Sepuluh
"Siapa yang tadi menelepon?" Rajata melepaskan pelukannya, tetapi sebelah tangannya tetap bertengger di kepalaku. "Aku nggak suka dia membuat kamu menangis seperti ini."
Aku menangis bukan karena Mita, tetapi karena konflik batinku sendiri yang tidak bisa kuselesaikan. "Itu tadi sahabatku. Bukan dia yang membuat aku menangis."
"Oh ya? Kamu baru menangis setelah menerima telepon darinya. Kamu tidur nyenyak sebelumnya."
"Kamu sudah lama di sini?" tanyaku kaget. Aku ke sini karena tahu dia tidak ada di IGD tadi.
"Cukup lama untuk melihat kamu tidur." Cahaya lampu cukup terang untuk melihat rautnya mejadi jail. "Itu pemandangan indah setelah mulai terbiasa dengan muka perangmu akhir-akhir ini."
Aku tersadar. Kami bersikap seperti sebelum aku tahu siapa dia. Aku segera menyingkirkan tangannya di kepalaku. "Aku mau turun sekarang."
"Astaga, kamu kambuh lagi. Seharusnya aku nggak menyebut-nyebut soal muka perang itu." Rajata tidak melepaskan tanganku. Dia mengikutiku. "Makan, yuk. Aku lapar."
Aku mampir ke toilet untuk membersihkan wajah dari sisa-sisa air mata. Ketika masuk ruang jaga, aku melihat Rajata sudah selesai memanaskan makanan di microwave. Dia melepas alumunium foil yang menutup mangkuk itu dan meletakkannya di depanku. Aku tidak enak menolak dan akhirnya menerima sendok yang diulurkannya.
"Terima kasih," gumamku nyaris tak terdengar. Masih merasa tidak enak akibat peristiwa di atas atap.
"Lasagna. Aku ingat kamu pernah bilang suka lasagna dengan mozzarella yang banyak. Semoga yang ini nggak mengecewakan kamu."
Aku menyendok dengan canggung. Lasagna-nya enak. Apa yang kulakukan dengan laki-laki ini? Ke mana niatku mendirikan tembok pembatas yang tebal dan tinggi? Niat yang sepertinya tidak akan tergoyahkan apa pun juga sampai beberapa waktu yang lalu, saat pelukannya seperti membungkus dengan kenyamanan. Aku benar-benar lemah.
Takdir seharusnya lebih berperikemanusiaan padaku. Terasa menyakitkan menyadari bahwa aku menyukai seseorang yang terlarang untukku. Ironinya adalah, aku biasanya tidak mudah tertarik kepada seorang laki-laki. Aku tidak punya banyak pengalaman yang melibatkan debaran jantung dan perut mulas dengan kaum adam. Sejujurnya, aku melewatkan kesempatan itu setelah periode cinta monyet di SMU. Saat aku harus menghadapi hidup dengan serius. Aku bahkan yakin akan melewatkan Rajata kalau dia tidak berkeras terus-menerus muncul di depanku; membuatku menyadari punya sisi romantis yang tidak pernah kutahu ada; menganggap bahwa pria tampan yang datang diantar keremangan malam, di bawah taburan bintang-bintang adalah keajaiban yang hanya bisa disaingi film komedi romantis ala Hollywood.
"Suka?" suara itu terdengar lembut. Penuh perhatian, seolah sangat penting baginya kalau aku menikmati makanan yang dibawanya untukku.
Aku mengangkat kepala. "Enak. Terima kasih." Aku mendorong mangkuk yang masih berisi setengah itu ke tengah meja. Terlalu banyak, sulit dihabiskan.
Rajata meraih mangkuk itu dan gantian menyuap. Aku mengawasi dengan kikuk. Kami seperti dua orang kekasih yang berbagi makanan.
"Ini makan malam pertama kita," katanya. "Nggak seperti yang aku bayangkan, tapi ini nggak terlalu buruk. Tempat paling masuk akal untuk dua orang dokter yang kebagian sif malam untuk makan bersama, ya di ruang jaga rumah sakit. Dengan lasagna yang dipanaskan."
Aku tidak tahu bagaimana harus merespons. Rajata menuju lemari es dan kembali dengan botol air mineral yang sudah dibuka tutupnya. "Minum dulu." Dia mengulurkannya padaku. "Jangan berterima kasih lagi. Kita seperti baru kenal saja."
Aku meneguk minumanku. Merasa bersyukur ketika pintu tiba-tiba terbuka dan seorang rekan dokter lain masuk. Kami sebenarnya tidak hanya berdua saja dari tadi. Ada teman lain, tapi sedang tidur. Kedatangan orang lain bisa mengusir kecanggunganku.
"Ada pasien yang baru masuk, San?" tanyaku.
"Sudah dilayani semua, Dok. Saya hanya mau tidur sebentar." Santi mengangguk kepada Rajata.
"Biar aku yang jaga di luar. Tadi sudah tidur." Aku bangkit. Lebih baik berada di luar. Bergabung dengan teman jaga yang lain daripada terjebak bersama Rajata, dan tidak tahu harus bicara apa.
"Ayo, biar kutemani." Rajata ikut berdiri.
Aku mendesah. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku tidak boleh terlalu dekat dengannya, apalagi sampai melupakan siapa dia. Aku harus mencari cara untuk menjauhkan diri. Aku harus memikirkan alasan yang bagus. Hanya saja, bukan malam ini. Otakku terlalu lemah untuk diajak berpikir sekarang. Ya, nanti saja. Aku pasti akan menemukan alasan masuk akal untuk membuatnya menjauhiku. Alasan yang tidak melibatkan nama Dhesa di dalamnya.
***
SECARA fisik, Dewa tidak mirip Rajata. Mungkin karena pengaruh rambut-rambut di wajahnya. Rambut yang dibiarkan tumbuh kemudian dicukur rapi. Mengingatkanku akan Chris Evans kalau tidak sedang kelimis untuk Captain America.
Genggaman tangannya kuat. Senyumnya ramah. Dua kata, tampan dan menarik. Pantas saja Mita langsung mengiyakan ketika ayahnya menyodorkan laki-laki ini kepadanya. Dia juga terlihat dewasa.
Rasanya janggal bagaimana semua anak laki-laki Dokter Lukito harus terhubung denganku dengan cara yang tidak lazim. Robby dan Dhesa, Dewa dan Mita, serta tentu saja, aku dan Rajata. Takdir seperti bercanda dan bersenang-senang denganku. Maksudku, seberapa besar kemungkinan seperti itu bisa terjadi? Aku yakin tidak sampai satu persen. Dan satu persen keramat itu harus terjadi padaku. Aku mungkin bisa mencatatkan namaku di Guiness Book of Record sebagai orang paling sial di dunia.
Aku membiarkan Mita memonopoli percakapan. Aku hanya akan bicara saat ditanya. Menjawab sesingkat mungkin. Tidak kupedulikan tatapan kesal dan mencemoohnya. Ada sedikit rasa bersalah karena Mita tidak seharusnya mendapatkan sikap burukku. Tidak di hari ulang tahunnya. Dan tidak pula di depan tunangannya. Namun mau bagaimana lagi, kemampuan beraktingku sangat buruk.
"Kamu habis menelan selusin jarum suntik?" tanya Mita ketika kami sedang menunggu pesanan makanan di restoran. Dia tidak berusaha menyembunyikan raut kesalnya.
"Apa?" Aku tidak menyangka dia akan sefrontal itu di depan tunangannya. Kami sudah biasa saling mencaci-maki, tetapi kupikir dia akan menjaga imej di depan laki-laki yang sudah memintanya untuk menjadi satu-satunya perempuan yang akan menemaninya mengarungi hidup sampai maut memisahkan.
"Kamu dengar aku, Ka. Aku tanya apa kamu menelan selusin jarum suntik sampai leher kamu terlalu sakit untuk bicara?"
Aku memutar bola mata. "Aku sedang berusaha menjadi sahabatmu yang sopan. Seharusnya kamu menghargai usahaku."
"Aku nggak ingat punya sahabat yang sopan. Aku hanya punya satu orang sahabat yang menyebalkan, dan aku suka dia seperti itu."
Aku melihat Dewa. Wajahnya lebih terlihat antusias daripada heran atau bingung melihat interaksi antara aku dan Mita. Hanya dalam sekali pandang aku lantas tahu dia sudah berada di bawah pengaruh sihir Mita. Ya, laki-laki normal dengan mata sehat sulit untuk tidak tertarik kepada Mita secara fisik. Kulitnya putih bersih dan sehalus porselin dari zaman Dinasti Ming. Tubuhnya ideal, hidung mancung, bibir yang penuh, dan tentu saja mata besar yang bersinar jail. Dia makhluk paling supel yang pernah kukenal.
Secara fisik, aku sangat bertolak belakang dengan Mita. Kulitku jauh lebih gelap. Seperti tembikar zaman Dinasti Ming yang lupa diangkat ketika dibakar dan baru ditemukan beberapa hari kemudian. Tulang hidungku tidak setinggi Mita, meski juga tidak pesek. Bibir? Tipis, tidak bulat penuh seksi. Lebih mirip bibir pemeran ibu tiri Cinderella atau nenek sihir jahat dalam dongeng-dongeng H.C. Anderson. Mataku memang besar, tetapi lebih terkesan galak daripada ramah. Dan bagian terburuknya adalah tubuhku yang menjulang ke atas dan kekurangan lemak di beberapa bagian penting.
Mita sering mengatakan kalau dia iri dengan keeksotisanku. Aku yakin dia hanya bergurau. Eksotis? Itu hanya kata yang diucapkan orang untuk bersikap sopan supaya tidak perlu menyebutmu hitam, dekil, dan tidak menarik.
"Mita bilang kamu kerja di rumah sakit yang sama dengan orangtuaku, ya?" Suara Dewa meletuskan gelembung lamunanku. Aku harus menghargai kerendahan hatinya karena tidak menyebut 'rumah sakit kami'. Biasanya orang-orang tidak melewatkan detail seperti itu untuk menunjukkan jati diri dan kepemilikan.
"Iya," jawabku pendek sambil mengulas senyum. Berharap yang tampak memang senyum dan bukan seringai masam.
"Mika hanya kerja di sif malam dan belum pernah bertemu Om dan Tante," Mita menambahkan.
"Oh ya, bagian apa?"
"IGD." Aku yakin dia hanya bersikap sopan dan tidak sungguh-sungguh ingin tahu. Dia tidak akan menjadi arsitek kalau tertarik pada dunia kedokteran. Keluarganya bahkan punya rumah sakit, kalau menjadi dokter adalah impiannya.
"Oh ya? Adikku Rajata belum lama ini juga mengambil sif malam." Dewa tertawa. "Dengan alasan konyol yang membuat orangtua kami geleng-geleng kepala. Dia tertarik dan sedang mengejar seorang dokter yang bertugas di sana. Jadi dia menyesuaikan jadwal dengan dokter itu."
Aku merasa kursiku mendadak panas. Seperti seseorang baru saja meletakkan kompor yang sedang menyala di bawahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top