali ditangkap si gadis dari sesosok lelaki asing yang berdiri tak jauh darinya itu adalah rambutnya. Rambut itu seputih salju, dengan garis-garis keperakan yang mewarnai helaian yang tumbuh di dekat pelipis-pelipisnya.
Selama beberapa saat, pemuda itu mengamati sekelilingnya dalam diam. Kemudian ketika akhirnya tatapannya bertemu dengan tatapan si gadis, laki-laki itu berjalan mendekat, hingga tiba pada jarak yang membuat gadis itu menyadari bahwa puncak kepalanya hanya setinggi dada pemuda asing itu.
Gadis itu belum pernah melihat sepasang mata yang begitu indah. Sepasang mata berbentuk almond itu berwarna hitam, hitam segelap langit malam, dihiasi titik-titik putih yang merupakan pantulan cahaya bulan. Sepasang mata itu menimbulkan perasaan ganjil menyenangkan yang membuat si gadis mendadak merasa begitu melankolis.
Dari bibir tipis pemuda itu, terucap sebuah nama.
"Mia."
Suara si pemuda, di luar dugaan, kontras dengan garis-garis wajahnya yang lembut. Suaranya tegas dan mantap. Mencerminkan rasa percaya diri dan keberanian. Seperti suara seorang prajurit.
"Oh... halo." gadis mungil itu balas menyapa agak bingung, memperhatikan seragam serba putih berkerah tinggi yang dikenakan si pemuda, "Kau orang baru?"
Laki-laki itu mengangguk sebelum menjawab, "Aku diutus untuk mengunjungimu mulai malam ini."
Mia menelengkan kepalanya.
"Nanna dan Selene sudah ke tempat lain? Biasanya mereka yang berkunjung." ucapnya sembari memainkan ujung-ujung sundress putihnya yang sebatas lutut.
Laki-laki itu mendongak ke arah langit.
"Ini sudah bulan penuh." dia memberitahu.
Mia mengangguk paham, "Ah."
Keduanya terdiam sejenak. Mia memperhatikan postur pemuda itu, yang berdiri dengan tegak dan tampak begitu formal.
"Jangan bersikap terlalu resmi, toh aku bukan siapa-siapa." Mia terkikik pelan.
Pemuda itu menunduk menatapnya dan berujar, "Tapi kau penting bagi kami."
Mia menggeleng-geleng, menyerah. "Siapa namamu?"
"Namaku Sîn."
Mia tersenyum cerah, "Selamat datang di rumahku, Sîn."
🌕
Sîn datang lagi keesokan malamnya.
Demikian pula malam-malam berikutnya.
Dan Mia selalu berada di taman, menunggu rekannya yang datang dari jauh itu. Sîn berbeda dari Nanna atau Selene yang gemar bercakap-cakap. Pemuda itu tidak banyak berbicara. Dan dia juga senantiasa memasang ekspresi datar. Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Mia untuk mengobrol dengannya.
"Ada berapa banyak yang sepertimu di tempat asalmu?" tanya Mia, berjalan menyusuri setapak kecil sambil bertelanjang kaki.
"Cukup banyak." Sîn menjawab singkat, berjalan mengikuti Mia tak jauh di belakangnya dengan kedua tangan terlipat di punggung.
"Cukup banyak untuk turun setiap malam, mengunjungi kami?" tanya Mia lagi, kali ini dia memungut sebuah kerikil berbentuk lucu yang tak sengaja diinjaknya di setapak, "Apa kalian tidak lelah?"
"Itu tugas kami."
"Aku hanya sendirian di sini." Mia berkata lagi, "Apa itu berarti kalau seorang prajurit menemukan... well, yang sepertiku dalam jumlah banyak... maka dia harus berurusan dengan segerombolan gadis-gadis berisik?"
Terdengar kekehan pelan dari belakangnya, dan Mia berbalik dengan cepat, menatap Sîn dengan kedua mata berbinar.
"Kau tertawa!" ujarnya cerah sambil terus melangkah mundur, mendapati seulas senyuman tipis menghiasi wajah pemuda itu untuk pertama kalinya, membuatnya terlihat semakin tampan.
"Kau sendiri berpikir bahwa kau berisik?" Sîn menatap gadis mungil di hadapannya itu dengan ekspresi terhibur. Mia cemberut.
"Hanya aku yang selama ini memulai pembicaraan, dan seringkali tidak bisa menghentikan cerocosanku sampai kau pulang. Dan selama itu kau hanya bertampang seperti ini..." Mia lalu memasang ekspresi bosan pada wajahnya sendiri, membuat Sîn menghentikan langkahnya dengan alis terkernyit.
"Aku tidak seperti itu." katanya defensif.
"Iya tuh." Mia membalikkan tubuhnya lagi dan kembali berjalan, "Serius deh, aku iri padamu. Kau bisa bepergian setiap malam, ke tempat yang berbeda-beda, memiliki kebebasan, tapi kau seolah tidak senang dengan semua itu. Kalau aku jadi kau, aku akan memanfaatkannya untuk berkeliling dunia. Menikmati kebebasan... mencari arti kehidupan yang sebenarnya--"
Kata-kata Mia terhenti saat dia menyadari tangan Sîn menarik salah satu sikunya dari belakang, menahannya untuk melangkah lebih jauh.
Ah, sudah sampai di batas ini, batin Mia, menatap ke arah lingkaran rumput yang mengelilingi sebuah air mancur bundar dengan hiasan patung malaikat tak jauh darinya. Jemari kakinya hanya tinggal berjarak beberapa sentimeter dari lingkaran rumput itu.
"Kau tidak ingin waktumu semakin berkurang hanya karena ini, kan?" Sîn berujar, membuat Mia menarik mundur kaki-kakinya dengan enggan.
Mia mendongak menatap pemuda itu dan tersenyum sedih, "Tidak. Aku masih kepingin ngobrol denganmu dan mengenalmu lebih jauh."
Salah satu sudut bibir Sîn terangkat membentuk senyuman kecil, "Aku merasa terhormat, Mia."
Sepanjang jalan menuju ke tempat awalnya, Mia tak dapat mencegah sepasang pipinya merona dan dia tak sanggup menutupi senyuman yang mengembang lebar di wajahnya.
🌕
"Sîn! Ke sini dan lihatlah!"
Sîn mendongak mendengar panggilan dari Mia, gadis mungil yang rutin menjadi teman mengobrolnya setiap malam belakangan ini, kemudian dia bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis itu.
"Lihat." sepasang mata Mia membulat dan berbinar-binar, menunjukkan seekor kupu-kupu berwarna biru-hitam yang tengah hinggap di salah satu buku jarinya.
"Kau kedatangan tamu." ujar Sîn.
Mia memperhatikan kupu-kupu di tangannya dengan nyaris takjub, mengamat-amati sayap indahnya yang mengepak lembut, tersihir akan kecantikan makhluk itu.
"Halo, teman kecil." Mia menyapa dengan lembut, berusaha membuat gerakan sepelan mungkin agar tidak mengagetkan kupu-kupu itu, namun gagal. Mia bersin, dan hewan itu terbang pergi.
"Terima kasih sudah mampir!" Mia berseru ke udara, ke arah kupu-kupu yang terbang semakin jauh. Walaupun hewan itu sudah menghilang dari pandangan, Mia masih tak mengalihkan tatapannya dari langit malam. Kemudian gadis itu berujar pelan, "Apakah menurutmu dia akan membantuku, Sîn?"
"Aku tidak tahu. Sangat banyak kemungkinan." Sîn menjawab jujur, "Tetapi kuharap dia bisa membantumu dalam petualanganmu."
Mia akhirnya menatap Sîn. Sepasang mata gadis itu berkaca-kaca, "Kuharap juga begitu. Dan kuharap, aku tidak akan sendirian lagi."
"Bukankah kau tidak sendirian sekarang?" Sîn menatapnya, lalu mengulurkan salah satu tangannya kepada Mia, menunggu gadis itu menyambutnya.
Mia tersenyum, dia pun menyambut uluran tangan pemuda di hadapannya sembari mengagumi dalam hati rambut putih yang berkilau lembut di bawah sinar rembulan itu. Juga sepasang mata almond-nya yang walaupun segelap malam, tampak hangat dan begitu tulus.
"Kau benar. Kau di sini."
🌕
Biasanya, setiap malam Sîn mengunjungi Mia, keadaan taman selalu hening. Namun berbeda dengan malam ini. Suara ramai dan alunan musik samar-samar terdengar menembus semak dan pepohonan hingga ke tempat mereka berada.
"Kau dengar itu?" tanya Mia bersemangat, "Sepertinya sedang diadakan orkestra taman, jauh di balik air mancur itu."
Mia mendesah panjang. Sîn memperhatikan gestur gadis yang tengah duduk di sampingnya itu, tampak gelisah seolah gatal ingin bergabung dalam keriuhan. Maka Sîn memutuskan untuk menyenangkannya sedikit, sebagai balasan atas tingkah laku si gadis yang selama ini selalu menjadi hiburan pribadi baginya.
"Ayo." celetuk Sîn. Mia mendongak menatap Sîn yang sudah bangkit dan kini mengulurkan satu tangan kepadanya. Mia terkikik ceria, dia menyambut tangan itu dan ikut bangkit.
Mereka bersama-sama berlari kecil ke arah air mancur, lalu berhenti persis di batas lingkaran rumput, sama-sama tahu bahwa gadis itu tak bisa melangkah lebih jauh lagi dari ini.
"Aku bisa melihat lampu-lampunya." ujar Mia bersemangat, "Lihat, di balik dahan-dahan itu!"
Sîn mengikuti arah pandang Mia dan menemukan kelap-kelip cahaya di kejauhan. Namun dia tak menemukan kesenangan lebih jauh dengan memandangi cahaya itu. Pemuda itu justru mendapati dirinya lebih tertarik memandangi sosok mungil di sebelahnya, yang tengah memejamkan mata sambil menikmati alunan samar musik klasik dari orkestra di balik pepohonan. Gadis yang tampaknya tidak sadar bahwa satu tangan kecil dan ringkihnya masih berada dalam genggaman Sîn. Mengulum senyum, Sîn berdeham pelan dan menggerakkan tangannya sedikit.
"Oh! Maaf!" Mia terlonjak, hendak melepaskan tangannya, namun Sîn malah mengeratkan genggamannya.
Mereka berdua kini berdiri berhadapan. Sîn menatap Mia dengan senyuman miring tersungging di bibirnya, yang kemudian membuka ketika dia bertanya, "Maukah kau berdansa denganku?"
Semburat merah jambu mewarnai sepasang pipi Mia yang pucat. Mia mengangguk pelan, maka Sîn membawa tangan Mia yang lain ke pundaknya. Lalu Sîn melangkah mendekat, meletakkan satu tangannya yang tidak sedang menggenggam tangan Mia di pinggang gadis itu.
"Aku tidak tahu bagaimana caranya berdansa." ungkap Mia, malu.
"Jangan khawatir. Aku juga tidak." sepasang mata Sîn berkilat jahil.
Keduanya saling bertatapan dan tertawa.
"Wow." Mia memandangi wajah Sîn dengan kagum, "Kau sangat tampan kalau tertawa."
Sîn tersenyum, balas menatap Mia dengan kehangatan di dalam dadanya yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. "Dan kau begitu cantik."
Keduanya bergerak seirama di atas rerumputan, berputar di tempat sesekali, dan kemudian musiknya berganti menjadi sesuatu yang terdengar lebih ceria dan lincah. Maka Mia dan Sîn ikut menari semakin cepat, keduanya tak sanggup menahan gelak tawa mendapati dansa mereka yang acak, konyol, dan spontan, tapi kentara sekali mereka sangat menikmatinya.
Hingga di satu tempo, Mia tersandung kaki-kakinya sendiri dan kehilangan keseimbangan.
"Oh!" Mia terhuyung, sangat dekat dengan lingkaran rumput, namun Sîn dengan sigap melingkarkan lengannya ke pinggang Mia, menariknya mendekat demi berusaha mencegahnya terjerembab melewati batas. Sîn berhasil, tetapi sebagai akibatnya, dirinya sendiri kehilangan keseimbangan dan membawa Mia terjatuh bersamanya ke belakang menimpa rerumputan.
"Maafkan aku!" Mia yang menyadari tubuhnya kini berbaring menimpa Sîn ingin buru-buru bangkit, namun pemuda itu tak melepaskan lengan-lengannya dari pinggang Mia.
Sîn memandangi wajah itu, wajah mungil polos yang tampak berbinar di bawah cahaya rembulan, membuat napasnya tertahan, wajah yang... untuk pertama kali diakuinya, dia harap dapat terpatri secara permanen di ingatannya.
Lalu Sîn, untuk pertama kalinya, membuat keputusan egois.
Dia mencium Mia.
🌕
Malam berikutnya, apa yang berada di hadapan Sîn membuat pemuda itu terhenyak.
"MIA!"
Dia menyaksikan gadis itu tergeletak di rerumputan, dengan wajah sepucat kertas. Sîn berlari ke arahnya, berlutut dan membalikkan tubuh tak bertenaga milik Mia, yang seolah layu. Mia tersenyum kecil mendapati ekspresi panik campur khawatir di wajah Sîn, lalu gadis itu berkata lemah, "Akhirnya bukan lagi ekspresi datar."
"A-apa yang terjadi? Masih ada beberapa hari sampai..." kata-kata Sîn terputus. Tidak. Jangan sampai ini terjadi karena...
"Apakah ini karena perasaanku?" Sîn mengernyit marah, dia mendongak menatap bulan di kejauhan, yang berpendar dengan sama indahnya seperti malam-malam lain.
Mia menggeleng pelan, "Sîn, aku menginjak batasanku."
Sepasang mata almond milik Sîn membulat terkejut, "Kau tidak--"
"Ya, kemarin, ketika kita berdansa. Aku menginjaknya sedikit."
Sîn tak mampu lagi membendung emosinya. Dia menangis. Dia tak mampu menahan jatuhnya air mata selagi mengucapkan permohonan maaf berulang-ulang kepada gadis di hadapannya. Dunianya. "Maafkan aku, Mia... maafkan aku..."
Mia lagi-lagi menggeleng, "Jangan meminta maaf. Itu adalah saat paling bahagia sepanjang hidupku yang singkat."
Sîn memeluk Mia. Seerat dan selama yang sanggup dilakukannya.
"Sîn?"
"Y-ya?"
"Maukah kau membawaku ke air mancur itu? Untuk terakhir kalinya, aku ingin duduk di tepian air mancur yang selama ini hanya dapat kukagumi dari kejauhan."
Sîn mengangguk, lalu dia menggendong tubuh terkulai milik Mia ke air mancur dengan patung malaikat itu. Kakinya yang gemetar melangkah melewati batas rumput. Lalu dia mendudukkan diri di tepian air mancur, bersama Mia di pangkuannya.
"Akhirnya, aku bebas." senyum Mia di dada Sîn, pemuda itu sama sekali tidak melepaskan lengan-lengannya dari tubuh mungil gadis itu. Dia menolak melepaskannya. "Sîn, apakah kau tahu siapa yang memberiku nama?"
Sîn menggeleng, "Siapa?"
"Seorang pria. Pria eksentrik yang mengenakan topi tinggi. Dialah yang menyapaku pertama kali. Menyebutku dengan panggilan aneh, sebelum akhirnya memutuskan memanggilku 'Mia'."
Mia mengangkat wajahnya, mengerahkan sisa-sisa tenaganya demi menatap wajah Sîn, "Dia menyebutku ipomoea alba."
Sîn terkekeh, namun ekspresi sedihnya mengkhianati kekehan itu. "Aku lebih menyukai 'Mia', sederhana namun cantik, sepertimu."
Mia tersenyum. Dia membelai wajah Sîn, "Terima kasih karena sudah hadir untukku, memberiku kebebasan, memberiku kehidupan yang berarti."
Sîn balas membelai pipi Mia yang lembut, "Entah sejak kapan, kau bukanlah lagi sebuah 'tugas'."
Mia berkaca-kaca, "Kuharap kupu-kupu itu dapat mempertemukanku denganmu kembali."
"Aku berjanji aku akan mencarimu. Di bulan penuh berikutnya. Dan berikutnya. Dan berikutnya."
Sîn meletakkan dahinya di dahi Mia dan kembali memeluknya, berusaha menghirup aroma gadis itu untuk terakhir kalinya, sebanyak yang sanggup dilakukannya.
Sebanyak dan selama mungkin, sebelum tubuh mungil itu perlahan digantikan oleh udara malam yang berhembus sejuk, menerpa kulitnya dan melalui sela-sela jemarinya seolah membisikkan;
Terima kasih.
End of Journal 11
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top